Ketika Tak Ada Lagi Proyek Besar
Catatan Dahlan Iskan untuk Penganugerahan Otonomi Award 7 Juni 2007 (2-Habis)
Tidak ada lagi proyek besar di daerah! Itulah salah satu temuan The
Jawa Pos Institut of Pro-otonomi (JPIP) tahun ini. Saya kira ini satu
kemajuan. Terutama setelah dilihat bahwa yang dimaksud proyek besar
selama ini adalah proyek yang tidak ada hubungannya dengan perbaikan
ekonomi daerah. Misalnya, proyek “Paris”-nya Kediri atau juga GOR-nya
Magetan. Atau gedung perpustakaan Bung Karno di Kota Blitar yang menelan
biaya sampai sekitar Rp 40 miliar. “Paris” penting. GOR penting. Gedung
perpustakaan juga penting. Tapi, bukan sekarang waktunya. Apalagi,
seperti perpustakaan itu, ternyata memang hanya gedungnya yang
diperhatikan. Isinya tidak.
Memang kita belum lega benar apakah perubahan itu merupakan perubahan strategi pembangunan daerah, atau perubahan karena dipaksa keadaan. Misalnya, karena proyek itu dulu biayanya multiyears sehingga anggaran tahun berikutnya pun sudah habis dipakai (atau diteken) lebih dulu. Atau proyek besar ternyata memusingkan karena potensial diselidiki kejaksaan mengenai kemungkinan adanya korupsi di dalamnya.
Juga belum pasti apakah ketika membangun proyek besar dulu
benar-benar didasari strategi pembangunan yang memang harus begitu. Atau
motifnya sebenarnya hanya agar tahun itu ada proyek besar sehingga ada
obyekan besar pula untuk kepentingan saat itu.
Apa pun alasannya, daerah-daerah tahun lalu lebih memusatkan anggaran
pada kegiatan-kegiatan yang langsung menyentuh rakyat bawah, harus
dicatat sebagai gejala yang baik. Kemampuan keuangan daerah memang tidak
cukup untuk mengangkat proyek besar yang punya “magnet” besar. Proyek
besar yang dibangun hanyalah akan menjadi proyek tunggal yang sendirian.
Tidak bisa saling dukung dengan proyek besar lain -karena proyek lain
itu baru muncul sekian tahun kemudian. Yakni, ketika anggaran sudah siap
lagi. Tapi, ketika proyek besar lain mampu dibangun, proyek besar yang
lama sudah mulai uzur.
Mengingat kemampuan keuangan seperti itu, pilihan untuk membangun
proyek besar haruslah benar-benar dipikirkan hubungannya dengan proyek
besar lain. Ini agar proyek besar tersebut punya magnet yang memadai.
Untuk itu, dananya tidak mungkin disiapkan dalam setahun anggaran. Maka,
diperlukan terobosan: apakah dibangun dulu dengan anggaran dicicil atau
anggaran dikumpulkan dulu beberapa tahun baru proyek multibesarnya
dibangun.
Contoh nyata adalah pembuatan jalan yang bagus ke Gunung Bromo.
Pastilah pemda tidak mampu membangunnya dalam setahun anggaran. Padahal,
semua tahu Bromolah pusat wisata nomor satu di Jatim. Dan, semua tahu
hambatan terbesar ke sana adalah tiadanya jalan yang mulus dan lebar ke
objek wisata itu. Maka, biarpun ada proyek besar di Bromo sendiri
(seperti hotel bintang lima), karena proyek itu sendirian dalam waktu
lebih dari 10 tahun, akhirnya hotel tersebut mati juga. Satu proyek
besar berupa hotel bintang lima tidak cukup kuat mengangkat Gunung Bromo
menjadi pusat wisata yang bisa mendatangkan banyak devisa dari turisme.
Apalagi hanya satu proyek “Paris”, di Kediri lagi tempatnya.
Apakah perubahan kebijaksanaan daerah yang tidak lagi membangun
proyek besar itu bisa ditangkap sebagai kesimpulan bahwa itulah memang
“maqom”-nya daerah-daerah yang kemampuannya memang sangat kecil itu?
Kalau “ya”, gejala itu harus ditangkap oleh pemerintah provinsi.
Kalau kebijaksanaan otonomi kita tidak akan berubah lagi -tetap empat
tingkat yang lucu itu (pusat, provinsi, kabupaten/kota, desa), harus
dirumuskan di mana peran provinsi. Misalnya, bagaimana kalau provinsi
lantas memfokuskan penggunaan anggaran hanya pada proyek-proyek
strategis yang besar? Dengan demikian, provinsi tidak perlu lagi
mengurusi banyak kegiatan yang akhirnya juga sering tumpang tindih
dengan kegiatan di kabupaten/kota?
