tag:blogger.com,1999:blog-79905268978665753272024-02-20T14:47:22.631+07:00Blog Dahlan IskanBlog Dahlan Iskan berupaya menyajikan konten terlengkap seputar Bapak Dahlan Iskan. Isi blog Dahlan Iskan yang berupa artikel, berita maupun opini di ambil dari berbagai media di Indonesia. Semoga pemikiran beliau bermanfaat bagi kita semua.Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.comBlogger416125tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-7652026539136511572013-03-18T07:59:00.000+07:002013-03-20T08:03:56.440+07:00Tahun Dag-dig-dug Tidak Hanya untuk Politisi<div style="text-align: justify;">
Senin, 18 Maret 2013 , 04:40:00<br /><b>Tahun Dag-dig-dug Tidak Hanya untuk Politisi<br />Manufacturing Hope 69</b><br /><br />MENINGGALNYA beberapa orang sakit yang tidak mendapatkan kamar di rumah sakit Jakarta menjadi salah satu topik diskusi dies natalis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia awal bulan ini.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Sejak diberlakukannya Kartu Jakarta Sehat (KJS), jumlah orang yang datang ke rumah sakit memang meningkat tiga kali lipat. "Ibaratnya, digigit nyamuk pun sekarang masuk rumah sakit," ujar seorang dokter di forum itu. "Akibatnya, yang sakit sungguhan tidak kebagian tempat," tambahnya.<br /><br />Saya mencatat seluruh pemikiran para dokter hari itu. Sebab, PT Askes (Persero) yang sekarang masih di bawah Kementerian BUMN harus bisa menyiapkan diri untuk menyambut era baru: Mulai 1 Januari 2014 keperluan kesehatan 86 juta orang miskin harus dilayani secara gratis. Pertanyaan besarnya: Siapkah Askes?<br /><br />Dirut PT Askes yang baru, Dr dr Fachmi Idris, beserta seluruh jajarannya hari-hari ini berkonsentrasi penuh untuk mempersiapkan semua itu. Waktu tidak banyak lagi. Internal masih punya banyak masalah yang harus diselesaikan: bagaimana status pegawai Askes nanti setelah Askes bukan lagi BUMN, bagaimana jenjang karirnya, dan seterusnya.<br /><br />Sambil memikirkan nasib diri sendiri itu, Askes harus memikirkan wujud pelayanannya nanti: bagaimana agar semua pemilik kartu sehat bisa terlayani, bagaimana agar rumah sakit bisa dibayar tepat waktu, bagaimana para dokter bisa tenang dalam bekerja.<br /><br />Kesimpulan hari itu jelas: Kalau semua orang sakit diperbolehkan langsung masuk rumah sakit, akan banyak kasus orang meninggal dunia karena tidak kebagian kamar. Dan lagi, kata para dokter hari itu, tidak semua penyakit harus diatasi di rumah sakit. Banyak penyakit yang sudah bisa ditangani di tingkat puskesmas.<br /><br />Bahkan, para dokter punya cita-cita yang besar: Banyak orang yang sebenarnya tidak perlu sakit kalau ada dokter yang khusus mencegah terjadinya penyakit di masyarakat.<br /><br />Kalau pengaturan itu tidak jalan, bisa-bisa judul berita di sebuah surat kabar pekan lalu benar-benar akan terjadi: KJS membuat politisi dapat nama, membuat dokter kehilangan nama.<br /><br />Untuk mencegah agar tidak semua orang sakit langsung datang ke rumah sakit, tidak ada jalan lain kecuali dikeluarkan aturan ini: Semua orang sakit harus ke puskesmas. Kecuali yang gawat darurat. Puskesmaslah yang akan menilai pasien tersebut cukup diobati di situ atau harus dirujuk ke rumah sakit.<br /><br />Demikian pula sebaliknya. Rumah sakit hanya mau menerima pasien yang membawa surat pengantar dari puskesmas. Kecuali yang gawat darurat.<br /><br />Direksi Askes sudah sepakat dengan gubernur DKI, Pak Jokowi, untuk melakukan uji coba sistem tersebut. Bulan depan sudah dimulai. Jakarta akan jadi pelopornya. Apalagi, puskesmas-puskesmas di Jakarta sudah cukup memadai.<br /><br />Di Jakarta, puskesmas tidak hanya ada di tingkat kecamatan. Di satu kecamatan bisa ada lima puskesmas.<br /><br />Setelah diskusi di FK UI itu, saya bersama Dr Fachmi Idris mengunjungi beberapa puskesmas di Jakarta. Juga melihat apa yang terjadi di salah satu rumah sakit di Jakarta yang sangat padat. Askes akan membangun sistem link online yang menghubungkan puskesmas dengan seluruh rumah sakit di Jakarta.<br /><br />Pasien yang datang ke puskesmas dan harus dirujuk ke rumah sakit akan dirujuk secara online. Bahkan, di sistem itu sudah bisa dilacak di rumah sakit mana pasien tersebut harus ditangani. Di puskesmas itu bisa dilihat rumah sakit mana saja yang masih memiliki kamar yang kosong.<br /><br />Dengan demikian, tidak terjadi pasien keliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang semuanya penuh. Ada waktu sembilan bulan untuk mencoba sistem tersebut. Kesalahan dan kekeliruan bisa dikoreksi segera. Kalaupun sistem itu gagal, sudah harus diketahui sebelum 1 Januari 2014. Kita juga belum tahu seberapa masyarakat bisa menerima kalau diharuskan ke puskesmas dulu.<br /><br />"Dalam praktik, ada pemegang KJS yang tidak dapat kamar, lalu bertanya apakah ada kamar VIP. Setelah diberi tahu betapa mahal kamar itu dan akan di luar pertanggungan KJS, pasien tersebut minta VIP dan mengatakan mampu membayarnya," ujar seorang dokter di diskusi itu.<br /><br />Salah satu puskesmas yang saya kunjungi hari itu, Puskesmas Gambir, sebenarnya sudah bukan seperti puskesmas yang saya kenal dulu. Besar dan lengkap. Hanya, tidak ada kamar untuk opname rawat inap.<br /><br />Saya melongok toilet-toiletnya, juga cukup bersih. Lab untuk memeriksa darah pun ada. Merekam jantung juga ada. Klinik gigi juga lengkap. Bahkan sampai mampu merehabilitasi mantan pecandu narkoba. Lebih dari 100 mantan pecandu narkoba tiap hari datang ke situ untuk minum obat anti kecanduan.<br /><br />Dokter Deuis Nurhayati, kepala Puskesmas Gambir, mengatakan siap menerima sistem online dengan rumah sakit. Juga siap bila ada aturan baru bahwa semua pasien di kawasan itu harus ke puskesmas dulu.<br /><br />Coba kita monitor bersama bagaimana jalannya uji coba sistem baru di Jakarta itu. Kalau bisa jalan, sungguh keteraturan mulai bisa dilaksanakan di negara kita. Tentu masih harus dicari jalan lain untuk daerah yang puskesmasnya belum sebaik dan sebanyak di Jakarta. Tapi, direksi Askes juga akan melakukan uji coba yang sama di beberapa daerah.<br /><br />Yang kelihatannya masih sulit adalah pelaksanaan cita-cita besar para dokter tersebut: mencegah orang sakit. Dana negara kelihatannya belum cukup. Jatah anggaran dari negara untuk meng-Askes-kan 86 juta orang itu baru sekitar Rp 15.000 per orang per bulan. Itu pun sudah menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 1,29 triliun setahun.<br /><br />Kalau anggaran itu bisa dinaikkan menjadi Rp 25.000 per orang per bulan, sudah bisa dirancang akan ada sejumlah dokter yang tugasnya terus-menerus mengunjungi 86 juta orang tersebut justru sebelum mereka sakit.<br /><br />Dengan demikian, puskesmas tidak akan kelebihan beban dan rumah sakit juga tidak penuh dengan pasien. Uang yang harus dikeluarkan negara memang lebih besar. Tapi, karena sakit bisa dicegah, pemborosan nasionalnya justru bisa dikurangi.<br /><br />Meskipun mungkin negara belum bisa memenuhi keinginan itu tahun ini, ide tersebut tidak boleh dikubur. Suatu saat nanti pasti bisa dilaksanakan.<br /><br />Bagi politisi, tahun ini adalah tahun politik. Banyak politikus yang dag-dig-dug bisa masuk daftar caleg atau tidak. Bagi dokter, tahun ini adalah tahun mempersiapkan era baru sistem pelayanan kesehatan. Juga dag-dig-dug.<br /><br />Dan bagi PT Askes, tahun ini adalah tahun kerja keras menyiapkan sistem baru. Tidak kalah dag-dig-dugnya. Ada perekam jantung di Puskesmas Gambir untuk tiga-tiganya. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-35097689658586691332013-03-11T08:12:00.000+07:002013-03-12T08:17:00.497+07:00Kelas MBA Besar dari Mandiri-Ciputra<div style="text-align: justify;">
Senin, 11 Maret 2013 , 00:55:00<br /><b>Kelas MBA Besar dari Mandiri-Ciputra<br />Manufacturing Hope 68</b><br /><br />SAYA terharu panjang pada Minggu lalu di Hongkong. Bahagia. Juga bangga. Dan ikut bergelora.<br /><br />Lebih dari 500 tenaga kerja wanita (TKW) hari itu menyelesaikan pendidikan entrepreneurship tiga jenjang selama 18 minggu. Sebuah pendidikan yang metode dan pelaksanaannya dilakukan oleh Pusat Entrepreneurship Universitas Ciputra dengan dukungan pembiayaan penuh dari Bank Mandiri.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Mereka tidak hanya diberi pengetahuan bisnis, tapi "dan yang utama" juga dibangkitkan harga dirinya, dimunculkan kemampuan usahanya, dan dihidupkan rasa percaya dirinya.<br /><br />Mereka juga terus dilatih menuliskan mimpi, mengemukakan mimpi, dan merencanakan untuk melaksanakan mimpi mereka. Mimpi itu harus ditulis dengan amat pendek, ditempel di dinding, dilihat sebelum tidur. Setiap hari. Dan boleh diubah.<br /><br />Mereka juga dilatih mengemukakan ide dalam pidato tiga menit di depan umum. Di depan kelas. Tidak boleh lebih dari tiga menit. Saya setuju. Pengusaha harus berani bicara, pandai bicara, tapi tidak boleh banyak bicara.<br /><br />Ketika menyaksikan mereka tampil dengan penuh percaya diri (ada yang bicara dalam bahasa Mandarin, Canton, dan sebagian lagi dalam bahasa Inggris), saya angkat topi kepada para TKW itu. Juga kepada para instruktur yang sudah berhasil membuat mereka berubah.<br /><br />Antonius Tanan, rektor Universitas Ciputra Entrepreneurship Center, dan timnya rupanya tidak hanya telah mengajar, tapi lebih-lebih telah memotivasi mereka. Antonius rupanya berhasil menemukan faktor utama untuk memotivasi mereka: keluarga. Semua wanita yang pergi ke Hongkong untuk menjadi TKW itu adalah mereka yang berjuang untuk keluarga.<br /><br />Lebih dari dua pertiga yang ikut program itu berstatus ibu rumah tangga. Mereka meninggalkan anak yang masih kecil dan suami masing-masing. Hanya dorongan yang amat kuat untuk memperbaiki ekonomi keluargalah yang membuat mereka rela berpisah bertahun-tahun.<br /><br />Tentu anak-anak mereka amat sedih karena tumbuh tanpa ibu. Anak-anak itu juga amat rindu pada kasih sayang ibunda. Kesedihan dan kerinduan anak-anak yang ditinggal di kampung itulah yang direkam dalam bentuk video dan diputar di depan kelas. Kelas bisnis itu hening. Lalu, terdengar isak tangis. Mereka menangis. Juga saya. Juga Dirut Bank Mandiri Zulkifli Zaini.<br /><br />Tapi, di kelas itu Antonius tidak mau menimbulkan kesan bahwa mereka adalah ibu-ibu yang tega. Antonius lebih memberikan gambaran betapa sang ibu sebenarnya juga amat sedih meninggalkan anak-anak kecil mereka. Sang ibu meninggalkan anak-anak itu bukan karena tega, tapi justru demi anak itu sendiri. Demi masa depan mereka. Pendidikan mereka. Meninggalkan anak untuk anak itu sendiri.<br /><br />Memang kenyataannya banyak ibu yang lantas bergantung pada penghasilan sebagai TKW. Selesai kontrak dua tahun, mereka balik lagi ke Hongkong dua tahun berikutnya. Berikutnya lagi. Begitu seterusnya hingga banyak yang sudah delapan tahun belum juga bisa kembali berkumpul dengan anak.<br /><br />Bisnislah yang akan bisa membuat mereka kembali berkumpul dengan keluarga. Kerinduan akan keluarga itu harus jadi motivasi utama untuk memulai bisnis.<br /><br />Ilmu diberikan. Cara disimulasikan. Jalan ditunjukkan. Tabungan ada. Kemampuan dimunculkan. Percaya diri sudah tinggi. Tekad sudah membaja. Terutama tekad untuk kumpul keluarga.<br /><br />Melihat semua itu, hari itu saya putuskan tidak jadi pidato. Tidak jadi mengajar. Pidato sudah tidak akan penting lagi. Mereka sudah begitu siap memulai bisnis di kampung masing-masing. Saya hanya menyampaikan keyakinan bahwa mereka bisa.<br /><br />Dalam bisnis, yang paling sulit adalah memulainya. Sedang mereka sudah sangat siap memulai. Yang juga sulit adalah mengubah sikap dari seorang penganggur atau seorang pekerja menjadi seorang pengusaha. Sedang mereka sudah siap berubah.<br /><br />Orang yang sulit berubah akan sulit jadi pengusaha. Padahal, mereka adalah orang-orang yang sudah membuktikan bahwa diri mereka pernah membuat perubahan besar dalam hidup masing-masing. Yakni, waktu mereka memutuskan berani meninggalkan kampung halaman untuk pergi ke Hongkong.<br /><br />Itu adalah sebuah perubahan yang amat besar yang pernah mereka buat. Itu modal penting untuk perubahan berikutnya: dari pekerja ke calon juragan pekerja.<br /><br />Waktu saya tamat madrasah aliyah (SMA) dan memutuskan meninggalkan kampung halaman di pelosok desa di Magetan untuk merantau ke Kaltim, itulah perubahan terbesar dalam hidup saya. Waktu memutuskan itu, rasanya dunia seperti mau kiamat. Gelap dan kalut. Putuslah semua akar kehidupan. Apalagi harus meninggalkan Aishah.<br /><br />Padahal, para TKW itu tidak sekadar ke Kaltim yang hanya beda provinsi, melainkan ke negara orang lain dengan bahasa dan budaya yang amat berbeda.<br /><br />Program Bank Mandiri itu sudah berlangsung tiga angkatan. Berarti sudah 1.500 TKW yang sudah dan siap berubah jadi pengusaha. Lulusan angkatan pertama yang kini sudah jadi pengusaha sapi perah dan resto lesehan di Purwokerto, Kartilah, ditampilkan sebagai role model. Dia juga membawa anaknya yang kini sudah SMA, yang dulu bertahun-tahun ditinggalkannya.<br /><br />"Waktu saya kembali dari Hongkong, mengakhiri status sebagai TKW, saya tidak langsung pulang," ujar Kartilah dengan gaya yang sudah benar-benar pengusaha. "Saya langsung ke pasar sapi. Beli sapi," katanya.<br /><br />"Kalau pulang dulu, bisa-bisa tertarik beli-beli yang lain dan gagal jadi pengusaha," tambah Kartilah. Itu menandakan kuatnya motivasi untuk menjadi pengusaha.<br /><br />Salah seorang peserta program itu, yang juga sudah siap berbisnis di Malang, punya permintaan ke Bank Mandiri: agar ada pendidikan serupa untuk para suami mereka di kampung. Dia khawatir usaha mereka tidak lancar hanya karena suami tidak mendukung.<br /><br />Program Bank Mandiri tersebut sangat membanggakan. Begitu intensifnya program bisnis itu, sampai-sampai saya merasa tidak sedang di tengah-tengah TKW. Saya lebih merasa sedang dalam kelas MBA yang besar!<br /><br />"Kami akan lanjutkan program ini," ujar Zulkifli Zaini. Tepuk tangan bergemuruh.<br /><br />Bank Mandiri, yang juga memiliki program besar Wirausaha Muda Mandiri untuk mahasiswa, akan terus diberkahi oleh Yang Mahakuasa. Kini labanya mencapai rekor terbesar dalam sejarah Bank Mandiri: Rp 15,5 triliun. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-83242349953260211512013-03-04T14:53:00.001+07:002013-03-04T14:57:42.979+07:00Problem Pedet di Lobi Hotel<div style="text-align: justify;">
Senin, 04 Maret 2013 , 02:02:00<br /><b>Problem Pedet di Lobi Hotel<br />Manufacturing Hope 67</b><br /><br />HARGA jual pedet (anak sapi) Rp 5 juta per ekor. Untuk menghasilkan satu pedet, seorang peternak menghabiskan uang Rp 9 juta.<br /><br />Jelaslah: Mana ada petani yang mau memproduksi pedet. Kalau toh di desa-desa kini masih ada orang yang memelihara sapi, itu karena mereka tidak menghitung biaya pakan dan biaya tenaga kerja.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Dua tahun lamanya menghasilkan satu pedet. Dua tahun lamanya petani bekerja mencari rumput serta menjaga dan memandikan sapi, hasilnya sebuah kerugian Rp 4 juta per pedet.<br /><br />Itulah akar paling dalam mengapa kita kekurangan sapi dan akhirnya harus impor daging sapi setiap tahun. Kesimpulan itu saya peroleh ketika saya mengundang profesor dan ahli peternakan dari berbagai perguruan tinggi pekan lalu: UGM, Undip, Unsoed, Unhas, Universitas Jambi, dan Universitas Udayana. Juga pakar dari LIPI.<br /><br />Di forum itu juga saya undang praktisi peternak sapi, lembaga-lembaga riset, dan pejabat Kementerian Pertanian. Dengan kesimpulan itu, saya harus mengakui bahwa program yang saya canangkan tahun lalu belum menjadi senjata pamungkas untuk mengatasi kekurangan daging sapi. Tapi, tanpa program itu, saya tidak akan bisa belajar banyak mengenai inti persoalan selama ini.<br /><br />Orang memang perlu kebentur tebing untuk bisa belajar yang mendasar. BUMN benar-benar kebentur tebing ketika mencanangkan program Sasa (sapi-sawit) tahun lalu.<br /><br />Waktu itu saya setengah memaksa agar perusahaan-perusahaan perkebunan sawit milik BUMN ikut memelihara sapi. Membantu program Kementerian Pertanian. Saya minta setidaknya 100.000 sapi digemukkan di perkebunan sawit di Sumatera.<br /><br />Selama ini, yang saya tahu, peternak sapi kurang bergairah karena harga pakan yang mahal. Problem makanan ternak yang mahal itu teratasi di perkebunan sawit karena sapi bisa diberi makan daun sawit. Gratis.<br /><br />Setelah program Sasa itu mulai dijalankan, barulah ketahuan: Ada problem yang lebih mendasar. Sulit mencari pedet yang akan digemukkan di kebun-kebun sawit itu.<br /><br />Semula saya mengira teman-teman BUMN perkebunan merasa setengah hati. Merasa dipaksa. Merasa diberi beban tambahan. Tapi, saya tidak peduli dengan perasaan itu. Yang jelas, saya kecewa, mengapa program 100.000 sapi itu hanya mencapai 20.000.<br /><br />Tapi, saya harus realistis. Ternyata bukan karena mereka setengah hati. Ternyata karena tidak mudah mencari anak sapi. Membeli 100.000 pedet, biarpun punya uang, ibarat mencari penari gangnam di kalangan penari dangdut.<br /><br />Bahkan, membeli hanya 20.000 pedet itu pun sudah dianggap mengguncangkan. Harga pasar pedet naik. Peternak kecil yang berbisnis penggemukan sapi merasa dirugikan.<br /><br />Maka para ahli yang hadir dalam diskusi itu; di antaranya Prof Syamsuddin Hasan (Unhas); Prof Damriyasa (Udayana); Prof Priyo Bintoro dan Prof Sunarso (Undip); Prof Ali Agus (UGM); Dr Ahmad Shodiq (Unsoed); Dr Saitul Fakhri (Universitas Jambi); serta Dr Bess Tiesnamurti, Prof Syamsul Bahri, Prof Kusuma Dwiyanto, dan Ir Abu Bakar (keempatnya dari Kementan); sepakat minta BUMN tidak hanya fokus menggemukkan sapi, tapi juga memproduksi pedet.<br /><br />Para praktisi peternakan sapi dari berbagai daerah yang hadir juga menyuarakan hal sama. Yang diharapkan bukan BUMN yang membeli pedet peternak, tapi peternak membeli pedet dari BUMN.<br /><br />Memang juga banyak data yang dipersoalkan hari itu. Terutama data jumlah sapi yang selama ini dianggap benar: 14 juta. Kalau angka itu benar, mestinya impor daging tidak diperlukan lagi.<br /><br />Demikian juga data produksi dan penyaluran sperma beku untuk perkawinan/pembuahan buatan. Kalau benar data yang terpublikasikan selama ini, mestinya tidak akan kekurangan pedet. Kalaupun perkawinan buatan itu hanya berhasil 60 persennya (teorinya sampai 80 persen), mestinya ada 1,5 juta pedet yang lahir setiap tahun.<br /><br />Dari diskusi yang intensif tersebut, BUMN harus mau bekerja lebih keras, lebih njelimet, lebih mendasar, dan lebih susah: memproduksi pedet dari kebun-kebun sawit. Dengan menggunakan daun sawit yang gratis, biaya "membuat" satu pedet yang mestinya Rp 9 juta per ekor itu bisa ditekan menjadi Rp 4 juta per ekor.<br /><br />BUMN juga harus lebih sabar. Kalau menggemukkan sapi sudah bisa menjualnya enam bulan kemudian, memproduksi pedet baru bisa menghasilkan setelah dua tahun.<br /><br />Ternyata begitu sulit mengurus sapi. Lebih enak kalau tinggal makan dagingnya.<br /><br />Lebih enak lagi kalau tanpa susah-susah bisa dapat komisi Rp 5.000 per kg daging yang diimpor!<br /><br />Tidak perlu susah, tidak perlu mencium bau sapi, tidak perlu mencari rumput, tidak perlu mikir. Cukup dengan bekerja di lobi hotel dan di kamar hotel, hasilnya langsung nyata!<br /><br />"Peternak lobi hotel" seperti itu akan terus tumbuh subur. Impor daging sangat menguntungkan. Harga daging di luar negeri sangat murah. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pernah mengatakan, harga daging di Singapura hanya Rp 45.000 per kg. Bandingkan dengan harga di Jakarta yang Rp 90.000 per kg. Padahal, daging di Singapura itu juga daging impor.<br /><br />Proses perizinan untuk suatu perdagangan yang menghasilkan laba yang begitu besar tentu tidak sehat. Karena itu, dalam diskusi tersebut kembali dibicarakan ide Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Ismed Hasan Putro ini: Perusahaan yang diberi izin impor daging harus menggunakan sebagian labanya untuk memproduksi pedet di dalam negeri. Entah dengan impor pedet atau impor sapi betina produktif.<br /><br />Atau dibalik: Perusahaan-perusahaan/koperasi /kelompok tani yang selama ini "berkorban" rugi Rp 4 juta per pedet itulah yang diberi izin untuk impor daging!<br /><br />Setiap persoalan ada jalan keluarnya. Setiap masalah ada hikmahnya. Tapi, beternak sapi di lobi hotel jelas melanggar sunnatullah yang nyata! (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-73909185122472260502013-02-25T14:59:00.003+07:002013-02-25T15:10:25.860+07:00Simpul-Simpul Terlalu yang Akan Berhadiah<div style="text-align: justify;">
Senin, 25 Februari 2013 , 01:10:00<br />
<b>Simpul-Simpul Terlalu yang Akan Berhadiah<br />Manufacturing Hope 66</b><br />
<br />
PARA pimpinan PT Jasa Marga (Persero) Tbk belakangan harus memeras otak lebih keras. Dua tugas khusus amat mendesak untuk dicarikan jalan keluar: mengatasi kemacetan di jalan tol dan mengubah sistem pembayaran di pintu-pintu tol.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Begitu khususnya, sampai-sampai hampir seminggu sekali saya tagih kemajuannya. Untuk mengatasi kemacetan, memang tidak gampang. Tapi, setidaknya sudah berhasil diinventarisasikan di titik mana saja kemacetan itu terjadi dengan parahnya.<br />
<br />
Ada dua jenis kemacetan. Yang bisa diselesaikan cepat dengan langkah yang sederhana dan yang harus melalui jalan yang panjang. Maka, fokus diberikan kepada yang bisa cepat-cepat dilakukan.<br />
<br />
Misalnya, kemacetan di jalan layang Tomang dari arah Kebon Jeruk. Ternyata, banyak lubang di ketinggian yang sulit dijangkau itu. Aneh juga, di ketinggian seperti itu bisa banyak lubangnya. Akibatnya, semua kendaraan melakukan pengereman mendadak. Macet.<br />
<br />
Sudah berbulan-bulan lubang-lubang tersebut tidak tertangani karena tidak adanya laporan. Malam itu juga, Kamis malam lalu, semua lubang tersebut ditutup.<br />
<br />
Tapi, untuk mengatasi kemacetan yang parah dari arah Kebon Jeruk ke Tomang setiap pagi (dan sebaliknya setiap sore), persoalannya lebih rumit. Memang ada hope, tapi harus menunggu selesainya jalan tol ruas Ulujami-Kebon Jeruk. Jalan tol itu sudah selesai dibangun, kecuali yang 2,3 km yang tersendat oleh urusan tanah.<br />
<br />
Saya akan menemui Pak Jokowi untuk minta bantuan beliau. Bukan saya tidak mau turun tangan, tapi urusannya memang hanya bisa diselesaikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Apalagi, pemilik jalan tol Ulujami-Kebon Jeruk itu adalah perusahaan daerah DKI (40 persen) dan Jasa Marga (60 persen). Semoga gubernur baru bisa lebih bikin gol daripada pejabat sebelumnya.<br />
<br />
Yang juga parah adalah sumbatan di Halim. Kendaraan yang semula mengalir deras, empat lajur dari arah Bekasi ke Semanggi, tiba-tiba menyempit tinggal satu lajur di Halim. Bisa dibayangkan betapa macetnya.<br />
<br />
Semula dianggap tidak akan ditemukan jalan keluar untuk persoalan itu. Tidak mungkin menambah ruas di situ. Tidak ada lahan. Sebelah jalur tersebut sudah berupa jalan raya arteri yang lalu lintasnya juga padat. Tidak mungkin jalan arteri itu ditutup untuk perluasan jalan tol.<br />
<br />
Tapi, sumbatan di Halim itu benar-benar "t.e.r.l.a.l.u!". Karena itu, saya minta terus dipikirkan. Sampai-sampai, sejumlah staf Jasa Marga hanya bertugas duduk di atas bukit kecil di dekat sumbatan itu berhari-hari. Untuk menemukan inspirasi cara apa yang bisa ditempuh.<br />
<br />
Akhirnya ditemukan! Bukit di dekat tempat mencari inspirasi itu dikepras. Dibikinkan turap agar tidak longsor. Lalu dibuat jalan baru sepanjang 600 meter. Jalan baru itulah yang disiapkan untuk menjadi jalan arteri pengganti. Sedangkan jalan arteri yang asli "diminta" untuk dijadikan lajur tambahan jalan tol.<br />
<br />
Inspirasi itu langsung diwujudkan. Siang-malam pengeprasan bukit dan pembuatan jalan arteri dikerjakan. Dalam tiga bulan sudah jadi. Saya sangat menghargai kesigapan Jasa Marga di sini. Juga ide briliannya. Minggu lalu jalur baru tersebut sudah bisa digunakan.<br />
<br />
Kini kendaraan dari empat lajur dari arah Bekasi yang semula menjadi satu lajur sudah bisa menjadi dua lajur. Agak lega. Sementara. Derasnya pertambahan kendaraan yang masuk jalan tol akan membuat kelegaan itu tidak akan lama.<br />
<br />
Dari arah Cibubur menuju Semanggi juga menyebalkan. Tapi, hanya perubahan kecil yang bisa dilakukan: pemasangan rubber cone untuk mendisiplinkan kendaraan. Selama ini lajur kendaraan dari arah Cibubur menuju Semanggi sering "diserobot" truk dari arah Cibubur menuju Priok. Dengan pemasangan rubber cone baru itu (juga sudah berfungsi seminggu yang lalu), kesesakan menuju Semanggi berkurang.<br />
<br />
Hanya berkurang. Tetap sesak napas tapi sudah berkurang. Sudah berkurang tapi tetap sesak napas. Bahkan, yang ke arah Priok justru lebih sesak.<br />
<br />
Hope untuk jalur dari arah Cibubur itu baru datang setahun lagi. Menunggu berfungsinya jalan tol dari Kawasan Berikat Nusantara (KBN) ke Tanjung Priok. Jalan tol baru tersebut sekarang sedang dikerjakan. Pekerjaan lagi dikebut. Tapi, tetap tidak bisa seperti sulapan.<br />
<br />
Tahun depan, kalau jalan tol KBN-Priok itu selesai, truk-truk dari arah Cibubur tidak boleh lagi melewati Cawang. Kendaraan-kendaraan besar tersebut dari arah Cibubur harus belok ke Cikunir menuju jalan tol baru itu.<br />
