Wednesday, May 11, 2011

Tahan Banting dengan Tradisi Keilmuan dan Bazari

Rabu, 11 Mei 2011, 16:56:00
Tahan Banting dengan Tradisi Keilmuan dan Bazari
Ke Iran setelah 30 Tahun Diembargo Amerika (3-Habis)

BAGAIMANA Iran ke depan? Mengapa setelah lebih dari 30 tahun diisolasi dan diembargo Amerika Serikat, Iran tidak kolaps seperti Burma, Korut, atau Kuba? Banyak faktor yang melatarbelakanginya.

Pertama, saat mulai diisolasi dulu, kondisi Iran sudah cukup maju. Kedua, tradisi keilmuan bangsa Iran termasuk yang terbaik di dunia. Ketiga, Iran penghasil minyak dan gas yang sangat besar. Keempat, jumlah penduduk Iran cukup besar untuk bisa mengembangkan ekonomi domestik. Kelima, tradisi dagang masyarakat Iran sudah terkenal dengan golongan bazarinya.

Tradisi dagang itu tidak mudah dikalahkan. Pedagang selalu bisa berkelit dari kesulitan. Ini berbeda dengan tradisi agraris. Seperti Tiongkok, meski 60 tahun dikungkung oleh komunisme Mao Zedong yang kaku, penduduknya tetap tidak lupa kebiasaan berdagang. Demikian juga warga Iran. Ini terbukti sampai sekarang.

Setelah lebih dari 20 tahun diisolasi pun sektor jasa masih menyumbang sampai 40 persen GDP negara itu. Penduduk Iran yang 75 juta orang juga menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Apalagi, saat mulai diisolasi oleh Amerika pada 80-an, kondisi Iran sudah tidak tergolong negara miskin.

Kelas menengah di Iran sangat dominan. Inilah faktor yang dulu membuat revolusi Islam Iran pada 1979 berhasil menumbangkan diktator Syah Pahlevi Keberhasilan itu disebabkan masyarakat Iran didominasi kaum bazari. Pedagang kelas menengah. Yakni, bukan konglomerat yang ketakutan ditebas penguasa, dan bukan pedagang kecil yang takut kehilangan tempat bergantung.

Belum lagi kekayaan alamnya. Iran adalah negara kedua terbesar penghasil minyak dan gas alam. Bukan hanya memiliki cadangan besar, tapi juga mampu melakukan drilling dan pengolahan sendiri.

Tidak ada lagi ketergantungan akan teknologi drilling dan pengolahan. Salah satu sumber gasnya, yang baru saja ditemukan, akan membuat negara itu kian berkibar. Di lepas pantainya, di Teluk Parsi, ditemukan ladang gas terbesar di dunia. Ladang itu setengahnya berada di wilayah Qatar dan setengahnya lagi di wilayah Iran.

Pada 1999 lalu Qatar sudah berhasil menyedot gas bawah laut itu dari wilayah Qatar. Kalau Iran tidak menyedotnya dari wilayah Iran, tentu semua gas itu akan disedot Qatar. Karena itu, Iran juga bergegas menyedotnya dari sisi timur. Pada 2003 lalu Iran sudah berhasil menyedot gas itu dan akan terus meningkatkan sedotannya. ”Tiga tahun lagi kemampuan Iran menyedot gas itu sudah sama dengan Qatar,” ujar CEO perusahaan gas di sana.

Untuk menggambarkan seberapa besar potensi gas itu, ada baiknya dikutip kata-kata CEO yang saya temui di atas. ”Seluruh gas Iran di situ harganya USD 12 triliun,” katanya. Ini sama dengan 12 kali seluruh kekuatan ekonomi Indonesia yang USD 1 triliun saat ini. ”Kalau diambil dalam skala seperti sekarang, gas itu baru akan habis dalam 200 tahun,” tambahnya. Gas itu letaknya memang 3.000 meter di bawah laut, namun dalamnya laut sendiri hanya 50 meter.

Secara teknis ini jauh lebih mudah pengambilan gasnya daripada, misalnya, gas bawah laut Indonesia di Masela, di laut Maluku Tenggara. Memang masih ada kendala ekonomi yang mendasar. Defisit anggaran masih menghantui, subsidi masih besar, laju inflasi masih tinggi, dan akses perdagangannya masih terjepit oleh sanksi Amerika. Inflasi yang tinggi itu akibat naiknya harga bahan makanan, gas, dan BBM.

Bahkan, akibat inflasi itu Iran harus mencetak mata uang dengan pecahan lebih besar daripada rupiah. Kalau pecahan rupiah paling besar Rp 100.000, real Iran terbesar adalah 500.000 real (1 real hampir sama dengan Rp 1). Bahkan, ada juga real lembaran 1.000.000 meski penggunaannya hanya di lingkungan terbatas.

Seperti Indonesia, Iran juga berencana menghapus empat nol di belakang real yang terlalu panjang itu. Hanya, penghapusan nol tersebut baru dilakukan setelah inflasinya stabil kelak. Itulah sebabnya, pemerintah Iran kini mati-matian memperbaiki fondasi ekonominya. Tahun lalu parlemen Iran sudah menyetujui dilaksanakannya ”reformasi ekonomi”. Sebuah reformasi yang sangat penting dan mendasar.