Bagaimana kalau provinsi fokus ke proyek seperti jalan tembus
selatan, jalan Bromo, jalan tembus Magetan-Jateng, Pacitan-Wonogiri,
Jembatan Madura, dan yang sebangsa itu saja? Lalu anggaran di bidang
kegiatan yang sudah ditangani kabupaten/kota diberikan saja ke mereka?
Provinsi dengan demikian juga bisa lebih fokus. Termasuk fokus pada perencanaan wilayah.
Taruhlah, apa yang akan terjadi ketika jalan tol Surabaya-Solo sudah
jadi? Tentu kesempatan besar untuk membangun wilayah pertumbuhan baru
yang direncanakan dengan baik. Misalnya, kelak, muncul kota-kota baru
yang kecil di beberapa wilayah sepanjang jalan tol itu. Tapi, semuanya
tanpa perencanaan sehingga hanya akan jadi kota dadakan yang tidak ada
bedanya dengan kota yang kita keluhkan sekarang.
Maka akan sangat baik bila di sekitar Geneng, dibangun kota baru yang
terencana. Kota itu bisa separo milik Magetan, separo milik Ngawi. Di
AS banyak sekali kota yang setengahnya milik negara bagian lain. Ini
karena dari sekitar Geneng (kampung halaman mantan Wagub Trimarjono)
hanya perlu 1,5 jam ke Surabaya. Kota baru ini sekaligus untuk
“mengendalikan” agar kota Magetan dan wilayah Gunung Lawu di atasnya
tidak semakin padat yang kelak membahayakan sumber air. Orang juga tidak
akan mau lagi ke Magetan atau Sarangan yang semrawut.
Dari pengalaman di Tiongkok, jarak 1,5 sampai 2 jam dari pelabuhan
besar, masih sangat fisibel untuk munculnya potensi ekonomi yang
berorientasi ekspor sekali pun. Juga masih menarik bagi investor untuk
datang ke wilayah seperi itu. Ini sekaligus jalan keluar bagi
daerah-daerah yang menurut penemuan JPIP tahun ini, banyak yang
frustrasi karena investor ternyata tidak datang-datang juga. Padahal,
mereka sudah menyiapkan pelayanan prima. Mulai pelayanan satu atap
sampai pelayanan yang sangat cepat. Akibatnya, seperti ditemukan JPIP,
banyak daerah yang kemudian menutup layanan itu.
Tentu, semua itu bukan suatu hal yang gampang. Otonomi ini sebenarnya
masih terbelenggu oleh banyaknya undang-undang dan peraturan yang belum
siap atau belum disiapkan. Melaksanakan undang-undang otonomi saja
belum bisa karena masih banyak peraturan yang belum dibuat sebagai
pelaksanaan dari undang-undang itu sendiri. Padahal, otonomi sudah
berjalan delapan tahun.
Kesimpulan lain lagi, kelihatannya kita masih harus bersabar lebih
lama. Seberapa pun “menghasut”-nya tulisan ini, tetap saja akan kalah
dengan realitas sehari-hari yang dihadapi para kepala daerah dan
birokrasinya. Sebagaimana hubungan kepala daerah dengan wakilnya,
hubungan kepala daerah dengan DPRD tidak kalah ruwetnya. Bahkan,
ibaratnya sang kepala daerah harus menghadapi 42 wakil kepala daerah.
Yakni, satu orang wakilnya sendiri, satu orang sekda, dan 40 anggota
DPRD.
Mereka itulah yang memakan sebagian besar perhatian kepala daerah.
Setiap tahun. Setiap bulan. Setiap hari. Bukan soal yang ideal-ideal
yang kita bicarakan di atas. Suasana seperti ini kira-kira masih akan
berlangsung paling tidak tujuh tahun lagi. Berarti 15 tahun sejak
terjadinya reformasi. Sungguh satu masa transisi yang terlalu panjang
-khususnya untuk orang yang tidak sabar. Selama itu pulalah terjadi
generation lose, brain drain, dan capital drain.
Tapi, tetaplah optimistis. Kalau masa transisi itu lewat, negara kita
akan kuat -sejak dari fondasinya. Untuk menghibur diri, sebaiknya kita
juga mengingat sejarah. Ketika Majapahit yang kuat itu runtuh pada
1300-an, masa transisi untuk bisa stabil kembali berlangsung 50 tahun.
(Habis)
No comments:
Post a Comment