Sunday, March 15, 2009

Pengalaman Hidup Banker Tervonis Mati Karmaka Surjaudaja (3)

Minggu, 15 Maret 2009
Pengalaman Hidup Banker "Tervonis Mati" Karmaka Surjaudaja (3)
Keluar Rumah Terpaksa Pakai Jaket Antipeluru


Karmaka Surjaudaja membesarkan Bank NISP dengan keringat dan air mata. Banyak suka duka yang dialami saat dia memimpin bank warisan mertuanya itu. Termasuk menjadi korban penculikan yang hingga kini tidak jelas motifnya.
(FOTO DOK. KELUARGA KARMAKA SURJAUDAJA) Kenangan saat bersama Brigjen Sutoko yang membantu dari upaya penculikan.
PENGALAMAN berjibaku dengan maut memang menjadi salah satu kisah hidup Karmaka yang sulit dilupakan. Selain kondisi kesehatan yang membuatnya nyaris meninggal, ayah lima anak itu mengaku tiga kali mengalami percobaan pembunuhan.

Yang pertama pada 1962, saat dia mendapat tugas dari mertuanya, Lim Khe Tjie, pemilik Bank NISP, untuk mengambil alih manajemen bank yang berkantor pusat di Bandung itu.

Meski masih anggota keluarga (menantu) pemilik, itu bukan tugas yang gampang bagi Karmaka. Manajemen saat itu –yang oleh pemilik dan karyawan dianggap tidak beriktikad baik dalam mengelola perusahaan– menolak Karmaka masuk ke manajemen. Status Karmaka yang masih warga negara asing (WNA) dan hanya tamatan SMA menjadi alasan mereka tidak menerimanya.

Namun, berkat dukungan karyawan yang khawatir Bank NISP akan kolaps karena kesalahan manajemen, Karmaka (dengan izin khusus dari otoritas moneter) akhirnya bisa menjadi direktur utama bank kebanggaan warga Kota Kembang itu. Meski demikian, pejabat lama saat itu tidak segera menyerahkan mobil dinas kepada Karmaka. Alasannya, mobil itu masih di bengkel. Baru tiga hari kemudian mobil tersebut diantarkan ke rumahnya.

Karmaka merasa ada yang tidak beres dengan mobil itu sehingga meminta seorang mekanik untuk memeriksa mobilnya. Benar dugaannya, sang mekanik itu mengatakan bahwa mobil tersebut akan mengalami kecelakaan jika dipacu dalam kecepatan tinggi karena remnya blong.

’’Saya langsung datangi rumahnya (mantan pejabat Bank NISP) itu. Kamu mencoba membunuh saya. Kalau ada apa-apa dengan saya, semua orang menjadi saksi kamu pernah mencoba membunuh saya,” labrak Karmaka.

Di bawah kepemimpinannya, Bank NISP yang dulu dibesarkan mertuanya bisa sehat kembali. Namun, pada September 1965, pemerintah melakukan sanering. Dengan kebijakan moneter itu, uang Rp1.000 tinggal Rp1. Akibatnya, banyak nasabah yang marah. Bank-bank mengalami kesulitan besar. Tak terkecuali Bank NISP.

Saat itu keluarganya sebagai pemilik Bank NISP terpaksa harus berbagi saham dengan seorang bos besar dari Jakarta. Investor itu membeli 43 persen saham NISP lewat lelang.

Saat bermitra dengan investor itulah, Karmaka merasa seperti keluar lubang buaya masuk ke kandang singa. Meski telah berhasil menyelamatkan NISP dengan lelang, sang pemenang ternyata menyimpan maksud ingin menguasai 100 persen saham NISP.

Suatu hari, setelah Lebaran, Karmaka mau keluar kota. Sesaat sebelum berangkat itulah, sopirnya melihat ada bekas lubang peluru di bumper kiri mobilnya. ’’Kemarin belum ada lubang ini,” lapor sopir Karmaka.

Kakek dari lima cucu itu curiga. Dia langsung meminta orang kepolisian menyelidiknya. Ternyata benar, lubang itu merupakan lubang peluru yang sengaja ditembakkan dari jarak cukup dekat dari samping kiri-belakang. ’’Sejak itu, saya sangat berhati-hati,” tuturnya.

Upaya pembunuhan ketiga terhadap Karmaka terjadi saat anaknya yang keempat, Parwati Surjaudaja (kini menjabat Presdir Bank OCBC NISP), berusia 10 bulan. Ceritanya, pagi itu Karmaka sedang menggendong anak perempuannya tersebut. Tiba-tiba terdengar sebuah mobil direm mendadak. Dia melihat mobil jip berhenti di rumahnya. Beberapa petugas CPM (polisi militer) turun dan menanyakan tentang rumah Mr. Tan. Karena memang tak kenal, Karmaka menjawab tidak tahu.