<br />
Kalau Anda ke Priok dan melihat pekerjaan jalan tol dengan tiang-tiang penyangga yang amat tinggi, itulah jalan yang saya maksud. "Ini bisa mengurangi arus kendaraan dari Cibubur menuju Cawang sampai 30 persen," kata Adityawarman, Dirut Jasa Marga.<br />
<br />
Titik menyesakkan lain yang juga sulit ditemukan hope-nya adalah kemacetan dari arah Cawang menuju Kuningan. Saya tagih terus. Kapan ide brilian di ruas itu bisa ditemukan.<br />
<br />
"Sebetulnya ada ide yang cespleng," ujar Adityawarman, orang Palembang yang suka bicara bahasa Jawa tersebut. Apa itu? "Pintu masuk tol di dekat Bukopin (dari arah Cawang) itu ditutup," ungkapnya.<br />
<br />
Jalan tolnya pasti bisa lebih longgar, tapi jalan arterinya akan kian padat. Persoalannya bukan di situ. Menutup pintu tol harus izin sampai ke tingkat presiden. Dan lagi, masyarakat sekitar Cawang yang ingin masuk tol menjadi harus sabar sampai setelah Kuningan.<br />
<br />
Saya minta, ide itu jangan dimatikan. Kalau memang tidak ada lagi ide yang lebih brilian, apa salahnya kalau izin penutupan tersebut diurus. Tapi, memang harus dipertimbangkan baik-baik. Kalau perlu libatkan masyarakat. Bahkan, Jasa Marga boleh saja mengadakan lomba terbuka.<br />
<br />
Siapa pun yang bisa menyumbangkan ide brilian untuk penyelesaian kemacetan itu akan diberi hadiah yang besar. Khusus untuk jalan tol. Bukan jalan umum. Jalan umum di luar wewenang BUMN.<br />
<br />
Kita menyadari, tiap titik kemacetan memerlukan ide segar. Satu orang bisa saja menyumbangkan ide untuk mengatasi kemacetan di beberapa titik sekaligus. Jasa Marga menyediakan hadiah. Tiap satu ide yang bisa diterapkan akan mendapat hadiah Rp 100 juta.<br />
<br />
Sekali lagi, syaratnya, bisa dilaksanakan. Bukan ide yang tidak bisa dilaksanakan. Harus sekelas ide di Halim tadi. Tunggu pengumumannya dari Jasa Marga.<br />
<br />
Intinya, sesulit apa pun persoalan kita, kita tidak boleh menyerah. Termasuk, kesulitan memperbaiki sistem di gerbang tol. Setelah enam bulan tidak henti-hentinya saya tagih, akhirnya ditemukan sistem perbaikan itu.<br />
<br />
Tanggal 6 Maret bulan depan, sistem pass-through yang benar-benar pass-through mulai difungsikan. Di tiga gerbang tol ke arah Cengkareng dulu. Yang lain-lain menyusul.<br />
<br />
Selama ini, pemilik mobil yang sudah memasang alat pass-through pun tetap harus menghentikan mobilnya di pintu tol. Menunggu bunyi "tiiiiiit…". Baru palang pintunya membuka.<br />
<br />
Padahal, di negara-negara lain, yang namanya pass-through, ya tidak perlu mobilnya berhenti dulu! Ini yang beberapa kali saya nilai sebagai sistem yang primitif.<br />
<br />
Mengatasinya ternyata tidak sederhana. Itu karena menyangkut kontrak antara dua perusahaan. Untung dua-duanya BUMN: Jasa Marga dan Bank Mandiri. Maka, saya tugaskan pejabat tinggi Kementerian BUMN, Dr Ir Irnanda Laksanawan, untuk mengoordinasikan dan mencarikan terobosan.<br />
<br />
Irnanda lantas melibatkan BUMN yang lain, PT Telkom dan PT LEN Industri. Berhasil. Setelah pemasangan di tiga titik tanggal 6 Maret nanti, akan terus dilakukan langkah yang sama di pintu-pintu tol yang lain. Dengan demikian, kita tidak malu lagi: masak membuat pintu tol seperti di luar negeri saja tidak bisa.<br />
<br />
Memang masih ada persoalan: harga alat yang harus dipasang di dalam mobil itu masih terlalu mahal (menurut banyak orang): Rp 650.000. Akibatnya, masih sedikit kendaraan yang mau memasang peralatan pass-through.<br />
<br />
Itulah yang saya minta untuk dicarikan jalan keluarnya. Salah satunya dengan cara memproduksinya di dalam negeri. PT LEN sudah sanggup mengerjakannya. Alhamdulillah.<br />
<br />
Dan saya tidak perlu lagi melempar kursi. (*)<br />
<br />
Dahlan Iskan<br />
Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-33827739898745257082013-02-18T07:07:00.001+07:002013-02-18T07:12:16.555+07:00Membersihkan Gorong-Gorong Buntu di Otak<div style="text-align: justify;">
Senin, 18 Februari 2013 , 01:10:00<br /><b>Membersihkan Gorong-Gorong Buntu di Otak<br />Manufacturing Hope 65</b><br /><br />SAMBIL mengambil pisau bedah, Dokter Terawan mulai menyanyikan lagu kesukaannya, Di Doa Ibuku. Suaranya pelan, tapi sudah memenuhi ruang operasi itu.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Saya berbaring di depannya, di sebuah ruang operasi di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Jumat pagi lalu. Peralatan operasi sudah disiapkan dengan rapi. Para perawat juga sudah berada di posisi masing-masing.<br /><br />Sebenarnya saya tidak dalam keadaan sakit. Juga tidak punya keluhan apa pun. Hanya, saya memang sudah lama ingin melakukan ini: cuci otak. Sejak masih jadi direktur utama Perusahaan Listrik Negara dulu. Keinginan itu tertunda terus oleh kesibukan yang padat, terutama setelah menjadi menteri BUMN. Bahkan, keinginan untuk coba-coba melakukan stem cell pun tertunda sampai sekarang.<br /><br />Mencoba merasakan cuci otak ini bisa dianggap penting, bisa juga tidak. Saya ingin mencobanya karena ini merupakan metode baru untuk membersihkan saluran-saluran darah di otak. Agar terhindar dari bahaya stroke atau perdarahan di otak. Dua bencana itu biasanya datang tiba-tiba. Kadang tanpa gejala apa-apa. Dan bisa menimpa siapa saja.<br /><br />Saya tahu, metode cuci otak Dokter Terawan ini masih kontroversial. Pendapat kalangan dokter masih terbelah. Masih banyak dokter yang belum bisa menerimanya sebagai bagian dari medical treatment.<br /><br />Pengobatan model Dokter Terawan, ahli radiologi yang berumur 48 tahun, yang berpartner dengan Dokter Tugas, ahli saraf yang berumur 49 tahun, ini masih terus dipersoalkan. Dia masih sering "diadili" di rapat-rapat profesi kedokteran.<br /><br />Saya terus mengikuti perkembangan pro-kontra itu. Termasuk ingin tahu sendiri secara langsung seperti apa cuci otak itu. Dengan cara menjalaninya. Kesempatan itu pernah datang, tapi beberapa kali tertunda. Sebab, ada pasien yang lebih mendesak untuk ditangani. Sebagai orang sehat, saya harus mengalah.<br /><br />Kamis malam lalu kesempatan itu datang lagi. Seusai sidang kabinet di istana, saya langsung masuk RSPAD Gatot Subroto. Berbagai pemeriksaan awal dilakukan malam itu: periksa darah, jantung, paru-paru, dan MRI. Dan yang juga penting dilakukan Dokter Tugas adalah ini: pemetaan saraf otak.<br /><br />Beberapa tes dilakukan. Untuk mengetahui kondisi saraf maupun fungsi otak.<br /><br />Keesokan harinya, pagi-pagi, saya sudah bisa menjalani cuci otak di ruang operasi. Saya sudah tahu apa yang akan terjadi karena dua minggu sebelumnya istri saya sudah lebih dulu menjalaninya. Saat itu saya menyaksikan dari layar komputer.<br /><br />Cuci otak ini dimulai dengan irisan pisau di pangkal paha. Saat mengambil pisau, seperti biasa, adalah saat dimulainya Dokter Terawan menyanyikan lagu kesukaannya, Di Doa Ibuku.<br /><br />Perhatian saya pun terbelah: mendengarkan lagu itu atau siap-siap merasakan torehan pisau ke pangkal paha yang tidak dibius. Tiba-tiba Dokter Terawan mengeraskan suaranya yang memang merdu. Saya pun kian memperhatikan lagu itu.<br /><br />Saat puncak perhatian saya ke lagu itulah, rupanya Dokter Terawan menorehkan pisaunya. Tipuan itu berhasil membuat rasa sakit hanya melintas sekilas.<br /><br /> Dan Dokter Terawan terus menyanyi:<br /><br /> Di waktu masih kecil<br /> Gembira dan senang<br /> Tiada duka kukenang<br /> Di sore hari nan sepi<br /> Ibuku berlutut<br /> Sujud berdoa<br /> Kudengar namaku disebut<br /> Di doa ibuku<br /><br />Sebuah lagu yang isinya kurang lebih saya alami sendiri saat saya masih kecil, sebelum ibu saya meninggal saat saya berumur 10 tahun. Otomatis perhatian saya ke lagu itu. Itulah cara Dokter Terawan membius pasiennya.<br /><br />Saya jadi teringat saat memasuki ruang operasi menjelang ganti hati enam tahun lalu di RS Tianjin, Tiongkok. Ruang operasi dibuat ingar-bingar oleh lagu rock yang lagi top-topnya saat itu di sana: Mei Fei Se Wu, yang berarti bulu mata menari-nari. Sebelum lagu berbahasa Mandarin itu berakhir, saya sudah tidak ingat apa-apa lagi: Saya dimatikan selama 13 jam.<br /><br />Demikian juga Dokter Terawan. Sambil terus menyanyikan Di Doa Ibuku, dia mulai memasukkan kateter dari luka di pangkal paha itu. Lalu mendorongnya menuju otak. Kateter pun terlihat memasuki otak kanan. "Sebentar lagi akan ada rasa seperti mint," ujar Terawan.<br /><br />Benar. Di otak dan mulut saya terasa pyar yang lembut disertai rasa Mentos yang ringan.<br /><br />Itulah rasa yang ditimbulkan oleh cairan pembasuh yang disemprotkan ke saluran darah di otak. "Rasa itu muncul karena sensasi saja," katanya.<br /><br />Hampir setiap dua detik terasa lagi sensasi yang sama. Berarti Dokter Terawan menyemprotkan lagi cairan pembasuh lewat lubang di dalam kateter itu. Saya mulai menghitung berapa pyar yang akan saya rasakan. Kateter itu terus menjelajah bagian-bagian otak sebelah kanan. Pyar, pyar, pyar. Lembut. Mint. Ternyata sampai 16 kali.<br /><br />Begitu dokter mengatakan pembersihan otak kanan sudah selesai, saya melirik jam. Kira-kira delapan menit.<br /><br />Kateter lantas ditarik. Ganti diarahkan ke otak kiri. Rasa pyar-mint yang sama terjadi lagi. Saya tidak menghitung. Perhatian saya beralih ke pertanyaan yang akan saya ajukan seusai cuci otak nanti: Mengapa dimulainya dari otak kanan?<br /><br />Usai mengerjakan semua itu, Terawan menjawab. "Karena terjadi penyumbatan di otak kiri Bapak," katanya.<br /><br />Hah? Penyumbatan? Di otak kiri? Mengapa selama ini tidak terasa? Mengapa tidak ada gejala apa-apa? Mengapa saya seperti orang sehat 100 persen?<br /><br />Dokter Terawan, kolonel TNI-AD yang lulusan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta dengan spesialisasi radiologi dari Universitas Airlangga Surabaya itu, lantas menunjuk ke layar komputer. "Lihat sebelum dan sesudahnya," ujar Terawan.<br /><br />Sebelum diadakan pencucian, satu cabang saluran darah ke otak kiri tidak tampak di layar. "Mestinya bentuk saluran darah itu seperti lambang Mercy. Tapi, ini tinggal seperti lambang Lexus," katanya.<br /><br />Setiap orang ternyata memiliki lambang Mercy di otaknya. "Nah, setelah yang buntu itu dijebol, lambang Mercy-nya sudah kembali," katanya sambil menunjuk layar sebelahnya. Jelas sekali bedanya.<br /><br />Karena saluran yang buntu itu, beban gorong-gorong di otak kanan terlalu berat. "Lama-lama bisa terjadi pembengkakan dan pecah," katanya. "Lalu terjadilah perdarahan di otak," tambahnya.<br /><br />Alhamdulillah. Puji Tuhan. Saya pun langsung teringat Pak Sumaryanto Widayatin, deputi menteri BUMN bidang infrastruktur dan logistik yang hebat itu. Yang juga ketua alumni ITB itu. Yang idenya banyak itu. Yang terobosan birokrasinya tajam itu. Sudah hampir setahun terbaring tanpa bisa bicara dan hanya sedikit bisa menggerakkan anggota badan.<br /><br />Saluran darah ke otaknya pecah justru di tengah tidurnya menjelang dini hari. Saya sungguh menyesal tidak menyarankannya ke Terawan sebelum itu. Penyesalan panjang yang tidak berguna. Kini, setelah perawatan yang panjang oleh istrinya yang hebat, Pak Sum memang terlihat kian segar dan pikirannya tetap hidup bergairah, tapi masih perlu banyak waktu untuk bisa bicara.<br /><br />Setelah cuci otak ini berhasil membersihkan gorong-gorong yang buntu, saya kembali ke kamar. Kaki tidak boleh bergerak selama tiga jam. Tapi, sore itu saya sudah bisa terbang ke Surabaya. Untuk merayakan Imlek bersama masyarakat Tionghoa dan besoknya mengadakan khataman Alquran bersama para hufadz di rumah saya.<br /><br />Tiap hari Dokter Terawan sibuk dengan antrean yang panjang. Ada yang karena sakit, ada juga yang karena ingin tetap sehat.<br /><br />Bagi yang cito, akan langsung ditangani. Tapi, bagi yang sehat, antrenya sudah mencapai tiga bulan. Sebab, hanya sekitar 15 orang yang bisa ditangani setiap hari. Lebih dari itu, bisa-bisa Terawan sendiri yang akan mengalami perdarahan di otaknya.<br /><br />Belum diterimanya metode itu oleh dunia kedokteran di seluruh dunia membuat gerak Terawan terbatas. Misalnya tidak bisa secara terbuka mengajarkan ilmunya itu ke dokter-dokter lain agar antrean tidak terlalu panjang. Sampai hari ini, baru dialah satu-satunya di dunia yang bisa melakukan cara itu.<br /><br />Kalau profesi dokter tidak segera bisa menerima metode itu, jangan-jangan Persatuan Insinyur Indonesia yang akan segera mengakuinya. Anggap saja Terawan ahli membersihkan gorong-gorong yang buntu. Hanya, gorong-gorong itu letaknya tidak di Bundaran HI. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-77693259529359972902013-02-11T15:30:00.000+07:002013-02-12T15:34:06.088+07:00Meninggalkan Eksotisme, Menuju Kekuatan Tropikal<div style="text-align: justify;">
Senin, 11 Februari 2013 , 01:01:00<br /><b>Meninggalkan Eksotisme, Menuju Kekuatan Tropikal<br />Manufacturing Hope 64</b><br /><br />KETIKA buah impor dari RRT membanjiri pasar Indonesia, apa yang harus kita perbuat? Mencegah saja dengan cara melarang atau mengenakan bea masuk yang tinggi tentu tidak cukup. Apalagi, ada ketentuan internasional yang tidak sembarangan bisa dilanggar.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Mengimbau agar tidak menyajikan buah impor memang baik, tapi juga belum cukup. Bersumpah untuk tidak makan buah impor seperti yang dilakukan dengan gagah berani oleh bupati Kulonprogo yang dokter itu memang heroik, tapi juga masih perlu jutaan hero lainnya.<br /><br />Apa yang bisa dilakukan BUMN? Sebagai korporasi besar, BUMN bisa membantu banyak. Melalui aksi-aksi korporasi yang nyata. Misalnya terjun ke agrobuah secara besar-besaran dengan pendekatan korporasi.<br /><br />Indonesia sebenarnya tidak perlu bersaing frontal dengan Tiongkok. Terutama di bidang buah. Dua negara besar itu bisa ambil posisi saling isi dan saling melengkapi. Tiongkok dengan empat musimnya memiliki kelemahan pokok: tidak mungkin bisa memproduksi buah tropis. Sebaliknya, Indonesia, negara tropis yang terbesar di dunia, bisa menghasilkan buah tropis seberapa banyak pun.<br /><br />Maka, ketika Indonesia menjadi pasar buah impor dari Tiongkok, pada dasarnya yang masuk ke Indonesia adalah sebatas buah nontropis: apel, anggur, jeruk, pir, dan seterusnya. Seharusnya kita juga bisa menjadikan Tiongkok sebagai pasar yang besar untuk buah-buah tropis dari Indonesia: pisang, manggis, durian, avokad, dan seterusnya. Tiongkok tidak mampu menghasilkan jenis buah-buah tersebut.<br /><br />Sayangnya, kita hanya bisa marah melihat kenyataan membanjirnya buah impor. Padahal, sebenarnya kita bisa berbuat banyak tanpa harus marah.<br /><br />Kadang kita sudah sangat bangga dengan menyebutkan bahwa kita memiliki kekayaan buah-buah tropis yang eksotis. Gelar eksotis itu memang memabukkan, tapi juga membelenggu. Dengan gelar eksotis, berarti kita akan mempertahankan jumlahnya yang terbatas. Ibarat menjual daerah wisata, ini adalah wisata penyelaman. Menarik, tapi terbatas. Tidak bisa masal.<br /><br />Maka, memasalkan buah tropis adalah kunci penting untuk bisa membalas menyerbu Tiongkok. Kita tidak bisa menyerbu Tiongkok dengan gelar eksotis itu.<br /><br />Suatu saat saya mengunjungi pasar induk yang raksasa di Guangzhou. Saya masuk ke zona buah-buahan di pasar induk itu. Saya mencari di blok mana ada manggis. Saya mengelilingi berblok-blok pasar induk itu. Saya mengamati ratusan kontainer yang penuh berbagai buah Thailand di situ. Saya tidak menemukan manggis dan buah dari Indonesia lainnya.<br /><br />Setelah berjam-jam di situ, saya baru menemukan manggis yang hampir saja tidak kelihatan karena hanya satu peti kayu kecil. Saya bolak-balik peti itu. Betul. Manggis Indonesia. Saya temukan pengirimnya: Denpasar, Bali.<br /><br />Saya juga sudah mengunjungi pasar induk di Qingdao, Shandong. Juga di Tianjin. Sama. Tidak ada buah tropis dari Indonesia.<br /><br />Pengalaman itu terus terbayang memenuhi pikiran saya. Maka, ketika saya diangkat menjadi menteri BUMN, saya terus memikirkan apa yang bisa diperbuat. Sampai suatu ketika saya mendapat tamu istimewa: Rektor IPB Prof Dr Herry Suhardiyanto MSc dan serombongan doktor dari kampus di Bogor itu.<br /><br />Pak Rektor mengajukan ide buah tropis. Wow! Ini dia! Tumbu ketemu tutup!<br /><br />Langsung saya ceritakan pengalaman saya itu. Hari itu juga keputusan diambil: BUMN bekerja sama dengan IPB mengembangkan buah tropis besar-besaran.<br /><br />Ahli-ahli IPB dan Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB Prof Dr Ir Sobir MSi menyusun konsep ilmiah dan kajian pelaksanaannya. Termasuk memilih buah tropis apa saja yang akan dikembangkan.<br /><br />Saya minta fokus saja pada tiga atau empat jenis buah dulu. Jangan menanam semua jenis sehingga kehilangan fokus.<br /><br />Setelah tiga kali pertemuan, disepakati mengembangkan tiga jenis dulu: manggis, durian, dan pisang. IPB sudah memiliki ahli manggis yang cukup kuat di bawah koordinasi Dr Ir Sobir. Tim Dr Sobir itu sudah menyiapkan jenis-jenis manggis unggulan. Juga durian unggulan.<br /><br />Tahun ini juga pengembangan buah tropis berbasis korporasi itu harus sudah dimulai. Lokasi awalnya di Jawa Barat di bawah PTPN VIII. Saat tim IPB menyiapkan kajian, direksi PTPN VIII di bawah pimpinan Dirut-nya, Ir Dadi Sunardi, menyiapkan lahannya.<br /><br />Penanaman buah tropis itu tidak akan tanggung-tanggung. Tanaman manggisnya akan mencapai 3.000 hektare (ha). Duriannya juga 3.000 ha. Pisangnya kurang lebih sama.<br /><br />Kalau program itu nanti berhasil, inilah perkebunan khas Indonesia, konsep Indonesia, dan untuk kepentingan Indonesia. Semua perkebunan yang ada selama ini adalah konsep Belanda, oleh Belanda, dan untuk Belanda: teh, gula, sawit, karet, tembakau na-oogst. Belanda tidak mewariskan perkebunan buah tropis untuk kita.<br /><br />Kian tahun perkebunan buah tropis tersebut harus kian besar. Juga kian luas jangkauannya. Mulai Medan sampai Papua. Dengan demikian, pasokannya kian panjang.<br /><br />Menurut ahli dari IPB, ketika wilayah Medan memasuki masa panen, kebun di Sumsel baru berbuah dan kebun di Jawa baru berbunga. Medan habis panen, Sulawesi baru kuncup. Begitulah. Berputar hampir sepanjang tahun. Panjangnya wilayah Indonesia bisa membuat masa panennya pun panjang.<br /><br />Teman-teman di PTPN VIII kini lagi kerja keras menyiapkan sebuah perubahan besar. Dari hanya mengelola teh dan karet, kini harus ahli juga menanam manggis, durian, dan pisang.<br /><br />Bagi IPB, ini juga bersejarah! Menemukan model dan jenis perkebunan khas Indonesia demi Indonesia! Karena itu, IPB akan me-launching program itu dalam sebuah acara besar di Bogor.<br /><br />Saatnya negara tropis memiliki kekuatan buah tropikalnya! Lupakan kebanggaan eksotisnya! Nikmati kekuatan serbunya! (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-23980197883644730802013-02-04T07:39:00.000+07:002013-02-04T07:44:25.446+07:00Ada Thabrani di Gracilaria, Ada Hamzah di Cottonii<div style="text-align: justify;">
Senin, 04 Februari 2013 , 01:01:00<br /><b>Ada Thabrani di Gracilaria, Ada Hamzah di Cottonii<br />Manufacturing Hope 63</b><br /><br />BREBES, malam Minggu, pukul 22.00. Para petani rumput laut di Desa Randu Sanga masih bersila di halaman rumah tokoh masyarakat setempat. Laki-laki dan perempuan. Tua dan muda. Resminya, mereka menghadiri acara rutin keagamaan yang disebut Pengajian Padang Bulan. Saya pikir akan ada pemilik merek "Padang Bulan" Emha Ainun Nadjib di situ. Ternyata nama padang bulan sudah begitu generiknya.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Inilah pengajian yang tema pokok bahasannya adalah rumput laut. Bukan ditinjau dari segi agama, tapi bagaimana rumput laut menyejahterakan seluruh masyarakat Desa Randu Sanga yang dulu dikenal sebagai desa nelayan yang miskin.<br /><br />Ada dua jenis rumput laut. Yang di Brebes ini, sebagaimana juga yang ada di daerah-daerah sebelahnya seperti Cirebon dan Indramayu, rumput lautnya disebut gracilaria. Bentuknya lebih kecil seperti rumput jepang dan kegunaan utamanya untuk agar-agar. Pasarnya sangat luas. Berapa pun akan terserap.<br /><br />Dulu para petani tambak di Randu Sanga hanya mengandalkan hidupnya dari memelihara bandeng dan udang. Panennya hanya enam bulan sekali. Kalau penyakit ikan lagi datang, sangat menderita. Tidak bisa panen.<br /><br />Untung, ada orang bernama Thabrani di Randu Sanga. Pendidikannya S-2 dan kini mengejar gelar doktor. Dia mendapat ilmu bahwa tambak tersebut bisa ditumpang sari dengan rumput laut jenis gracilaria. Dia sendiri, dari warisan orang tuanya, memiliki 15 ha tambak.<br /><br />Saat itu Thabrani baru terkena musibah. Udangnya terkena penyakit dan panennya gagal total. Mulailah dia tergerak untuk memikirkan rumput laut. Dia tebar benih rumput laut. Hidup. Berkembang. Seluruh tambaknya penuh dengan rumput laut.<br /><br />Hasilnya di luar dugaannya: Berkat rumput laut itu, bandengnya lebih cepat besar dan tidak terkena penyakit. Demikian juga udangnya. Dalam waktu yang sama bandengnya bisa tumbuh dua kali lipat lebih cepat.<br /><br />Rumput lautnya sendiri bisa dipanen tiap dua bulan. Dijemur. Sampai mencapai tingkat kekeringan 16 persen. Dijual. Banyak pabrik agar-agar yang membelinya.<br /><br />Dengan demikian, Thabrani dapat uang tiap dua bulan. Tidak lagi hanya punya uang tiap enam bulan. Dengan tambak yang sama, hasilnya menjadi berlipat.<br /><br />Dua tahun lamanya Thabrani sendirian. Tidak ada tetangga yang mau mengikuti jejaknya. Padahal, Thabrani sudah berusaha merayu mereka. Kebiasaan turun-temurun memang sulit diubah.<br /><br />Tapi, Thabrani tipe pejuang yang gigih. Dia tidak henti-henti mengajak petani lain mengikuti jejaknya. Bahkan, untuk meyakinkan mereka, Thabrani menjamin akan membeli rumput laut yang mereka hasilkan. Jaminan seperti itu yang kelak, di tahun 2012, membuat dia dikenal sebagai pengepul rumput laut terbesar.<br /><br />Setelah ada jaminan itu, barulah satu per satu tetangganya tertarik. Kini, lima tahun kemudian, seluruh tambak di Randu Sanga sudah menjadi tambak three in one: bandeng, udang, dan rumput laut. "Bahkan, hasil rumput lautnya lebih besar dari hasil bandeng ditambah udang sekalipun," ujar Thabrani.<br /><br />Thabrani melangkah lebih jauh. Tiga tahun lalu dia mendirikan sekolah menengah kejuruan rumput laut. Dia ingin penduduk desanya menanam rumput laut dengan ilmu pengetahuan. Malam Minggu kemarin itu saya diajak Thabrani menghadiri pengajian tersebut.<br /><br />Tapi, sebenarnya sayalah yang harus belajar di situ. Apalagi, Thabrani tidak berkeberatan kalau semangatnya itu ditularkan juga ke petani-petani tambak di seluruh pantai utara Jawa. Di pusat-pusat nelayan yang miskin.<br /><br />Thabrani senang sekali melihat warganya kian sejahtera. Dia pun membuat gerobak pengangkut rumput laut yang bisa dijalankan di sela-sela tambak. Malam itu dia berbagi gerobak ke banyak petambak di situ "gerobak yang dia beri nama DI 99. Bahkan, saking senangnya, malam itu Thabrani dalam fungsinya sebagai pengumpul rumput laut"mengumumkan kepada warganya akan meningkatkan harga rumput laut dari Rp 4.000 per kg menjadi Rp 4.500 per kg.<br /><br />Tentu itulah pengajian yang paling menyenangkan warga Randu Sanga. Ilmu-ilmu rumput laut dibeberkan malam itu. Apalagi, ada bonus kenaikan harga. Untung, ada Ki Dalang Enthus Susmono yang datang bersama saya. Di akhir acara Enthus memberikan tausiah agama. Enthus ternyata sangat piawai, tidak hanya dalam memainkan wayang, tapi juga sebagai pendakwah.<br /><br />Kabar baik rupanya tidak hanya untuk petani rumput laut jenis gracilaria. Petani rumput laut jenis cottonii pun sebaiknya juga membaca kabar ini: Hamzah, anak muda dari Lawang, Jawa Timur, sudah berhasil mendirikan pabrik pengolah rumput laut cottonii menjadi karagenan. Yakni, tepung rumput laut yang kegunaannya bukan untuk agar-agar, tapi untuk kosmetik, bahan odol, kapsul obat, kue, bakso, dan seterusnya.<br /><br />Kue-kue Jepang yang begitu lembut dan tidak bisa mengeras itu menggunakan tepung karagenan. Odol yang menggunakan karagenan tidak akan bisa kering meskipun tutupnya terbuka. Bakso yang menggunakan tepung karagenan memiliki kekenyalan yang sempurna.<br /><br />Selama ini Indonesia hanya bisa mengekspor rumput laut jenis cottonii itu. Lalu, Indonesia mengimpor karagenan besar-besaran. Kenyataan itulah yang menggundahgulanakan pikiran Hamzah.<br /><br />Sebagai sarjana teknik mesin yang tidak henti-henti berpikir, Hamzah bertekad menciptakan mesin yang bisa mengubah rumput laut menjadi karagenan. Pabrik pembuat karagenan itu menggunakan banyak prinsip: kimia, fisika, mekanis, hidraulis, dan elektronik.<br /><br />Setahun yang lalu, ketika saya menemui Hamzah, dia belum yakin apakah penemuannya akan berhasil. Tapi, saya terus mendorongnya untuk tidak menyerah. Dia minta waktu satu tahun untuk membuktikannya. Sebenarnya, seperti biasa, saya tidak sabar. Tapi, saya memaklumi tingkat kesulitannya. Apalagi, itu mesin yang terkait dengan makanan. Harus memenuhi kriteria dan standar yang lebih tinggi. Dan itu mesin pertama yang dilahirkan di Indonesia oleh anak muda Indonesia.<br /><br />Saya terus berkomunikasi dengan Hamzah. Saya terus memonitor perkembangannya. Akhirnya saya dapat kabar baik. Minggu lalu uji coba pabriknya di Pasuruan dan berhasil. Benar-benar bisa menghasilkan karagenan. Dengan mutu yang tidak kalah dengan karagenan impor. Bahkan sedikit lebih baik.<br /><br />Pabriknya memang kecil. Hanya bisa mengolah rumput laut jenis cottonii sebanyak 5 ton sehari. Tapi, 5 ton adalah jumlah yang sudah bisa dipakai untuk menampung hasil rumput laut satu kabupaten. Misalnya Kabupaten Bulukumba di Sulsel.<br /><br />Rumput laut jenis cottonii, sebagaimana rumput laut di Brebes, memang pilihan yang tepat untuk meningkatkan pendapatan para nelayan yang umumnya miskin. Lebih-lebih kalau lagi musim tertentu, ketika mereka tidak bisa melaut. Bank BRI kini telah membina nelayan rumput laut cottonii di Bulukumba, tapi ya baru sebatas untuk dijual ke pedagang.<br /><br />Kini, dengan penemuan teknologi oleh putra bangsa kita yang bernama Hamzah itu, rumput laut kian mendapat muara di hilirnya. Pembinaan untuk nelayan rumput laut kini bisa lebih dimasalkan, termasuk oleh BUMN. Inilah senjata untuk mengentas kemiskinan di wilayah nelayan. Di samping mendapat hasil dari ikan, dalam waktu yang bersamaan nelayan juga mendapat uang dari rumput laut.<br /><br />Sebagaimana yang saya lihat di Bulukumba, para nelayan di sana mulai bersemangat menanam rumput laut cottonii. Memang lebih rumit jika dibandingkan dengan rumput laut jenis gracilaria.<br /><br />Tapi, laut-laut tertentu memang hanya cocok untuk rumput laut tertentu. "Di sini, kalau seorang nelayan bisa menanam rumput laut 2.000 bentangan, sudah cukup untuk hidup dan menyekolahkan anak," ujar seorang nelayan di Bulukumba.<br /><br />Begitu banyak jalan untuk meningkatkan kehidupan. Mulai banyak pilihan yang tersedia di depan kita. Tinggal kapan kita harus terus kerja, kerja, kerja! (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-21159634446615732542013-01-28T14:27:00.003+07:002013-01-28T14:34:47.351+07:00Dari Buli, Ria Berdikari Ingin Angkat Harga Diri<div style="text-align: justify;">
