Tuesday, March 29, 2011

Damage(s) Itu!

29 March 2011 at 12:57 pm
Damage(s) Itu!

Sebenarnya kali ini saya ingin bicara empat hal mendasar untuk PLN. Empat-empatnya merupakan kelemahan pada umumnya BUMN namun lebih khusus lagi di PLN.

Pertama, tidak nyambungnya proses pengadaan dengan tuntutan pelayanan sehingga prinsip customer oriented hanya menjadi doktrin formal yang tidak bisa diimplementasikan dengan sesungguh-sungguhnya.

Kedua, perlakuan yang kurang adil terhadap sebuah ide. Ide-ide besar cenderung diperlakukan sama dengan ide-ide kecil sehingga jarang sekali terobosan besar bisa dilakukan.

Ketiga, tidak diperhitungkannya secara nyata prinsip opportunity losses dalam action program. Inilah yang membuat gerak BUMN, termasuk PLN, sangat lamban.

Yang keempat, tidak di-value-kannya damages. Yang keempat inilah yang menyebabkan kita sulit membangun citra yang bagus untuk PLN. Saya menjadi maklum mengapa citra PLN begitu “hancur beras kencur”. Ini karena pembangunan citra hanya menjadi program bagian pembangun citra, yang dengan cepat terusakkan oleh bagian lainnya. Ini ibarat Iyut mengawini Joko Sembung – tidak nyambung.

Barangkali yang nomor empat itu dulu yang sempat dikemukakan di forum pendek ini. Tiga yang lain bisa dibahas di kesempatan lain – kalau memang dianggap menarik.

Renungan ini bermula dari kasus tiba-tiba terjadi defisit listrik di sistem Jawa. Yakni ketika pembangkit listrik tenaga air Saguling dan Cirata yang biasanya mampu memproduksi 1.000 MW itu tiba-tiba anjlok. Tinggal mampu memproduksi 400 MW. Tiba-tiba saja PLN kehilangan 600 MW. Berhentinya hujan beberapa hari di pedalaman Jabar menyebabkan dua PLTA itu kekurangan air.

Saya tidak tahu peristiwa itu kalau saja tidak bermalam di Bogor untuk menghadiri rapat di Istana Bogor. Pagi-pagi ketika saya jalan pagi bersama teman-teman PLN Bogor di Kebun Raya saya mendapat cerita bahwa jatah listrik Bogor dikurangi 60 MW. Pemadaman bergilir terpaksa dilakukan. Demikian juga brown out.

Dari sinilah baru saya tahu mengapa banyak pengaduan mati lampu masuk ke SMS saya. Bukan hanya banyak jumlahnya tapi juga luas wilayah cakupannya. Praktis dari seluruh Jawa. Bukan hanya dari kota-kota besarnya tapi sampai nun di kota-kota kecil. Bahkan ketika tampil di acara Bukan Empat Mata bersama Tukul di Trans7 bulan lalu seorang artis mengeluh kepada saya. Tentu keluhannya dikemukakan di saat off-take, ketika di layar TV sedang ditampilkan iklan-iklan yang banyak itu. Penyanyi dangdut itu mengemukakan bahwa belakangan itu tegangan di rumahnya (listrik, maksudnya) sangat jelek.

Saat menerima keluhan itu saya sempat ngotot bahwa tidak mungkin di Jakarta ini ada masalah tegangan. Saya sampai menyalahkan jangan-jangan ada instalasi yang tidak beres di rumahnya. Seperti yang dialami seorang warga Jakarta yang menulis di surat pembaca di Kompas dengan nada yang amat keras itu. Ketika petugas PLN mendatangi rumah penulis surat pembaca itu, ternyata ditemukan bukan PLN yang salah melainkan dia sendiri: dia memasang trafo kecil untuk stabilitasi tegangan di rumahnya dan alat itulah yang rusak. Karena itu hanya rumah dia yang tegangannya kacau. Peralatan elektroniknya banyak yang rusak dan marahlah dia dengan kemarahan begitu besar seperti yang bisa kita baca di surat pembaca.

Tapi si artis dangdut di acara Bukan Empat Mata ini ngotot tidak memiliki peralatan seperti itu di rumahnya. Dia juga mengemukakan bahwa keluhan yang sama dialami para tetangganya. “Satu kampong tegangannya kacau,” katanya. Begitu ucapan yang terakhir itu dikemukakan barulah saya lemas. Ini pasti karena dilakukan brown out untuk menutupi defisit listrik di Jawa akibat turun drastisnya produksi listrik tenaga air di Saguling-Cirata tersebut. Ternyata benar. Setelah saya cek keesokan harinya, memang, sudah seminggu itu terpaksa dilakukan pemadaman bergilir. Juga brown out di mana-mana.

