Thursday, October 8, 2009

Herman Hartanto Bos Tanto Line

8 Oktober 2009
Herman Hartanto Bos Tanto Line
Oleh Dahlan Iskan, Jawa Pos, Hongkong

Salah satu perusahaan yang di masa sulit pun masih bisa terus berkembang adalah yang satu ini: Tanto Line. Yakni, sebuah perusahaan milik Herman Hartanto, warga kebanggaan Surabaya, yang bergerak di bidang pelayaran/perkapalan.

Sebagai orang Hokkian yang bermarga Tan, maka di bagian belakang nama Indonesianya tertulis Hartanto. Bahkan, nama perusahaannya itu pun tidak lepas dari nama marganya dan nama belakang Indonesianya.

Di Surabaya memang ada tiga perusahaan pelayaran yang sangat besar. Yakni Spil, Meratus, dan Tanto. Sulit menilai siapa di antara tiga itu yang terbesar. Tiga-tiganya saya kenal dengan baik. Setiap saya tanya siapa di antara mereka yang terbesar tidak pernah ada yang menepuk dada. Yang satu selalu menyebut yang lain sebagai yang lebih besar. “Kami ini kecil, Pak,” ujar Herman Hartanto saat kebetulan bersama-sama terbang ke Hongkong Rabu kemarin (7/10).

Demikian juga Soegeng Hendarto (Huang Dji Tju), si pemilik Spil, mengatakan dirinya masih kecil. Ketua marga Huang Indonesia itu bukan main rendah hatinya. Sikap yang sama juga ditunjukkan pemilik Meratus, Menaro, sampai ke anaknya yang memegang kendali perusahaan sekarang, Charles Menaro. Bahkan, orang seperti mendiang Menaro bukan saja mengaku kecil, melainkan seumur hidupnya tidak pernah naik pesawat di kelas bisnis.

Yang jelas, tiga-tiganya kini masih terus berkembang. Armada kapal mereka masih terus bertambah. Tanto sendiri dalam perjalanannya ke Hongkong kali ini harus mengajak banyak anak buah. Mengapa? Tanto baru saja membeli kapal tambahan. Anak buahnya itulah yang akan membawa kapal tersebut menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Itu adalah kapalnya yang ke-39. Dalam enam bulan terakhir ini saja, Tanto sudah menambah 12 kapal di jajaran armadanya.

“Ini perusahaan jasa. Kami harus terus-menerus meningkatkan servis. Antara lain dengan harus terus menambah kapal,” ujar Tanto, merendah. Kapal-kapal yang lama, di samping sudah mulai tua, juga tidak bisa mencukupi keinginan pelanggan yang terus meningkat. Pelanggan menginginkan Tanto Line punya kian banyak tujuan. Itu berarti diperlukan kian banyak kapal.

Herman Hartanto membangun Tanto Line atas usahanya sendiri. Sejak remaja, dia sudah memisahkan diri dari orang tuanya di Medan. “Umur 16 tahun kami bersama empat teman sebaya pergi ke Jakarta,” kisah Herman, mengenang masa kecilnya. Waktu itu dia tidak tahu Jakarta itu seperti apa. Tapi, sebagai remaja yang senang sepak bola, dia ingin melihat Asian Games di Jakarta. Itu berarti tahun 1962. Dia naik kapal Ambolombo yang kebetulan singgah di Medan dalam perjalanannya dari Jeddah ke Jakarta mengangkut jamaah haji.

“Tiba di Jakarta, kami kaget. Kok Jakarta ini hebat sekali. Besar sekali. Kami bingung mau ke mana dulu,” ujarnya, mengenang. Tapi, sebagai remaja 16 tahun, mereka senang-senang saja. Mereka keliling Jakarta. Bahkan, kemudian mereka hanya bisa menonton Asian Games di televisi hitam putih karena karcis masuk stadion tergolong mahal bagi para remaja itu. Di Jakarta (juga Indonesia) saat Asian Games itulah pertama ada siaran televisi dan masih hitam putih.

Beberapa hari di Jakarta, masing-masing baru ingat bahwa kepergian mereka ke Jakarta itu belum diberitahukan kepada orang tuanya. Mereka pun segera ke kantor pos untuk kirim telegram. “Kami di Jakarta. Ingin nonton Asian Games.” Begitu bunyi telegramnya. “Kami saat anak-anak memang sudah biasa tidak pulang. Tidur di rumah teman. Kalau tidak pulang 2-3 hari saja tidak akan dicari orang tua,” kata Tanto.