Senin, 28 Januari 2013 , 01:10:00<br /><b>Dari Buli, Ria Berdikari Ingin Angkat Harga Diri<br />Manufacturing Hope 62</b><br /><br />TIBA di lokasi ini saya diberi pilihan: naik jip atau sepeda motor trail. Hati ingin memilih trail, tapi otak mengatakan jangan. Udara lagi sangat panasnya. Matahari sangat teriknya.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Saya pun menunjuk mobil setengah tua yang rodanya cocok untuk off-road itu. "Tapi, harus saya yang nyetir," ujar wanita muda berjilbab putih dan bercelana jins itu. "Di sini tidak ada tebing yang bisa ditabrak," tambahnya.<br /><br />Saya tahu wanita itu lagi menyindir saya yang suka mengemudikan mobil sendiri dan baru saja menabrakkan mobil listrik Tucuxi ke tebing terjal di Magetan.<br /><br />Hari itu, Senin minggu lalu, saya memang ingin mengelilingi ranch besar milik BUMN yang sudah lama telantar. Yakni, lahan peternakan sapi seluas 6.000 ha milik PT Berdikari United Livestock (Buli), anak perusahaan PT Berdikari (Persero). Lokasinya di Desa Bila, tidak jauh dari Danau Tempe di Kabupaten Sidenreng Rappang (lazim disingkat Sidrap), Sulawesi Selatan.<br /><br />Sudah lama ranch tersebut begitu-begitu saja. Nasibnya tidak jauh berbeda dengan ranch yang ada di Sumba, yang luasnya juga sekitar 6.000 ha. PT Berdikari sudah lama tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan saja tidak bisa membantu program pemerintah di bidang peternakan, bahkan justru terlalu bergantung kepada pemerintah. Wajah PT Berdikari adalah wajah yang muram. Karena itu, awal tahun lalu direksinya diganti.<br /><br />Sebagaimana juga di Sumba, sebenarnya ingin sekali saya bermalam di Bila. Tapi, ternyata tidak perlu. PT Buli sudah mulai bergerak dengan konsep yang jelas. Tanda-tanda kehidupan mulai tampak di daerah yang terletak sekitar lima jam naik mobil dari Makassar itu.<br /><br />Wanita berjilbab putih itu dengan tangkas segera naik mobil dan mengendalikan kemudi. Dialah Ir Ria Kusumaningrum, yang tahun lalu diangkat jadi direktur PT Buli. Ria adalah lulusan Fakultas Peternakan IPB tahun 2004.<br /><br />Ria sangat tangkas mengemudi. Saya duduk di sebelahnya. Di kursi belakang duduk Dirut PT Berdikari Librato El Arif, yang hanya bisa tersenyum melihat percakapan tadi. Arif-lah yang mengangkat wanita muda tersebut menjadi direktur PT Buli yang waktu itu dalam keadaan sulit-sulitnya. Arif cukup jeli memilih orang. Dia tidak salah memilih Ria sebagai direktur untuk peternakan besar yang lagi sakit parah itu.<br /><br />Sambil mengemudikan mobil di jalan off-road yang berjungkit-jungkit itu, Ria terus menceritakan apa yang sedang dan masih terus dia lakukan. "Di lahan ini akan kami buat ranch, bisa untuk 50.000 sapi," ujar Ria dengan semangatnya. Ucapan itu kelihatannya mustahil terwujud. Terdengar seperti omong besar. Setahun lalu, ketika saya mulai mengkaji persoalan peternakan ini, tidak pernah ada pemikiran seperti itu.<br /><br />Waktu itu yang sering diteorikan adalah: Lahan 6.000 ha maksimum hanya akan bisa dihuni 6.000 ekor sapi. Angka 50.000 yang disebut Ria jauh dari teori itu.<br /><br />Konsep awal ranch Buli itu memang sama dengan yang ada di Sumba. Sapi dibiarkan hidup liar di padang gembalaan. Murah dan mudah. Tinggal memelihara beberapa kuda dan anjing untuk menggembalakannya.<br /><br />Tapi, kenyataannya sangat berbeda. Baik di Sumba maupun di Sidrap, cara seperti itu tidak bisa berkembang. Ada beberapa persoalan teknis. Misalnya soal bagaimana menjaga kualitas sapi. Untuk sapi yang dibiarkan liar, kualitas keunggulannya merosot. Sebab, terjadi perkawinan inses. Sering terjadi anak laki-laki yang sudah besar mengawini ibunya atau saudara kandungnya. Sulit mengawasinya.<br /><br />Yang seperti itu tidak terjadi di luar negeri. Di sana sapi jantan yang tidak unggul langsung dikebiri. Itulah yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Masih ada pendapat yang mengatakan bahwa pengebirian seperti itu melanggar ajaran agama tertentu.<br /><br />Ria yang setelah lulus menekuni penelitian ternak tropik itu tidak mau meneruskan sistem peternakan liar seperti konsep tersebut. Itu sesuai dengan arahan direksi PT Berdikari dan hasil diskusi dengan para ahli dari Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar yang aktif membantu Ria di Buli.<br /><br />Cara baru itu pun ditunjukkan kepada saya. Setelah mengunjungi instalasi pengolahan kompos dan makanan ternak, saya dibawa ke pinggir sebuah danau kecil yang ada di tengah-tengah ranch. Di situlah ada sebuah kandang yang terbuka. Yakni, hamparan rumput yang dipagari dengan kayu setinggi 1,5 meter yang dirangkai dengan kawat berduri. Luas kandang itu hanya sekitar 3.000 meter persegi. Tidak ada atapnya. Di dalam kandang itu (di Jawa lebih tepat disebut kombong) terdapat 150 sapi yang hidup mengelompok.<br /><br />Uji coba sistem kombong itu sudah berlangsung empat bulan. Sapi tidak dibiarkan liar lagi meski juga tidak dimasukkan ke kandang. Uji coba tersebut sudah bisa disimpulkan: berhasil baik. Karena itu, sistem kombong akan dikembangkan. Ria sudah membangun 15 kombong. Tidak harus di dekat danau karena sarana untuk minum sapi bisa dibangun di tengah kombong.<br /><br />Ke depan, Ria berencana membangun 500 kombong di lahan 6.000 ha itu. Fungsi tiap kombong akan dibedakan. Ada kombong untuk anak-anak sapi dengan umur tertentu. Satu kombong bisa dihuni 200 anak sapi. Lalu, ada kombong untuk sapi yang lebih besar yang sudah siap dihamili. Kombong seperti itu diisi 150 ekor sapi. Ditambah pejantan unggulan. Lalu, ada kombong untuk sapi besar yang hanya berisi 100 ekor.<br /><br />Sapi-sapi yang sudah bunting dimasukkan ke kandang tertutup. Di situ disiapkan sarana untuk melahirkan yang sehat. Juga disiapkan nutrisi yang lebih baik.<br /><br />Ke depan, pagar kombong itu tidak lagi dibuat dari kayu kering. Pagar tersebut akan berupa pagar hidup. Ria sudah membuat pembibitan pohon jabung. Saya pun dibawa ke area pembibitan. Ada 400.000 bibit pohon jabung yang disiapkan. Saya percaya saja pada angka itu. Daripada diminta menghitung sendiri.<br /><br />Bibit-bibit pohon jabung itulah yang akan ditanam rapat membentuk pagar hidup kombong. Pohon tersebut akan berdwifungsi: untuk pelindung sapi dan untuk dijual kayunya setelah berumur lima tahun. Juga ada fungsi menghemat: daripada beli kayu untuk pagar. Pohon jabung adalah pohon yang lekas bongsor yang kini lagi sangat happening di Jawa Barat.<br /><br />Maka, setahun lagi sudah akan kelihatan bentuknya. Lahan 6.000 ha itu akan dibentuk menjadi kombong-kombong sapi. Tiap 10 ha satu kombong. Di setiap lahan 10 ha itu ditanami rumput gajah (2 ha) dan sorgum (3 ha). Di tengah-tengah tanaman rumput dan sorgum itulah kombong untuk kandang sapi. Fungsi rumput tidak lain untuk makanan sapi. Sedang fungsi sorgum untuk makanan manusianya dengan batang dan daun untuk sapinya.<br /><br />Dengan demikian, akan ada blok-blok 10 ha di Buli yang tidak saja memudahkan pengawasannya, tapi juga bisa menampung lebih banyak sapi di dalamnya. Dengan metode itulah ranch di Bila bisa menampung 50.000 sapi.<br /><br />Masyarakat sekitar peternakan akan dilibatkan. Kelompok-kelompok peternakan di sekitarnya akan diberi kesempatan memiliki kombong seperti itu. Sapinya milik masyarakat dengan modal dari PKBL BUMN. Wakil bupati Sidrap yang ikut hadir hari itu akan mengajak warganya untuk ikut cara Buli tersebut. Inilah ranch model Buli, model Berdikari, model Ria. Berbeda dengan Australia atau Jawa.<br /><br />Setahun lagi saya berjanji bertemu Ria di Bila. Dan akan bermalam di situ. Sambil menikmati makanan Sidrap yang enak-enak. Dan mengelilingi kombong-kombong pohon hidup yang sudah jadi.<br /><br />Inilah roh baru PT Berdikari. Saya memang meminta Berdikari fokus menangani peternakan sapi. Tidak usah usaha macam-macam seperti di masa lalu, yang semuanya berantakan. Usaha asuransinya harus dilepas. Demikian juga usaha mebelnya. Fokus: sapi, sapi, dan sapi.<br /><br />Negara lagi memerlukan peran BUMN seperti Berdikari. Indonesia terlalu besar mengimpor sapi. Tidak boleh Berdikari justru jadi benalu negeri. Terbukti, ketika fokus, direksinya bisa menemukan jalan yang begitu hebat dan asli. Yang akan bisa ikut mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri.<br /><br />Terlalu besar kita impor sapi. Menghabiskan devisa dan harga diri. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-54322393319531087662013-01-21T02:59:00.004+07:002013-01-21T03:06:45.084+07:00Taiso dan Amanat Pahlawan Seroja<div style="text-align: justify;">
Senin, 21 Januari 2013 , 01:10:00<br /><b>Taiso dan Amanat Pahlawan Seroja</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Manufacturing Hope 61</b><br /><br />"INI gara-gara BUMN," ujar Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmao. "Gara-gara banyak proyek ditangani BUMN, jarang hujan di sini," tambahnya.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Saya baru tertawa lebar setelah Pak Xanana meneruskan kata-katanya. "Rupanya, mereka pada membawa pawang hujan ke sini. Agar proyeknya cepat selesai," katanya.<br /><br />Setelah saya tertawa panjang, rupanya, beliau masih belum kehabisan stok humor. "Lain kali pawangnya harus lebih pintar ya. Yang dibuat tidak hujan cukup beberapa meter di lokasi proyek saja," katanya.<br /><br />BUMN, rupanya, sangat terkenal di Timor Leste, negeri yang baru berumur 10 tahun sejak lepas dari Indonesia. Kini banyak sekali proyek infrastruktur yang tender internasionalnya dimenangi BUMN seperti PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika dan PT PP (Persero) Tbk.<br /><br />Sore itu, Kamis lalu (17/1), begitu mendarat di Dili dengan pesawat BUMN Merpati Nusantara, dan setelah diterima PM Xanana, saya langsung ke Taman Makam Pahlawan Seroja. Di situ, saya merenungkan jasa dan pengorbanan para pahlawan yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang itu. Di situ, saya meneguhkan tekad bahwa pengorbanan mereka tidak boleh sia-sia.<br /><br />Tujuan mereka dulu adalah untuk membangun jajahan Portugal tersebut agar tidak terus-menerus menderita. Tujuan itu kini bisa diamanatkan untuk diteruskan BUMN: ikut membangun Timor Leste secara ekonomi. Maka, teman-teman BUMN bertekad untuk terus aktif memenangi berbagai macam tender proyek di sana.<br /><br />Tender jembatan besar menuju Bandara Komoro dimenangi Wika. Demikian juga beberapa proyek jalan. Gedung baru kementerian keuangan yang 12 lantai di dalam Kota Dili dimenangi PP. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 250 miliar. PP juga masih mengikuti beberapa tender internasional lainnya.<br /><br />Pukul enam pagi, ketika matahari belum terbit, saya sudah berada di lokasi proyek itu. Teman-teman PP yang masih sangat muda-muda berada di sana mempertaruhkan nama Indonesia. Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan proyek dengan kondisi yang amat berbeda dari di Indonesia. Hukumnya, adatnya, aturannya, kontraknya, dan seterusnya.<br /><br />Tapi, dari diskusi dengan para pimpinan proyek pagi itu, di bawah pimpinan Robin Hasiholan yang lulusan Fakultas Teknik Sipil USU Medan, saya memperoleh kesan bahwa mereka sangat mampu. Robin memang contoh sistem rekrutmen yang tepat di PP. Dia sudah "diijon" oleh PP sejak masih semester tujuh. Diberi beasiswa dan diamati sampai lulus. Setelah itu dimasukkan ke "Universitas PP" enam bulan, lalu diterjunkan ke proyek dengan supervisi seniornya. Kini dia sudah dipercaya menangani proyek penting di Dili.<br /><br />Tentu banyak sekali kendala yang mereka hadapi. Namun, mereka bertekad untuk menguasai keadaan. Penguasaan itu amat penting untuk menentukan langkah di proyek-proyek berikutnya. Kemampuan menguasai keadaan itulah yang menjadi keunggulan teman-teman BUMN, sehingga hampir selalu bisa mengalahkan peserta tender dari Portugal, Spanyol, Inggris, Jepang, dan Korea. "Saingan berat kami bukan mereka. Saingan berat kami sesama BUMN," ujar Robin.<br /><br />Teman-teman Wika juga mengakui itu. "Pesaing terberat kami adalah sesama anak buah Bapak," ujar teman dari Wika.<br /><br />Setelah dari proyek PP, saya beruntung pagi itu bisa ikut senam Taiso bersama teman-teman Wika. Mereka memang mempunyai prosedur tetap, sebelum memulai pekerjaan, harus melakukan Taiso lebih dulu sekitar 10 menit.<br /><br />Saya pun minta agar tidak menularkan kebiasaan nyogok untuk memenangi tender di sana. Di dalam negeri pun, saya sudah menegaskan agar BUMN mengakhiri kebiasaan nyogok pada masa lalu. Tidak mendapatkan proyek dari APBN, ya sudah. Cari peluang lain. Karena itu, banyak BUMN yang kini mengembangkan proyek sendiri sebagai proyek investasi. Atau proyek sesama BUMN.<br /><br />Bahkan, dengan berkembangnya proyek di luar negeri, andalan hanya mengejar proyek APBN bisa dikurangi. BUMN sudah bertekad untuk tidak ikut tender proyek APBN yang nilainya di bawah Rp 25 miliar. Biarlah proyek-proyek tersebut dikerjakan kontraktor swasta yang lebih kecil. Presiden SBY menyambut baik tekad BUMN tersebut sebagai upaya untuk pemerataan, sebagaimana dikemukakan beliau dalam forum HIPMI di Bali beberapa waktu lalu.<br /><br />"Di sini sama sekali tidak ada keperluan untuk nyogok, Pak," ujar Robin Hasiholan. "Juga, tidak ada pungutan apa pun di luar kontrak," tambahnya. Itu, kata dia, karena semua tender proyek besar di Timor Leste menggunakan standar tender internasional.<br /><br />Wika pun, yang kini amat bangga karena menjadi BUMN karya yang terbesar (tiga BUMN karya dijadikan satu pun belum bisa mengalahkan Wika), kian menonjol kemampuannya. Teman-teman yang mengerjakan proyek di Timor Leste tersebut, misalnya, banyak yang alumnus proyek Aljazair. Wika memang baru saja selesai mengerjakan proyek jalan tol sepanjang 400 km di Aljazair. Statusnya memang masih subkontraktor, tapi namanya sudah terkenal di sana.<br /><br />Investasi reputasi itu membuahkan hasil. Wika tahun ini mulai menjadi kontraktor utama di sana dengan proyek hampir Rp 1 triliun. Yakni, proyek apartemen di Kota Constantinople, kota kedua terbesar di Aljazair.<br /><br />Wika juga sangat serius masuk ke proyek-proyek minyak dan gas yang sampai saat ini masih dikuasai kontraktor asing. Tahun lalu mulai dipercaya beberapa perusahaan minyak asing di Indonesia untuk menjadi kontraktor EPC mereka.<br /><br />Tentu saja saya ke Dili tidak hanya untuk itu. Yang utama adalah untuk menghadiri mulai beroperasinya layanan telepon seluler dari BUMN di sana. PT Telkom (Persero) Tbk melalui anak perusahaannya, PT Telkom Internasional (Telin), juga memenangi tender internasional untuk menangani telekomunikasi nirkabel di Timor Leste. Selama ini, layanan telepon seluler di Timor Leste ditangani perusahaan dari Portugal dan Australia.<br /><br />Mulai minggu lalu, Telkom datang! Telkom membawa nama Telkomcel (menggunakan C) untuk membedakan dari Telkomsel yang ada di Indonesia. Nama pimpinan Telkomcel di sana pun diganti oleh teman-temannya menjadi Dedi Cuherman.<br /><br />Sambutan untuk Telkomcel memang mendadak dahsyat. Hari pertama saja langsung terdaftar 23.000 pelanggan. Kehadiran Telkomcel di Timor Leste memang sudah lama dinanti. Di antaranya karena tarif telepon seluler di sana selama ini kelewat mahal untuk masyarakat setempat, apalagi kalau dibanding tarif di Indonesia.<br /><br />Bagi Telkomcel, hari pertama 23.000 pelanggan itu sangat istimewa. Sebab, dengan tarif yang lebih mahal dari di Indonesia (meski sudah jauh lebih murah dari operator lain di Timor Leste), jumlah pelanggan tersebut sama nilainya dengan memiliki 75.000 pelanggan di Indonesia.<br /><br />Direksi PT Telkom, di bawah pimpinan Dirut Arief Yahya, memang menunjukkan kemajuan yang besar. Laba Telkom Group naik lebih dari satu triliun rupiah pada 2012. Menjadi lebih dari Rp 12 triliun. Padahal, perusahaan telekomunikasi sedang berada dalam persaingan yang amat ketat. Terutama dalam banting-membanting tarif.<br /><br />PT Telkom sendiri, yang tahun-tahun lalu rugi (bisa untung karena didongkrak anak perusahaannya, Telkomsel), tahun lalu sudah tidak rugi. Anak perusahaan kini tidak lagi selalu mengejek induknya. Dan harga saham Telkom terus melejit.<br /><br />Tentu, saya juga mengunjungi teman-teman Merpati dan Bank Mandiri di Dili. Merpati amat populer di sana. Apalagi Bank Mandiri. Bukan main ramainya kantor Bank Mandiri di Dili. Nasabah yang antre sangat banyak. Padahal sudah sore hari.<br /><br />Kalau pagi, kata nasabah di situ, ramainya tidak keru-keruan. Gedung tiga lantai itu sangat sesak. Untung orang di sana terlalu mencintai Bank Mandiri, sehingga masih sabar menghadapi layanan seperti itu. Tentu perubahan harus segera dilakukan.<br /><br />Bank Mandiri memang menjadi bank yang terbesar di Timor Leste. Memang ada dua lagi bank asing, tapi jauh tertinggal dari Bank Mandiri. Kalau dalam skala 1 sampai 10, Bank Mandiri di skala 10, sedangkan bank dari Australia di skala 6 dan bank dari Portugal di skala 5.<br /><br />Tapi, Bank Mandiri tidak boleh lengah dan merasa besar sendiri. Bank-bank asing tersebut mulai membuka kantor di distrik-distrik di luar Dili. Sedangkan Bank Mandiri tetap saja baru punya kantor di Dili.<br /><br />Kini Bank Mandiri sudah punya teman Telkomcel. Keperluan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk membuka jaringan kantor di luar Dili akan lebih mudah. Karena itu, malam itu, dalam acara peresmian Telkomcel yang dihadiri Perdana Menteri Xanana dan sejumlah menterinya, Bank Mandiri langsung mengikat kesepakatan untuk bekerja sama di sana.<br /><br />Sebagai bank yang posisinya sudah sangat besar dan begitu dicintai masyarakat di sana, tidak sulit bagi Bank Mandiri untuk membuat posisinya tetap sulit dikejar.<br /><br />Itu artinya, amanat para pahlawan di TMP Seroja Dili akan bisa ditunaikan dengan baik oleh BUMN. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN<br /></div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-55560632939204907832013-01-14T01:18:00.002+07:002013-01-14T01:26:13.552+07:00Mulai Pencurian Teknologi sampai Cara Mengemudi<div style="text-align: justify;">
Senin, 14 Januari 2013 , 01:01:00<br />
<b>Mulai Pencurian Teknologi sampai Cara Mengemudi<br />Manufacturing Hope 60</b><br />
<br />
INI mirip dengan istilah "sengsara membawa nikmat". Kecelakaan ini, meski menimbulkan keributan yang bising, benar-benar memberikan pelajaran yang berharga.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Selama ini, secara ilmiah, memang terjadi perbedaan pandangan di antara lima putra petir yang menciptakan kendaraan/mobil listrik yang saya koordinasikan. Perbedaan pandangan seperti itu juga terjadi di luar negeri yang lagi sama-sama dikembangkan di seluruh dunia.<br />
<br />
Ada yang berpandangan mobil listrik tidak perlu menggunakan gearbox. Untuk itu, power dari motor listrik langsung menggerakkan gardan/roda.<br />
<br />
Tapi, ahli kita seperti Ir Dasep Ahmadi MSc (alumnus ITB) berpendapat mobil listrik harus menggunakan gearbox. Ricky Elson, putra Padang yang melahirkan 14 paten motor listrik di Jepang, termasuk golongan ini. Demikian juga Ravi Desai (alumnus Gujarat). Mereka setuju tidak harus pakai gearbox, tapi harus hanya untuk mobil dalam kota (city car).<br />
<br />
Kecelakaan mobil Tucuxi (baca: tukusi, nama sejenis lumba-lumba) yang saya kemudikan di dataran tinggi Tawangmangu, Sarangan Sabtu pekan lalu memberikan pelajaran yang sangat penting mengenai pilihan-pilihan tersebut.<br />
<br />
Saya memang tidak ingin menyatukan pendapat mereka. Ilmuwan perlu diberi kebebasan untuk mewujudkan ambisi keilmuannya. Apalagi, saya menangkap sinyal bahwa para ahli kita itu memang ingin membuktikan kehebatan masing-masing. Saya sangat menghargai itu. Saya memilih bersikap memberikan otonomi yang luas kepada mereka.<br />
<br />
Karena itu, ketika Kang Dasep menciptakan mobil AhmaDI dengan menggunakan gearbox, saya dukung penuh. Dana talangan langsung saya kirim. Ketika mobil hijau itu jadi kenyataan, saya langsung mencobanya.<br />
<br />
Sebenarnya, pada awalnya saya dan Kang Dasep menanggung malu: Begitu tiba di Jalan Thamrin, Jakarta (dari Depok), mobil AhmaDI "mogok". Media meliputnya dengan besar-besaran. Saya malu sekali. Tapi, saya minta Kang Dasep tidak menyerah. Setelah dianalisis, ternyata mobil itu tidak rusak, melainkan low batt. Indikator baterainya kurang sempurna sehingga "menipu".<br />
<br />
Minggu berikutnya kami berdua masih menanggung malu: Mobil listrik itu tidak kuat menaiki tanjakan. Padahal tidak terjal. Padahal perjalanan uji coba itu juga diliput langsung oleh media secara luas.<br />
<br />
Sekali lagi saya minta Kang Dasep untuk tidak patah semangat.<br />
<br />
Sebetulnya masih banyak "malu" yang lain. Tapi, biarlah itu hanya kami berdua yang merasakan.<br />
<br />
Tiga bulan kemudian, ketika mobil AhmaDI kian sempurna, rasa malu itu berubah menjadi bangga. Putra bangsa kita bisa menciptakan mobil listrik. Saya pun mencobanya secara sungguh-sungguh. Saya mengemudikan mobil tersebut hampir setiap hari hingga mencapai 1.000 km.<br />
<br />
Kang Dasep sendiri, di luar 1.000 km yang saya lakukan, mencobanya dari Bandung ke Jakarta melalui Puncak. Tidak ada masalah sama sekali. Tanjakan yang terjal dan turunan yang curam dilewati dengan mudah. Kang Dasep dengan ketekunan dan kecerdasannya boleh dikata berhasil gemilang.<br />
<br />
Setelah itu saya minta Kang Dasep membuat mobil listrik jenis yang lebih besar. Sebesar Alphard. Tiga bulan lagi insya Allah sudah bisa dilihat. Saya sudah setuju untuk membiayainya. Bahkan, saya juga sudah minta Kang Dasep untuk membuat bus listrik.<br />
<br />
Seminggu setelah mobil AhmaDI selesai dicoba sampai 1.000 km, mobil Tucuxi bikinan Mas Danet Suryatama (alumnus USA) selesai dibuat. Saya pun bertekad mencobanya dengan sungguh-sungguh sampai 1.000 km.<br />
<br />
Begitu tiba di Jakarta 19 Desember lalu, mobil Tucuxi (semula saya usul namanya Gundala, tapi Mas Danet memutuskan nama ini) saya coba dari Pancoran ke Bandara Soekarno-Hatta. Mas Danet mendampingi saya. Sepanjang perjalanan sekitar 30 km itu saya merasakan apa saja yang menjadi kelebihannya dan apa saja kekurangannya. Mobil tiba di Cengkareng dengan kebanggaan penuh: Mas Danet hebat! Hari pertama ini tidak membawa malu.<br />
<br />
Kalau toh ada kekurangannya, hanya kami berdua yang tahu. Saya langsung menyampaikan kekurangan-kekurangan itu ke Mas Danet. Saya minta diperbaiki. Dua hari kemudian Tucuxi saya coba lagi di sekitar Stadion Utama Senayan. Dua jam lamanya. Tucuxi mengelilingi stadion berkali-kali. Beberapa wartawan secara bergantian ikut mencoba duduk di sebelah saya.<br />
<br />
Semua yang menyaksikan terlihat bangga. Putra Indonesia ternyata hebat-hebat.<br />
<br />
Beberapa kekurangan memang masih terasa. Tapi tidak mungkin diperbaiki di Jakarta. Maka, saya minta Tucuxi dibawa kembali ke Jogja. Mas Danet lantas menuduh saya melakukan pencurian teknologi. Saya tidak begitu jelas teknologi apa yang saya curi dan untuk apa.<br />
<br />
Syukurlah, dalam keterangan pers terbarunya akhir pekan kemarin Mas Danet tidak lagi menyebut-nyebut soal pencurian teknologi. Yang dipersoalkan tinggal kesalahan cara saya mengemudi dan (menurut perasaannya) saya akan menyingkirkannya.<br />
<br />
Setelah diperbaiki, mobil dicoba di sekitar Jogja. Tidak ada masalah. Termasuk sampai Kaliurang. Tapi, suasana sudah kurang nyaman akibat isu pencurian teknologi yang sudah meluas.<br />