Tidak ayal bila pengaduan dari kota-kota kecil pun sangat banyak. Apalagi selama ini ada doktrin kalau terjadi defisit listrik seperti itu daerah-daerah kecil yang dikorbankan lebih dulu. Seolah-olah daerah-daerah itulah yang boleh diperlakukan tidak adil. Seolah-olah daerah pinggiran itulah yang pantas dipinggirkan. Saya semakin yakin terhadap defisit itu setelah menghubungi semua pimpinan wilayah di Jawa. Mereka juga merasa sumpek. Tapi tidak berdaya. Pembangkitan bukan wilayah mereka. Mereka hanya bisa menjalankan perintah penjatahan defisit yang sampai 400 MW itu.

Untunglah kita punya Direktur Operasi yang cekatan. Begitu saya kemukakan defisit ini harus dihentikan ternyata bisa ditemukan jalan keluar. Hari itu juga. Pemadaman bergilir dan brown-out bisa diakhiri. Ditemukanlah cara ini: para pimpinan wilayah distribusi diminta meloby para pemilik pembangkit besar. Mereka diminta menghidupkan pembangkitnya di saat beban puncak. Tentu dengan resiko finansial ditanggung PLN.

Kalau saja cara ini tidak ditemukan saya tidak tahu lagi betapa hancurnya citra PLN. Sebab defisit listrik ini ternyata berlangsung lama. Defisit ini baru teratasi pertengahan Maret 2011, yang berarti sebulan penuh. Bukan karena hujan tiba-tiba deras di pedalaman Jabar, namun karena semua lini di PLN bekerja dengan amat keras dan menegangkan. Bayangkan kalau pemadaman bergilir dan brown out itu berlangsung selama satu bulan penuh. Alangkah hancurnya nama PLN. Bisa-bisa dunia terasa kiamat kembali.

Pelajaran terbaik dari mini-krisis ini adalah: semua masalah ternyata selalu bisa ditemukan jalan keluarnya. Asal dipikirkan sungguh-sungguh dan dikerjakan mati-matian. Tentu saja melelahkan dan menegangkan. Tapi hasilnya sungguh nikmat. Misalnya para GM se Jawa harus mengerahkan tenaganya untuk mencari pelanggan di wilayah masing-masing yang memiliki pembangkit sendiri. Toh pekerjaan ini tidak terlalu memalukan. Teman-teman wilayah tidak harus mengemis dan mengiba. Mereka bisa melakukannya tetap dengan gagah: kita tanggung biaya kemahalannya. Kita harus mengucapkan terima kasih punya GM yang handal seperti Bung Taufik Haji di Jabar, Bung Denny Pranoto di Jateng, Bung Haryanto di Jatim dan Bung Sulastyo di Jakarta.

Kita juga bangga punya KDIV Konstruksi dan IPP seperti Bung Henky Heru Basudewo. Dia membangun sistem komunikasi grup messenger di blackberry yang sangat efektif. Dari situ saya bisa memonitor betapa Bung Henky menguber-uber semua kepala proyek dan manajer pembangkitan di unit-unit di bawahnya. Mereka didorong untuk bergegas mengupayakan tambahan daya menambal defisit segera. Setiap jam 5 pagi masing-masing pimpinan unit sudah diabsen mengenai kemajuan pembangkitnya. Lalu-lintas sms di grup messenger itu begitu padat dan menegangkan. Begitu banyak persoalan: pipa bocor, kandungan gas yang memburuk, water outlet yang pecah, tenggorokan coal feeder yang tersedak, banyaknya barang yang harus segera dipasang tapi masih terbelit masalah di bea cukai, mie instan dan bir yang masuk container dan seterusnya. Saya kira inilah model handling proyek yang sangat ideal dan perlu ditiru. Bahwa di situ ada dua nama yang sama ditemukan pula cara untuk membedakannya. Kalau tidak kita bisa bingung karena dua Henky ini sama-sama jagoannya. Kalau di BB itu kita baca tulisan Henky, itu berarti Henky Heru Basudewo. Disingkat HHB, tapi kadang ada yang nakal menulis BH-2. Kalau di messenger itu kita baca nama HenkQ, yang dimaksud adalah Hengky Wibowo.

Dari upaya mengatasi defisit ini bisa ditarik kesimpulan bahwa doktrin tidak ada yang tidak bisa kembali menemukan kebenarannya. Kita ternyata bisa menemukan cara untuk mengatasi defisit yang begitu besar yang datang tiba-tiba. Kita menjadi terbiasa berpikir keras dan bekerja keras. Bayangkan, kalau misalnya cara mudah dan cara gampang yang kita tempuh pastilah jalan ini yang dilakukan: jatahkan saja defisit itu tiap cabang harus defisit berapa MW, kalau pun pemadaman bergilir itu belum cukup tambahkan saja bumbu brown-out!

