Wednesday, January 18, 2012

Kenapa Perlu Saling Percaya?

18 January 2012
Kenapa Perlu Saling Percaya?
Oleh: Ngurah Adnyana, Direktur Operasi Jawa Bali.

Suatu hari di akhir tahun 2008, sekitar setahun saya berkantor di PLN Pusat saya bertemu mantan anak buah di daerah, saya tidak usah menyebut wilayahnya, katakan namanya si Tole. Memang sebelum saya masuk ke PLN Pusat, selama 26 tahun saya berkeliling tugas di daerah mulai dari Jabar, Maluku, Kalseltengtim, Jatim dan terakhir Bali. Sebagai orang yang mengurusi bidang Distribusi di PLN Pusat, saya ditanya oleh si Tole ini. Begini pertanyaannya: “Pak, Saya mau minta pendapat Bapak. Boleh nggak besarnya pemakaian listrik pelanggan kita naikkan sendiri?”

“Lho….maksudnya apa?“ tanya saya .

“Begini lho Pak. Kami dituntut agar susut jaringan memenuhi target kinerja. Karena diperkirakan tidak akan mencapai target, GM menyuruh saya menaikkan angka penjualan kWh dengan menaikkan pemakaian listrik pelanggan-pelanggan tertentu seperlunya. Kalau kWh jual naik, sedang kWh produksi tetap, susut jaringan akan turun dan bisa mencapai target”.

“Oh begitu….saya paham. Jadi mau mendapat kWh fiktif secara tidak halal agar mencapai target susut. Wah….wah….Saya tanya si Tole, “Lalu sikap kamu bagaimana?”

“Saya sih sebenarnya nggak mau Pak, karena tidak sesuai dengan kaidah bisnis yang jujur dan hati nurani saya juga berontak. Tapi bagaimana ya….? Inikan perintah GM, boss saya. Bagaimana dong Pak?”

Waktu itu saya cuma jawab, ikutilah hati nuranimu yang jujur dan kamu akan tidur nyenyak.

Memang pada tahun 2000-an salah satu kinerja PLN yang sering dipertanyakan oleh pemangku kepentingan atau stake holder PLN seperti DPR, Pemerintah atau masyarakat adalah tentang efisiensi pengelolaan PLN termasuk susut jaringan. Begitu membahas kinerja operasi, topik yang paling tidak pernah ketinggalan untuk dipertanyakan adalah susut jaringan karena susut jaringan PLN waktu itu memang masih orde belasan (double digit). Karena sering dipertanyakan, para GM mendapat target menurunkan susut yang “kudu iso”, pinjam istilahnya Pak Sulastyo. GM yang ingin mendapat nilai tinggi dan tidak mau capek, ya cari jalan pintas seperti cerita si Tole di atas.

Begitu juga kalau ditanya tetang SAIDI dan SAIFI. Kalau ditanya berapa nilai SAIDI dan SAIFI pada satu unit, secara berseloroh akan dijawab: “Bapak maunya berapa? Besar bisa, kecil juga bisa”. Lho…kok bisa? Ya karena sistemnya memang belum mendukung untuk menghitung SAIDI dan SAIFI secara akurat. Secara umum unit-unit memang masih sulit menghitung angka SAIDI dan SAIFI secara akurat, walaupun saat ini beberapa unit sudah dapat menghitung secara akurat dan bisa diuji akurasi perhitungan angka SAIDI dan SAIFInya.

Apa yang bisa kita pelajari dari cerita di atas?

Ternyata beberapa unit masih bekerja dengan data seadanya, data yang tidak valid, data yang sengaja direkayasa. Kalau data direkayasa, otomatis kita tidak mendapatkan data yang benar. Lalu kita tidak tahu dimana kelemahan kita sehingga kita juga tidak tahu bagaimana memperbaiki kelemahan kinerja kita. Akhirnya kita berputar-putar dengan rekayasa kinerja. Ini budaya jelek.

Ada satu pepatah tentang rekayasa atau kebohongan. “Ketika kita melakukan kebohongan untuk yang pertama, maka kita perlu 10 kebohongan berikutnya untuk mempertahankan kebohongan yang pertama tadi.”

