Monday, October 18, 2010

Nasib di Tangan Trafo

Senin, 18 Oktober 2010, 01:10:00
Nasib di Tangan Trafo

KETIKA dilantik sebagai direktur utama PLN pada 23 Desember 2009, saya menyadari sepenuhnya risiko ini: harus berhenti, mengundurkan diri atau diberhentikan, dalam waktu yang pendek. Mungkin satu bulan, dua bulan, tiga bulan, atau enam bulan. Nasib saya benar-benar di ujung tanduk. Di Jakarta ini, di pusat kekuasaan ini, listrik bisa saja tiba-tiba padam masal untuk wilayah yang amat luas dan untuk jangka waktu yang sangat panjang. Kalau itu terjadi, sudah bisa dibayangkan betapa marahnya orang se-Jakarta. Kejadian yang menimpa PLN pada akhir 2009 sangat mungkin menimpa saya dalam waktu sebelum satu tahun masa jabatan saya.

Penyebabnya jelas. Gardu induk tegangan ekstratinggi (GITET) di sekitar Jakarta ini sangat mendebarkan. Seluruh (enam) GITET yang menyangga listrik Jakarta itu tidak memiliki trafo cadangan. Padahal, beban setiap GITET tersebut sudah sangat tinggi. Sudah lebih dari 85 persen. Pada saat-saat suhu udara Jakarta meningkat di siang hari, beban sepenuh itu sangat-sangat rawan.

Apalagi gangguan gelombang harmonisa di Jakarta ini luar biasa besar. Yakni gelombang yang ditimbulkan oleh lampu hemat energi dan oleh peralatan yang serba komputer di Jakarta. Beban yang kelihatannya 85 persen tersebut bisa-bisa sudah "terbaca" 95 persen oleh sistem di dalam trafo. Ini bisa membuat trafo salah baca dan terganggu.

Saya memang memimpikan bahwa kelak era lampu hemat energi tersebut harus diakhiri. Tapi, itu sepenuhnya memerlukan kebijakan nasional. Di luar jangkauan PLN. Lampu hemat energi itu sudah harus diganti dengan lampu LED. Di Tiongkok lampu sudah begitu semua. Hematnya superhemat. APBD kabupaten/kota tidak akan tersedot ke lampu jalan raya.

Tidak menimbulkan gelombang harmonisa pula. Kalau semua lampu jalan raya di Jawa ini diganti dengan LED, bangsa ini bisa menghemat listrik paling tidak 500 MW. Ini sama dengan nilai investasi Rp 8 triliun sendiri. Juga bisa mengurangi subsidi listrik dalam angka yang juga triliunan.

Saya sungguh berterima kasih kepada Tuhan yang membuat musim hujan tahun ini panjang sekali. Praktis, tidak ada musim kemarau. Suhu di Jakarta juga tidak pernah tinggi. Musim hujan yang panjang ini juga membuat waduk-waduk yang menghasilkan listrik bisa bekerja 100 persen sepanjang siang dan malam. Tuhan sungguh mahamurah kepada PLN tahun ini. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Kalau tidak, sangat mungkin salah satu di antara enam GITET di Jakarta itu meledak. Seperti yang terjadi di Cawang, Jakarta, tahun lalu. Yang membuat Jakarta mengalami pemadaman bergilir yang luar biasa dalam jangka waktu lebih dari dua bulan.

Sekarang sudah aman? Belum. Nasib saya masih tetap tergantung di tangan trafo GITET-GITET itu. Setidaknya sampai dua bulan lagi. Saya terus bedoa semoga Tuhan yang sudah menyelamatkan saya delapan bulan ini (sampai September 2010) masih memberkati saya seterusnya. Setidaknya sampai dua bulan lagi. Saya berjanji bahwa saya akan mensyukuri nikmat itu dengan bekerja keras.

Seperti yang sering dikemukakan almarhum Nurcholis Madjid bahwa bentuk bersyukur yang paling baik adalah kerja keras. Saya masih ingat ayat Tuhan "barang siapa mensyukuri nikmatku?." dan seterusnya itu. Karena itu, dalam sebulan terakhir ini, saya melakukan perjalanan darat ribuan kilometer di seluruh pelosok Indonesia. Untuk melihat apa yang masih harus diperbuat. Di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai ke Papua.