<br />
Saya sendiri saat itu lagi keliling hutan jati milik BUMN di Randublatung, Blora, dan Purwodadi. Saya sedang mendesain pola kemitraan antara Perum Perhutani dan masyarakat miskin sekitar hutan. Saya bermalam di Semarang. Karena mau pulang ke Magetan, saya harus lewat Solo. Karena itu, saya minta Tucuxi disiapkan di Solo untuk saya coba lewat medan yang berat.<br />
<br />
Itu penting karena uji coba selama ini baru dilakukan di jalan yang datar. Sebagai mobil yang dibuat dengan biaya hampir Rp 3 miliar, mobil tersebut harus dicoba di daerah yang sulit. Terutama melewati jalan yang menanjak. Pikiran saya selalu: Bisakah mengatasi tanjakan? Apalagi sampai 1.300 meter seperti di Sarangan. Ricky Elson menemani saya.<br />
<br />
Ternyata hebat sekali. Sepanjang jalan, saya terus memuji Mas Danet. Luar biasa. Tarikannya, power-nya, dan kemampuan menanjaknya hebat sekali. Demikian juga kemampuan baterainya.<br />
<br />
Baru ketika jalan mulai menurun dengan sangat tajamnya, dengan belokan-belokan yang berliku, saya mulai waswas. Saya harus menginjak rem sekuat tenaga.<br />
<br />
Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi berbeda dengan AhmaDI. Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi ciptaan Mas Danet itu tidak menggunakan gearbox. Untuk menahan laju Tucuxi, sepenuhnya hanya menggantungkan pada kekuatan rem. Tidak ada bantuan pengendalian dari gearbox!<br />
<br />
Tentu saya mencoba untuk sesekali mengendurkan rem agar tidak overheated. Ini juga disinggung dalam keterangan pers terbaru Mas Danet. Tapi, setiap kali rem saya longgarkan, mobil langsung melaju. Padahal, jalan berkelok-kelok dengan jurang dalam di sisinya. Tentu saya tidak berani tidak menginjak rem kuat-kuat. Mungkin, seperti disebut Mas Danet, saya memang salah dalam cara mengemudi seperti itu.<br />
<br />
Tapi, mengingat jurang-jurang yang dalam di kawasan itu, saya terus menginjak rem dengan kekuatan kaki sekuat-kuatnya. Untung, otot kaki saya lumayan kuat karena setiap hari senam satu jam di Monas. Tapi, bau menyengat akibat rem yang bekerja keras tak tertahankan. Saya memutuskan untuk berhenti. Sekalian mendinginkan rem. Penurunan tajam masih akan panjang dan berliku. Totalnya 15 km. Masih akan sampai di Ngerong.<br />
<br />
Waktu berhenti ini, semua orang yang mengerumuni Tucuxi membicarakan bau yang menyengat itu. Lantas berfoto-foto di ketinggian lereng Gunung Lawu yang indah. Kabut tebal yang menyelimuti jalan dan dataran tinggi itu menambah keindahan pemandangan.<br />
<br />
Seandainya waktu istirahat ini dibuat lama, sampai rem dingin, mungkin kecelakaan itu tidak terjadi. Tapi, saya terikat janji dengan Dr Fachri Aly yang akan ke kampung saya sore itu. Dan malamnya kami masih akan salawatan Maulid Nabi dengan Habib Syekh dari Solo di kampung saya itu.<br />
<br />
Kami pun segera berangkat lagi. Tucuxi kembali harus menuruni jalan yang curam dan berliku. Kami belum menyadari bahwa tanpa bantuan gearbox, rem akan bekerja sendirian terlalu keras. Kekuatan kaki saya sepenuhnya untuk menginjak rem sedalam-dalamnya. Bau menyengat kembali menusuk-nusuk hidung.<br />
<br />
Ketika akhirnya berhasil mencapai Ngerong, saya pun lega. Tidak ada lagi penurunan yang curam dan berkelok. Jalan memang masih akan terus menurun, tapi sudah tidak ekstrem.<br />
<br />
Justru di saat hati sudah lega itulah saya merasakan rem Tucuxi tidak lengket lagi. Mobil melaju di jalan yang menurun tanpa bisa dihambat oleh rem. Saya coba angkat rem tangan. Sama saja. Mobil kian kencang. Tidak terkendali. Saya sadar sepenuhnya. Maka, saya harus ambil keputusan cepat. Terlambat sedikit akan banyak memakan korban.<br />
<br />
Saya segera memutuskan ini: Lebih baik saya sendiri yang menjadi korban. Saya lihat ada tebing terjal di kanan jalan. Mumpung tidak ada mobil dari arah berlawanan, saya banting setir mobil itu untuk menabrak tebing tersebut.<br />
<br />
Braaak! Mobil hancur. Tidak ada lagi atap di atas kepala saya. Tapi, saya tidak terpelanting. Saya tetap terduduk di belakang setir. Saya raba kepala saya: Tidak ada darah. Saya raba muka saya: Tidak ada luka. Saya gerakkan kaki-kaki saya: normal. Tidak ada yang terjepit.<br />
<br />
Setelah mengucap syukur kepada Allah, saya kembali memuji Mas Danet. Konstruksi mobil ini tidak membuat saya mati terjepit atau menderita luka. Bahkan, tergores sedikit pun tidak. Padahal, seperti kata polisi, kaca-kaca mobil ini bukan kaca fiber yang kalau pecah berubah menjadi kristal. Kaca-kaca ini jenis kaca yang pecahnya membentuk segi tiga-segi tiga kecil. Allahu Akbar!<br />
<br />
Saya pun memperoleh pelajaran luar biasa hebat: pentingnya fungsi gearbox. Karena itu, ke depan, masyarakat harus bisa memilih: beli mobil listrik yang pakai gearbox atau yang tidak pakai gearbox.<br />
<br />
Mungkin saya akan menghadapi masalah hukum akibat pelanggaran saya ini. Itu akan saya jalani dengan seikhlas-ikhlasnya. Tapi, pelajaran teknologi itu akan menyelamatkan banyak orang di masa depan. Saya akan jalani konsekuensi itu, tapi ilmu pengetahuan harus tetap berkembang. Tidak boleh terhenti karena kecelakaan itu.<br />
<br />
Mobil listrik harus jaya!<br />
<br />
Baik Kang Dasep yang menggunakan gearbox maupun Mas Danet yang tidak menggunakan gearbox sama-sama hebatnya. Sama-sama sudah membuktikan diri menjadi putra bangsa yang membanggakan. Tucuxi akan dikenang sepanjang sejarah mobil listrik di Indonesia.<br />
<br />
Mas Danet akan terus saya dorong untuk proyek berikutnya. Tentu kalau dia terbuka untuk mendiskusikan teknologinya.<br />
<br />
Yang penting putra-putra bangsa harus menguasai teknologi mobil listrik. Saya terbuka untuk putra-putra petir yang lain. Mari berlomba untuk kebaikan negeri. Mumpung negara-negara maju juga baru mulai melakukannya.<br />
<br />
Kesalahan masa lalu tidak boleh terulang. Kalau mobil listrik tidak kita siapkan sekarang, kita akan menyesal untuk kedua kalinya. Kelak, kalau dunia sudah berganti ke mobil listrik, jangan sampai kita kembali hanya jadi pasar mobil impor seperti sekarang ini!<br />
<br />
Mobil listrik made in Indonesia harus berjaya! Sekaranglah saatnya Indonesia punya kesempatan bisa bersaing dengan negara maju! (*)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Dahlan Iskan<br />
Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-59845906495650902962013-01-07T19:47:00.000+07:002013-02-25T14:58:42.846+07:00Lompatan dari Kegalauan Keri<div style="text-align: justify;">
Senin, 07 Januari 2013 , 01:10:00<br />
<b>Lompatan dari Kegalauan Keri<br />Manufacturing Hope 59</b><br />
<br />
LUPAKAN dulu soal kecelakaan di lereng Gunung Lawu Sabtu sore lalu. Meski mobil Tucuxi yang saya kemudikan hancur, saya baik-baik saja. Lecet sedikit pun tidak. Ketika bangun pagi Minggu kemarin memang badan terasa njarem dan ubun-ubun kemeng. Tapi, rasanya itu hanya karena dampak benturan yang hebat.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Minggu pagi itu saya sudah bisa ke Nganjuk, Jawa Timur, untuk bertemu masyarakat di hutan jati milik Perum Perhutani. Saya memang lagi belajar apa yang bisa saya lakukan untuk pengentasan kemiskinan di sekitar hutan. Sebelum kecelakaan itu saya keliling hutan di Randublatung, Blora, dan Purwodadi, Jawa Tengah, untuk mendalami persoalan masyarakat sekitar hutan.<br />
<br />
Lupakan dulu kecelakaan itu. Memang begitu banyak pelajaran yang saya peroleh dari keputusan saya menabrakkan mobil listrik itu ke tebing, tapi sebaiknya kita bahas lain kali saja. Lebih baik kali ini kita bicarakan apa yang akan hebat tahun ini.<br />
<br />
Akan ada kejutan dari Universitas Padjadjaran, Bandung, khususnya dari fakultas farmasi. Di universitas itu baru saja ditemukan dua macam obat yang sangat penting bagi dunia: obat kolesterol dan diabetes!<br />
<br />
Tim Unpad yang menemukan obat kolesterol dan diabetes pertama berbasis non-chemical itu dipimpin seorang ahli yang mumpuni, peneliti yang tangguh, doktor yang cumlaude, wanita yang sangat cantik bernama: Keri Lestari Dandan.<br />
<br />
Tim Unpad sudah sepakat untuk bersama BUMN mewujudkan penemuan itu untuk Indonesia dan dunia. Berita penemuan penting ini sudah menyebar luas ke kalangan farmasi dunia. Sejak itu Doktor Keri diincar banyak negara. Yang paling serius adalah Korea Selatan. Maklum, obat yang ditemukan Dr Keri bukan saja termasuk yang paling banyak diperlukan masyarakat, tapi juga yang pertama yang tidak menggunakan bahan kimia.<br />
<br />
Mereka berebut mendapatkan hak paten dari Dr Keri. Memang sudah banyak beredar obat untuk dua jenis penyakit itu, namun semuanya berbasis kimia. Padahal, dunia kian menghindari yang serbakimia. Mulai obat kimia, makanan yang mengandung kimia, sampai kosmetik yang berkimia.<br />
<br />
Obat temuan Dr Keri ini berbasis alami. Bahan bakunya buah pala. Hebatnya, Dr Keri tidak hanya bisa mengubah pala menjadi obat-obatan herbal, tapi sudah langsung memprosesnya sebagai obat fitofarmaka: obat tradisional dari bahan alam yang dapat disetarakan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Pemberiannya kepada pasien harus melalui resep dokter.<br />
<br />
Biasanya bahan-bahan alami diolah sebatas untuk jamu atau herbal dan paling tinggi herbal terstandar. Tapi, Dr Keri menemukannya untuk obat fitofarmaka.<br />
<br />
Mengingat uji klinis sudah dilakukan, disepakatilah 17 Agustus tahun ini sudah harus diproduksi. BUMN sudah menugasi PT Kimia Farma (Persero) Tbk untuk memproduksi dan memasarkannya. Direktur Utama Kimia Farma yang baru, Rusdi Rosman, yang juga lulusan Fakultas Farmasi Unpad, sudah menyanggupinya.<br />
<br />
"Akan kami produksi di pabrik kami yang di Bandung," ujar Rusdi. "Agar lebih dekat dengan Unpad," tambahnya.<br />
<br />
Tentu saya sangat bangga pada kerja sama BUMN dengan Unpad ini. Begitu gigihnya pihak luar negeri ingin mendapatkan penemuan ini. Tapi, Unpad dan Dr Keri tetap mempertahankannya untuk Merah Putih.<br />
<br />
Kimia Farma kini memang sudah lebih kuat. Harus mampu mewujudkannya. Labanya pada 2012 sudah meningkat menjadi lebih dari Rp 200 miliar. "Memang, kalau temuan ini kami lepas, banyak yang memperebutkannya," komentar Rusdi Rosman.<br />
<br />
Obat antikolesterol adalah obat kedua yang paling banyak dibutuhkan masyarakat. Mencapai 15 persen. Sedangkan obat diabetes berada di urutan ketiga yang mencapai 12 persen. Urutan pertama adalah obat kanker, 18 persen.<br />
<br />
Mengingat pasar obat-obatan di Indonesia sangat besar (mencapai Rp 50 triliun tahun ini), tentu kita tidak rela kalau pasar tersebut tersedot ke luar negeri. Pabrik-pabrik obat di dalam negeri, termasuk pabrik obat tradisional, harus berjuang mati-matian untuk merebutnya. Temuan Dr Keri adalah salah satu senjata penting untuk pertempuran itu.<br />
<br />
Setelah sukses memproduksi temuan Dr Keri dalam bentuk fitofarmaka, Kimia Farma juga akan memproduksinya dalam bentuk herbal terstandar. Tapi, demi Indonesia, saya minta Kimia Farma memprioritaskan yang fitofarmaka dulu.<br />
<br />
Kerja sama BUMN-Unpad tersebut bermula pada pertengahan tahun lalu. Waktu itu saya diminta memberikan keynote speech di acara besar di Fakultas Farmasi. Hari itu saya tidak mau memberikan pidato. Dari atas podium saya langsung saja menantang para farmasis yang hadir di aula besar itu: apa yang diinginkan dari saya.<br />
<br />
Ternyata banyak yang angkat tangan. Dalam hati saya berpikir: lebih penting para farmasis itu bicara daripada saya yang pidato. Belum tentu saya bisa pidato bagus mengenai obat-obatan. Saya tidak tahu banyak bidang itu. Dan lagi, di zaman Twitter ini, siapa yang masih mau mendengarkan pidato?<br />
<br />
Ternyata betul. Semua yang angkat tangan itu mengemukakan masalah yang penting di dunia pengobatan. Terutama menghadapi akan berlakunya BPJS: dokter galau, farmasis galau, rumah sakit galau, dan pedagang obat juga galau.<br />
<br />
Termasuk para peneliti di universitas pun galau. Temuan-temuan mereka kurang mendapat perhatian.<br />
<br />
Saat itu juga, I Gede Subawa, Dirut PT Askes (Persero) yang juga hadir, saya minta maju. Saya minta untuk dibentuk tim kecil antara BUMN bidang kesehatan dan ahli-ahli farmasi dari Unpad. Saya beri batas waktu dua minggu untuk merumuskan: apa yang bisa dilakukan bersama.<br />
<br />
Kurang dari dua minggu Dr Keri dan tim dari Unpad ternyata sudah datang ke ruang kerja saya membawa konsep lengkap tentang apa yang harus dikerjakan. Saya juga menghadirkan para Dirut BUMN bidang kesehatan.<br />
<br />
Ada Dirut Kimia Farma Rusdi Rosman, Dirut PT Indofarma (Persero) Tbk Djakfaruddin Junus, Dirut PT Bio Farma (Persero) Iskandar, Dirut PT Phapros Tbk, anak perusahaan PT RNI (Persero), Erlangga Tri Putranto, dan Dirut Askes I Gede Subawa.<br />
<br />
Mendengar paparan Dr Keri yang begitu hebat, saya langsung berunding dengan tim BUMN kesehatan tersebut. Saat itu juga kami putuskan penemuan Dr Keri tidak boleh lari ke luar negeri!<br />
<br />
BUMN kesehatan mampu mewujudkan jerih payah tim Unpad ini menjadi kenyataan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Apalagi, uji klinik fase pertama sudah berhasil dilakukan. Uji klinik terakhir sudah hampir selesai, yang nadanya juga sangat positif.<br />
<br />
Kami bertekad tidak perlu lagi impor obat kolesterol dan diabetes yang begitu besar. Bahkan, kita harus ekspor. Maka kami putuskan, Agustus tahun ini jadi tonggaknya!<br />
<br />
Dahlan Iskan<br />
Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-35565476790976047322012-12-31T09:30:00.000+07:002013-01-02T09:35:01.482+07:00Tahun 2013 yang Juga Tahun Permen<div style="text-align: justify;">
Senin, 31 Desember 2012 , 01:01:00<br /><b>Tahun 2013 yang Juga Tahun Permen</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Manufacturing Hope 58</b><br /><br />TAHUN 2013 bagi BUMN tetap saja tahun plus-minus. Harga sawit, karet, dan hasil tambang belum akan membaik. Perusahaan-perusahaan BUMN di sektor-sektor komoditas primer itu masih akan berat. Padahal, sektor tersebut sangat besar di BUMN. Tapi, begitulah komoditas: punya siklus naik-turunnya sendiri. Tapi, dibilang terlalu berat juga tidak. Hanya, tidak lagi bisa diandalkan untuk memupuk pundi-pundi dividen.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Yang masih akan terus hebat adalah sektor perbankan, industri semen, dan telekomunikasi. Program Bank Mandiri untuk menyatu dengan Taspen dan Pos Indonesia akan menandai perkembangan bank itu di tahun 2013. Bahkan kalau ada langkah lebih radikal dari itu pun akan didukung. Demikian juga Bank Rakyat Indonesia. Beberapa aksi korporasi besarnya akan dilakukan pada 2013. Dua bank tersebut memiliki dukungan teknologi yang sangat kuat.<br /><br />Sektor telekomunikasi juga terus didorong untuk melakukan ekspansi, termasuk ke luar negeri. PT Telkom Indonesia dengan anak bongsornya, PT Telkomsel, kini memiliki kemampuan yang luar biasa untuk bisa diandalkan. Demikian juga industri semen. PT Semen Indonesia sudah resmi berdiri minggu lalu. Dengan demikian, PT Semen Gresik, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, dan PT Thang Long Vietnam kini menjadi anak perusahaan PT Semen Indonesia.<br /><br />Di sektor layanan publik, tahun 2013 juga memiliki arti khusus. PT Pupuk Indonesia yang merupakan induk PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik melakukan perubahan besar di bidang sistem pendistribusian pupuk. PT Pupuk Indonesia melakukan rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk.<br /><br />Tiap-tiap anak perusahaan mempunyai wilayah tanggung jawab sendiri-sendiri. Tidak seperti dulu, pupuk dari satu pabrik bisa ke daerah mana pun. Akhirnya terjadi saling serang, saling tumpang tindih, dan salah-menyalahkan. Dulu, bisa saja di suatu daerah pupuk berasal dari berbagai pabrik. Padahal, semua pabrik itu BUMN. Namun, dengan kendali holding sekarang ini, pembagian wilayah bisa dilakukan.<br /><br />Di libur Natal pekan lalu saya melakukan pengecekan ke kios-kios pupuk di daerah Sleman. Saya sengaja berkunjung diam-diam, tidak memberi tahu lebih dulu dan tidak didampingi staf. Saya ingin mengecek langsung apakah rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk tersebut bisa berjalan baik. Mumpung hari-hari ini adalah hari-hari petani sangat memerlukan pupuk.<br /><br />Hasil rayonisasi itu sangat baik. Tidak ada lagi penimbunan pupuk di satu daerah dan kekurangan pupuk di daerah lain. "Sekarang tidak ada lagi pupuk selundupan," ujar pemilik kios pupuk di desa Krapyak, Sleman. Dia sendiri tidak berani menyelundupkan pupuknya ke desa lain. "Takut izin saya dicabut oleh Pupuk Indonesia," katanya.<br /><br />Saya sangat menghargai ide rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk tersebut. Dengan rayonisasi itu, bisa diketahui dengan jelas siapa yang bersalah. Misalnya bila terjadi kelangkaan pupuk di suatu daerah. Para tengkulak yang selama ini mendapat keuntungan dari penimbunan pupuk memang akan kehilangan objekan.<br /><br />PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) pada 2013 juga masih akan jadi sorotan. Bahkan, sorotan itu mungkin akan lebih keras. Sebab, di tahun 2013 PT KAI mulai melakukan pembenahan KRL di Jabodetabek. Di KRL itu, setiap perubahan akan menimbulkan kebisingan yang luar biasa.<br /><br />Saya sangat terkesan dengan strategi pembenahan PT KAI itu. Dua tahun terakhir ini fokus pembenahan KAI diperuntukkan kereta api rute jauh. Bukan KRL. Memang KRL dibenahi juga, tapi tidak sehabis-habisan pembenahan kereta api jarak jauh. Mengapa" Begitulah memang strateginya. Bagi yang ingin belajar mengenai strategi manajemen baik juga diceritakan di sini.<br /><br />Bagi manajemen yang biasa-biasa saja tentu akan langsung membenahi KRL dulu. Dengan membenahi KRL, direksinya akan cepat mendapat pujian dan terhindar dari segala caci maki. Tapi, direksi PT KAI tidak tergoda dan tidak tergiur oleh pikiran jangka pendek seperti itu. Direksi PT KAI memilih membenahi dulu rute jarak jauh. Memang caci maki terus bertubi-tubi dari pengguna jasa KRL, tapi direksi PT KAI teguh pendirian untuk tetap pada strateginya.<br /><br />Alasannya sangat baik: Rute jarak jauh adalah sektor yang bisa dipakai untuk memupuk modal. Hasil rute itu bisa memperkuat keuangan perusahaan. Itu terbukti. Meski jumlah penumpang turun (karena tidak boleh lagi ada yang berdiri), penghasilan perusahaan naik. Dengan demikian, pelayanan juga bisa lebih baik: Semua penumpang mendapat tempat duduk.<br /><br />Dengan modal itu, PT KAI kini lebih memiliki kekuatan untuk melakukan pembenahan KRL. Kereta api jarak jauh sudah tidak terlalu membebani pikiran direksinya. Tahun 2013 konsentrasi direksi bisa lebih fokus ke KRL.<br /><br />Kalau yang dibenahi dulu adalah KRL, direksi akan memikul dua beban sekaligus. Pembenahan KRL tidak bisa memperkuat keuangan perusahaan. Akhirnya KRL sendiri tetap sulit dan rute jarak jauh juga tidak tertangani. Ini karena KRL, ditangani sebaik apa pun, tidak akan bisa menghasilkan modal yang besar bagi pembenahan seluruh rute kereta api Indonesia.<br /><br />Maka, tahun 2013 adalah tahun bagi KRL: Stasiun-stasiun dibenahi, emplasemen ditambah, sinyal diperbaiki, kereta ditambah.<br /><br />BUMN pangan juga harus bekerja keras di tahun 2013. PT Sang Hyang Seri (SHS) baru memulai proyek pencetakan sawah baru besar-besaran di Ketapang, Kalbar. PT Pertani akan berubah total dengan mulai berkonsentrasi pada pascapanen. Gudang-gudang Pertani akan dilengkapi dengan mesin pengering gabah secara besar-besaran. Dengan demikian, kehadiran PT Pertani benar-benar dirasakan oleh petani dan memiliki arti yang strategis.<br /><br />PT Berdikari pada 2013 juga memulai kerja sesungguhnya untuk mengatasi kekurangan sapi di dalam negeri, baik sapi potong maupun sapi anakan. Dan PTPN XII akan habis-habisan memulai sejarah baru bagi Indonesia: menanam sorgum dalam jumlah yang belum pernah terjadi dalam sejarah kita.<br /><br />Sorgum itu akan ditangani dengan pendekatan sains modern bersama PT Batantekno. Mulai bibitnya sampai soal pascapanennya. Kini sedang dirancang penanaman sorgum di Atambua, NTT, yang mengandalkan sains itu. Termasuk akan diproduksi "permen sorgum" untuk makanan ternak. "Permen" tersebut akan sangat mudah dikirim ke mana-mana untuk mempercepat penggemukan sapi.<br /><br />Begitulah. Tahun 2013 adalah tahun kerja yang akan sangat menantang! Karena itu, seorang direksi BUMN mengusulkan agar angka 13 tidak perlu dipakai. Kita sebut saja tahun depan adalah tahun 2012-B! (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-48685173436504143162012-12-24T17:34:00.000+07:002012-12-26T17:40:14.133+07:00Kemauan 24 Karat Bersawah Baru di Ketapang<div style="text-align: justify;">
Senin, 24 Desember 2012 , 01:01:00<br /><b>Kemauan 24 Karat Bersawah Baru di Ketapang<br />Manufacturing Hope 57</b><br /><br />TELUR besar ini akhirnya menetas juga. Rencana BUMN membuka sawah baru secara besar-besaran akhirnya terwujud. Rencana itu memang sempat tertunda enam bulan, tapi itu semata-mata karena harus pindah lokasi. Terutama karena pengadaan lahan di Kalimantan Timur tidak bisa secepat yang diprogramkan.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya, lokasi yang tepat ditemukan: di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Luasnya bisa sampai 80.000 ha yang kelak bisa bulat menjadi 100.000 ha.<br /><br />Senin, 17 Desember, penanaman pertama padi di lokasi itu dimulai. Inilah pembukaan sawah baru secara besar-besaran yang pertama di Indonesia dan dilakukan dengan sistem mekanisasi penuh. Mulai pengolahan tanah, penanaman, sampai ke panennya nanti.<br /><br />Saya sempat termangu sebelum menerjunkan kaki telanjang ke sawah yang siap ditanami itu. Waktu remaja, saya memang pernah menjadi buruh ndaut dan menanam padi. Tapi, tidak begini. Waktu itu, saya harus menanam padi dengan menggunakan tangan yang dicelupkan ke tanah lumpur sambil berjalan mundur dengan badan membungkuk.<br /><br />Tapi, Senin lalu sudah begitu berbeda. Menanam padi dengan mesin! Baru sekali ini saya melihat dan memegang mesin penanam padi yang disebut rice transplanter itu.<br /><br />Ternyata mudah sekali dan sangat cepat. Tidak perlu belajar lama. Hanya dengan penjelasan beberapa kalimat, saya bisa langsung menjalankan mesin itu.<br /><br />Penanaman tahap pertama ini akan mencapai 3.000 ha. Di 2013 yang segera tiba akan diteruskan menjadi 40.000 ha. Akhirnya, di 2014 bisa mencapai 100.000 ha. Untuk itu, BUMN akan mengusahakan dana sampai Rp 5 triliun.<br /><br />Penanggung jawab proyek itu adalah salah satu BUMN pangan, PT Sang Hyang Seri (SHS). Dirutnya, Kaharuddin, sudah bertekad SHS yang selama ini hanya menangani benih harus menjadi BUMN pangan yang besar. Selama ini, PT SHS dan juga BUMN pangan lainnya seperti PT Pertani terlalu kecil untuk bisa diandalkan sebagai BUMN pangan bagi sebuah negara agraris yang sangat besar seperti Indonesia.<br /><br />Dengan menggarap sawah baru ini, PT SHS mengalami transformasi besar-besaran. Kini SHS tidak hanya memikirkan benih, tapi sekaligus menanamnya. Tentu SHS tidak akan mampu menyiapkannya sendirian. Sebanyak "12 samurai" yang tergabung dalam Sinergi BUMN Peduli ikut mendorongnya dari belakang.<br /><br />Ada yang membantu teknologi (seperti PT Batantekno dan PT Pupuk Indonesia), ada juga yang ambil bagian untuk land clearing dan penyiapan lahan (PT Hutama Karya, PT Brantas Abipraya), konsultan perencanaan dan pengawasan (PT Indra Karya dan PT Yodya Karya). Selama ini, BUMN karya itu dikenal ahli dalam merencanakan dan membuat infrastruktur jalan dan pengairan.<br /><br />PT Brantas Abipraya sudah berpengalaman membuka sawah baru meski kecil-kecilan. "Kelas 1.000 hektaran," ujar Bambang Esti Marsono, Dirut Brantas. Bahkan, "Indra Karya pernah membuat perencanaan sawah 16.000 ha di luar negeri. Yakni, di Papua Nugini," kata Agus Widodo, Dirut Indra Karya.<br /><br />Selebihnya, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI, PGN, Pertamina, PT Indonesia Port Corporation (IPC), dan beberapa BUMN lain mendukung dari sisi pendanaan. Kekuatan para raksasa BUMN itulah yang akan diandalkan. Tak ayal, di sawah baru ini alat-alat berat seperti traktor, ekskavator, mesin-mesin bajak, dan mesin tanam terlihat di mana-mana. Tidak terlihat sama sekali, misalnya, kerbau atau sapi.<br /><br />Sistem pembibitannya pun tidak lagi di tanah sawah. Bibitnya dibenihkan di baki-baki siap saji. Ketika berumur 15 hari, bibit itu sudah bisa dilepas dari bakinya untuk dimasukkan ke mesin tanam. Dalam waktu singkat, bibit sudah tertanam sekaligus empat-empat dalam barisan yang rapi.<br /><br />Untuk sementara, proyek ini kami sebut "nonkapitalis farming". Artinya, BUMN tidak membeli tanah itu dari rakyat. Tidak seperti kebun sawit. Tanahnya tetap dimiliki rakyat. BUMN hanya menjadi pekerja dan pemegang manajemennya. Yang akan menikmati hasilnya adalah para petani pemilik lahan.<br /><br />Tanah-tanah di Ketapang itu selama ini praktis menganggur. Petani hanya menanam semampunya. Akibatnya, tanah-tanah di situ tidak produktif. Para petani pun tetap saja menjadi petani miskin. Itulah sebabnya, proyek ini juga dimaksudkan untuk sekalian membantu mengatasi kemiskinan di pedesaan.<br /><br />Kebetulan Bupati Ketapang Drs Hendrikus MSi punya kebijakan bagus, yang seirama dengan sistem nonkapitalis farming-nya BUMN ini. "Kami tidak akan mau lagi memberikan izin untuk kebun sawit," ujar Boyman Harus SH, wakil bupati Ketapang yang ikut hadir dalam acara tanam pertama sawah baru itu. "Kebun sawit hanya menyengsarakan rakyat kami," tambahnya. "Program BUMN ini pas banget dengan kebijakan kami," tambah Boyman.<br /><br />Tiga bulan mendatang, saat panen pertama di sawah baru ini, kita akan tahu hasil yang sebenarnya. Semula hasil sawah baru ini diasumsikan tidak besar. Hanya sekitar 3 ton/ha. Begitulah doktrinnya. Sawah baru tidak bisa langsung produktif. Baru pada tahun-tahun berikutnya hasilnya bisa meningkat.<br /><br />Namun, kami tidak menyerah pada teori lama seperti itu. Sains kami libatkan di proyek ini. Misalnya, diawali dengan menggunakan produk baru pupuk Indonesia, Kapurtan, untuk mengendalikan pH. Bahkan, PT Batantekno (Persero) dilibatkan untuk melakukan iradiasi nuklir pada benihnya. Kami berharap hasilnya kelak bisa langsung di sekitar 6 ton/ ha.<br /><br />Setelah itu, terus dinaikkan ke angka 8 ton/ha. Toh, ini bukan lahan sawah pasang surut yang pengerjaannya lebih sulit.<br /><br />Usai acara penanam pertama itu, di ruang tunggu Bandara Ketapang, kami melakukan rapat terbatas dengan para direksi BUMN yang terlibat di proyek ini. Ada Tri Widjajanto (Dirut HK), ada R.J. Lino (Dirut IPC), ada Bambang Esti Marsono (Dirut Brantas), Eddy Budiono (Dirut Pertani), Kaharuddin (Dirut SHS), dan beberapa yang lain.<br /><br />Kami membulatkan tekad baru ini: langkah telah diayunkan, kaki telah dipijakkan, mimpi telah dikonkretkan, cita-cita besar mulai direalisasikan; ujungnya hanya satu: harus berhasil! (*)<br /><br /> Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN<br /></div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-50570585760855217262012-12-17T14:05:00.000+07:002012-12-17T14:09:21.668+07:00Semua Luh dan Las Sudah Berganti Tus<div style="text-align: justify;">