Inti reformasi itu adalah menjadikan ekonomi Iran sebagai ”ekonomi pasar”. Artinya, harga-harga harus ditentukan oleh pasar. Tidak boleh lagi ada subsidi. Reformasi ekonomi itu ditargetkan harus berhasil dalam lima tahun ke depan. Begitu pentingnya reformasi untuk meletakkan dasar-dasar ekonomi Iran itu, sampai-sampai Presiden Ahmadinejad berani mengambil risiko dihujat dan dibenci rakyatnya dua tahun terakhir ini.

Subsidi pun dia hapus. Harga-harga merangkak naik. Ahmadinejad tidak takut tidak populer karena ini memang sudah masa jabatannya yang kedua, yang tidak mungkin bisa maju lagi menjadi presiden. Bahwa kini Iran memilih jalan ekonomi pasar sungguh mengejutkan. Alasannya pun ”sangat ekonomi”: untuk meningkatkan produktivitas nasional dan keadilan sosial. Subsidi (subsidi BBM tahun lalu mencapai USD 84 juta), menurut pemerintah, lebih banyak jatuh kepada orang kaya.

Karena itu, daripada anggaran dialokasikan untuk subsidi, lebih baik langsung diarahkan untuk golongan yang berhak. Pemikiran reformasi ekonomi seperti itulah yang tidak ada di negara-negara lain yang diisolasi Amerika Serikat. Inilah juga faktor yang membuat Iran tidak akan tertinggal seperti Burma, Kuba, atau Libya. Dengan bendera sebagai negara Islam pun Iran tetap menjunjung tinggi ilmu ekonomi yang benar.

Tradisi keilmuan di Iran, termasuk ilmu ekonomi, memang sudah tinggi sejak zaman awal peradaban. Inilah salah satu bangsa tertua di dunia dengan peradaban Arya yang tinggi. Dalam situasi terjepit sekarang pun, tradisi keilmuan itu tetap menonjol. Iran kini tercatat sebagai satu di antara 15 negara yang mampu mengembangkan nanoteknologi.

Iran juga termasuk 10 negara yang mampu membuat dan meluncurkan sendiri roket luar angkasa. Di bidang rekayasa kesehatan, Iran juga menonjol: teknologi stemcell, kloning, dan jantung buatan sudah sangat dikenal di dunia. Bahkan, untuk stemcell Iran masuk 10 besar dunia. Tidak heran kalau Iran juga tidak ketinggalan dalam penguasaan teknologi perminyakan, pembangkit listrik, dan otomotif.

Jangankan jenis teknologi itu, nuklir pun Iran sudah bisa membuatnya, lengkap dengan kemampuan memproduksi uranium hexaflourade yang selama ini hanya dimiliki enam negara. AS kelihatannya berhasil membuat Burma, Korut, Kuba, dan Libya menderita dengan embargonya.

Tapi, tidak untuk Iran. Ke depan posisi Iran justru kian baik, antara lain karena ”dibantu” oleh Amerika Serikat sendiri. Sudah lama Iran ingin menumbangkan Saddam Husein di Iraq, namun selalu gagal. Perang Iran-Iraq yang sampai delapan tahun pun tidak berhasil mengalahkan Saddam Husein. Iran tidak menyangka bahwa Saddam dengan mudah ditumbangkan AS.

Dengan tumbangnya Saddam Husein, Iraq kini dikuasai para pemimpin yang hati mereka memihak Iran. Banyak pemimpin Iraq saat ini adalah mereka yang di masa Saddam dulu terusir ke luar negeri dan mereka bersembunyi di Iran. Bahkan, saat terjadi perang Iran-Iraq dulu, mereka ikut angkat senjata bersama tentara Iran menyerbu Iraq. Demokrasi yang diperjuangkan AS di Iraq telah membuat golongan mayoritas berkuasa di Iraq. Padahal, mayoritas rakyat Iraq adalah Islam Syiah. Golongan Sunni hanya 40 persen, itu pun tidak utuh.

Yang separo adalah keturunan Arab, sedangkan separo lagi keturunan Kurdi. Ada kecenderungan keturunan Kurdi memilih berkoalisi dengan Syiah. Padahal, yang golongan Arab itu pun masih juga terpecah-pecah ke dalam berbagai kabilah.

Saddam Husein, misalnya, datang dari suku Tikrit yang jumlahnya hanya sekitar 10 persen dari penduduk Iraq. Dengan gambaran seperti itu, masa depan hubungan Iran dan Iraq tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menjadi amat mesra. Waktu yang tepat itu adalah ini: mundurnya AS 100 persen dari Iraq. Dan itu tidak akan lama lagi.

Pekan lalu pemimpin Iraq sudah mengatakan, ”Iraq hanya perlu bantuan militer untuk menjaga perbatasan, bukan untuk urusan dalam negeri.” Maka tidak lama lagi Iraq akan menjadi ”negara ketiga” yang akan mengalirkan barang dari dan ke Iran. Kalau ini terjadi, masih ada gunanya kah Iran diisolasi? (habis)

Dahlan Iskan
CEO PLN

No comments:

Post a Comment