Mengapa Jakarta belum aman sampai dua bulan lagi? Penyebabnya, trafo-trafo GITET (IBT) yang dibeli PLN dengan tender enam bulan lalu baru akan tiba bulan depan dan bulan depannya lagi. Itulah trafo IBT yang akan kami pasang untuk cadangan di GITET Gandul, Bekasi, Kembangan, Cibatu (semua di sekitar Jakarta), Krian (Jatim), dan Ungaran (Jateng). Sebelum trafo-trafo IBT cadangan tersebut terpasang, detak jantung kami akan terus kacau.

Maka, ketika pekan lalu ada laporan bahwa GITET Kembangan meledak, saya langsung memikirkan ujung persoalan ini: sebagian besar Jakarta akan gelap dalam waktu yang lama dan saya harus sudah siap menerima akibat apa pun karenanya. Banyak yang sudah menduga, lamanya dampak meledaknya IBT Kembangan itu akan sampai satu bulan.

Syukurlah, ledakan itu tidak sampai menimbulkan kebakaran seperti di GITET Mandirancan, Cirebon, dua bulan lalu. Bersyukur juga bahwa yang meledak adalah sisi 150 kv-nya. Bukan sisi 500 kv-nya. Kalau yang meledak sisi 500 kv-nya, ampun-ampun akibatnya. Tapi, meski di sisi 150 kv, ledakan tersebut mencemari minyak di dalam trafo yang harus bersih-murni itu. Minyak sebanyak 120 ton tersebut harus dikuras dulu. Penelitian ilmiah harus dilakukan untuk mengetahui berapa lama perbaikan diperlukan. Satu minggu" Satu bulan" Tergantung luas tidaknya dampak ledakan tersebut.

Bahwa akibat ledakan GITET Kembangan tersebut tidak terlalu luas di masyarakat, itu disebabkan seluruh energi dan pemikiran dicurahkan untuk mengatasinya. Manuver-manuver daya dilakukan. Termasuk bisa "ditemukannya" daya tambahan 80 MW dari PLTG Muara Karang. Saya sungguh memuji kecerdikan tim yang mengatasi dampak meledaknya GITET Kembangan itu. Cara lainnya: PLN menemui pemilik-pemilik genset besar. Kami minta pemilik-pemilik genset besar agar mencukupi daya dari gensetnya sendiri. PLN akan memberikan ganti rugi. Selama ini pemilik genset-genset tersebut hanya menjadikannya cadangan karena listrik dari PLN jauh lebih murah.

Cara-cara mengatasi dampak tersebut cepat ditemukan karena sudah berlatih sejak GITET Mandirancan meledak sampai terbakar dua bulan lalu. Waktu GITET Mandirancan meledak, kami sudah siap menerima akibat yang sangat fatal. Ternyata, kami bisa mengatasi dengan lebih cepat. Dampak pemadamannya tidak luas dan perbaikannya bisa hanya perlu tiga minggu. Tidak perlu dua bulan.

Hasil penelitian yang di Kembangan itu juga melegakan: kerusakan tersebut bisa diperbaiki dalam lima hari. Di antara lima hari itu, yang dua hari jatuh pada Sabtu dan Minggu. Itu berarti dampak pemadamannya hanya tiga hari. Sebab, ketika Sabtu dan Minggu pemakaian listrik amat kecil.

Dalam waktu delapan bulan terakhir ini, dalam masa jabatan saya ini, memang terjadi empat kali gangguan GITET. Semua bisa diatasi dengan cepat. Tapi?, ya Tuhan, trafo cadangan kami belum datang. Mohon trafo-trafo GITET yang masih ada ini diberkati. Jantung kami sudah Engkau uji selama delapan bulan.

Tapi, menunggu dua bulan lagi jantung kami belum tentu kuat, Tuhan! Selamatkan Cawang. Selamatkan Gandul. Selamatkan Kembangan. Selamatkan Bekasi! Juga GITET-GITET lainnya. Hanya kepada-Mu kami berserah. La haula wa la quwwata?. Wolo-wolo kuwato, Gusti!?

Sumpah Gusti! Kami akan bekerja keras untuk mensyukuri nikmat-Mu itu, (***)

No comments:

Post a Comment