Senin, 17 Desember 2012 , 01:01:00<br /><b>Semua Luh dan Las Sudah Berganti Tus<br />Manufacturing Hope 56</b><br /><br />MINGGU pagi pukul lima kemarin. Hotel Borobudur Jakarta masih sunyi. Tapi, di dalam ballroom hotel itu hampir 1.000 orang menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan gegap gempita. Mereka adalah karyawan terbaik seluruh pabrik gula milik BUMN yang baru saja menyelesaikan musim giling 2012.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Mereka adalah para pekerja keras yang telah mengubah wajah seluruh pabrik gula hanya dalam waktu kurang dari setahun. Mereka adalah para "kopassus" yang untuk rapat kerja yang dimulai pukul 05.00 pun dalam posisi "siaaaap"!<br /><br />Mereka berkumpul lagi kali ini untuk membahas hasil kerja keras mereka setahun terakhir. Juga untuk merumuskan perbaikan apa lagi yang harus dilakukan pada 2013 yang segera tiba.<br /><br />Krebet Baru (Malang) dan Ngadirejo (Kediri) adalah dua pabrik gula dengan capaian terbaik tahun ini. Krebet Baru untuk kali pertama bisa mengalahkan pabrik gula swasta di sebelahnya. Ngadirejo yang dulu hampir dilepas ke swasta, hanya kalah tipis dari Krebet Baru. Bahkan, bisa jadi Ngadirejo lebih unggul kalau saja mulai gilingnya sedikit mundur, menunggu umur tebu sedikit lebih tua.<br /><br />PTPN X, di bawah Dirut Subiyono, mendominasi prestasi tahun ini. Sembilan PG di bawah Subiyono semuanya masuk prestasi papan atas. Tapi, lonjakan terbesar sebenarnya diperoleh PTPN XI. Semula, 16 PG di bawah PTPN XI jelek semua dan banyak sekali yang rugi.<br /><br />Bahkan, tiga di antaranya menjadi pasien UKP4 pimpinan Kuntoro Mangkusubroto itu. Tahun ini delapan pabrik di lingkungan PTPN XI sudah masuk prestasi papan atas."UKP4 langsung mencabut status pasien di tiga pabrik gula tersebut.<br /><br />"Intinya, semua harus disiplin," ujar Andi Punoko, Dirut PTPN XI, menjawab pertanyaan mengapa PTPN XI bisa bangkit serentak seperti itu. "Disiplin tanam, disiplin bibit, disiplin pupuk, disiplin tebang, disiplin angkut, disiplin pemeliharaan, dan disiplin pengoperasian pabrik," katanya.<br /><br />Di samping pembenahan internal, dilakukan terobosan eksternal. Tahun ini seluruh pabrik gula memberikan jaminan rendemen minimal kepada petani tebu. Manajemen juga membuka diri setelanjang mungkin kepada petani. Bahkan, semua pabrik gula melepaskan begitu saja kepada petani gula yang menjadi hak petani.<br /><br />Dengan demikian, tahun ini petani tebu mendapatkan hasil yang sangat baik. Di PTPN XI saja ada uang Rp 150 miliar yang dulu jatuh ke pihak ketiga, sekarang jatuh langsung ke petani tebu. Belum lagi rendemen yang naik dan harga gula yang bagus.<br /><br />Karena itu, saya tegaskan tahun depan tidak boleh lagi pabrik gula meminjam dana dari pihak ketiga dengan cara seperti mengijonkan gulanya. Bank-bank BUMN sanggup menyediakan dana talangan itu.<br /><br />Dengan modal kepercayaan petani tebu yang sudah pulih seperti itu, tahun depan bisa diharapkan keadaannya akan lebih baik lagi. Pabrik gula bisa mengenakan disiplin yang lebih ketat kepada petani, antara lain, demi petani itu sendiri. Misalnya, bagaimana petani hanya boleh mengirim tebu ke pabrik dalam kondisi MBS (manis, bersih, segar).<br /><br />Artinya, petani tidak boleh mengirim tebu muda yang kadar manisnya belum cukup. Tebu yang dikirim juga harus bersih, tidak banyak campuran daun kering atau tanah. Tebunya harus masih segar, begitu ditebang harus langsung dikirim ke pabrik.<br /><br />Prinsip MBS itu diterapkan tanpa tebang pilih. "Tahun ini kami menolak 100 truk tebu yang dikirim ke pabrik dalam keadaan tidak MBS," ujar Administrator PG Ngadirejo. "Termasuk tebu milik bekas pejabat pabrik gula sendiri," tambahnya. "Tidak ada lagi KKN," katanya.<br /><br />Maka, seperti halnya PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) yang dari rugi menjadi untung lebih Rp 300 miliar, PTPN XI pun yang tahun lalu rugi Rp 150 miliar tahun ini laba di atas Rp 100 miliar. Bahkan, sektor gula PTPN IX yang tahun lalu rugi hampir Rp 200 miliar tahun ini sudah laba Rp 15 miliar.<br /><br />Sedangkan PTPN X tetap menjadi raja laba dengan total sampai Rp 500 miliar. "Pokoknya, kalau tahun lalu hanya luh atau las, kini sudah serba tus," ujar Zamkhani, deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Industri Primer. Maksudnya, dulu-dulu labanya puluhan atau belasan, kini serba ratusan miliar.<br /><br />Begitu banyak pelajaran yang diperoleh dari terobosan-terobosan tahun ini. Dalam forum besar pukul lima pagi kemarin itu juga diadakan dialog tukar pengetahuan bidang tanaman, teknik, dan pengolahan. Para kepala bagian saling sharing keunggulan pabrik masing-masing.<br /><br />Tahun depan giliran kondisi fisik pabrik yang harus berubah. Taman-taman, lantai-lantai, tembok-tembok, atap-atap, mesin-mesin, semuanya harus indah, rapi, dan bersih. Pabrik-pabrik itu harus bisa sebersih mal.<br /><br />Lima bulan lagi saya akan kembali keliling seluruh pabrik gula BUMN. Benarkah saya sudah bisa melihat "mal-mal" di tengah kebun tebu itu!<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-48172786978407883472012-12-10T18:40:00.002+07:002012-12-10T18:52:27.347+07:00Di Jatitujuh RNI Terbang Tinggi<div style="text-align: justify;">
Senin, 10 Desember 2012 , 01:19:00<br /><b>Di Jatitujuh RNI Terbang Tinggi<br />Manufacturing Hope 55</b><br /><br />HARI Sabtu yang panas di Jatitujuh, Majalengka. Para penari yang cantik mengabaikan matahari yang sedang terik-teriknya. Seribu pekerja dari 11 pabrik gula di lingkungan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) sedang berkumpul di situ. Mereka mengadakan syukuran. Musim giling 2012 sudah selesai. Hasilnya: top markotop.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Mereka bertepuk tangan tidak habis-habisnya ketika diumumkan bahwa seluruh karyawan akan mendapatkan jasa produksi sampai enam kali gaji. Ini tahun pertama karyawan menikmati bonus sebesar itu setelah lebih enam tahun tidak pernah lagi merasakannya.<br /><br />Pabrik gula di lingkungan PT PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Grup memang sudah lama merugi dan merugi. Berbagai jalan keluar sudah diusahakan, tapi gagal dan gagal. Kambing hitam pun dicari. Tidak jauh-jauh mencarinya. Kambing hitam itu ada di dalam pabrik. Mesin-mesin pabrik gula yang sudah tua dijadikan tertuduh tunggal.<br /><br />Kata mereka: Kalau tidak ada penggantian mesin, kalau tidak dibangun pabrik baru, kalau tidak dilakukan revitalisasi, mustahil pabrik-pabrik gula itu bisa keluar dari kesulitan. Kepada saya pun dikemukakan hal-hal seperti itu. Bahkan, ketika saya dikerubungi karyawan dan para petani tebu di Cirebon sembilan bulan lalu, saya seperti setengah dipaksa untuk merevitalisasi pabrik gula di sana. Saya bergeming. Saya tidak mau melakukannya.<br /><br />Saya melihat bukan di situ persoalannya. Melakukan revitalisasi memang penting, tapi tidak sekarang. Revitalisasi memerlukan dana yang amat besar: satu pabrik bisa Rp 2 triliun. Waktunya pun bisa dua tahun. Kalau revitalisasi yang dipilih, perbaikan produksi gula baru bisa dilakukan tiga tahun lagi. Itu pun kalau uangnya ada.<br /><br />Padahal, kita perlu meningkatkan produksi gula sekarang juga. Kita perlu memperbaiki nasib karyawan sekarang juga. Kita perlu memperbaiki nasib petani tebu sekarang juga. Revitalisasi pabrik gula memang ideal, tapi bisa-bisa hanya indah untuk dibicarakan, namun sulit dilaksanakan.<br /><br />Memperbaiki manajemen jauh lebih cepat. Maka, perombakan manajemen di PT RNI dilakukan secara drastis. Rasanya di PT RNI-lah perombakan manajemen paling drastis dilakukan setahun lalu. Lebih drastis dibanding di BUMN mana pun. Ismed Hasan Putro, komisaris di RNI, diangkat jadi direktur utama.<br /><br />Semula memang agak heboh-heboh. Serangan paling keras adalah Ismed dinilai sebagai teman baiknya Menteri BUMN.<br /><br />Ketika nama Ismed diusulkan untuk menjadi Dirut RNI, saya sendiri sebenarnya agak ragu: bisakah Ismed menjadi Dirut yang baik? Jangan-jangan dia hanya pandai demo. Saya tahu dia tukang demo atau tukang memprakarsai demo. Jangan-jangan Ismed hanya pandai berteriak-teriak di jalan. Jangan-jangan dia hanya pandai mengkritik. Jangan-jangan dia hanya antikorupsi ketika melakukan demo, tapi ikut korupsi ketika memegang kekuasaan.<br /><br />Saya memang kenal dia. Apalagi, kalau akhir Ramadan. Hampir setiap tahun (ketika belum jadi orang pemerintah) saya selalu menghabiskan sembilan hari terakhir bulan puasa di Makkah bersama dia.<br /><br />Saya ragu apakah badannya yang kecil bisa memikul tugas yang besar. Apalagi, budaya perusahaan di RNI sudah begitu buruknya.<br /><br />Maka, saya timbang-timbang baik-buruknya. Lalu saya setujui: Ismed, si tukang demo yang pemberani itu, jadi direktur utama PT RNI. Toh, selama itu dia sudah menjadi komisaris RNI. Dia sudah tahu banyak penyakit yang ada di dalamnya. Dia sudah lama geregetan dengan kondisi RNI selama dia menjadi komisaris di situ. Dia memiliki dendam yang membara untuk memperbaikinya.<br /><br />Selama dia menjalankan tugas sebagai direktur utama, saya pun selalu waswas. Kalau dia sampai gagal, saya pun akan terseret. Karena itu, saya ikuti dari jauh gerak-geriknya. Saya sedikit lega ketika dia mengambil sikap egaliter: tidak mau tidur di hotel selama mengunjungi pabrik-pabrik gula dan anak-anak perusahaan RNI. Dia hampir selalu tidur di mes perusahaan di lingkungan pabrik. Dia juga tidak minta mobil baru sebagai mobil dinasnya.<br /><br />Dia pun seperti kipas angin: muter terus tidak henti-hentinya. Dari satu pabrik ke pabrik lain. Dari satu siang ke malam yang lain. Tidak sempat lagi melakukan demo atau mengorganisasikan demo.<br /><br />Saya amati dia juga keras melakukan pembersihan. Praktik-praktik kotor di pabrik gula dan di ladang tebu dia berantas. Orang-orang yang mau bekerja keras dan tidak korup dia naikkan pangkat dan jabatannya. Hasilnya nyata: produksi meningkat, efisiensi naik, dan laba pun melonjak. Kalau tahun lalu perusahaan ini rugi di atas Rp 100 miliar, dalam sekejap bisa laba lebih dari Rp 300 miliar.<br /><br />Yang dia lakukan adalah kerja, kerja, kerja. Tidak ada revitalisasi. Tidak ada pembelian mesin baru. Tidak ada peralatan baru. Yang dia lakukan adalah pembenahan manusianya. Manusia tetap sentral dari segala persoalan. Manusia tetaplah sentral dari segala perbaikan.<br /><br />Tanpa perbaikan manajemen dan tanpa perbaikan manusia, mesin hanyalah binatang yang tidak bernyawa. Seandainya dilakukan revitalisasi mesin pun, belum tentu ada gunanya. Tanpa dilakukan perbaikan manusianya, mesin baru pun akan tiba-tiba menjadi tidak berguna. Sebuah investasi yang sia-sia.<br /><br />"Kasus" Ismed ini mengingatkan saya pada peristiwa 30 tahun lalu. Waktu itu saya sudah menjadi CEO Jawa Pos Group. Suatu malam, seorang bapak datang menemui saya. Dia adalah guru nahwu-sorof (tata bahasa Arab) saya waktu di madrasah aliyah di Takeran, Magetan. Sang bapak dengan penuh ketakutan curhat mengenai anak laki-lakinya yang hari itu diwisuda sebagai sarjana elektro Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.<br /><br />Mestinya dia bahagia karena anaknya lulus cum laude dari fakultas teknik yang begitu sulit. Tapi, sang bapak menderita batin. "Besok, kalau anak saya pulang, saya pasti ditangkap Koramil," katanya.<br /><br />Dia tidak ingin anaknya pulang. Sang anak adalah seorang ekstremis gerakan bawah tanah di kalangan mahasiswa UGM. Dia juga aktivis di masjid kampus. Namanya Misbahul Huda.<br /><br />Kebetulan saya memerlukan seorang sarjana elektro, untuk menangani mesin-mesin baru yang mahal. "Besok anak Bapak bawa kemari saja. Biar mengekstremi mesin," kata saya sambil bercanda.<br /><br />Sekian tahun kemudian, ekstremis tersebut menjadi manajer yang andal. Prestasinya terus meroket. Jabatannya pun terus menanjak. Sekarang dia menjadi direktur utama berbagai perusahaan di grup itu.<br /><br />Tentu banyak juga aktivis yang lupa diri: dulunya anti kemapanan, tapi menjadi sangat mapan ketika menduduki jabatan. Dulunya antikorupsi, tapi ikut-ikutan korupsi. Dulunya antibirokrasi, ternyata jadi birokrat yang ampun-ampun birokratiknya. Tidak ayal kalau belakangan sering muncul ejekan, "seseorang itu antikorupsi atau tidak bergantung apakah dia sudah mendapat kesempatan atau belum".<br /><br />Ismed baru setahun menduduki jabatan Dirut RNI. Dia belum teruji untuk jangka panjang. Kemarin-kemarin dia masuk ke RNI dalam keadaan perusahaan tidak punya uang. Kini dia berada di puncak jabatan sebuah grup perusahaan yang mulai punya kekayaan. Ujian yang sebenarnya berada di depannya.<br /><br />Maka, ketika juri Anugerah BUMN 2012 menominasikannya sebagai salah satu CEO terbaik, saya katakan jangan sekarang, tunggu tahun depan.<br /><br />Apa langkah RNI ke depan?<br />Tentu perbaikan pabrik gula masih jauh dari sempurna. Para kepala bagian umum yang Sabtu lalu naik panggung di Jatitujuh bertekad tahun depan ini adalah lahan jihadnya. Prestasi pabrik-pabrik gula itu memang sudah baik, tapi lingkungan kerjanya masih buruk: tanaman dan taman-tamannya tidak tertata, lantai pabriknya kotor dan tidak rata, mesin-mesinnya masih belum mengilap, dan di sana-sini berserakan onderdil-onderdil tua yang tidak tertata.<br /><br />Saya juga memuji rencana restrukturisasi Grup RNI. Anak-anak perusahaan yang tidak relevan lagi sebaiknya dibubarkan atau dilepas. Regrouping bidang usaha juga merupakan ide yang baik.<br /><br />Ismed juga bertekad membantu meningkatkan produksi daging sapi nasional dengan cara yang realistis. Kalau di Sumatera dilakukan program sapi-sawit, di RNI dilakukan program sapi-tebu. Sabtu lalu saya juga meninjau sebagian percobaan sapinya yang 3.000 ekor di seluruh RNI.<br /><br />PG Jatitujuh sendiri tahun lalu masih berstatus "dhuafa". Tahun ini sudah terangkat dari status fakir-miskin itu. Tetangga dekatnya, PG Tersana Baru, tahun lalu bukan hanya masih dhuafa, tapi juga masih berstatus pasien UKP4 pimpinan Kuntoro Mangkusubroto itu. Baru-baru ini UKP4 sudah mencabut surat pengawasannya. PG Candi Baru di Sidoarjo menyatakan dirinya sebagai pabrik yang produksinya terbaik sejak zaman kemerdekaan.<br /><br />Yang juga melegakan, cap buruk bahwa PG BUMN selalu kalah dari swasta, sekarang harus dihapus. PG Krebet Baru, Malang, kini menghasilkan rendemen 9,2. Inilah rendemen tertinggi di seluruh Jawa. Terbukti PG Krebet Baru tidak hanya bisa menjadi juara di lingkungan pabrik gula BUMN yang berjumlah 52 itu, tapi juga sudah bisa mengalahkan pabrik gula swasta di sebelahnya.<br /><br />RNI kelihatannya akan terus berkibar tinggi! (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-9743783616136006542012-12-03T09:31:00.001+07:002012-12-03T09:37:56.768+07:00Setelah Persoalan Makanan yang Mahal Dipecahkan<div style="text-align: justify;">
Senin, 03 Desember 2012 , 01:01:00<br /><b>Setelah Persoalan Makanan yang Mahal Dipecahkan<br />Manufacturing Hope 54</b><br /><br />Dicari : 100.000 ekor anak sapi<br />Waktu : Tahun 2013<br />Pembeli : BUMN<br />Tujuan : Dipelihara sebagai sapi potong untuk membantu mengatasi kekurangan daging lokal<br /><br />ITU bukan iklan biasa. Itu iklan yang sangat mendesak. Mencari 20.000 ekor anak sapi saja ternyata bukan main sulitnya. Apalagi 100.000 atau bahkan 200.000.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Maka, setelah teman-teman BUMN menekuni persapian selama enam bulan, rupanya diperlukan sebuah pertolongan. Teman-teman BUMN yang keahliannya berkebun sawit, tidak menemukan akal untuk mengatasi kekurangan bibit sapi.<br /><br />Jelaslah bahwa mahalnya makanan ternak, yang dulu dianggap sebagai persoalan besar, ternyata bukan satu-satunya persoalan di bidang peternakan sapi. Soal itu sudah ditemukan jalan keluarnya: daun dan pelepah sawit ternyata bisa untuk bahan pokok makanan sapi yang murah. Daun dan pelepah sawit dihancurkan untuk dibentuk mirip rumput.<br /><br />Tidak ada masalah teknis di sini. Tinggal diperlukan beberapa tambahan untuk kelengkapan nutrisinya.<br /><br />BUMN memiliki sekitar 800.000 ha kebun kelapa sawit. Bermiliar pohon sawit menghasilkan daun dan pelepah yang luar biasa banyak. Begitu banyak daun sawit yang selama ini dibuang begitu saja di kebun.<br /><br />Berdasar logika itulah, saya memutuskan untuk menugasi perusahaan perkebunan sawit milik BUMN untuk memelihara sapi. Ini agar bisa membantu kecukupan daging di dalam negeri. Selama ini kita masih harus impor daging dalam jumlah yang sangat besar.<br /><br />Tahun lalu kita impor daging setara dengan kira-kira 300.000 ekor sapi. Tahun ini kita masih harus impor daging kurang lebih sebesar itu lagi. Pada awalnya kami membuat target yang agak ambisius: memelihara 100.000 ekor sapi di seluruh perkebunan kelapa sawit BUMN.<br /><br />Jumlah itu, meski terlihat ambisius, masih terlalu kecil untuk bisa menutupi kekurangan daging dalam negeri. Karena itu, kalau saja target 100.000 ekor berhasil, jumlahnya akan terus ditingkatkan.<br /><br />Ternyata tidak mudah mendapatkan bibit sampai 100.000 ekor. Semula ada asumsi bahwa kita kekurangan daging karena peternak kurang bersemangat memelihara sapi. Penyebabnya: makanan ternak terlalu mahal sehingga hasil penjualan sapi habis untuk membeli makanan ternak.<br /><br />Kini BUMN memiliki sumber makanan ternak yang sangat murah dan melimpah. Ternyata itu belum juga menjadi solusi yang jitu.<br /><br />Sulitnya mencari anakan sapi yang bisa digemukkan di ladang-ladang sawit telah terbukti menggagalkan target tersebut. Daerah yang biasa menjadi sumber anak sapi yang besar (Lampung, Jateng, Jatim/Madura, Sulsel, Bali) menjadi sasaran pencarian. Tapi, jumlah yang bisa dibeli sangat terbatas. Sampai akhir tahun ini diperkirakan hanya akan ada 20.000 ekor.<br /><br />Mungkin dari NTB/NTT bisa diperoleh tambahan anak sapi. Tapi, ongkos angkut ke Sumatera sangat mahal. Jumlahnya pun tidak akan bisa mencapai 100.000 ekor, apalagi 300.000. Betul-betul perlu bantuan ide yang realistis dari siapa pun untuk memecahkan persoalan ini.<br /><br />Sumber makanan ternak yang murah dan melimpah ada di Sumatera (barat). Sedangkan sumber bibit sapi ada di NTB/NTT (timur). Jarak barat-timurnya begitu jauh.<br />Memang ada ide yang kelihatannya masuk akal: makanan ternaknya yang dikirim ke timur.<br /><br />Di kebun-kebun sawit di Sumatera bisa dibangun pabrik makanan ternak yang bahan bakunya dari daun sawit dan bungkil kelapa. Lalu bahan itu diangkut ke timur. Mengangkut makanan ternak lebih mudah dan lebih murah daripada mengangkut sapi hidup.<br /><br />Tapi, ide yang kelihatannya hebat ini tidak bisa dilaksanakan. Daun sawit yang selama ini dibuang itu pada dasarnya menjadi pupuk bagi sawit itu sendiri. Kalau daunnya diangkut keluar dari kebun, hilanglah salah satu sumber pupuk alami kebun tersebut.<br /><br />Ini berbeda kalau daun sawit tersebut dimakan sapi di lokasi yang sama. Sapi akan mengeluarkan kotoran. Kotoran sapi itulah yang dijadikan pupuk untuk menggantikan daun sawit yang hilang. Meski kehilangan daunnya, kebun sawit mendapat ganti dari kotoran sapi.<br /><br />Bagaimana memecahkan ini? BUMN tetap ingin berbuat untuk ikut memecahkan persoalan kekurangan daging ini. Tapi, diperlukan ide-ide yang realistis dan bisa dilaksanakan dengan segera.<br /><br />Salah satu ide baru yang ditemukan adalah ini: harus ada program khusus membuat anak sapi sebanyak-banyaknya di Sumatera. Dengan demikian, pengangkutan anak sapi ke kebun-kebun sawit tidak terlalu jauh.<br /><br />Tapi, harus ada pendataan ini: ada berapakah sapi betina yang siap bunting di seluruh Sumatera? Misalnya, ada 300.000 sapi betina usia bunting di seluruh Sumatera, BUMN bisa membantu para pemilik sapi untuk melaksanakan kawin masal melalui "kawin suntik" (inseminasi buatan).<br /><br />Kementerian Pertanian sudah memiliki lembaga yang memproduksi sperma sapi dari benih unggul. Lembaga itu memiliki reputasi sangat baik. Bahkan, sudah dipercaya Jepang, Malaysia, dan beberapa negara tetangga. Mereka sering membeli sperma sapi buatan Malang itu karena harganya yang sangat murah dan mutunya yang baik.<br /><br />Tingkat keberhasilan sperma sapi buatan negara maju memang lebih tinggi (96 persen). Tapi, karena harganya yang 30 kali lipat lebih mahal daripada sperma bikinan Malang, jatuhnya masih sangat mahal. Padahal, sperma bikinan Malang, meski tingkat keberhasilannya kalah, tidak beda jauh: 81 persen.<br /><br />Dokter hewan Herliantin, ahli inseminasi buatan lulusan Universitas Airlangga Surabaya yang bekerja di lembaga tersebut, setuju dengan ide itu. Syaratnya, jumlah sapi betina di seluruh Sumatera mencukupi. Herliantin siap memasok sperma unggul sampai 500.000 paket.<br /><br />Maka, teman-teman BUMN punya pekerjaan baru: mengumpulkan data sapi betina di seluruh Sumatera. Lalu melakukan koordinasi dengan dinas-dinas peternakan kabupaten: apakah para pemilik sapi betina bersedia diajak mengikuti program kawin suntik ini.<br /><br />Menurut drh Herliantin, kini tidak ada lagi persoalan teknis maupun nonteknis. Dulu memang pernah ada persoalan nonteknis di Madura: sapi hasil kawin suntik dianggap haram. Tapi, setelah dilakukan berbagai penjelasan, akhirnya para ulama di Madura tidak mempersoalkannya lagi.<br /><br />Dengan sudah ditemukannya sumber makanan sapi yang melimpah dan murah, persoalan ketersediaan anak sapi menjadi persoalan utama yang harus dipecahkan. Peternak memang lebih memilih usaha penggemukan daripada usaha memproduksi anak sapi.<br /><br />Menggemukkan sapi cukup dalam waktu enam bulan. Cukup membeli anak sapi yang sudah berumur dua tahun. Enam bulan kemudian sudah bisa dijual.<br /><br />Bandingkan kalau peternak harus fokus ke usaha memproduksi anak sapi. Mereka harus membeli induk dulu. Lalu dikawinkan. Kalaupun berhasil, 10 bulan kemudian baru beranak. Lalu harus memelihara anak itu dua tahun.<br /><br />Total diperlukan proses pemeliharaan selama tiga tahun untuk bisa menjual anak tersebut. Selama tiga tahun itu biaya yang dikeluarkan sangat besar seiring dengan mahalnya makanan ternak.<br /><br />Saya yakin, kalau persoalan ini dibuka di sini, akan banyak ahli dan praktisi yang bisa ikut memecahkannya. Prinsipnya, BUMN bersedia ikut membantu mengatasi kekurangan daging tersebut. Prinsip yang lain: BUMN memiliki sumber makanan ternak yang murah dan melimpah. Hanya lokasinya di Sumatera.<br /><br />Tim BUMN pun akan dengan senang menerima ide-ide itu melalui email: ideaanaksapi@gmail.com. Siapa tahu, dan saya berharap, ada pemikiran yang bisa cepat diwujudkan. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-18011492902386306812012-11-26T20:36:00.000+07:002012-11-26T20:43:05.948+07:00Ada Brigade 200K di Pertamina<div style="text-align: justify;">
