Wednesday, May 2, 2001

Jawa Pos adalah Dahlan Iskan (11)

Jawa Pos adalah Dahlan Iskan (11)
Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001

GRAHA Pena, kantor pusat Jawa Pos benar-benar menjadi sebuah menara pertanda kemakmuran. Halaman parkir luas penuh mobil. Beberapa lantai diberi void (kosong) sehingga pemandangan sangat banglas, antara lain di lobi. Ruang redaksi Jawa Pos di lantai IV, pun diberikan void pada lantai V sehingga para wartawan bisa menerawang tinggi sambil melirik siaran televisi dari sekitar 17 pesawat monitor televisi yang dipajang di tiga penjuru ruang redaksi.

Dahlan dan para karyawan Jawa Pos tampaknya memang sudah banyak yang makmur. Direksi Jawa Pos rata-rata menggunakan mobil mewah. Dahlan sendiri menggunakan sedan Mercedes Benz dengan pelat nomor L-1-JP. L adalah nomor Surabaya sedangkan JP singkat Jawa Pos. Para karyawan digaji bukan sekadar 12 bulan setiap tahun, tapi juga dapat tunjangan hari raya dan bonus beberapa bulan gaji. Maklum, dalam lima tahun terakhir, keuntungan PT Jawa Pos sekitar Rp 30 miliar dan para karyawan yang memegang saham 20 persen, tentu kebagian dividen setiap tahun.

Yang lebih makmur tentu para pemiliknya: PT Grafiti Pers atau penerbit Tempo versi lama (40 persen), keluarga Eric Samola (20 persen), dan para direksi Grafiti Pers yakni Goenawan Mohamad, Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, dan Fikri Jufri masing-masing lima persen. Dahlan Iskan yang membesarkan Jawa Pos ternyata sejak 1982 tak lebih dari seorang profesional murni. 

Baru pada tahun 2000, Eric Samola, yang sakit-sakitan karena stroke, sempat menyisihkan saham pribadinya 2,4 persen kepada Dahlan Iskan dan 1,2 persen kepada Tarjanto, asisten Samola yang pernah bekerja di Jawa Pos. Dengan demikian saham yang ditinggalkan Samola kepada keluarganya tinggal 16,4 persen. 

Samola meninggal November 2000 dan para pemegang saham Jawa Pos baru bisa menyelidiki manajemen Dahlan Iskan. "Banyak hal harus dirapikan," kata Leonardi Kusen, direktur utama PT Grafiti Pers yang menjadi komisaris utama PT Jawa Pos. PT Grafiti Pers adalah sebuah perusahaan anak Yayasan Jaya Raya, yang didirikan pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (ketika Ali Sadikin menjabat gubernur) bersama 40 perusahaan di Jakarta yang dikoordinir oleh direktur utama PT Pembangunan Jaya Ciputra. 

Tak mengherankan jika direktur utama PT Grafiti selalu berasal dari PT Pembangunan Jaya. Mulanya Eric Samola lalu Leonardi Kusen. Mereka sangat berperan dalam pengembangan bisnis majalah Tempo dan koran Jawa Pos tapi tidak pernah mencampuri urusan redaksi. Hanya saja, penerapan manajemen Jawa Pos berbeda sekali dengan gaya Tempo. Di Tempo, ketika baru berusia lima tahun, sejumlah karyawan pionir (Goenawan Mohamad dan kawan-kawannya) diberi saham atas nama pribadi oleh ketua Yayasan Jaya Raya Ciputra. Di PT Jawa Pos tak seorang pun tenaga profesional yang diberi saham oleh induknya. 

Kendati karyawan Jawa Pos memiliki saham 20 persen, tapi Dahlan merasa tak puas dengan sistem itu. Menurut Dhimam Abror, Dahlan pernah mengutarakan bahwa lebih baik karyawan tidak jadi pemegang saham, tapi diberikan saja tantiem dari keuntungan setiap tahun. Hal ini sudah diterapkan pada tujuh koran Radar di Jawa Timur, dan tampaknya lebih menarik. Para karyawan tak usah pusing memikirkan saham mereka, karena toh pada kenyataan hak-hak mereka sebagaimana layaknya pemegang saham tidak bisa direalisasikan. "Soal persahaman karyawan itu, kami serahkan saja kepada direksi bagaimana mau mereka atur. Kami tidak mau ikut campur," ujar Leonardi Kusen.

Manajemen Jawa Pos selama ini, menurut Kusen, sudah bagus sekali. Peran Dahlan, yang cuma pernah kursus manajemen ketika ditunjuk jadi kepala biro Tempo, besar sekali dan kerja kerasnya luar biasa dominan dalam mengarahkan pengelolaan PT Jawa Pos. Kusen mengakui Dahlan telah mendelegasikan wewenang ke bawah. "Di sana ada Ibu Winny (Ratna Dewi) yang kuat, penjaga gawang keuangan. Ia juga telah melakukan kaderisasi yang baik, sehingga telah muncul nama-nama seperti Margiono, Nany Wijaya, dan Lanny Kusumawati dalam jajaran wakil direksi." 

"Kehebatan Dahlan, keberanian mengambil resiko yang terukur," tutur Kusen lebih lanjut. Itu sebabnya Jawa Pos bisa lolos dari krisis moneter. Itu karena masuknya ke tempat dan waktu yang tepat. Utang pembangunan gedung Graha Pena, misalnya, sudah lunas, sementara dunia properti Indonesia sekarang justru banyak yang ambruk. Itu karena exposure utang dolar kecil sekali, bahkan pabrik kertas PT Adiprima Suraprinta, menjual kertas kepada grupnya tetap dengan standar dolar.

Namun Kusen mengakui ada juga kegagalan Dahlan. Cuma jika ditimbang-timbang masih lebih banyak yang sukses daripada yang gagal. "Hebatnya dia, dengan sumber daya dan keuangan yang terbatas, Dahlan bisa generate (bangkitkan) usaha yang fenomenal. Visi Dahlan sangat jauh ke depan, dan ia punya talenta untuk mewujudkannya. Visi saja tidak cukup. Harus ada drive dan infrastruktur yang memungkinkan pengambilan keputusan yang cepat tanpa diganggu birokrasi pemegang saham," kata Kusen. 

Menurut Kusen, infrastruktur PT Jawa Pos sangat ketinggalan. Misalnya? "Dalam sistem pelaporan, accounting, juga dalam marketing management. Sistem pembukuan yang berbeda-beda, khususnya di anak-anak perusahaan sehingga belum bisa diaudit. Baru Jawa Pos saja yang bisa diaudit. Itu salah satu sebabnya belum bisa masuk pasar modal," jawab Kusen. Selama ini, para pemegang saham bersifat pasif. "Dahlan punya pikiran apa, kita dukung. Itu utama, walaupun dalam profesionalisme modern, itu perlu ditingkatkan," kata Kusen. 

Bila Kusen bicara demikian bisa dijelaskan karena ia bertitel Master of Business Administration dari Syracuse University (Amerika Serikat). Kusen dikenal piawai dalam menerapkan manajemen sehingga ia juga menduduki posisi direktur dalam tiga perusahaan kelompok PT Pembangunan Jaya, juga direktur utama dalam tiga perusahaan pers: PT Grafiti Pers, PT Karsa Muda Laksana dan PT Tempo Inti Media.

No comments:

Post a Comment