Untuk bisa meniadakan kebohongan dan rekayasa data ini perlu dibiasakan berlaku jujur. Membiasakan diri dengan data yang valid, dengan informasi dan laporan yang terpercaya. Kalau kita semua berlaku jujur maka akan terbangun budaya trust, budaya saling percaya. Itulah sebabnya pada tahun 2012 ini, salah satu program utama Direktorat Operasi Jawa Bali adalah membangun komunitas saling percaya atau High Trust Society yang disingkat HTS. Apakah selama ini teman-teman di Jawa Bali melakukan kebohongan? Tentu tidak. Kalau satu dua orang tidak jujur, ya memang manusia tidak sempurna. Itu sudah hukum alam.

Kenapa perlu saling percaya?

Masih ingat kisah perusahaan energi Enron dan perusahaan audit Arthur Andersen di Amerika yang akhirnya bangkrut? Penyebab utamanya adalah mereka melakukan kebohongan publik. Angka-angka kinerja operasi dan keuangannya direkayasa agar selalu terlihat cantik. Tapi begitu ketahuan mereka berbohong, perusahaan global sebesar itu akhirnya bangkrut. Nah disinilah pentingnya perusahaan yang jujur, yang bisa dipercaya oleh pelanggan.

Untuk mengatasi kendala ketidakpercayaan pelanggan kepada PLN, perlu dibangun budaya kerja yang akan menjawab tantangan perubahan kedepan. Budaya yang harus dibangun adalah budaya kerja saling percaya atau mutual trust. Membangun budaya trust ini harus didahului oleh pembangunan integritas personal atau kejujuran dari setiap orang. Dengan terbangun kejujuran dan integritas pada masing-masing personal, maka tidak sulit untuk membangun budaya trust dalam suatu komunitas atau masyarakat (society). Inilah langkah mendasar kalau ingin membangun PLN sekaligus sebagai antisipasi ketika Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi ke 6 di dunia pada tahun 2030.

Waktu saya ke Jepang pertama kali tahun 1995 dan ketika itu saya lagi senang membaca topik budaya perusahaan atau corporate culture dan values atau nilai-nilai perusahaan, PLN waktu itu belum punya SIPP (Saling Percaya, Integritas, Peduli dan Pembelajar) sebagai nilai-nilai perusahaan. Ketika satu perusahaan Jepang yang saya kunjungi selesai presentasi, saya bertanya kepada seorang senior manajer perusahaan Jepang:

“Bagaimana anda merumuskan corporate culture perusahaan Anda?” Si manajer kelihatan bingung, kemudian dia menjawab:

“Kami tidak merumuskan corporate culture perusahaan kami, tapi kami percaya pada prinsip hidup bangsa Jepang yang juga kami terapkan di perusahaan kami, yaitu hard working (kerja keras) dan trust (saling percaya)”

Dan memang itulah yang dilakukan perusahaan-perusahaan Jepang sehingga mereka bisa memasuki negara-negara lain untuk pengembangan usahanya.

Jadi berlaku jujur dan menerapkan budaya saling percaya di suatu perusahan itu penting untuk mengembangkan perusahaan. Pertanyaannya, bagaimana mewujudkan budaya trust itu, mengingat budaya itu terwujud dari sekumpulan kebiasaan dan kegiatan sehari-hari dari suatu komunitas/masyarakat. Sifatnya pun abstrak tidak kelihatan (intangible). Kalaupun mau membangun budaya trust itu, mulainya dari mana?

Nah disinilah kita harus bisa ‘membumikan’ usaha membangun budaya trust ini yang di Jawa Bali diistilahkan dengan membangun High Trust Society (HTS).

Bagaimana upaya membangun budaya trust?

Membangun budaya trust dilakukan melalui 3 (tiga) pilar utama yaitu 1) Penyajian Data dan Informasi yang Jujur dan Terpercaya, 2) Pembangunan Integritas Diri dan 3) Penerapan Budaya Kualitas.