Senin, 26 November 2012 , 01:01:00<br /><b>Ada Brigade 200K di Pertamina<br />Manufacturing Hope 53</b><br /><br />MALAM Minggu kemarin bukan malam untuk hura-hura bagi direksi Pertamina. Malam itu mereka berkumpul di suatu tempat untuk menandai dimulainya pekerjaan besar yang rumit: menaikkan produksi minyak 200.000 barel per hari dalam waktu dua tahun!</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Tekad itu seperti mengada-ada. Seperti menggantang asap. Tapi, Dirut Pertamina Karen Agustiawan, Direktur Hulu Muhamad Husen, Komisaris Utama Sugiharto, Komisaris Luluk Sumiarso, Dirut Pertamina EP Syamsu Alam, dan hampir 200 generasi muda Pertamina sudah membulatkan satu tekad: kerja keras mewujudkannya.<br /><br />Mereka sudah bertekad untuk membuat Pertamina menjadi perusahaan kelas regional dalam waktu dua tahun! Mereka pun beramai-ramai membubuhkan tanda tangan di panggung dan berkomitmen untuk melaksanakannya.<br /><br />Sebagai pelaksana di lapangan, direksi Pertamina membentuk apa yang mereka sebut "Brigade 200K" dan "Brigade 100K". Brigade ini sepenuhnya terdiri atas anak muda Pertamina yang umurnya paling tua 29 tahun! Bahkan, ada di antaranya yang umurnya baru 25 tahun. Tujuh orang, seperti juga Dirut Pertamina: perempuan!<br /><br />Brigade 200K sepenuhnya bertanggung jawab terhadap kenaikan produksi minyak 200.000 (200K) barel per hari. Sedangkan Brigade 100K bertanggung jawab akan lahirnya energi terbarukan melalui percepatan proyek geotermal sebesar (equivalen) 100.000 barel per hari.<br /><br />Dengan tambahan produksi itu, Pertamina sudah bisa dibilang memasuki level perusahaan minyak kelas regional. Memang harus bekerja sangat keras. Keras sekali. Di situlah kuncinya. Tapi, mereka juga tahu bahwa capaian yang diraih melalui kerja keras akan tinggi nilainya. Tidak sama dengan sukses yang didapat dengan melimpahnya fasilitas.<br /><br />Selama ini Pertamina memang ketinggalan jauh. Jauh sekali. Itu juga disadari dengan sesadar-sadarnya oleh insan Pertamina sendiri. Mereka pun bertekad sudah saatnya Pertamina berusaha menjadi kebanggaan rakyatnya. Sebagai perusahaan yang -Malaysia pun dulu belajar ke Pertamina- bisa diandalkan sebagai jagoan Indonesia di dunia internasional.<br /><br />Tentu banyak sekali dalih yang bisa dikemukakan tentang mengapa Pertamina ketinggalan jauh dari perusahaan minyak negara tetangga. Banyak sekali kambing hitam yang bisa disajikan. Banyak juga salah-menyalahkan yang bisa dilakukan.<br /><br />Tapi, saya tidak mau berputar-putar di situ. Hambatan adalah untuk diatasi, bukan untuk dikeluhkan. Halangan adalah untuk diloncati, bukan untuk diratapi. Rintangan adalah untuk diberantas, bukan untuk ditakuti.<br /><br />Memang ada beberapa pilihan untuk membuat Pertamina bisa meningkatkan produksi minyaknya. Bahkan, ada pilihan yang mudah. Tidak perlu berbelepotan. Bisa dikerjakan sambil makan-makan di hotel bintang lima. Yakni, membeli perusahaan-perusahaan minyak asing. Atau membeli ladang-ladang yang sudah produksi di luar negeri. Semua itu bisa dilakukan di ruang-ruang ber-AC. Tawaran seperti itu banyak.<br /><br />Tapi, harganya juga mahal-mahal. Belum tentu keuangan Pertamina bisa menjangkaunya. Risikonya pun besar. Bahkan, waktu sering habis terbuang karena hasilnya yang sulit diharap. Apalagi sering juga harus melewati tender "yang belum tentu Pertamina bisa memenangkannya.<br /><br />Pikiran mengembangkan sayap ke luar negeri seperti itu boleh terus diupayakan. Tapi, upaya di dalam negeri juga tidak boleh kendur. Pertamina baru memegang peran 20 persen di dalam negeri. Yang 80 persen masih asing. Malaysia sudah 40 persen dan bahkan Brasil sudah 90 persen.<br /><br />Pemerintah sudah tahu kondisi itu dan tentu akan ikut mengupayakan agar Pertamina bisa mendapat porsi yang lebih besar. Tapi, Pertamina tidak boleh hanya menggantungkan diri kepada apa yang akan diberikan oleh pemerintah.<br /><br />Pertamina sendiri harus menunjukkan kerja kerasnya. Setidaknya dengan apa yang sudah ada dan sudah dimiliki. Kian kelihatan kerja keras Pertamina, kian mudah bagi pemerintah untuk memberikan kepercayaan yang lebih besar. Kian terbukti Pertamina mampu mendayagunakan kemampuannya, kian besar kepercayaan pemerintah untuk membesarkannya.<br /><br />Saya sangat menghargai tekad baru Pertamina untuk menengok kembali kekayaan lamanya itu. Memang harus kerja keras, belepotan, dan mandi keringat. Tapi, itulah inti sebuah kebangkitan. Pembentukan Brigade 200K adalah kebangkitan Pertamina. Karena itu, hasil kerja Brigade 200K akan ikut menentukan bisa atau tidak Pertamina mendapatkan kepercayaan yang lebih besar.<br /><br />Dengan Brigade 200K Pertamina akan menengok kembali sumur-sumur lamanya. Pertamina memiliki ribuan sumur tua seperti itu. Mereka akan bisa menjawab, mengapa sumur-sumur itu hasilnya tidak bisa maksimal dan bagaimana cara meningkatkannya.<br /><br />Teknologi yang dipergunakan di sumur-sumur itu adalah teknologi zaman Belanda. Dengan pemikiran dan teknologi baru, mestinya bisa ditingkatkan hasilnya. Ini sudah terbukti di Sungai Lilin, Sumsel. Produksi sumur tua peninggalan Belanda itu berhasil ditingkatkan menjadi lima kali lipatnya! Dalam dua tahun produksinya naik dari 80 barel per hari menjadi 450 barel per hari.<br /><br />Inilah sumur tua yang diusahakan Belanda pada 1936. Kini, dengan teknologi baru masih bisa ditingkatkan begitu besar.<br /><br />Pertamina memiliki banyak sumur seperti itu. Ribuan jumlahnya. Salah satu anak perusahaannya saja, Pertamina EP, punya lebih 200 sumur sejenis. Sumur-sumur itu pasti lebih baik dari apa yang ada di Tiongkok Utara. Atau dalam istilah para ahli perminyakan, sumur-sumur lama Pertamina itu seperti gadis desa yang cantik, tapi belum dimasukkan salon.<br /><br />Dengan menggunakan teknologi baru sumur-sumur itu akan bisa mendongkrak produksi minyak Pertamina. Biaya dan risiko tidak sebesar kalau melakukan drilling di ladang-ladang baru. Waktunya pun bisa lebih singkat karena tidak dimulai dari nol.<br /><br />Jauh sebelum menjadi orang pemerintah, lebih dari 10 tahun lalu, saya sering sekali berkunjung ke Daqing di Provinsi Heilongjiang dan Panju di Provinsi Liaoning. Inilah dua provinsi yang disebut "Kuwait"-nya Tiongkok. Mereka dengan telaten, kerja keras, dan gemi mendayagunakan ribuan sumur tua.<br /><br />Kondisi sumur-sumur minyak di sana umumnya jauh lebih jelek daripada yang dimiliki Pertamina. Apalagi di musim salju. Mereka harus memanasi sumur-sumur dan pipa-pipa itu.<br /><br />Alangkah sulitnya. Bahkan, ada sumur yang minyaknya habis disedot dalam enam jam. Tidak layak lagi hasilnya disalurkan melalui pipa. Hasil sedotan enam jam itu ditampung di mobil tangki yang sengaja didatangkan. Mobil itu pergi setelah enam jam menunggu di situ.<br /><br />Besoknya, setelah minyaknya mengumpul lagi, baru disedot enam jam lagi. Begitu seterusnya. Alangkah sulitnya. Alangkah repotnya. Tapi, mereka menekuninya. Setetes demi setetes. Itulah inti pelajaran dasar entrepreneur. Hemat pangkal kaya.<br /><br />Negara yang begitu kaya saja masih melakukan usaha yang begitu gigih. Apalagi, kita yang masih harus berjuang keras untuk maju. Prinsip "bagaimana bisa mengerjakan yang besar-besar dengan baik kalau yang kecil-kecil tidak tertangani" adalah prinsip manajemen sehari-hari yang harus dipegang. Banyak orang yang setelah mimpi besar melupakan detail-detail yang kecil.<br /><br />Pengusaha-pengusaha besar yang kukuh tidak ada yang pernah melupakan detail-detail kecil di bidang usahanya!<br /><br />Kalau saja Brigade 200K berhasil dengan kerja kerasnya, alangkah bersejarahnya. Meningkatkan produksi 200.000 barel dalam dua tahun luar biasa nilainya. Itu juga berarti akan mengurangi impor minyak mentah 200.000 barel per hari. Alangkah menghematnya devisa negara.<br /><br />Tentu saya akan memonitor Brigade 200K ini. Sambil mendoakannya dalam setiap malam-malam saya. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-22018888004513011552012-11-19T06:58:00.002+07:002012-11-19T06:59:35.409+07:00Memasuki Era BUMN Multinational Corporation<div style="text-align: justify;">
Senin, 19 November 2012 , 01:10:00<br /><b>Memasuki Era BUMN Multinational Corporation</b><br /><b>Manufacturing Hope 52</b><br /><br />Telah lahir : BUMN Multinational Corporation.<br />Tanggal lahir : 12 November 2012.<br />Nama bayi : PT Semen Gresik (Persero) Tbk.</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maka, PT Semen Gresik yang sebentar lagi bernama PT Semen Indonesia itu resmi menjadi perusahaan BUMN pertama yang berstatus multinasional. Hari itu Direktur Utama PT Semen Gresik Dwi Soetjipto menandatangani perjanjian pembelian sebuah pabrik semen di Vietnam.<br /><br />Nama pabrik semen itu, Thang Long (berarti: Naga Terbang), sangat terkenal di Vietnam. Thang Long termasuk salah satu pabrik semen terbesar dan termodern di sana. Kapasitasnya 2,3 juta ton, lebih besar daripada pabrik semen Baturaja di Sumsel. Mesin-mesinnya buatan Eropa dan masih tergolong baru: mulai beroperasi tahun 2008.<br /><br />Dengan pembelian itu, PT Semen Gresik yang baru saja menggeser posisi Siam Cement (Thailand) sebagai pabrik semen terbesar di Asia Tenggara kian kukuh di depan. Dua bulan lalu, dengan mulai beroperasinya Unit 4 Tuban dan Unit 5 Tonasa, PT Semen Gresik memang sudah menggeser posisi Siam Cement sebagai yang terbesar di ASEAN. Kini dengan membeli pabrik semen di Vietnam itu, posisi nomor satu Semen Gresik kian tidak terkejar. Apalagi grup ini masih berencana membangun pabrik baru di Rembang dan menambah pabrik baru di Padang.<br /><br />Duta Besar Vietnam untuk Indonesia yang hadir dalam acara di Kementerian BUMN itu menyebut perkawinan PT Semen Gresik dan Thang Long itu sebagai langkah memperkukuh ASEAN. Juga sebagai wujud komitmen dua kepala negara untuk meningkatkan hubungan ekonomi dua negara.<br /><br />Saya menambahkan sedikit humor: perkawinan itu mengulangi peristiwa hampir seribu tahun lalu. Yakni ketika raja Majapahit mengawini putri Champa. Lokasi pabrik semen Thang Long itu memang dekat ibu kota Hanoi, tapi salah satu unitnya berada di dekat kota kecil Champa.<br /><br />Vu Van Thian, CEO grup perusahaan yang membawahkan pabrik semen itu, merasa cocok kawin dengan Semen Gresik. Meski lidah Vietnamnya begitu sulit mengucapkan kata "Semen Gresik" atau kata "Dwi Soetjipto", rangkulannya yang erat saat perjanjian itu ditandatangani menunjukkan kesungguhannya dalam berpartner.<br /><br />Saya sangat iba melihat begitu susahnya Vu Van Thian mengucapkan kata-kata yang khas Indonesia dalam sambutannya. Karena itu, saya minta padanya agar dicarikan nama Vietnam untuk Dwi Soetjipto. Ini biasa dilakukan oleh orang-orang di Tiongkok untuk memudahkan memanggil nama-nama partner mereka. Nama Dahlan Iskan, misalnya, tidak dikenal di antara teman-teman saya di Tiongkok. Mereka memberi nama saya: Yu Shi Gan.<br /><br />Saya juga berpesan kepada Vu Vi Tho (nama Vietnam untuk Dwi Soetjipto) agar membuka restoran Indonesia kecil-kecilan di dekat pabrik itu. Setidaknya agar bisa membuat orang-orang Vietnam mulai terbiasa menikmati rendang, kepala ikan, nasi goreng, atau sejumlah makanan Indonesia lain yang punya potensi menginternasional. Ini juga bermaksud menyeimbangkan agar jangan hanya kita yang mendadak menyukai pho (baca: fe), mi Vietnam yang tiba-tiba menyebar ke setiap mal besar kita itu.<br /><br />Dengan kemampuan PT Semen Gresik, terutama di bidang engineering-nya, pabrik di Vietnam itu bisa terus diperbesar dan diperbesar. Bahkan bisa jadi merembet ke negara-negara tetangga Vietnam.<br /><br />Di samping PT Semen Gresik, tahun depan PT Timah (Persero) Tbk di bawah Dirut Sukrisno juga mengikuti jejak Vu Vi Tho. PT Timah baru saja selesai melakukan langkah cerdasnya: mengusahakan penguasaan tambang timah (bauksit) di Myanmar. Maka, mulai tahun depan, PT Timah sudah beroperasi di Myanmar.<br /><br />Ini juga menunjukkan bahwa tidak hanya perusahaan asing yang bisa menambang di Indonesia, tapi perusahaan Indonesia juga bisa menambang di luar negeri. PT Timah yang mengalami kesulitan menghadapi penjarahan tambangnya di Bangka Belitung memang harus berpikir keras dan tidak mudah menyerah. Penegak hukum betul-betul tidak bisa diandalkan untuk pengamanan aset PT Timah di Babel.<br /><br />Bagaimana bisa, produksi timah gelap dari lahan PT Timah lebih besar dari produksi PT Timah sendiri. Ini mirip dengan tidak berfungsinya penegak hukum di Sumsel yang membiarkan terjadinya pencurian minyak mentah Pertamina secara masif, terbuka, terang-terangan, di mana-mana, dengan menggunakan teknologi kelas berat.<br /><br />Di tengah persoalan dalam negeri yang berat itu, PT Timah tetap harus mengambil peran sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional.<br /><br />Demikian juga PT Antam (Persero) Tbk. Harus mempercepat langkahnya untuk membangun pabrik alumina di Kalbar. Tahun depan PT Inalum di Sumut sudah kembali ke tangan pemerintah Indonesia. Siapa yang akan menjadi pemasok bahan baku untuk Inalum" Selama 40 tahun di tangan Jepang, tentu Jepanglah yang memikirkan pasokan untuk Inalum. Tapi, begitu kembali ke pemerintah Indonesia, harus ada yang menggantikannya. Kebetulan, Antam sudah berencana membangun pusat peleburan alumina di Kalbar.<br /><br />Di samping Semen Gresik dan PT Timah, beberapa BUMN besar juga didorong untuk terus mengembangkan sayap. Kalau dulu kita dikenal sebagai suka menjual BUMN, kini berubah total: giliran BUMN yang beli, beli, beli.<br /><br />Dulu, setelah krisis, negara kita memang miskin dan lemah. Menggaji pegawai negeri saja hampir-hampir tidak mampu. Pemerintah di waktu itu memilih menjual beberapa BUMN. Itulah yang menimbulkan kesan jual, jual, jual.<br /><br />Tapi, kejadian di masa lalu itu tidak perlu terus-menerus disesali. Kita tidak boleh terlalu larut dalam penyesalan. Apa yang telah terjadi di masa lalu harus jadi pendorong semangat untuk memperbaiki masa depan. Yang penting, kita tidak lagi mengulangi cara jual, jual, jual itu.<br /><br />Tahun depan PT Telkom (Persero ) Tbk juga mulai "membeli". PT Telkom melakukan ekspansi ke luar negeri: Timor Leste. Selama ini telekomunikasi Timor Leste dikuasai perusahaan Portugal. Tahun depan PT Telkom mulai beroperasi di Timor Leste. Tekad direksi Telkom tidak kecil: menguasai pasar telekomunikasi negara tetangga itu.<br /><br />PT Telkom, sebagaimana dikemukakan Dirutnya, Arief Yahya, punya kemampuan untuk itu. Kemampuan manajerial, peralatan, maupun pendanaan. Telkom yang kemampuan keuangannya melonjak tahun ini juga sedang menyiapkan langkah ke beberapa negara tetangga, namun belum perlu disebut di sini.<br /><br />Dua bank besar kita (Bank Mandiri dan BRI) sebenarnya juga sangat mampu beli, beli, beli. Namun, di dunia perbankan aturannya amat ketat. Cabang Bank Mandiri di Singapura, misalnya, tetap masih dilarang menjadi bank umum yang bergerak ke ritel. Padahal, bank-bank milik Singapura di Indonesia begitu bebasnya.<br /><br />Begitu juga di Malaysia. Begitu banyak larangan untuk bank kita di sana. Padahal, bank-bank Malaysia di Indonesia menikmati longgarnya aturan kita.<br /><br />Saya yakin, kalau mendapat perlakuan yang sama di Singapura dan Malaysia, Bank Mandiri, BRI, dan juga BNI bisa segera jadi jagoan kita di Asia Tenggara.<br /><br />Tahun depan memang akan menjadi tahun politik. Dunia politik akan bergejolak. Tapi, BUMN tidak boleh terpengaruh, apalagi terseret dan larut ke dalamnya.<br /><br />Di tahun depan yang bakal kian panas itu, BUMN harus tetap berada di jalur moto ini: kerja, kerja, kerja!<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-6602297234298751282012-11-12T07:50:00.002+07:002012-11-12T07:56:30.406+07:00Roti, Sosis, dan Nogosari setelah Radiasi<div style="text-align: justify;">
Senin, 12 November 2012 , 01:02:00<br /><b>Roti, Sosis, dan Nogosari setelah Radiasi</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Manufacturing Hope 51</b><br /><br />PROGRAM menanam sorgum itu, rasanya, seperti baru diputuskan "kemarin". Makanya, seperti tiba-tiba ketika Sabtu lalu saya sudah diminta untuk melakukan panen pertama.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Waktu begitu cepat berlalu. Pantaslah orang yang tidak biasa kerja cepat begitu mudah digilas waktu.<br /><br />Memang, seperti dikatakan Direktur Utama PTPN XII Singgih Irwan Basri, anak buahnya langsung action dua hari setelah keputusan. Mereka pilih lahan 7,5 ha di Banyuwangi. Lahan yang marginal. Lahan yang tidak bisa ditanami padi. Lima jenis benih sorgum pun segera ditanam di situ.<br /><br />Inilah uji coba untuk menentukan sorgum jenis apa yang paling cocok untuk iklim dan tanah di Indonesia. Hasilnya akan menentukan jenis mana yang akan ditanam secara besar-besaran mulai Februari nanti.<br /><br />Mengapa sorgum?<br /><br />Sorgumlah yang akan bisa mengurangi impor gandum kita yang mencapai 7 juta ton per tahun itu. Kita ini tidak bisa menanam gandum di Indonesia. Iklim kita yang dua musim tidak cocok untuk tanaman empat musim. Padahal, kita kian doyan mi dan roti. Akibatnya, kita harus terus-menerus impor gandum secara besar-besaran dari negara seperti Amerika Serikat.<br /><br />Kita yang miskin terus menghidupi petani negara maju. Angka impor itu akan naik terus seiring dengan kegemaran kita makan mi dan roti yang terus meningkat.<br /><br />Impor daging bisa saja akan berakhir kalau kita mau meningkatkan produksi ternak. Negara kita cocok untuk peternakan. Tinggal mau atau tidak mau. Demikian juga, kita bisa mengakhiri impor beras kalau kita mau meningkatkan produksi kita. Tapi, kita tidak akan bisa mengakhiri impor gandum. Kita tidak bisa menanamnya. Kita hanya bisa menyeruput mi dan melahap rotinya!<br /><br />Harapan baru muncul ketika para ahli sorgum berkumpul di Kementerian Ristek empat bulan yang lalu. Saya dan Menteri Ristek Gusti Muhammad Hatta mengajak para ahli itu berdialog. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi impor gandum yang begitu besar. Muncullah kesimpulan bahwa sorgumlah yang bisa diandalkan.<br /><br />Salah satu ahli sorgum waktu itu, Prof Dr Sungkono, sampai berlinang terharu ketika kemudian diputuskan bahwa BUMN akan menggalakkan sorgum. Secara besar-besaran. Apalagi, BUMN memiliki lahan yang luas yang belum semuanya bisa dimanfaatkan. Terutama lahan yang tidak bisa untuk tanaman padi, sawit, karet, teh, dan kopi.<br /><br />Sang profesor sangat gembira karena ahli lulusan IPB itu merasa tidak sia-sia. Ketekunannya mendalami sorgum sejak muda sampai menjadi profesor akan sangat berarti.<br /><br />Dari hasil panen perdana Sabtu lalu, jelaslah bahwa setidaknya dua jenis sorgum sangat baik hasilnya. "Satu untaian bisa mencapai 1 ons. Ini melebihi yang tertera di literatur yang menyebutkan satu untaian hanya 0,5 ons," ujar Irwan Basri, Dirut PTPN XII.<br /><br />Dua benih unggul itu belum punya nama. Untuk sementara disebut Citayam (karena dibenihkan di Desa Citayam) dan Numbu B. Jenis-jenis lain hanya menghasilkan separo dari itu.<br /><br />Yang hebat, benih Citayam dan Numbu B adalah hasil mutasi genetik yang dilakukan para ahli kita sendiri di Batan. Penyilangan-penyilangan genetiknya dilakukan melalui proses radiasi sinar gamma. Yakni, melalui radiasi nuklir Co-60. Ahli-ahli di Batan mencari gen-gen terunggul untuk disilang dan dijadikan benih yang terbaik.<br /><br />Dengan hasil Banyuwangi ini, BUMN sudah memanfaatkan temuan dan fasilitas yang ada di Batan. Yakni, benih sorgum dan proses pembuatan radioisotop untuk kedokteran nuklir. Kerja sama yang erat antara Batan (Ristek) dan PT Batantekno (BUMN) ternyata bisa membuat temuan-temuan dan fasilitas di Batan menjadi komoditas yang secara komersial sangat menguntungkan negara.<br /><br />Berkat fasilitas yang ada di Batan, Dirut Batantekno Yudi Utomo Imardjoko bisa mengaplikasikan temuan termodernnya untuk memproduksi radioisotop yang sekarang mulai berproses untuk menguasai pasar Asia.<br /><br />Berbeda dari padi, sekali tanam sorgum ini bisa untuk tiga kali panen. Begitu panen pertama, batangnya dipotong sampai pangkalnya. Lalu, akan tumbuh batang sorgum lagi. Tiga bulan kemudian, sudah bisa dipanen lagi. "Kami akan lihat berapa hasil panen dari ratoon pertama. Lalu, akan kami tunggu lagi ratoon yang kedua," ujar Irwan.<br /><br />Dengan demikian, sebelum penanaman besar-besaran Februari nanti, hasil panen ratoon pertama pun sudah bisa diketahui.<br /><br />Citayam dan Numbu B masih punya kelebihan lain. Batangnya tinggi dan besar. Ketika saya menelusup ke dalam kebun yang siap panen itu, tidak bisa disangkal: ternyata tubuh saya ini pendek. Batang sorgum itu hampir 2 meter. Dengan batang yang tinggi, makanan ternak dari batang itu bisa lebih banyak. Demikian juga niranya.<br /><br />Batang sorgum tersebut bisa menghasilkan nira sebagaimana tebu. Hanya, nira sorgum cuma bisa dipakai untuk gula cair. Tidak bisa untuk gula kristal. Maka, sekali tanam sorgum, kita bisa mendapat tepungnya, niranya, dan makanan ternaknya.<br /><br />Itulah sebabnya dalam panen perdana tersebut Dirut PT Berdikari (Persero) Librato El Arif ikut hadir. Berdikari-lah yang akan menjadi pembeli seluruh makanan ternak tersebut. Sebab, PT Berdikari mendapat tugas untuk berfokus mengembangkan ternak secara besar-besaran. Tidak boleh lagi mengerjakan bisnis yang lain. Bisnis lamanya seperti mebel dan asuransi harus dilepas.<br /><br />Tapi, PT Berdikari kelihatannya harus gigit jari. Jauh-jauh datang ke Banyuwangi, dia tidak akan kebagian makanan ternak itu. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, yang kini lagi mengembangkan ternak sapi rakyat secara masal, minta agar makanan ternak itu digunakan untuk pengembangan sapi di Banyuwangi sendiri. Tentu saya mendukung permintaan Pak Bupati ini. Saya lihat beliau sangat serius dalam mengembangkan sapi di sana.<br /><br />Banyuwangi berubah drastis di tangan bupati yang masih sangat muda itu (38 tahun). Semua tahu, hambatan utama pengembangan ternak adalah makanan ternak yang kian mahal. Dengan kebun sorgum yang mencapai ribuan hektare di Banyuwangi, sumber makanan ternak tersebut akan teratasi.<br /><br />Secara nasional, hasilnya sama saja. Sapi itu datang dari Banyuwangi atau dari Sumatera, tidak ada bedanya. Yang penting bisa mengurangi impor sapi yang sangat besar itu.<br /><br />Dan lagi, sorgum akan ditanam secara masal di Sulawesi oleh PTPN XIV dan oleh Berdikari sendiri. Lahan peternakan PT Berdikari di Sulsel yang mencapai 6.000 ha sudah diputuskan juga harus ditanami sorgum dalam skala besar.<br /><br />Tahun depan adalah tahun pembuktian. BUMN harus menanam sorgum hingga mencapai 15.000 ha. Ini bukan kerja sembarangan. Hanya kemauan yang keras yang akan bisa mewujudkannya.<br /><br />BUMN bertekad akan mewujudkan keyakinan bahwa kita ini mampu melakukan apa saja asal kita mau. Kita sering tidak bisa melakukan sesuatu bukan karena tidak mampu, tapi karena tidak mau!<br /><br />Ibu-ibu dari PTPN XII pun punya kemauan yang keras. Sabtu lalu itu, untuk suguhan para tamu di Banyuwangi itu, ibu-ibu membuat berbagai macam kue yang semuanya menggunakan bahan berupa tepung sorgum: roti, sosis, nogosari... Saya coba memakan semuanya. Saya rasakan enaknya. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-20139909913121514732012-11-05T06:40:00.003+07:002012-11-05T06:43:29.081+07:00Giliran Menengok Anak-Anak dan Cucu-Cucu<div style="text-align: justify;">
Senin, 05 November 2012 , 05:05:00<br /><b>Giliran Menengok Anak-Anak dan Cucu-Cucu</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Manufacturing Hope 50</b><br /><br />MEMASUKI tahun ke-2 sebagai menteri BUMN saya bisa melangkah ke program yang lebih dalam. Misalnya, pembenahan anak-anak dan cucu perusahaan. Meski jumlah BUMN itu "hanya" 141 buah, anak-anak dan cucunya banyak banget.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Tiap minggu Rapim Kementerian BUMN yang secara konsisten dilakukan tiap Selasa pukul 07.00 itu akan ditambah satu agenda: evaluasi anak dan cucu perusahaan. Rapatnya memang lebih panjang, tapi tahap pembenahan anak-cucu perusahaan itu sudah waktunya dilakukan. Efisiensi sudah waktunya dilakukan sampai ke anak cucu.<br /><br />Pekan lalu sudah dimulai mengevaluasi anak-cucu perusahaan di kelompok industri strategis. Beberapa anak perusahaan yang hanya terus-menerus menyusu ke induknya harus disapih: tidak boleh induk perusahaan terus digerogoti anak perusahaan. Baik penggerogotan keuangan maupun penggerogotan energi. Jangan sampai ada anak perusahaan yang membuat "anak polah bapak kepradah".<br /> <br />Tentu banyak anak perusahaan yang harus dipertahankan. Terutama anak perusahaan yang justru memperkuat induknya. Baik memperkuat posisi pasar maupun memperkuat keuangan.<br /> <br />Anak perusahaan PT Krakatau Steel yang bergerak di industri hilir baja, misalnya, perlu dipertahankan. Tapi, cucu perusahaan yang berbisnis pembuatan air minum kemasan harus dilepaskan. Terlalu kecil skalanya dan terlalu jauh dari core business-nya.<br /> <br />Demikian juga anak-anak perusahaan PT PAL Surabaya. Hanya satu yang boleh diteruskan. Tiga anak perusahaan lainnya harus dilepas. Apalagi, di anak perusahaan tersebut PT PAL hanya memegang saham minoritas.<br /> <br />PT PAL harus fokus pada pembuatan kapal, beserta pemeliharaan dan perbaikan. Terutama pembuatan kapal perang. Kementerian Pertahanan kini memiliki anggaran pengadaan persenjataan sangat besar. Ini harus ditangkap semaksimal mungkin. Caranya: membuat Kementerian Pertahanan puas. Mutu kapal yang dibuat sangat baik dan penyelesaian ordernya tidak molor. Kelemahan lama PT PAL di bidang itu tidak boleh lagi terjadi.<br /> <br />Tidak ada artinya PAL memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan boiler dan turbin. Apalagi, melangkah lebih jauh: menjadi kontraktor EPC pembangkit listrik. Anak-anak perusahaan tersebut harus ditinggalkan. Terlalu jauh dari bisnis utama PAL. Akhirnya hanya mengganggu reputasi dan nama baik PAL.<br /> <br />Waktu awal-awal saya menjabat Dirut PLN, saya menemukan proyek listrik yang macet bertahun-tahun: proyek geotermal Ulumbu di Flores Barat. Akibatnya, listrik di kota Ruteng harus menggunakan genset dengan bahan bakar BBM yang mahal.<br /> <br />Kontraktor proyek itu ternyata PT PAL. Macet, cet! PAL tidak punya kemampuan dana dan daya untuk menyelesaikannya. Saya pun menulis "Sumpah Ulumbu" ketika pergi ke Ruteng. Proyek ini harus jadi. Dalam waktu kurang dari dua tahun geotermal Ulumbu menghasilkan listrik yang murah. Efisiensi di PLN pun terjadi.<br /> <br />Pembenahan di PAL ini (juga di BUMN lain nanti) akan membuat PT PAL lebih konsentrasi menyehatkan perusahaan. Sudah terlalu banyak energi yang dicurahkan untuk menyelamatkan PAL di masa lalu. Sudah terlalu banyak uang negara yang digelontorkan ke sana. Semua seperti sia-sia. Tahun lalu PAL masih rugi ratusan miliar rupiah.<br /> <br />Tahun ini, di bawah manajemen baru, PAL melakukan konsolidasi besar-besaran. Tentu banyak yang marah. Tapi, ibarat kapal yang hampir tenggelam, harus ada pengorbanan. Pembenahan dan pengorbanan itu akhirnya benar-benar ada hasilnya. PT PAL segera keluar dari kerugiannya. Tahun ini juga.<br /> <br />Anak dan cucu BUMN yang jumlahnya ratusan perusahaan harus terkendali. Setelah anak-anak dan cucu itu pun, masih banyak pekerjaan berikutnya: penertiban yayasan-yayasan, dana pensiun, dan koperasi-koperasi di bawah BUMN. Huh! Begitu banyak pekerjaan. Begitu sedikit waktu. Begitu ruwet persoalan! Belum lagi urusan kongkalikong! (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-59108793008900930612012-10-30T19:21:00.000+07:002012-10-30T19:31:47.868+07:00Oknum Anggota DPR Ajari Pejabat BUMN Korupsi<div style="text-align: justify;">