Ternyata, itulah kepergiannya keluar dari Medan yang pertama dan tidak pernah kembali lagi. Dia hijrah dalam pengertian yang sebenarnya. Sekolahnya di kelas 1 SMA tidak dia teruskan. Di Jakarta, karena sudah tidak punya uang lagi, Herman lantas ikut famili temannya. Lalu pindah ikut orang lain. Akhirnya mulai ikut-ikutan bekerja di toko ban. Lalu kirim-kirim onderdil mobil. Pernah juga ikut kapal bea cukai ke Karimun. “Saat berada di Karimun, saya pergi naik perahu ke Singapura. Itulah pertama kalinya saya lihat Singapura,” ujarnya. “Kesan saya ketika itu Jakarta jauh lebih hebat daripada Singapura. Jakarta sudah punya Jalan Thamrin yang hebat. Singapura masih seperti kota nelayan,” katanya. Dia tidak mengira dalam sekian tahun kemudian, Singapura bisa seperti sekarang.

Setelah malang-melintang di usia mudanya itu, akhirnya Tanto tahu bagaimana harus mulai usaha sendiri. Yakni usaha jasa pengiriman: ekspedisi. Karena sering kirim barang ke Surabaya, akhirnya dia pun memutuskan untuk menetap di Surabaya.

Lima tahun bekerja di perusahaan ekspedisi, Herman mulai berpikir kalau saja punya kapal sendiri akan bisa lebih untung. Tapi, membeli kapal belumlah waktunya. Dia cari akal bagaimana tidak punya uang, tapi bisa menguasai kapal. Maka, dia sewa kapal milik orang lain. Kebetulan, ada kapal milik Pemda Kalimantan Selatan (Kalsel) yang rusak. Kapal itu sudah tiga tahun tidak beroperasi. Mesinnya sudah hancur.

Herman berusaha memperbaiki kapal itu. Dari sini pula, Herman belajar mesin kapal. Juga belajar bagaimana mengelola kapal (yang kelak menjadi sangat berarti ketika sudah memiliki kapal sendiri). Meski dia bukan insinyur (tamat SMA pun tidak), dia punya kemauan keras untuk belajar. Dia banyak bertanya di bengkel-bengkel mesin. Bahkan, dia ikut menunggui ketika bengkel memperbaiki mesin. Lama-lama Herman mengerti mesin kapal. “Pengusaha kapal yang tidak mengerti mesin kapal sangat bahaya. Bisa dibohongi terus-menerus,” katanya.

Usaha apa pun, kalau mau sukses, haruslah kerja keras, ulet, tidak mudah putus asa, dan memegang kepercayaan. Itulah juga prinsip kerja Herman. Bahkan, dia menilai bisnis di bidang perkapalan jauh lebih sulit daripada yang lain. “Kalau bisnis pabrik, begitu pabriknya dibuka, bisa jalan, tidak terlalu stres. Kerja kapal ini siang-malam harus deg-degan. Apalagi kalau ada telepon berdering. Langsung saja punya pikiran ada apa ini? Kapal tenggelam? Kandas? Bocor di tengah laut? Dan seterusnya,” kisahnya. “Apalagi kalau dering teleponnya tengah malam di saat tidur nyenyak. Pasti deg-degan,” ungkapnya.

Kini, di usianya yang 65 tahun, Tanto masih kelihatan antusias. Badannya yang langsing dan sehat membuat dirinya kelihatan lebih muda daripada umurnya. Sampai tahun 2009 ini, berarti sudah 38 tahun dia menggeluti bisnis perkapalannya itu. “Saya tidak pernah menyesali mengapa saya terjun ke bisnis kapal ini,” ujarnya. “Memang banyak sekali kesulitan, tapi harus dihadapi. Kian sulit persoalan yang dihadapi kian menantang untuk diselesaikan,” katanya.

Bagaimana soal latar belakang pendidikannya yang tidak tamat SMA? Dengan bergurau, Tanto mengatakan bahwa yang penting dirinya bisa melakukan tiga hal saja: bisa marah, bisa memerintah, dan bisa tanda tangan… ha ha ha.

Tiga perusahaan kapal (Spil, Meratus, dan Tanto) itu tentu menjadi kebanggaan Surabaya. Sebab, tiga perusahaan itu saja, di tambah banyak lagi perusahaan Surabaya lainnya, kalau disatukan sudah lebih besar daripada perusahaan serupa di Jakarta. Maka, kalau sampai sekarang Surabaya masih layak disebut sebagai Kota Maritim, antara lain, itu berkat jasa tiga perusahaan tersebut. Tanpa mereka, gelar Surabaya itu harus dicabut. (*)

No comments:

Post a Comment