Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
GRAHA Pena, kantor pusat Jawa Pos benar-benar menjadi sebuah menara
pertanda kemakmuran. Halaman parkir luas penuh mobil. Beberapa lantai
diberi void (kosong) sehingga pemandangan sangat banglas, antara lain di
lobi. Ruang redaksi Jawa Pos di lantai IV, pun diberikan void pada
lantai V sehingga para wartawan bisa menerawang tinggi sambil melirik
siaran televisi dari sekitar 17 pesawat monitor televisi yang dipajang
di tiga penjuru ruang redaksi.
Dahlan dan para karyawan Jawa Pos
tampaknya memang sudah banyak yang makmur. Direksi Jawa Pos rata-rata
menggunakan mobil mewah. Dahlan sendiri menggunakan sedan Mercedes Benz
dengan pelat nomor L-1-JP. L adalah nomor Surabaya sedangkan JP singkat
Jawa Pos. Para karyawan digaji bukan sekadar 12 bulan setiap tahun, tapi
juga dapat tunjangan hari raya dan bonus beberapa bulan gaji. Maklum,
dalam lima tahun terakhir, keuntungan PT Jawa Pos sekitar Rp 30 miliar
dan para karyawan yang memegang saham 20 persen, tentu kebagian dividen
setiap tahun.
Yang lebih makmur tentu para pemiliknya: PT Grafiti
Pers atau penerbit Tempo versi lama (40 persen), keluarga Eric Samola
(20 persen), dan para direksi Grafiti Pers yakni Goenawan Mohamad,
Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, dan Fikri Jufri masing-masing lima
persen. Dahlan Iskan yang membesarkan Jawa Pos ternyata sejak 1982 tak
lebih dari seorang profesional murni.
Baru pada tahun 2000, Eric
Samola, yang sakit-sakitan karena stroke, sempat menyisihkan saham
pribadinya 2,4 persen kepada Dahlan Iskan dan 1,2 persen kepada
Tarjanto, asisten Samola yang pernah bekerja di Jawa Pos. Dengan
demikian saham yang ditinggalkan Samola kepada keluarganya tinggal 16,4
persen.
Samola meninggal November 2000 dan para pemegang saham Jawa
Pos baru bisa menyelidiki manajemen Dahlan Iskan. "Banyak hal harus
dirapikan," kata Leonardi Kusen, direktur utama PT Grafiti Pers yang
menjadi komisaris utama PT Jawa Pos. PT Grafiti Pers adalah sebuah
perusahaan anak Yayasan Jaya Raya, yang didirikan pemerintah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Raya (ketika Ali Sadikin menjabat gubernur)
bersama 40 perusahaan di Jakarta yang dikoordinir oleh direktur utama PT
Pembangunan Jaya Ciputra.
Tak mengherankan jika direktur utama PT
Grafiti selalu berasal dari PT Pembangunan Jaya. Mulanya Eric Samola
lalu Leonardi Kusen. Mereka sangat berperan dalam pengembangan bisnis
majalah Tempo dan koran Jawa Pos tapi tidak pernah mencampuri urusan
redaksi. Hanya saja, penerapan manajemen Jawa Pos berbeda sekali dengan
gaya Tempo. Di Tempo, ketika baru berusia lima tahun, sejumlah karyawan
pionir (Goenawan Mohamad dan kawan-kawannya) diberi saham atas nama
pribadi oleh ketua Yayasan Jaya Raya Ciputra. Di PT Jawa Pos tak seorang
pun tenaga profesional yang diberi saham oleh induknya.
Kendati
karyawan Jawa Pos memiliki saham 20 persen, tapi Dahlan merasa tak puas
dengan sistem itu. Menurut Dhimam Abror, Dahlan pernah mengutarakan
bahwa lebih baik karyawan tidak jadi pemegang saham, tapi diberikan saja
tantiem dari keuntungan setiap tahun. Hal ini sudah diterapkan pada
tujuh koran Radar di Jawa Timur, dan tampaknya lebih menarik. Para
karyawan tak usah pusing memikirkan saham mereka, karena toh pada
kenyataan hak-hak mereka sebagaimana layaknya pemegang saham tidak bisa
direalisasikan. "Soal persahaman karyawan itu, kami serahkan saja kepada
direksi bagaimana mau mereka atur. Kami tidak mau ikut campur," ujar
Leonardi Kusen.
Manajemen Jawa Pos selama ini, menurut Kusen, sudah
bagus sekali. Peran Dahlan, yang cuma pernah kursus manajemen ketika
ditunjuk jadi kepala biro Tempo, besar sekali dan kerja kerasnya luar
biasa dominan dalam mengarahkan pengelolaan PT Jawa Pos. Kusen mengakui
Dahlan telah mendelegasikan wewenang ke bawah. "Di sana ada Ibu Winny
(Ratna Dewi) yang kuat, penjaga gawang keuangan. Ia juga telah melakukan
kaderisasi yang baik, sehingga telah muncul nama-nama seperti Margiono,
Nany Wijaya, dan Lanny Kusumawati dalam jajaran wakil direksi."
"Kehebatan
Dahlan, keberanian mengambil resiko yang terukur," tutur Kusen lebih
lanjut. Itu sebabnya Jawa Pos bisa lolos dari krisis moneter. Itu karena
masuknya ke tempat dan waktu yang tepat. Utang pembangunan gedung Graha
Pena, misalnya, sudah lunas, sementara dunia properti Indonesia
sekarang justru banyak yang ambruk. Itu karena exposure utang dolar
kecil sekali, bahkan pabrik kertas PT Adiprima Suraprinta, menjual
kertas kepada grupnya tetap dengan standar dolar.
Namun Kusen
mengakui ada juga kegagalan Dahlan. Cuma jika ditimbang-timbang masih
lebih banyak yang sukses daripada yang gagal. "Hebatnya dia, dengan
sumber daya dan keuangan yang terbatas, Dahlan bisa generate
(bangkitkan) usaha yang fenomenal. Visi Dahlan sangat jauh ke depan, dan
ia punya talenta untuk mewujudkannya. Visi saja tidak cukup. Harus ada
drive dan infrastruktur yang memungkinkan pengambilan keputusan yang
cepat tanpa diganggu birokrasi pemegang saham," kata Kusen.
Menurut
Kusen, infrastruktur PT Jawa Pos sangat ketinggalan. Misalnya? "Dalam
sistem pelaporan, accounting, juga dalam marketing management. Sistem
pembukuan yang berbeda-beda, khususnya di anak-anak perusahaan sehingga
belum bisa diaudit. Baru Jawa Pos saja yang bisa diaudit. Itu salah satu
sebabnya belum bisa masuk pasar modal," jawab Kusen. Selama ini, para
pemegang saham bersifat pasif. "Dahlan punya pikiran apa, kita dukung.
Itu utama, walaupun dalam profesionalisme modern, itu perlu
ditingkatkan," kata Kusen.
Bila Kusen bicara demikian bisa
dijelaskan karena ia bertitel Master of Business Administration dari
Syracuse University (Amerika Serikat). Kusen dikenal piawai dalam
menerapkan manajemen sehingga ia juga menduduki posisi direktur dalam
tiga perusahaan kelompok PT Pembangunan Jaya, juga direktur utama dalam
tiga perusahaan pers: PT Grafiti Pers, PT Karsa Muda Laksana dan PT
Tempo Inti Media.
No comments:
Post a Comment