Selasa, 30 Oktober 2012 , 10:33:00<br /><b>Oknum Anggota DPR Ajari Pejabat BUMN Korupsi</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Wawancara eksklusif JTV, Blak-blakan dengan Dahlan Iskan<br /><br />MENTERI Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, akhirnya mulai membuka tabir permainan oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI yang menjadikan BUMN sebagai sapi perahan untuk mendapatkan uang. Selama ini Dahlan memang belum banyak bicara mengenai modus anggota dewan yang menghalalkan segala cara untuk memalak BUMN, termasuk dengan melakukan intervensi ke dalam internal BUMN.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Apa dan bagaimana modus oknum anggota dewan mencari celah mendapat curahan dana BUMN? Berikut liputan wartawan JPNN, Natalia Laurens di acara wawancara eksklusif JTV, "Blak-blakan dengan Dahlan Iskan", Senin (29/10).<br /><br />Pak Dahlan menyadari bahwa potensi musuh akan banyak kalau menerima tawaran posisi Meneg BUMN, tapi Bapak tetap mengambilnya. Apa yang tergambar dibayangan Bapak saat itu?<br />Sebetulnya, saya membayangkan bahwa yang paling sulit justru internal BUMN, karena waktu itu kan BUMN, diisukan sering kongkalikongah dan lain-lain. Saya sebetulnya membayangkan masalah internal yang lebih berat, karena itu saya kemukakan konsep untuk BUMN itu begini. Saya lontarkan satu pertanyaaan, kenapa BUMN itu tidak maju? itu penyebabnya banyak. Tapi penyebab utama adalah direksinya tidak kompak. Kenapa tidak kompak? penyebabnya banyak. Tapi penyebab utama, 80 persen adalah karena intervensi. Sehingga intervensi itu merugikan BUMN bukan karena uang saja, tapi setting manajemennya juga rusak karena intervensi itu.<br /><br />Intervensi itu dari mana?<br />Intervensi ini ada dua, intervensi yang datang dari luar dan intervensi yang diundang oleh orang dalam. Nah, ini dua-duanya yang saya harus atasi. Oleh karena itu prioritas saya pertama adalah bagaimana membentengi intervensi itu. Termasuk mencegah terjadinya intervensi yang diulang.<br /><br />Intervensi dari dalam misalnya begini : Anda Direktur Utama, saya direktur. Kemudian saya jadi direktur lagi. Saya sangat berambisi menggantikan anda untuk menjadi Direktur Utama. Nah kemudian saya cari backing di luar supaya nanti saya bisa menggantikan anda. Tapi kan anda juga enggak tinggal diamkan. Wah ini kelihatannya direktur saya ini berusaha mau gantikan saya, lalu anda cari backing juga di luar. Model yang begini-begini, itu intervensi yang datang dari dalam sebetulnya. Saya tidak mau terjadi seperti itu. <br /><br />Artinya, harus solid. Supaya jadi solid, itu kementerian hanya akan memilih direktur utamanya. Setelah Direktur Utama ditetapkan, baru nanti kementerian dan Direktur Utama memilih siapa saja menjadi direktur di bawahnya. Dengan demikian terjadi kekompakan. Kalau dulu kan enggak gitu.<br /><br />Berarti bisa angkat teman dekatnya?<br />Kan mesti didiskusikan. Contoh anda ajukan beberapa nama, itu bisa peluang KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme). Tapi kita kan tidak bisa begitu saja terima yang anda ajukan. Kita diskusikan, kenapa pilih si A atau si B. Ini kan jadinya terbentuk tim yang solid, sehingga tidak mungkin dia mengundang intervensi dari luar, karena sudah solid. Atau dari luar intervensi juga sulit, karena solid. Intervensi luar misalnya yang terjdi belakangan ini saya sebut kongkalikong itu, ada misalnya oknum anggota DPR yang minta bagian atau minta setoran.<br /><br />Ini intervensi yang diundang, atau intervensi dari luar?<br />Dulu ada dua. Ada yang dari luar, ada juga yang dari dalam. Dari dalam misalnya begini, ada perusahaan misalnya Karya itu, apakah Adhi Karya atau apakah yang sering disebut-sebut itu. Konstruksi gitu. Untuk mendapatkan proyek, katakanlah gedung DPR, waktu itu yang ramai itu, mungkin dia yang aktif, karena ingin mendapatkan proyek dia ya aktif menawarkan untuk kongkalikong.<br /><br />Bisa juga, orang dari DPR yang mengajak kontraktor ini untuk kongkalikong. Bisa juga begitu. Intinya saya tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja dari BUMN yang berinisiatif. Tetapi, dalam hal yang terjadi sekarang, itu sudah sepenuhnya intervensi pada BUMN berasal dari luar.<br /><br />Artinya Bapak ingin mengatakan bahwa pungli atau kongkalikong itu terjadi, karena intervensi dari luar?<br />Iya dari luar.<br /><br />Luar ini dari DPR maksudnya?<br />Iyalah. Kalau saya sebut dari DPR, orang DPR marah. Katanya harus menyebut dengan oknum anggota DPR. Saya ikutlah nyebutnya oknum anggota DPR. Sama saja.<br /><br />Bagaimana polanya?<br />Sebenarnya saya prihatin, KPK sudah besar-besaran menangkap orang yang korup. Ternyata orang-orang itu enggak kapok. Jadi seperti yang baru saya ungkapkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Misalnya begini; ada perusahaan BUMN, kecil sekali, susah dan tugasnya juga melayani petani. Perusahaan ini akan mendapat bantuan dari pemerintah sekian ratus miliar. Karena tahu soal itu, oknum anggota DPR tadi datang. Dia minta bagian 10 persen dan mengatakan harus dibayar di depan sebelum turun dari APBN itu.<br /><br />Tapi karena setahun terakhir ini saya sudah pagari hal seperti itu maka Direktur Utama perusahaan itu menolak. Tapi karena didesak terus, maka Dirutnya mengajak direktur yang lain menemui oknum anggota DPR tersebut.<br /><br />Tapi itu tetap dia (anggota DPR) tidak malu dan tetap minta bagian 10 persen di depan tiga orang dari jajaran direksi ini. Ini kan sudah tidak rahasia lagi kan, kalau sudah di depan tiga orang ini. Kok ya dia sampai hati ya. Ini perusahaan kecil yang tugasnya melayani petani. Dia berani meminta begitu.<br /><br />Seharusnya ada penyadap di situ Pak?<br />Kan sudah ada saksi di situ. Mereka tiga orang nemuin anggota DPR itu. Saya sudah ngomong dengan Dirut, kata dia ada yang minta bagian 10 persen. Tapi Dirut tidak berani kongkalikong seperti itu. Dia (Dirut) "ngelesi". Ngeles menolak permintaan anggota DPR itu, dengan pura-pura tanya Direktur keuangannya, "Eh ini ada permintaan ini 10 persen,". Dia sebetulnya tidak tanya sungguh-sungguh. Itu sudah diatur. Lalu direktur keuangannya jawab, "Enggak ada pak, enggak ada anggarannya untuk itu" Terus, nanti Dirut bilang ke anggota DPR itu, "Pak menurut direktur keuangan, enggak ada mata anggarannya, enggak ada anggarannya".<br /><br />Tapi tetap enggak menyerah si oknum anggota DPR ini. Bahkan dia (oknum anggota DPR) malah ngajari direktur-direkturnya. Katanya, "Lho ini enggak perlu dari anggaran langsung".<br /><br />Ini kan berarti dia nguber, ngebet banget dapat uang dan akhirnya ngajarinnya. Dia mengajarkan uang itu tidak perlu langsung diberikan, tapi melalui vendor atau rekanan. Nanti rekanan yang akan memberikan jatah itu pada anggota DPR tersebut.<br /><br />Lalu bagaimana tanggapan direksi BUMN itu setelah mendengar oknum anggota DPR itu?<br />Teman-teman direksi tidak mau diajak begitu. Mereka bilang: "Lho Pak kami itu enggak punya rekanan. Rekanan kami itu petani semua. Enggak mungkin kami melakukan itu pada petani, terus disetorkan ke bapak". Sampai dijelaskan begitu oleh direksi kami. Tapi masih memaksakan. Tapi sudah ditolak. Jadi memang begitu. Ini satu kasus. Yang lain, ada beberapa lagi. Ini kebangetan, sudah tahu perusahaannya kecil, lagi susah, petani juga, kok ya tega.<br /><br />Itu oknumnya atas nama sendiri atau dari Partainya Pak?<br />Saya tanya pada direksinya itu, dia bilang oknum itu mengaku disuruh mewakili dari teman-temannya. Nah saya tidak jelaskan lebih lanjut, apa temannya satu fraksi atau satu partai, atau satu komisi, saya tidak jelaskan. Tapi yang jelas, itu bukan dia sendiri.<br /><br />Kalau perusahaan yang kecil saja begitu, bagaimana dengan perusahaan yang besar ya Pak?<br />Saya sudah tekankan tidak boleh terjadi itu. Yang seperti ini banyak, saya sudah cek, tapi mereka ngaku enggak mau kongkalikong. Yang seperti itu harus diakhiri.<br /><br />Saat menjabat sebagai Dirut PLN, apa pernah ada yang memberi upeti?<br />Selama di PLN, jangankan upeti. Gaji aja kan tidak saya pakai, tidak saya ambil. Mobil, saya pakai mobil saya sendiri, rumah pakai rumah saya sendiri. Handphone, punya saya sendiri. Jadi untuk apa ambil upeti. Gaji saya dulu cukup besar, hampir Rp 150 juta. Itu enggak saya ambil, ngapain saya ambil upeti. Di kementerian juga saya tidak ambil gaji. Kalau sebagai menteri BUMN, kebetulan saya kasihkan orang. Saya kasihkan pada anak-anak muda, yang saya minta pulang dari Jepang. Saya tahu di Jepang, gajinya tinggi, di sini gajinya rendah, karena itu gaji saya otomatis jadi gaji dia. Agar mereka pulang ke Indonesia.<br /><br />Bapak ini sering disebut mencari pencitraan untuk 2014, bagaimana tanggapan Bapak?<br />Saya itu dibilang pencitraan, Alhamdulilah. Dibilang banyak kerja Alhamdulilah, enggak apa-apa.<br /><br />2014 apa akan maju?<br />Saya itu percaya sepenuhnya pada takdir. Saya tidak mendahului. Kalau di Atas takdirnya bagaimana, saya terima. Saya lihat dalam perjalanan, banyak orang yang sangat mau jadi presiden, tapi toh enggak bisa jadi juga. Jadi saya sangat percaya bahwa dalam urusan jabatan itu campur tangan Tuhan sangat menentukan. Sekarang kita bekerja dulu saja.***<br /></div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-35478831340366648072012-10-29T20:30:00.000+07:002012-10-31T20:35:58.564+07:00Bersih, Bersih, Bersih…..<div style="text-align: justify;">
29 October 2012<br /><b>Bersih, Bersih, Bersih…..</b><br />Oleh Ngurah Adnyana, Direktur Operasi Jawa Bali.<br /><br />Pada puncak acara Lomba CoC (Code of Conduct) se Jawa Bali yang diadakan di Yogyakarta tanggal 18 Oktober 2012 sore itu diumumkanlah oleh Dewan Juri : “……sebagai juara pertama adalah …Area Cimahi!” dan riuhlah suporter PLN Cimahi yang hadir pada acara. “ Cimahi pasti bisa….DJBB excellence…. “ teriak para suporter yang kala itu berseragam kaos hitam. Entah ada maksud tertentu atau kebetulan saja mereka berseragam hitam. Semua bergembira, saling bersalaman, berfoto bersama, serasa dunia milik mereka sendiri. Pak Denny Pranoto – sang GM , Pak Taufik Haji – mantan GM Jabar & Banten dan saya sendiri – mantan Kepala Bagian Teknik Cabang Cimahi, didaulat ikut berfoto bersama merayakan kemenangan regu CoC PLN Cimahi.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Tim CoC Area Teluk Naga dan Area Pasuruan yang diumumkan sebagai juara kedua dan ketiga lomba CoC pun ikut bergembira merayakan kemenangan mereka. Berfoto bersama, meneriakkan “ Pasti bisa …. yes we can!….” Pada dasarnya semua senang dan larut dalam pelaksanaan Lomba CoC yang diikuti 10 peserta yang mewakili Unit Induk masing-masing yaitu 5 Unit Distribusi, 1 Unit P3B JB, 2 Unit Pembangkit (UPJB dan Tanjung Jati B) dan 2 Tim yang mewakili anak perusahaan pembangkitan yaitu IP dan PJB. Para peserta ini mewakili unit induknya setelah menjadi juara pada kompetisi di internal mereka masing-masing.<br /><br />Ada catatan saya pada lomba CoC di Yogyakarta yang mengambil format teatrikal ini. Pertama, dalam menampilkan aksi panggung sebagian besar mengambil bentuk Opera van Java (OVJ) dengan dalang “Parto”-nya masing-masing walaupun tidak banyak ditampilkan “Sule”nya. Mungkin nggak banyak pegawai PLN punya rambut kayak Sule. …? Rupanya format hiburan OVJ ini sangat diminati masyarakat saat ini. Kedua, daerah Purwokerto istimewa kali ini. Dari 10 Tim CoC yang tampil pada lomba ini, 3 tim berasal dari Purwokerto yaitu Area Purwokerto, Area Pelayanan Pemeliharaan (APP) Purwokerto dan UBP (Unit Bisnis Pembangkitan) Mrica. Kelihatannya unit PLN di Purwokerto semua pada kompak dan sangat berpotensi untuk berinovasi.<br /><br />Lomba CoC ini (CoC mulai dilaksanakan sejak 2010) dimaksudkan untuk mendorong unit lebih intensif berkomunikasi secara internal sehingga terbangun rasa kebersamaan. Menghapus sekat-sekat antar bagian, tidak ada lagi hambatan komunikasi antara Manajer dengan staf/pegawai. Dan pada akhirnya terbangun komitmen bersama untuk bekerja, bekerja, bekerja…. memajukan perusahaan untuk menghadapi tantangan besar PLN kedepan.<br /><br />Apa tantangan besar PLN kedepan ?<br /><br />Pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai dengan triwulan 3 -2012 ada pada angka 6,3 %. Sementara di dunia lain Eropa, Amerika dan Asia pertumbuhan relatif rendah, malah ada yang negatif. Bank Duniapun mengkoreksi perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia 2012 ini menjadi 3,3 % dari sebelumnya yang diramalkan 3,5 %. Artinya bank duniapun melihat pesimistis pertumbuhan ekonomi dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti ini diramalkan Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor enam dunia pada tahun 2030. Kelas menengah Indonesia pun akan tumbuh dari 45 juta orang saat ini menjadi 135 juta orang pada tahun 2030. Pertumbuhan kelas menengah ini pasti akan membutuhkan energi, termasuk membutuhkan energi listrik untuk kehidupan mereka.<br /><br />Kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 6,3 %, maka pertumbuhan konsumsi listrik pada perioda yang sama di 2012 mencapai 10,15 %. Angka ini jauh lebih besar dari pertumbuhan lima tahun terakhir sejak 2002 -2011 yang rata-rata tumbuh 7% per tahun. Nah, dengan potret ini maka tantangan PLN adalah :<br /><br />- menyediakan infrastruktur kelistrikan mulai dari sisi pembangkit, transmisi, distribusi untuk menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi yang tinggi,<br />- mengelola bisnis kelistrikan dengan “bersih” dan efisien sesuai tuntutan perusahaan kelas dunia sehingga bisa berbisnis secara berkelanjutan.<br /><br />Apakah pengelolaan bisnis PLN selama ini sudah memadai ?<br /><br />Dari sisi infrastruktur, PLN akan terus menyediakan infrastruktur kelistrikan walaupun PLN memerlukan anggaran sekitar Rp 60 trilyun setiap tahun. Kebutuhan ini dipenuhi dari kas PLN (APLN), APBN, pinjaman bank dan penjualan obligasi. Pertengahan Oktober ini Pak Dewo dan Pak Murtaqi melakukan road show ke Asia, Eropa dan AS untuk jualan obligasi yang berhasil sukses. Dari penjualan obligasi sebesar 1 milyar USD, penawaran investor mencapai 11,5 milyar USD (over subscribe 11,5 x) hanya dalam 16 jam sejak ditawarkan sehingga PLN memperoleh dana obligasi dengan bunga 5,25 %, lebih rendah dari bunga obligasi PLN 5,50 % tahun 2011, sama dengan bunga obligasi Pertamina yang rating nya 1 level lebih tinggi dari PLN<br /><br />Apa yang bisa dipetik dari cerita ini ? Ini membanggakan, karena para investor dunia sangat mempercayai pengelolaan bisnis PLN. Kalau nggak percaya, mana mau mereka rebutan membeli obligasi PLN?<br /><br />Yang juga membanggakan pada Hari Listrik Nasional ke 67 tahun ini adalah PLN berhasil naik 11 peringkat dari peringkat 158 (2012) menjadi 147 (2013) dalam hal kemudahan masyarakat dan dunia bisnis mendapatkan sambungan listrik PLN (lihat tabel dibawah). Penilaian ini sesuai hasil survey IFC (International Finance Corporation) institusi Bank Dunia. IFC memuji PLN telah melakukan terobosan dengan menyediakan akses mendapatkan sambungan listrik melalui Call Center 123, AP2T dan tanpa mempersyaratkan rekening tetangga.<br /><br />Pertanyaannya apa kita warga PLN sudah cukup bangga dengan prestasi itu ?<br /><br />Waktu saya baca di media online detik.com yang memuat dan minta pembaca mengomentari ”Terangi Nusantara, PLN dipuji Bank Dunia”, beberapa pembaca berkomentar. Yang kontra menulis : “haha..bank dunia dikibulin PLN” sementara yang pro menulis : “ …ini baru berita sejuk, nggak ada politis-politisnya…jadi bikin semangat kerja” dan banyak lagi komentar lainnya.<br /><br />Terlepas dari komentar-komentar di atas, kalau kita lihat kemudahan mendapat listrik masih di peringkat 147, tentu masih banyak hal yang harus kita perbaiki. Mulai dari memperoleh pendanaan, pengadaan energi primer, membangun infrastuktur pembangkit, transmisi yang dikerjakan oleh teman-teman Proyek, membangun jaringan distribusi, memelihara aset sampai menekan gangguan padam.<br /><br />Dari sisi pelayanan pelanggan walaupun PLN sudah dipuji dengan penerapan Call Center 123, website pln.co.id, AP2T (Aplikasi Pelayanan Pelanggan terpusat) yang didukung teknologi informasi, tetap masih banyak tantangan. Penyambungan meter kWh di rumah pelanggan tidak bisa diotomatisasi. Tetap harus memakai ‘teknologi makan nasi…’ harus dilaksanakan manual oleh orang. Disinilah tantangan terbesarnya. Kemudahan mendapat listrik sangat tergantung pada mindset atau perilaku petugas dilapangan seperti saya tulis di BOD Note “Pungutan Lagi, Pungutan Lagi “ Agustus 2012 lalu. Ini tantangan besar karena mau tidak mau harus melibatkan mitra kerja PLN ditengah situasi lingkungan yang sedang turbulen, korupsi merebak dimana-mana, semua ingin dapat uang tanpa harus kerja keras. Disinilah peran para Manajer Area untuk tegas memberlakukan aturan, tegas memberi sanksi pada yang melanggar dan memberi apresiasi pada yang berprestasi.<br /><br />Di sisi pengadaan barang dan jasa juga masih banyak yang harus diperbaiki untuk mewujudkan efisiensi pengadaan dan coorporate governance – tata kelola perusahaan yang lebih baik. Pengadaan barang langsung ke pabrikan sudah dilakukan seperti trafo, kabel, baik untuk material distribusi utama maupun transmisi. Tahun 2013 akan dilanjutkan dengan pengadaan langsung ke pabrikan untuk material distribusi dan tranmisi lainnya seperti arrester, isolator, trafo pengukuran CT&PT dan lainnya. Untuk trafo 150 kV sudah mulai diterapkan pembelian langsung ke pabrikan dalam negeri dengan open book system – harga trafo ditetapkan sesuai biaya produksinya yang bisa diaudit oleh PLN – ditambah margin yang wajar.<br /><br />Semua ini bertujuan agar PLN menjadi lebih efisien dan pengelolaan binisnya menjadi lebih bersih. Makanya pada Raker Direktorat Operasi Jawa Bali yg dilaksanakan di Yogya 17-18 Oktober 2012 yang dibarengi dengan Lomba CoC diatas, raker mengambil tema ” Membangun PLN Bersih, Efisien, Menjadi Lokomotif Pertumbuhan”.<br /><br />Program “PLN Bersih Anti Suap” secara korporat sedang tahap penyelesaian untuk segera diterapkan. Tambah tahun PLN harus tambah bersih, tambah efisien sehingga bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa Indonesia.<br /><br />Selamat Hari Listrik Nasional ke 67.<br /><br />Bekerja, Bekerja, Bekerja……. Bersih, Bersih, Bersih…….!<br /><br /></div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-78802214000871396042012-10-29T19:50:00.001+07:002012-10-29T19:52:23.977+07:00Temuan Inefisiensi yang Mestinya Melebihi Rp 37 Triliun<div style="text-align: justify;">
Senin, 29 Oktober 2012 , 01:09:00<br /><b>Temuan Inefisiensi yang Mestinya Melebihi Rp 37 Triliun<br />Manufacturing Hope 49</b><br /><br />BENARKAH BPK menemukan inefisiensi di PLN sebesar Rp 37 triliun saat saya jadi Dirut-nya? Sangat benar. Bahkan, angka itu rasanya masih terlalu kecil. BPK seharusnya menemukan jauh lebih besar daripada itu.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Contohnya ini: Rabu subuh kemarin saya mencuri waktu sebelum mengikuti acara peresmian pelabuhan kontainer Kariangau, Balikpapan, oleh Bapak Presiden SBY. Masih ada sedikit waktu untuk saya menyelinap ke Senipah. Jaraknya memang 1,5 jam dari Balikpapan, tapi dengan sedikit ngebut masih akan oke.<br /><br />Di Senipah sedang dibangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 80 mw. Awalnya, sebelum saya menjabat Dirut PLN, proyek itu menghadapi persoalan birokrasi besar. Saya datang ke Senipah di dekat muara Sungai Mahakam itu. Persoalan selesai. Proyek bisa dibangun.<br /><br />Ini penting bukan saja agar kekurangan listrik di Kaltim segera teratasi, tapi PLN pun bisa berhemat triliunan rupiah. Lebih efisien. Kasus Kaltim tersebut (juga Kalselteng) sangat memalukan bangsa. Daerah yang kaya energi justru krisis listriknya terparah.<br /><br />Kini, ketika pembangunan PLTG Senipah itu hampir selesai, ada persoalan lagi. Untuk membawa listrik itu ke Balikpapan dan Samarinda, harus melewati tanah Pertamina. Saya pun harus mencarikan jalan keluar. Beres. Tiga bulan lagi proyek itu sudah menghasilkan listrik. Efisiensi triliunan rupiah segera terwujud.<br /><br />Dengan kata lain, selama ini telah terjadi inefisiensi triliunan rupiah di Kaltim. Inefisiensi itu tidak ditemukan oleh BPK.<br /><br />Contoh lain lagi: Krisis listrik di Jambi juga termasuk yang paling parah. Padahal, di Jambi ditemukan banyak sumber gas. Tapi, PLN membangkitkan listrik dengan BBM. Terjadilah inefisiensi triliunan rupiah di Jambi. BPK juga tidak menemukan inefisiensi di Jambi itu.<br /><br />Saya segera memutuskan, pembangkit yang sudah nganggur di Madura dibawa ke Jambi. Sejak kabel listrik untuk Madura dilewatkan Jembatan Suramadu, tidak ada lagi kekhawatiran Madura kekurangan listrik. Jambi pun lebih efisien.<br /><br />Ada lagi gas Jambi yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Berapa triliun rupiah inefisiensi telah terjadi. Itu juga tidak ditemukan BPK. Saya segera memutuskan membangun CNG (compressed natural gas) di Sei Gelam, di luar Kota Jambi. Agar gas yang ditelantarkan bertahun-tahun itu bisa dimanfaatkan.<br /><br />Minggu lalu, tengah malam, dalam rangkaian meninjau proyek sapi di Jambi, saya bersama Gubernur Jambi Hasan Basri Agus meninjau proyek CNG itu. Sudah hampir selesai. Saya bayangkan betapa besar efisiensinya. Bahkan, Jambi yang dulu krisis listrik akan bisa "ekspor" listrik.<br /><br />Contoh lagi: Suatu saat pemerintah membuat keputusan yang tepat, yakni gas jatah PLN dialihkan untuk industri yang kehilangan pasokan gas. Jatah gas PLN dikurangi. Akibatnya, PLN berada dalam dilema: menggunakan BBM atau mematikan saja listrik Jakarta. Pembangkit besar di Jakarta itu (Muara Karang dan Muara Tawar) memang hanya bisa dihidupkan dengan gas atau BBM. Tidak bisa dengan bahan bakar lain.<br /><br />Tentu PLN tidak mungkin memilih memadamkan listrik Jakarta. Bayangkan kalau listrik Jakarta dipadamkan selama berbulan-bulan. Maka, digunakanlah BBM.<br /><br />Kalau keputusan tidak memadamkan listrik Jakarta itu salah, saya siap menanggung risikonya. Saya berprinsip seorang pemimpin itu tidak boleh hanya mau jabatannya, tapi tidak mau risikonya. Maka, dia harus berani mengambil keputusan dan menanggung risikonya.<br /><br />Kalau misalnya sekarang saya harus masuk penjara karena keputusan saya itu, saya akan jalani dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya!<br /><br />Saya pilih masuk penjara daripada listrik Jakarta padam secara masif berbulan-bulan, bahkan bisa setahun, lamanya. Saya membayangkan, mati listrik dua jam saja, orang sudah marah, apalagi mati listriknya berbulan-bulan.<br /><br />Sikap ini sama dengan yang saya ambil ketika mengatasi krisis listrik di Palu. Waktu itu saya sampai menangis di komisi VII. Saya juga menyatakan siap masuk penjara. Daripada seluruh rakyat Palu menderita terus bertahun-tahun.<br /><br />Akibat keputusan saya untuk tidak memadamkan listrik Jakarta itu memang berat. PLN mengalami inefisiensi triliunan rupiah. Tapi, pabrik-pabrik tidak tutup, PHK ribuan buruh terhindarkan, dan Jakarta tidak padam selama setahun!<br /><br />Apakah PLN harus memberontak terhadap putusan pemerintah itu? Tentu tidak. Putusan itu sendiri sangat logis. Kalau industri tidak dapat gas, berapa banyak pabrik yang harus tutup. Berapa ribu karyawan yang kehilangan pekerjaan. Alangkah ributnya. Indonesia pun kehilangan kepercayaan.<br /><br />Sekali lagi, jangankan dipanggil komisi VII, masuk penjara pun saya jalani dengan sikap ikhlas seikhlas-ikhlasnya!<br /><br />Ini mirip Pertamina yang juga tidak mungkin tidak menyalurkan BBM ke masyarakat meski kuota BBM bersubsidinya sudah habis. Atau juga seperti BUMN lain, PT Pupuk Indonesia, yang November/Desember nanti tidak mungkin tidak menyalurkan pupuk ke petani. Padahal, kuota pupuk subsidi sudah akan habis.<br /><br />Saya tahu pepatah ini: Kian tinggi, kian kencang anginnya. Tapi, saya juga tahu lelucon ini: Kian besar kembung perut, kian besar buang anginnya!<br /><br />Contoh lain lagi: Secara mendadak, saat menjadi Dirut PLN saya memutuskan membangun transmisi dari Tentena ke Palu lewat Poso. Sejauh 60 km. Harus melewati hutan dan gunung. Tahun depan transmisi tersebut harus jadi. Itu akan bisa mengalirkan listrik dari PLTA Poso milik Pak Kalla yang begitu murah tarifnya ke Kota Palu.<br /><br />Kalau tidak ada transmisi itu, PLTA di Sulteng tidak bisa untuk melistriki Sulteng, tapi justru melistriki provinsi lain. Akibatnya, inefisiensi di PLN Sulteng akan terus terjadi. Dengan nilai triliunan rupiah. Itu juga tidak ditemukan oleh BPK.<br /><br />Saya terus memonitor pembangunan transmisi tersebut agar inefisiensi yang sudah terjadi bertahun-tahun itu segera berakhir.<br /><br />Belakangan ini ada masalah besar di proyek itu. Terutama sejak dua polisi Poso tewas di hutan oleh teroris. Para pekerja yang memasang transmisi itu tidak berani masuk hutan. Dua polisi tersebut pernah ikut mengamankan proyek itu.<br /><br />Karena begitu pentingnya proyek tersebut, saya minta PLN tidak menyerah terhadap ancaman teroris. Kalau perlu, minta tolong Zeni TNI-AD untuk mengerjakannya.<br /><br />Efisiensi yang akan terjadi triliunan rupiah. Listrik untuk Palu pun lebih terjamin. Program itu tidak boleh gagal oleh gertakan teroris.<br /><br />Contoh lain yang lebih menarik: Di laut utara Semarang ditemukan sumber gas. Pemilik sumur gas itu sudah setuju menjual gasnya ke PLN. Harganya pun sudah disepakati. Tapi, bertahun-tahun perusahaan yang memenangi tender untuk membangun pipa gasnya tidak kunjung mengerjakannya. Bukan PLN yang mengadakan tender. PLN hanya konsumen.<br /><br />PLN gagal mendapatkan gas sampai 100 MMBtu. Di sini PLN mengalami inefisiensi triliunan rupiah. BPK juga belum menemukan inefisiensi itu.<br /><br />Contoh-contoh inefisiensi seperti itu luar biasa banyaknya. Dan triliunan rupiah nilainya. Itulah sebabnya saya benar-benar ingin menjabat Dirut PLN sedikit lebih lama lagi. Agar saya bisa melihat hasil-hasil pemberantasan inefisiensi di PLN lebih banyak lagi.<br /><br />Apakah Komisi VII DPR tidak tahu semua itu? Sehingga memanggil saya untuk menjelaskannya?<br /><br />Saya tegaskan: Komisi VII sangat tahu semua itu. Kalaupun merasa tidak tahu, kan ada Dirut PLN yang baru, Nur Pamudji. Pak Nur bisa menjelaskan dengan baik, bahkan bisa lebih baik daripada saya. Apalagi, waktu itu beliau menjabat direktur PLN urusan energi primer.<br /><br />Hampir tidak ada relevansinya memanggil menteri BUMN ke komisi VII. Tapi, kalaupun saya dipanggil lagi, saya akan hadir. Saya juga sudah kangen kepada mereka. Dan mungkin mereka juga sudah kangen saya. Sudah setahun saya tidak melucu di komisi VII. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-75801844403956904812012-10-22T07:41:00.001+07:002012-10-22T07:42:05.472+07:00Gangnam Style Sepanjang Tahun<div style="text-align: justify;">