Padahal dengan cara kuno itu akan terjadi bencana. Dengan cara seperti itu terjadilah apa yang disebut “damage(s)”. Kerusakan. Damage(s) terhadap kehandalan listrik Jawa. Juga terjadilah “damage(s)” di bidang pelayanan kita. Akibat dari “damage(s)” itu seolah-olah kerja keras, keras sekali itu, yang selama setahun penuh dilakukan oleh teman-teman distribusi seperti tidak ada artinya lagi. Mendingan tidak perlu bekerja keras yang sampai ngos-ngosan selama setahun seperti itu kalau ujung-ujungnya rusak oleh “damage(s)” seperti itu.

Kesadaran menghindari “damage(s)” inilah yang akan menjadi perhatian kita bersama ke depan. Di perusahaan yang sudah memiliki “agama” customer oriented, ritual menghindari “damage(s)” seperti itu sudah otomatis, seperti orang sembahyang lima waktu. Inilah yang belum terjadi di PLN. Memang istilah customer oriented sudah diajarkan begitu sering di PLN, tapi kelihatan sekali bahwa doktrin customer oriented itu masih tergolong “customer oriented KTP”. Atau “customer oriented bibir”. Atau “customer oriented udiklat”.

Dalam customer oriented KTP, pelanggan hanyalah urusan bagian pelayanan pelanggan. Belum menjadi urusan bagian-bagian lain di sekitarnya, apalagi bagian-bagian lain di hulunya.

Untunglah kita bisa berubah. Dengan praktik yang baru saja kita lakukan bersama (dalam upaya mengatasi krisis-mini defisit daya baru-baru ini), kita telah berhasil mempraktekkan secara total doktrin “customer oriented” secara kaffah! Mulai dari distribusi, transmisi, P3B, pembangkitan, energi primer sampai ke proyek-proyek. Semuanya all-out dan fokus ke customer kita yang lagi terancam.

Diam-diam kita ternyata baru saja lulus ujian.

Kita ternyata bisa dan mampu menjalankan doktrin customer oriented secara sempurna. Kita tinggal menggelindingkannya model ini ke dalam sistem dan ke dalam budaya perusahaan. Pelan-pelan.

Inti lain dari doktrin customer oriented adalah kesadaran akan nilai “damage”. Anda tidak perlu mencari literatur apa yang mengatakan ini, karena mungkin memang belum ditulis. Cobalah ingat. Kalau untuk setiap prestasi kita bisa membukukan nilai plus dan kemudian bisa merupiahkannya dalam bentuk P-3 yang kuantitasnya sangat nyata, tentu seharusnya kita juga bisa mem “value” kan damage(s) itu.

Memberi nilai terhadap damage(s) menjadi sangat penting karena kita harus melakukan apa yang disebut dalam literatur sebagai “damage(s) recovery”. Kita semua tahu untuk menyembuhkan sakit yang nilainya 5, tidak cukup disembuhkan dengan obat yang nilainya 5. Setiap kali kita menyakitkan hati orang dengan nilai kesakitan 5, kita harus menghiburnya dengan hiburan paling tidak bernilai 8.

Saya belum memikirkan berapa kira-kira nilai kerusakan akibat pemadaman bergilir dan brown out selama seminggu di Jawa bulan lalu. Ini karena fokus kita masih pada bagaimana agar damage(s) itu berakhir. Setelah “damage(s) itu kini berakhir memang ada baiknya kita mencoba mem “value” kan di tingkat berapa kira-kira damage(s) tersebut. Lalu kita bisa memutuskan jenis recovery apa yang nilainya bisa jauh lebih besar dari nilai damage(s) tersebut.

“Tidak lagi defisit”, “tidak lagi ada pemadaman bergilir”, “tegangan sudah stabil karena tidak ada lagi brown out” adalah belum termasuk yang bisa disebut “damage(s) recovery”. Ini perlu kita ingat karena orang sering lupa bahwa kalau sebuah persoalan itu berhasil diselesaikan dianggap sudah selesai. Padahal dia masih meninggalkan damage(s) yang harus disembuhkan. Kita bukan saja harus menyembuhkan lukanya, tapi harus sampai memulihkan bekas lukanya!

Brown-out: penurunan tegangan di gardu induk untuk menghindari/ meminimalisir pemadaman

Dahlan Iskan
CEO PLN

No comments:

Post a Comment