Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
APRIL 2000, Eric Samola mengundurkan diri dari kursi direktur utama PT
Jawa Pos. Samola diganti oleh Dahlan. Saat itu Goenawan Mohamad, dalam
kedudukan sebagai presiden komisaris PT Jawa Pos, merasa tak enak
melihat Yusril Djalinus dan Zulkifly Lubis, keduanya anggota direksi PT
Grafiti Pers, dan orang-orang yang dipercayai Goenawan, belum kebagian
kursi Jawa Pos. Maka pengunduran diri Samola membawa perubahan lain.
Para pemegang saham menunjuk Harjoko Trisnadi, salah satu pemegang saham
PT Jawa Pos, dan Zulkifly Lubis masuk dalam jajaran direksi PT Jawa Pos
mendampingi dua direksi lama pasangan Dahlan yakni Ratna Dewi dan Imam
Soeroso. Sedangkan Yusril Djalinus diberi kursi dalam jajaran komisaris
bersama para pemegang saham individual macam Goenawan Mohamad.
Tapi
keputusan yang sudah setahun itu, sampai April 2001 belum juga
disosialisasikan. "Setahu saya susunan direksi belum berubah," kata
Margiono, wakil direktur PT Jawa Pos. Ia mengaku tidak tahu kalau ada
Harjoko Trisnadi dan Zulkifly Lubis kini dalam barisan direksi. Bahkan
permintaan Trisnadi untuk mendapatkan kantor di perwakilan Jakarta Jawa
Pos belum dikabulkan, sehingga direktur PT Jawa Pos berusia 70 tahun ini
menumpang berkantor di PT Tempo Inti Media Tbk.
Zulkifly Lubis,
direktur PT Tempo Inti Media Tbk, yang juga merangkap direktur paruh
waktu PT Jawa Pos, Januari 2001 lalu memberi tumpangan kantor bagi
Harjoko Trisnadi, bersama rekan-rekan yang pernah ditinggalkannya untuk
mendirikan majalah Gatra bersama Bob Hasan. "Karena kebaikan Tempo, saya
dikasih menumpang di sini," kata Harjoko, yang saya dapati berkantor di
sebuah ruang kecil, ukuran sekitar 1,5 m x 2 m di lantai sepuluh gedung
PT Pembangunan Jaya.
Sampai 16 April, 2001, nama Harjoko dan Lubis
belum tercantum dalam masthead koran Jawa Pos. "You tahu kan, kantor
Jawa Pos Jakarta sempit. Saya sendiri tidak punya kantor di mana pun,"
ujar Dahlan ketika saya tanyakan soal itu. Bahwa nama mereka belum
dicantumkan di koran, itu soal administrasi saja. "Nama saya juga di
situ masih disebutkan direktur, padahal sudah direktur utama," ujarnya
enteng.
Sewaktu mendampingi Dahlan di Pontianak, ia sempat mengatakan
bahwa Jawa Pos adalah sebuah perusahaan yang seratus persen dikelola
para profesional murni, tanpa ada campur tangan pemilik saham. Tapi
belakangan Dahlan jadi anggota pemegang saham PT Jawa Pos? Menurut
Dahlan, ini tidak akan menimbulkan konflik antara pemegang saham dengan
direksi. Dari tahun 1982, Samola, yang juga memegang saham 20 persen,
sangat aktif mengarahkan manajemen Jawa Pos. Dalam keadaan sakit pun
Samola, yang terkena kena stroke 1990 sehingga tak mampu bicara tapi
masih bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat -masih sering bertemu
Dahlan untuk mencurahkan ilmu kewiraswastaannya. Betapa eratnya hubungan
mereka dituangkan Dahlan dalam sebuah artikel "Saya seperti Anak Sulung
Eric Samola."
Dapat disimpulkan, pesatnya kemajuan Jawa Pos
sebenarnya karena ilmu Samola bisa dibaca dan diterapkan Dahlan secara
one man show.
Alwi Hamu, yang tidak duduk dalam barisan direksi
maupun dalam barisan kader direksi Jawa Pos (Margiono, Nany Wijaya, dan
Lenny Kusumawati) tapi jadi semacam orang bijak di lingkungan Jawa Pos,
mengakui masuknya para pemegang saham dari jajaran direksi Tempo ke
jajaran direksi PT Jawa Pos memang untuk mengendalikan Dahlan Iskan dan
untuk ikut memperhatikan manajemen.
Alwi, yang menjabat ketua
koordinator group Jawa Pos News Network merangkap kepala Badan
Pengembangan dan Pengawasan kelompok ini bilang, "Jawa Pos jangan
dibiarkan begitu saja. Dahlan sangat one man show, tapi ke bawah kami
terapkan team work. Harus pakai sistem, tidak seperti gaya darurat."
Ternyata,
perkawinan antara daya tarik (drive) yang keras dari pribadi Dahlan
ditunjang sistem semangat tim telah membuahkan jaringan Jawa Pos yang
luas di semua propinsi Indonesia, kecuali Aceh. ***
Copyright © 2001, PANTAU
No comments:
Post a Comment