Pilar pertama untuk membangun budaya trust adalah menyajikan data dan informasi yang jujur dan terpercaya. Itu penting untuk membangun kepercayaan pada suatu perusahaan baik untuk internal maupun eksternal. Secara internal seperti cerita tentang si Tole di atas, Direksi pasti tidak percaya pada si GM. Begitu juga para pegawai di unit itu pun tidak percaya pada GM yang suka merekayasa data. Walaupun tidak dipungkiri, ada juga pegawai yang senang pada GM yang suka merekayasa data karena dia juga senang berlaku tidak jujur. Mudah-mudahan pegawai yang begini tidak banyak.

Saya punya cerita menarik tentang keampuhan data. Waktu awal-awal saya jadi GM di Bali tahun 2000-an gangguan padam di pelanggan masih sering. Pada seminar-seminar kelistrikan dimana GM PLN diminta menjadi nara sumber, sering ada pertanyaan memprovokasi dari peserta seminar. Biasalah, seminar tentang topik A, yang ditanyakan topik B.

Si peserta tanya: “Pak PLN, kok listrik di daerah anu sering mati, bagaimana PLN ini?” Orang bertanya seperti ini biasanya tidak siap dengan data, hanya sekedar bertanya untuk memprovokasi. Kalau nara sumber tidak punya data, akan repot menjawabnya. Tapi kalau punya data dan datanya valid, maka si penanya balik ditanya: ”Matinya di daerah mana, berapa kali mati dan tanggal berapa?” Kemudian kita jelaskan kondisi daerah yang ditanyakan, memang pernah mati hanya sekali sebulan, lalu karena pohon…..dst. Si penanya pasti tidak akan berani tanya lagi dan peserta seminar yang lain akan percaya pada PLN, karena PLN punya data. Itulah keampuhan data dan informasi untuk membangun kepercayaan di eksternal PLN.

Dalam lingkup korporat, penyajian data yang valid dan terpercaya ini sangat penting khususnya bagi investor yang membeli obligasi PLN. Investor membeli obligasi PLN tentu atas dasar kepercayaan pada kinerja PLN. Nah kalau PLN menyajikan data yang tidak valid, investor tidak akan percaya pada PLN dan PLN tidak bisa menjual obligasi untuk mendapat dana untuk berinvestasi mengembangkan perusahaan.

Pilar kedua untuk membangun budaya trust adalah dari kejujuran dan integritas manusianya. Kejujuran dan integritas personal semua pegawai sangat menentukan terbangunnya budaya trust di suatu perusahaan. Apalagi PLN adalah perusahaan pelayanan publik yang citranya sangat ditentukan oleh kualitas produk yang diberikan kepada publik, serta kualitas layanan terutama kualitas pelayanan yang terkait dengan integritas petugas PLN yang melayani.

Waktu peninjauan kesiapan barisan pada acara “Sarling dan Elang” (pemasaran keliling dan edukasi pelanggan) di Bogor tanggal 4 Januari 2012, dengan memakai microphone pengeras suara saya berbincang dengan petugas outsourcing pelayanan teknik. Perbincangan singkat kami kira-kira begini:

Saya tanya si petugas: “Apa Anda siap memberi pelayanan teknik terbaik kepada pelanggan PLN?”
Dengan sigap dia menjawab “Siap Pak !”

“Apakah dalam memberi pelayanan ini Anda minta uang kepada pelanggan?”
Dia jawab lagi “Tidak Pak !”

Saya tanyakan lagi: “Setelah Anda selesai memperbaiki gangguan, Anda diberi uang oleh pelanggan, apakah Anda terima?”
Spontan dia jawab: ”Alhamdullilah Pak !” Lho…..?

Kemudian saya katakan pada si petugas: “Saya minta Anda tidak menerima uang dari pelanggan, cukup katakan….terima kasih, saya tidak bisa menerima uang. Ini memang tugas kami melayani pelanggan….!” Kalau soal rejeki, bagi yang jujur dan punya integritas, Tuhan dengan jalan yang lain akan memberi rejeki yang jauh lebih besar dari pemberian pelanggan.