Kemudian, petugas tersebut kembali naik jip dan pergi begitu saja. Selang 30 menit kemudian, telepon rumah Karmaka berdering. Setelah itu, sang penelepon dengan kasar menyuruh Karmaka ke Restoran Sin A di Jalan Suniaraja, Bandung. Lokasi tersebut kini berubah menjadi gedung Bank Jasa Arta.

’’Kalau dalam satu jam tidak juga datang, bom-bom granat di sekitar rumahmu akan meledak semua,” gertak si penelepon.

Melihat gelagat yang tidak baik, Karmaka langsung berganti baju yang lusuh dan naik becak menuju lokasi. Begitu tiba di lokasi, orang-orang yang sempat ke rumahnya tadi langsung mendatanginya dan mengatakan. ’’Awas! Ini pistol. Pistol ini tidak menimbulkan bunyi. Segera naik jip,” perintah salah seorang.

Karmaka akhirnya dibawa berputar-putar dan akhirnya disekap ke pedesaan. Dia bingung dengan motif penyekapan tersebut. Apakah soal uang? Saham? Tidak jelas. Pada pukul 02.30, saat dua penjaganya tidur mengorok, Karmaka lalu menjebol jendela dan melarikan diri. Dia terus berlari bertelanjang kaki menyusuri pematang.

Di situ kemudian dia bertemu dengan petani yang menyebutkan bahwa nama desa tersebut adalah Gegerkalong. Sang petani kemudian menunjukkan jalan keluar dari desa itu. Tepat pukul 04.00 subuh, Karmaka tiba di rumah di Jalan Hegarmanah Nomor 10. Ini rumah Brigjen Sutoko. Salah seorang kolega ayah mertuanya. Dengan napas masih ngos-ngosan, Karmaka mengetuk pintu rumah itu keras-keras. ’’Siapa?” terdengar suara dalam rumah.

’’Saya Pak, menantu Lim Khe Tjie,” jawab Karmaka. ’’Saya mohon pertolongan dan perlindungan,” tambahnya. ’’Saya mau dibunuh orang,” ujarnya lagi.

’’Lim Khe Tji Bank NISP?” tanya suara dari dalam. ’’Ya Pak,” jawab Karmaka.

Jenderal Sutoko yang dikenal akrab oleh para aktivis mahasiswa ITB itu keluar rumah. ’’Masuk, duduk sini,” kata Pak Sutoko. Dia lalu bertanya kepada Karmaka. ’’Kamu tahu siapa itu mertuamu?” ’’Tahu Pak, Lim Khe Tjie,” jawab Karmaka. ’’Bukan itu, tahu nggak siapa dan bagaimana beliau itu,” lanjutnya.

’’Tidak tahu,” jawab Karmaka. Pak Sutoko akhirnya menceritakan bahwa mertuanya adalah seorang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan yang turut bahu-membahu dengan para pejuang di Bandung. Sutoko yang dikenal dekat dengan Jenderal Nasution itu menelepon seorang kolonel dan memerintahkan agar Karmaka mendapat pengawalan. Perwira itu lalu menerjunkan sepuluh prajurit untuk mengantarkan Karmaka pulang ke rumah.

Hingga dua tahun setelah peristiwa itu, Karmaka masih mendapat pengawalan dari prajurit (meski jumlahnya tinggal dua orang). Selain itu, dia mendapat jaket antipeluru yang dikenakan saat keluar rumah. Meski agak terganggu (karena memang berat), jaket itu tetap dipakai.

Kini pada usia 75 tahun, meski masih menderita sakit di kandung kemih, kehidupan Karmaka masih diwarnai tawa. Dia ditakdirkan untuk tetap bisa melihat perkembangan NISP. Terutama di bawah kepemimpinan anak-anaknya.

Dalam acara Kick Andy itu, lima cucu Karmaka (Tisya, Ringgo, Narendra, Sagara, dan Albert) yang lucu-lucu menyempatkan diri mengemukakan nasihat-nasihat yang sejak dulu diberikan Nyao –panggilan Karmaka.

Tisya, misalnya, mengingat nasihat sang kakek bahwa kesempatan baik tidak selalu ada. Kemudian, Ringgo mengingatkan nasihat pentingnya untuk menjadi mandiri. Narendra dengan bersemangat mengucapkan kalimat ’’Harus Sekolah! Pantang Menyerah!”

Sagara mengingatkan nasihat sekaligus pengalaman pribadi Nyao bahwa kakak harus mengalah kepada adik-adiknya. Tidak boleh selalu ingin menang sendiri. Sekaraya mengingat pesan sang aki bahwa badan harus sehat, makan sayur mayur dan makanan sehat, serta istirahat yang cukup. Albert, cucu yang paling besar, mengatakan bahwa kakeknya bukan sekadar memberikan nasihat kosong. ’’Semua diambil dari pengalaman hidup yang luar biasa,” katanya. (*)

No comments:

Post a Comment