Senin, 22 Oktober 2012 , 01:01:00<br /><b>Gangnam Style Sepanjang Tahun<br />Manufacturing Hope 48</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />PANTAI Losari, Minggu pagi, 21 Oktober 2012. Senam pagi. Keringat pun bercucuran gara-gara gerak yang kian keras dan matahari Makassar yang kian tinggi. Apalagi setelah lagu Korea dipakai untuk gerakan penutupnya: Semua peserta seperti sedang menunggang kuda liar: Gangnam style.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
"Selamat ya!" ujar seorang teman, mengajak salaman. "Saya memang sudah latihan Gam Lan style beberapa hari terakhir ini bersama grup senam saya di Monas," jawab saya.<br /><br />Ternyata, bukan itu yang dia maksud. "Selamat ulang tahun," katanya. Saya lupa kalau hari itu genap satu tahun saya menjabat menteri BUMN. Saya pikir dia menyalami karena gerakan saya di Gangnam style.<br /><br />Usai senam itu, saya ingin melihat rencana pembangunan pelabuhan baru Makassar. Tapi, diam-diam saya ingin belok dulu ke sebuah perusahaan BUMN yang setahun lalu masih berstatus "mayat": PT Industri Kapal Indonesia (IKI). Saya ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Setelah hampir setahun manajemen di IKI diperbaiki.<br /><br />Memang hampir setahun yang lalu, tengah malam, saya diam-diam ke IKI. Tidak ada yang tahu. Satpam di situ sedang tidur dan pintunya tidak terkunci. Memang tidak ada harta berharga di situ. Sebulan kemudian, tengah hari, saya datang lagi. Meski tidak memberi tahu, rencana itu bocor di menit-menit terakhir.<br /><br />Karyawan yang sudah lebih dua tahun tidak menerima gaji melakukan demo. Tapi, persiapan demonya tidak bisa sempurna. Terburu-buru.<br /><br />Saya telanjur masuk ke galangan ketika mereka berkumpul di pintu gerbang. Tapi, mereka masih bisa mencegat ketika saya hendak keluar. Saya pun mendatangi mereka. Setidaknya untuk memberi tahu bahwa spanduk yang mereka bentangkan terbalik.<br /><br />Beberapa bulan kemudian saya masih datang lagi ke IKI. Dan kedatangan saya Minggu pagi kemarin itu untuk kali keempat. Saya pikir, karena hari Minggu, IKI pasti sepi. Tidak mungkin direksinya ada di tempat. Tidak apa-apa. Toh, niat saya memang hanya ingin melihat kondisinya yang terkini.<br /><br />Ternyata, dari pintu gerbangnya terlihat banyak sekali manusia: laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Mereka membukakan pintu gerbang, tapi segera kaget ketika melihat pengemudi mobil tersebut adalah saya. Semua berlarian ke arah mobil: bukan untuk demo, tapi untuk menyalami.<br /><br />"Ada apa ini?" tanya saya. "Ulang tahun IKI yang ke-35, Pak," jawab mereka.<br /><br />Saya pun didaulat untuk turun dari mobil. Tapi, saya minta izin untuk bisa melihat-lihat dulu seluruh kawasan galangan kapal itu. Direksi IKI pun, yang ternyata lengkap hadir di acara itu, ikut keliling lokasi. Saya kaget, sudah begitu banyak kapal yang diperbaiki di situ. Ada kapal tunda, ada tongkang, ada pula kapal barang. Graving dock yang dulu seperti kolam tua itu kini sudah diisi dua kapal.<br /><br />"Hebat! Sudah banyak kapal, ya?" tanya saya.<br /><br />"Alhamdulillah, Pak. Sudah banyak sekali pekerjaan. Bahkan, kapal yang minta diperbaiki di sini sudah harus antre," ujar Bandung Bismono, Dirut PT IKI yang baru. "Kami akan terus menambah alat agar lebih banyak lagi kapal yang bisa diperbaiki di sini," ujar Bandung yang asli Semarang itu.<br /><br />"Sudah berapa karyawan yang bisa bekerja?" tanya saya. Saya ingat 200 karyawan PT IKI sudah lama menganggur dan tidak menerima gaji.<br /><br />"Sudah lebih 200 orang. Semua sudah bekerja kembali. Bahkan, kami segera merekrut karyawan baru. Sudah kekurangan karyawan," tambah Bandung Bismono.<br /><br />Dalam hati saya memuji kehebatan direksi baru PT IKI ini. Perusahaan ini bisa hidup lagi tanpa disuntik modal sama sekali. Saya hanya menyuntikkan kepercayaan diri. Padahal, dulu-dulunya selalu saja muncul ancaman ini: Kalau tidak ada suntikan modal, tidak mungkin PT IKI bisa hidup lagi. Mereka selalu minta modal dari negara. Nilai yang mereka ajukan pun Rp 200 miliar.<br /><br />Saya ingat betapa gigih direksi PT IKI yang dulu memperjuangkan modal baru itu. Bahkan, kesan saya, kesibukan direksinya justru lebih banyak untuk mengurus penambahan modal itu daripada untuk bekerja di lapangan. Mereka marah kepada saya karena saya tidak mau meneruskan permintaan itu ke pemerintah dan DPR. Saya pun menunjuk direksi baru yang sanggup menghidupkan PT IKI tanpa sikap yang cengeng. Namanya Harry Sampurno.<br /><br />Saya punya prinsip direksi sebuah perusahaan tidak boleh cengeng. Modal besar sekalipun di tangan sebuah direksi yang cengeng akan habis begitu saja.<br /><br />Dalam enam bulan direksi baru PT IKI sudah menunjukkan hasil nyata. Tanda-tanda kehidupan kian jelas. Saya tahu pengorbanan Harry Sampurno sangat besar. Korban lahir dan batin. Karena itu, ketika PT IKI sudah kelihatan bisa jalan, saya pun memindahkan Harry Sampurno untuk memegang perusahaan yang lebih besar.<br /><br />Dia kini menjabat Dirut PT Dahana, yang memproduksi bahan peledak itu. Aslinya, dia memang orang PT Dahana. Dia ke IKI untuk sementara, sebagai "Kopassus" yang harus membereskan PT IKI.<br /><br />Usai meninjau lapangan, saya pun bergabung dengan seluruh karyawan dan keluarga mereka. Dari dialog di halaman itulah saya baru tahu mengapa ulang tahun ini terasa meriah. "Kami sudah sepuluh tahun tidak pernah mengadakan ulang tahun," ujar Sekretaris Perusahaan Ansyarif.<br /><br />"Kali ini kami adakan ulang tahun karena kami sangat senang perusahaan ini hidup lagi. Kami ingin terus maju," katanya.<br /><br />Salah seorang karyawan kemudian minta salaman sambil minta maaf. "Maafkan kami dulu mendemo Bapak," katanya.<br /><br />Karyawan bertepuk riuh ketika saya memberitahukan bahwa hari itu saya pun berulang tahun: genap setahun menjadi menteri.<br /><br />Misteri Modal<br /><br />Lokasi PT IKI ini tidak terlalu jauh dengan rencana pengembangan pelabuhan peti kemas Makassar yang baru. Inilah pelabuhan baru yang harus bisa dimasuki kapal dengan bobot 3.000 TEUs. Tiga kali lipat dari pelabuhan Makassar yang ada sekarang.<br /><br />Kini Dirut Pelindo IV Harry Sutanto sedang mengurus perizinannya di Kementerian Perhubungan. Begitu izin keluar, pembangunan langsung dilakukan. Pelindo IV sendiri yang akan mengusahakan dananya. Tidak perlu APBN.<br /><br />Pelindo IV kini juga sudah menyelesaikan pembangunan pelabuhan peti kemas baru di Kariangau, Balikpapan. Itulah pelabuhan yang akan diresmikan Presiden SBY Rabu lusa.<br /><br />Pelindo IV juga menghadapi tantangan berat bersama Pelindo II untuk membangun pelabuhan baru yang amat besar di Sorong. Sebesar yang ada di Makassar. Beda dengan IKI tadi, kali ini Pelindo mampu menyediakan modal sendiri.<br /><br />"Modal" memang sering seperti misteri. Ada perusahaan yang benar-benar perlu modal. Tapi, banyak juga "modal" yang dimaksud hanyalah berupa dukungan kepercayaan. Percaya kepada pemegang sahamnya, percaya kepada direksinya (percaya bahwa direksinya akan mau kerja keras), dan kadang cukup percaya bahwa ada orang lain yang memercayainya.<br /><br />Dalam hal PT IKI, dukungan bahwa PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) akan membantunya bisa menimbulkan kepercayaan. Padahal, akhirnya PT DPS tidak perlu benar-benar memberikan dukungan. PT IKI bisa bangkit semata-mata oleh direksi dan karyawannya sendiri!<br /><br />Demikian juga PT Batantekno yang melakukan pengayaan uranium sistem rendah untuk memproduksi radioisotop. BUMN yang bergerak di kedokteran nuklir itu begitu terseok-seoknya. Dirinya sendiri sudah kehilangan kepercayaan. Apalagi orang luar.<br /><br />Kepercayaan mulai muncul ketika direksi barunya adalah orang-orang yang tidak hanya ahli di bidang nuklir, tapi juga mau menderita (sampai tinggal di rumah kos-kosan). Dan mau bekerja keras. Bukan direksi yang selalu memikirkan "kalau saya kerja keras" saya akan "dapat apa".<br /><br />Memang setelah itu diperlukan dana. Batantekno tetap tidak bisa berkembang kalau tidak disediakan dana yang besar.<br /><br />"Berapa besar?" tanya saya.<br />"Besar sekali, Pak. Bisa Rp 80 miliar," ujar Dr Yudiutomo Imardjoko, direktur utama PT Batantekno yang ahli nuklir itu. Dialah satu-satunya orang di dunia yang mampu melakukan pengayaan uranium dengan sistem rendah.<br /><br />"Kalau uang itu saya usahakan, pendapatan perusahaan bisa mencapai berapa setahun?" tanya saya.<br />Dia pun menghitung-hitung. Dia melihat, negara-negara di Asia ini tidak ada yang mampu memproduksi isotop. Pun tidak Singapura dan Jepang. Amerika pun, kalau dua tahun lagi peraturan baru diterapkan, tidak akan bisa memproduksinya. Yakni, peraturan bahwa uranium tidak boleh lagi dikayakan dengan sistem tinggi. Negara-negara itu selama ini bisa memproduksi radioisotop dengan cara pengayaan sistem tinggi yang bisa disalahgunakan untuk senjata nuklir.<br /><br />Pasar radioisotop sangat luas. Semua orang yang sakit, yang memerlukan MRI atau CT scan, pasti memerlukan cairan radioisotop. Cairan itulah yang disuntikkan ke dalam tubuh agar dokter bisa melihat keadaan dalam tubuh kita mengandung penyakit apa saja. Setelah mempertimbangkan semua itu, Dr Yudi pun menggoreskan angka.<br /><br />"Setahun pendapatan perusahaan bisa mencapai Rp 2 triliun, Pak," kata Dr Yudi sepuluh menit kemudian.<br />"Oke. Saya carikan dana Rp 80 miliar. Anda laksanakan semua program itu," tegas saya.<br /><br />Setelah mengucapkan kata-kata itu, saya pun berpikir. Bank mana yang bisa memberikan pinjaman modal sebesar itu. Kekayaan PT Batantekno belum memenuhi syarat untuk punya pinjaman sebesar itu.<br /><br />Akhirnya, BRI bisa diyakinkan. Ditandatanganilah perjanjian kredit Rp 80 miliar.<br /><br />Mendengar PT Batantekno mendapat dukungan dana, muncullah kepercayaan diri para direksi dan karyawannya. Bahkan, orang luar pun giliran memercayai Batantekno. Produksi pun meningkat. Ekspor pun dilakukan. Bahkan sampai Tiongkok dan Jepang.<br /><br />Dari transaksi ekspor itulah PT Batantekno bisa mendapat L/C di depan. Perusahaan menjadi punya uang. Tanpa pinjaman. Termasuk tanpa pinjaman dari BRI yang sudah disetujui tersebut.<br /><br />Direksi Batantekno juga bukan direksi yang "mata duitan". Tidak mau sembarangan mencairkan uang kalau memang tidak sangat diperlukan. Tidak ada sikap mengada-ada untuk sekadar agar uangnya cair.<br /><br />Sebaliknya, BRI tentu merasa dirugikan. Saya pun seperti mendapat teguran ketika hari Minggu kemarin bertemu direktur BRI yang membidangi kredit-kredit untuk BUMN. "PT Batantekno belum memanfaatkan kreditnya lho, Pak," ujar Asmawi Syam.<br /><br />Di satu pihak tentu saya memuji direksi Batantekno. Tapi, di pihak lain saya memaklumi problem pengaturan dana di BRI. Yang jelas, saya tetap mengucapkan terima kasih kepadanya. "Tanpa kesanggupan kredit dari Anda, direksi PT Batantekno tidak akan memiliki kepercayaan diri untuk berkembang," kata saya.<br /><br />"Tapi, alokasi kreditnya sudah telanjur ada, Pak," katanya.<br /><br />Tentu, saya tahu, bank bisa dirugikan kalau kredit yang sudah dialokasikan tidak dicairkan. Saya pun percaya bahwa PT Batantekno akan memerlukannya. Suatu saat. Untuk mengembangkan diri lebih besar lagi. Terutama kalau Batantekno jadi berekspansi ke luar negeri tahun depan. Yakni, membangun reaktor nuklir di AS dan memproduksi cairan kedokteran nuklir di sana.<br /><br />Dari dua contoh kasus PT IKI dan PT Batantekno tersebut, nyatalah bahwa kepercayaan adalah segala-galanya. Itulah sebabnya program holdingisasi BUMN juga harus dilihat sebagai upaya untuk memperbesar kepercayaan itu. PT Semen Gresik sudah membuktikannya. Demikian juga PT Pupuk Indonesia.<br /><br />Saya sungguh berharap, sebelum akhir tahun ini holdingisasi BUMN perkebunan dan kehutanan bisa terlaksana. Mungkin memang masih perlu gerak "Gangnam style" di sepanjang tahun kedua saya di BUMN ini. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN</div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7990526897866575327.post-48340826497878105702012-10-15T14:16:00.000+07:002012-10-15T14:24:00.825+07:00Menggerakkan Tangan Kiri BUMN 22 Kali<div style="text-align: justify;">
Senin, 15 Oktober 2012 , 00:51:00<br /><b>Menggerakkan Tangan Kiri BUMN 22 Kali<br />Manufacturing Hope 47</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
UNTUK apa negara memiliki BUMN? Bukankah negara bisa maju dan makmur tanpa BUMN? Seperti Amerika Serikat dan Jepang? Juga seperti Inggris yang dulunya memiliki banyak BUMN dan kemudian dihilangkan sama sekali?</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Bukankah negara didirikan semata-mata untuk menyejahterakan rakyatnya? Apakah ada suatu negara didirikan dengan tujuan untuk melakukan bisnis? Bukankah sektor bisnis seharusnya diberikan kepada rakyatnya? Mengapa negara ikut terjun ke bisnis yang berarti negara akan menyaingi rakyatnya sendiri di bidang bisnis?<br /> <br />Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus saya jawab ketika saya diangkat menjadi menteri BUMN setahun yang lalu. Harus bisa dijelaskan mengapa negara memiliki BUMN. Juga harus bisa dijelaskan untuk apa negara memiliki BUMN.<br /><br />Rakyat juga tidak akan bisa menerima kalau para pengelola BUMN tidak bisa menjawab untuk apa bekerja di BUMN. Rakyat akan marah kalau pengelola BUMN bukan saja tidak tahu tujuan BUMN, bahkan menjadikan BUMN sebagai lahan obyekan dan sumber kenikmatan semata.<br /> <br />Setelah mendapatkan arahan pertama Presiden dan melakukan dialog dengan berbagai kalangan, terutama kalangan ahli dan universitas, saya menetapkan harus ada tujuan yang jelas di mana peran BUMN dan akan ke mana. Garis inilah yang menjadi pedoman kerja selama setahun ini dan akan terus menjadi pedoman ke depan.<br /> <br />Pertama, BUMN harus bisa dipakai sebagai alat ketahanan nasional. Industri strategis masuk kelompok ini. Bahkan, saya memasukkan BUMN sektor pangan ke dalam kelompok "ketahanan nasional". Ini berarti BUMN-BUMN pangan harus mendapat perhatian serius, diperkuat, dan dibesarkan. Tidak boleh ada logika BUMN pangan kita lebih lemah daripada BUMN nonpangan.<br /><br />Kedua, BUMN harus bisa berfungsi sebagai engine of growth. Mesin pertumbuhan ekonomi. Proyek-proyek penting yang akan bisa menggerakkan ekonomi secara nyata harus dimasuki BUMN. Swasta tentu tidak mau masuk ke proyek yang secara bisnis belum bisa memberikan laba. Kalau proyek itu sangat penting, BUMN harus mengerjakannya. Misalnya: pelabuhan, bandara, jalan tol, dan industri hulu solar cell.<br /><br />Ketiga, BUMN harus bisa dipergunakan untuk menumbuhkan kebanggaan nasional. Sejumlah BUMN tidak boleh hanya bisa menjadi jago kandang. Harus menjadi kebanggaan bangsa di dunia internasional. Memang kita belum bisa mendapatkan itu dari sepak bola, namun bukan berarti kita akan kalah di semua bidang. Bank, penerbangan, semen, telekomunikasi, dan kedokteran nuklir adalah beberapa contoh yang akan bisa menjadi kebanggaan bangsa di dunia internasional.<br /><br />Secara singkat, tiga tujuan itu sebenarnya bisa dirangkum dalam sebuah kebijakan yang digariskan Presiden SBY berikut ini: BUMN harus bisa menjadi "tangan kedua" pemerintah. Penegasan ini diulangi sekali lagi oleh beliau di depan sekitar 1.000 orang yang menghadiri pertemuan besar BUMN di Jogja Rabu lalu.<br /> <br />Untuk menggerakkan pembangunan, kata Presiden SBY, pemerintah sudah punya satu "tangan": APBN. Tapi hanya punya satu "tangan" tidak lengkap. Pembangunan akan bisa lebih maju dan lebih cepat kalau memiliki "tangan" kedua: BUMN. Ibarat manusia, dengan memiliki dua tangan, kita memang bisa lebih sempurna.<br /> <br />Pertemuan besar BUMN dengan Presiden SBY di Jogja itu sangat semarak. Semua direktur dan komisaris BUMN hadir. Juga hadir 14 orang menteri, Jaksa Agung Basrief Arief, Ketua BPK Hadi Purnomo, dan Kepala BPKP Mardiasmo.<br /> <br />Para direksi BUMN, termasuk direktur utamanya, hari itu mengenakan baju yang biasa dipakai pegawai golongan terendah di setiap BUMN. Di dalam lift, saat mengantar Bapak Presiden ke tempat acara, saya laporkan tentang tidak dipakainya jas dan dasi dalam pertemuan besar tersebut. Ini sebuah simbol bahwa direksi BUMN harus siap meninggalkan kemewahan yang berlebihan mengingat BUMN harus lebih efisien, bersih, dan menjadi contoh untuk lokomotif pertumbuhan.<br /><br />Memang baru sekali ini ada pertemuan khusus antara seluruh direksi/komisaris BUMN dan Presiden. Presiden sendiri yang menghendaki adanya pertemuan tersebut. Presiden ingin memastikan bahwa BUMN benar-benar siap menjadi "tangan kedua" pemerintah. Banyak hal penting dan mendasar yang tidak bisa dikerjakan melalui APBN harus bisa dikerjakan oleh BUMN.<br /><br />Presiden tidak ingin pembangunan berjalan lambat hanya karena, antara lain, proses politik APBN yang panjang. Di samping karena keterbatasan APBN sendiri. "Di semua negara demokrasi, proses politik memang harus seperti itu. Harus kita terima sepenuhnya. BUMN harus mengisi bagian-bagian yang memerlukan percepatan pembangunan," ujar Presiden.<br /><br />Kemampuan investasi "tangan kiri" BUMN memang bisa mencapai Rp 250 triliun per tahun. Kurang lebih sama dengan kemampuan investasi "tangan kanan" APBN. Kemampuan investasi tersebut akan bisa meningkat manakala, misalnya, BUMN bersama-sama dengan swasta bisa "merebut" kue yang amat besar di BP Migas.<br /><br />Di depan Presiden di acara tersebut saya mengemukakan tekad untuk mengajak swasta secara bersama-sama mengincar anggaran Rp 250 triliun setahun (sekali lagi: setahun!) yang ada di BP Migas yang selama ini lebih banyak dikerjakan perusahaan asing.<br /><br />Pertemuan-pertemuan dengan BP Migas yang dipimpin Kepala BP Migas R Priyono sudah dilangsungkan. Dalam pertemuan itu, "pasukan BUMN" dipimpin oleh menterinya sendiri. Tim-tim kerja sedang disusun. Kemampuan BUMN dan swasta harus digabung untuk bisa bersaing dengan perusahaan asing yang memang hebat-hebat itu.<br /><br />BUMN saja tidak kuat. Swasta nasional saja tidak mampu. Tapi, kalau kemampuan keduanya bisa bergabung, kue yang begitu besar akan bisa lebih banyak dikerjakan oleh perusahaan dalam negeri.<br /><br />Tidak perlu ada perlakuan khusus dan fasilitas khusus. Harus ada persaingan yang sehat, termasuk dengan perusahaan asing. Tujuannya, industri dalam negeri kian cepat dewasa. Lebih baik BUMN fokus "merebut" kue di BP Migas itu daripada, misalnya, ikut berebut proyek-proyek kecil di APBN.<br /><br />Kemampuan BUMN harus selalu "naik kelas" dan bukan justru "turun kelas" ke proyek-proyek kecil yang sudah bisa ditangani swasta. Proyek-proyek di BP Migas umumnya memang proyek yang skalanya besar dan memerlukan kemampuan teknologi yang lebih tinggi.<br /><br />Mati Suri<br /><br />Tentu, dalam presentasi di depan Presiden selama 45 menit itu, tidak mungkin semua kemajuan BUMN dilaporkan. Forum itu terlalu besar dan berharga untuk dibuat menceritakan hal-hal "remeh-temeh". Hanya yang benar-benar hebat yang saya sajikan kepada beliau. Atau dalam istilah yang dipergunakan Presiden dalam sambutannya, saya hanya menampilkan para "stars dan superstars".<br /><br />Tentu, BUMN masih banyak memiliki calon stars dan superstars. Salah satu calon superstars itu menemui saya setelah rapat akbar tersebut. "Kami bisa menerima bahwa kami belum bisa ditampilkan. Tapi, seluruh direksi kami darahnya mendidih. Kami sepakat untuk bisa segera menjadi superstars," ujar seorang direktur utama BUMN yang "bernasib kurang baik" tidak ikut saya tampilkan hari itu.<br /><br />Tentu, mereka juga akan mendapatkan giliran untuk ditampilkan. Terutama kalau "darah semua direksi yang mendidih" itu bisa menggerakkan perusahaannya untuk menjadi superstar beneran. Apalagi, saat meninggalkan acara tersebut, di dalam lift yang kecil, Presiden mengatakan kepada saya, "Perlu secara periodik acara seperti ini dilaksanakan lagi."<br /><br />Presiden kelihatannya ingin terus memonitor apakah "tangan kiri"-nya bisa digerakkan maksimal untuk mengimbangi gerak "tangan kanan"-nya.<br /><br />Tentu, masih banyak kerja, kerja, dan kerja yang harus dilakukan. Misalnya, akan diapakan perusahaan-perusahaan BUMN yang tidak bisa masuk dalam kategori "ketahanan nasional", tapi juga tidak bisa masuk kategori engine of growth, dan tidak bisa juga menjadi "kebanggaan nasional".<br /><br />Mereka harus bermetamorfosis atau tergilas oleh keadaan.<br /><br />Demikian juga bagaimana dengan perusahaan-perusahaan BUMN yang pada dasarnya sudah lama berstatus "mayat", namun belum sempat dikubur. Sebagian "mayat" itu memang masih bisa dimasukkan ke "ICU", ditangani "dokter ahli", dan diberi "oksigen". Pelan-pelan mereka bisa bernapas kembali.<br /><br />Bahkan, beberapa di antaranya, seperti galangan kapal IKI Makassar, sudah bisa berjalan pelan-pelan. Bisa saja mereka akan menjadi sehat dan bisa berlari. Tapi bisa saja ambruk di tengah jalan karena pada dasarnya ruh mereka belum sepenuhnya kembali ke jasadnya.<br /> <br />Presiden kelihatan terus tersenyum ketika presentasi saya memasuki dunia "mayat" tersebut. Sebagai Presiden yang amat santun, beliau dalam sambutannya tidak mau menggunakan kata "mayat". "Lebih baik saya menggunakan istilah mati suri," ujar beliau sambil tersenyum. Hadirin pun bertepuk tangan dengan riuhnya.<br /><br />Entah berapa kali hadirin bertepuk tangan sore itu. Tapi, ada yang menghitung, dalam sambutan 30 menitnya itu, Presiden mengucapan kata "saya senang" atau "senang sekali" sebanyak 22 kali.<br /><br />Saya tidak menghitungnya karena saya terlalu sibuk mencatat esensi arahan itu di otak saya. (*)<br /><br />Dahlan Iskan<br />Menteri BUMN<br /></div>
Riswan Effendihttp://www.blogger.com/profile/17854460406076098328noreply@blogger.com0