Dengan sikap menolak pemberian uang, petugas PLN sudah menunjukkan integritas diri yang tinggi. Pelanggan akan sangat menghargai si petugas, memberi kesan sangat mendalam pada pelayanan PLN. Si petugas pun pasti bangga dengan sikapnya itu. Adakah di antara kita yang tidak bangga ketika berani menolak pemberian uang tidak halal? Adakah di antara kita yang tidak bangga ketika kita berani menunjukkan integritas diri kita? Pasti bangga. Kejujuran dan integritas personal memang merupakan kunci bagi keberhasilan kemajuan perusahaan dalam jangka panjang.

Ini baru integritas dalam melayani gangguan di pelanggan. Tantangan integritas lebih besar justru pada proses melayani pelanggan yang bermaksud sebagai pelanggan baru atau menambah daya listrik. Proses ini sangat rentan dengan penggelembungan biaya yang harus dibayar oleh pelanggan, baik yang dilakukan oleh perantara/calo atau kontraktor listrik, petugas sertifikasi instalasi listrik maupun oleh pegawai PLN sendiri.

Hasil survey KPK tahun 2010 dan 2011 menunjukkan bahwa Integritas Layanan Publik (ILP) dari pelayanan pasang baru, perubahan daya dan pelayanan gangguan di PLN masih harus dibenahi. Tahun 2010 nilai ILP PLN = 5,47 artinya masih perlu usaha keras untuk membangun integritas personal dalam melayani pelanggan. Walaupun nilai ILP di tahun 2011 naik menjadi 6,38 tapi di beberapa kota di Jawa-Bali masih perlu peningkatan integritas. Untuk di Jawa Bali: Denpasar, Surabaya dan Yogyakarta mendapat nilai ILP di atas 7,5 tapi Semarang, Bandung dan Jakarta masih perlu meningkatkan kinerja ILP.

Integritas personal juga perlu dibuktikan ketika berhadapan dengan supplier dan kontraktor seperti dalam proses pelelangan barang mulai dari penentuan spesifikasi barang sampai dengan penetapan pemenang lelang. Begitu juga dalam melayani penerimaan barang dari supplier dan menandatangani berita acara yang terkait dengan tagihan pembayaran dari PLN. Banyak keluhan bahwa berita acara baru ditandatangani kalau supplier atau kontraktor sudah datang menghadap dan memberikan sesuatu……..? Mudah-mudahan sudah tidak banyak pegawai PLN yang mengorbankan integritas dirinya.

Pilar ketiga dalam membangun budaya trust adalah mewujudkan budaya kualitas yang di luar data dan integritas. Budaya kualitas ini dapat diwujudkan dalam banyak hal yang dapat membangun kepercayaan pelanggan dan stake holder kepada PLN. Budaya kualitas itu dapat dibangun dalam bentuk kualitas produk atau layanan yang diberikan kepada pelanggan sehingga pelanggan merasa puas dengan produk dan layanan PLN, kualitas proses bisnis yang cepat dan transparan sehingga meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan, kualitas material yang digunakan dalam instalasi listrik PLN haruslah material yang berkualitas prima sehingga jarang terjadi gangguan, kualitas pengadaan barang yang harus tetap mengedepankan efisiensi tanpa harus mengorbankan kualitas sampai dengan kualitas pekerjaan yang memperhatikan keselamatan ketenagalistrikan.

Kalau ketiga pilar ini dapat kita upayakan secara konsisten dan berkesinambungan, maka budaya trust atau komunitas saling percaya ini akan bisa terwujud yang pada akhirnya akan membangun kepercayaan masyarakat kepada PLN. Kalau sudah dipercaya masyarakat, warga PLN akan mempunyai kebanggan tinggi sebagai pribadi dan sebagai pegawai PLN.

Satu kunci utama dalam membangun budaya trust ini adalah diperlukan panutan dari pemimpin masing-masing unit kerja mulai dari Direksi, Kepala Divisi, GM, Manajer Bidang, Manajer Area, Manajer Unit sampai para Supervisor.

Setuju?

No comments:

Post a Comment