Thursday, October 6, 2011

Mengatasi Punggung Sumatera yang Mahal

Kamis, 06 Oktober 2011, 06:39:00
Mengatasi Punggung Sumatera yang Mahal

MENYUSURI punggung pegunungan Bukit Barisan di pantai barat Sumatera pada Minggu dan Senin lalu (2 dan 3 Oktober 2011), saya terus terpikir betapa akan mahalnya menyediakan listrik untuk wilayah itu. Dari satu kota kecil ke kota kecil lain, jaraknya seperti dari Belanda ke Luxemburg. Bahkan, lebih berat daripada itu. Harus melewati hutan dan gunung. Pilihannya serba simalakama. Dilayani dengan jaringan kecil, tegangan listriknya rendah. Dilayani dengan transmisi besar, biayanya akan bertriliun-triliun.

Membayangkan semua kesulitan itu, saya bermimpi betapa mudahnya menyiapkan listrik untuk negara seperti Singapura: Wilayahnya kecil, tidak ada hutan dan gunung, kampung-kampungnya berdekatan, bahkan jarak antar rumah seperti amplop dan prangko: Semua rumah saling menempel karena berbentuk rumah susun yang tinggi.

Sedangkan untuk melistriki punggung Sumatera yang panjang itu, otak benar-benar harus diputar. Maka, biarpun perjalanan kali ini berkelok-kelok, naik dan turun, rasanya tidak akan sempat mabuk. Pikiran terjepit di antara pilihan-pilihan yang serba sulit. Apalagi, banyak hutan lindung yang tidak bisa disentuh.

Kota-kota yang saya lalui ini (Pringsewu, Ulubelu, Kota Agung, Wonosobo, Banjarnegoro, Krui, Manna, Binahun, dan berakhir di Bengkulu) memang sudah berlistrik. Tapi, kualitasnya masih jelek. Jarak antarkota itu lebih jauh daripada Zurich di Swiss ke Paris di Prancis.

Kualitas listrik yang jelek itu pun diproduksi dengan cara yang amat mahal. Menggunakan diesel. Sudah biayanya mencapai Rp 2.500/kwh, masih sering mati-mati pula. Padahal, harga jualnya ke masyarakat hanya Rp 650/kwh.

Perjalanan tersebut harus menemukan jalan keluarnya. Sepanjang jalan, kami, saya dan beberapa pimpinan PLN setempat, terus mendiskusikannya. Kota kecil seperti Muko-Muko dan Ipoh benar-benar sulit dipecahkan. Sangat jauh. Untuk membangun transmisi ke sana, diperlukan biaya Rp 2 triliun. Padahal, penduduknya hanya sedikit.

Mahalnya itu disebabkan Muko-Muko dan Ipoh terletak di pertengahan antara gardu induk Padang dan gardu induk Bengkulu. Transmisinya harus ditarik dari Padang, yang berjarak hampir 500 km. Sama dengan menarik transmisi dari Jakarta ke Semarang. Padahal, ada gardu induk lain yang jaraknya hanya 70 km. Namun, gardu induk itu berada di balik hutan lindung yang tidak bisa dilewati transmisi. Bagaimana dengan kota-kota lain?

Untunglah, proyek geotermal (panas bumi) Ulubelu di Kabupaten Tanggamus berjalan lancar. Proyek yang kontraknya saya tanda tangani 1,5 tahun lalu dengan Sumitomo itu hampir selesai. Bulan April nanti sudah akan memproduksi listrik 110 mw. Ketika meninjau proyek tersebut, kemudian menelusuri kota-kota kecil di wilayah itu, terpikir ide baru.

Untuk Pringsewu, Kota Agung, dan Wonosobo, diambilkan saja listriknya langsung dari Ulubelu. Caranya, cukup dengan membangun jaringan 20 kv sepanjang sekitar 40 km dari Ulubelu ke Wonosobo dan Kota Agung. Mesin diesel 10 mw yang boros di Wonosobo bisa diakhiri riwayatnya. Alhamdulillah, tiga kota itu bisa menemukan masa depan yang cerah untuk kelistrikan masing-masing.

Saya membayangkan industri kopinya akan maju karena wilayah itu penghasil kopi yang sudah terkenal sejak zaman Belanda. Tambang emasnya juga bisa digarap. Saya terkesan dengan kampung-kampung di Kabupaten Tanggamus tersebut. Begitu banyak rumah panggung tua yang sangat khas masa lalu. Bangunan-bangunan permanennya pun menunjukkan masa lalu yang jaya wilayah itu. Rencana membangun proyek transmisi yang mahal dari Pringsewu ke Kota Agung pun bisa dibatalkan.

Semula, kami bermaksud bermalam di Manna. Setelah dikalkulasi, kira-kira baru pukul 01.00 kami akan tiba di kota itu. Maka, kami pun menyerah di Kota Krui. Di sebuah losmen yang tidak menyediakan handuk dan sikat gigi. Tapi, kami gembira karena bisa bermalam di Krui. Sebuah kota dengan masa lalu yang membuat bangga. Itulah kota yang dulu, di masa jaya kopi dan cengkih, menjadi pusat niaga.

Keesokan harinya, setelah olahraga jalan kaki di Pantai Krui bersama teman-teman PLN setempat, kami berangkat ke Manna. Teman-teman dari Lampung kembali ke Lampung. Diskusi mengenai kelistrikan Lampung sudah selesai. Ganti teman-teman dari PLN Bengkulu yang masuk ke mobil saya. Siap berdiskusi sepanjang jalan mengenai persoalan yang dihadapi Bengkulu.

Sudah lama kota-kota kecil di Bengkulu Selatan itu menderita. Bahkan, masyarakat Kota Binahun pernah sangat marah. Membakar kantor PLN setempat berikut pembangkit listriknya. Sambil singgah untuk menyaksikan puing-puing akibat pembakaran itu, saya mendengarkan kisah pilu petugas PLN setempat. Terutama mengenai seorang istri petugas PLN yang sedang hamil delapan bulan yang harus bersembunyi di kolong tempat tidur untuk menghindari hujan batu. Dia sendirian di rumah itu karena suaminya sedang mencari bantuan ke kantor polisi.

Enam bulan lagi kota tersebut akan mendapat listrik dengan kualitas yang cukup baik. Sebab, proyek transmisi dari Pagar Alam di Sumsel ke Kota Manna sudah hampir selesai. Memang ada dua kendala yang berat, tapi dalam diskusi di perjalanan itu ditemukan cara mengatasinya. Yusuf Miran yang memimpin pembangunan tersebut punya usul yang jitu, yang langsung saya setujui untuk dilaksanakan. Maka, akhir Desember nanti proyek itu selesai.

Mendengar kabar baik tersebut, bupati Bengkulu Selatan yang mencegat saya di pinggir jalan sebelum masuk Kota Manna langsung mengumpulkan pemuka masyarakat di pendapa kabupaten. Saya diminta menyampaikan kabar tersebut langsung kepada tokoh-tokoh setempat.

Bupati itu memang harus bekerja keras. Terpilih jadi bupatinya saja dengan susah payah. Itulah pilkada kabupaten kecil yang diikuti oleh sembilan pasang calon. Pilkadanya pun sampai tiga kali, bahkan nyaris empat kali. (*)

No comments:

Post a Comment