Monday, May 10, 2010

Si Pincang di Depan Si Lumpuh

10 Mei 2010
Si Pincang di Depan Si Lumpuh

Senja hari di Jatinangor. Sekumpulan insan PLN Jabar berkumpul. Di tempat yang indah dan sejuk itu mereka saling berbagi ide untuk meningkatkan pelayanan pada pelanggan. Pikiran mereka terusik oleh berbagai keluhan. Juga omelan. Dan dampratan. Mereka terpanggil. Bukan hanya dalam pikiran dan tindakan, tapi sampai ke hati nurani.

Maka menjelang senja di Jatinangor nan indah itu sebuah puisi dibaca. Puisi Kahlil Gibran ini:
Kutegur jiwaku tujuh kali!
Yang pertama: ketika aku berupaya meninggikan diri sendiri dengan mengekploitasi yang lemah.
Yang kedua: ketika aku timpang di hadapan mereka yang lumpuh.
Yang ketiga: ketika setelah diberikan pilihan aku memilih yang mudah ketimbang yang sulit.
Yang keempat: ketika aku membuat sesuatu kekeliruan kuhibur diri sendiri dengan kekeliruan orang lain.
Yang kelima: ketika aku bersikap jinak ketakutan lalu mengklaim diriku kuat dalam kesabaran.
Yang keenam: ketika kuangkat pukaianku untuk menghindari lumpur kehidupan.
Yang ketujuh: ketika aku berdiri menyanyikan kidung bagi Tuhan dan menganggap hanya itulah satu-satunya nyanyian kebajikan.

Saya tidak hadir di acara itu. Tapi hati saya ikut tergetar ketika membaca lalu-lintas email di antara mereka yang terlibat di dalamnya: Riasa Putu, Wahyu Sulaeman, Betha Fransiska Gajah, Suarjana Gede, Ichwan Sahroni, Achmad Taufik Haji, Dadan Kourniapoera… Rupanya mereka baru saja mengundang Yogaster Ketut dari PLN Bali untuk ikut mendengarkan puisi itu dan membagikan pengalamannya.

Saya tidak bisa lagi berkomentar. Juga tidak ingin menambahi apa yang sudah hebat. Saya hanya bisa mengungkapkan perasaan saya sendiri. Dan kutulis dalam bentuk puisi:
Ikut kubaca puisi itu
Puisi Kahlil Gibran yang terkenal itu
Mungkin untuk kelima belas kalinya
Tapi setroomnya masih sama menggetarkannya

Ikut kubaca lagi syair itu
Jam 04.30 pagi ini
Bukan di Jatinangor
Bukan menjelang senja
Tapi stroom getarannya masih sama
Menggetarkan sanubari siapa saja

Kubaca dan kubaca
Tidak hanya syairnya
Tapi juga getaran jiwa mereka yang di Jatinangor itu
Yang akan kuat menggetarkan indonesia…

Tapi, mungkin PLN memerlukan lebih banyak Kahlil Gibran di Jakarta. Sebagai orang yang tidak terkenal di Jakarta, semula saya mengira SMS dari Surabayalah yang akan membanjiri handphone saya. SMS pengaduan listrik mati dan sebangsanya. Ternyata keliru. SMS pengaduan terbanyak ternyata justru dari Jakarta. Dari nomor-nomor telepon yang sama sekali tidak saya kenal. Entah dari mana mereka mendapatkannya.

Apakah ini karena pelayanan di Surabaya sudah lebih baik? Apakah ini karena pelayanan di Jakarta lebih buruk? Ataukah orang-orang Jakarta lebih manja, sedikit-sedikit mengadu? Sedang di luar Jakarta lampu padam lima tahun pun tidak mengadu?

Tentu saya, juga GM Disjaya Pak Willy, tidak mau menerima “teguran yang keempat” Kahlil Gibran. Apalagi di antara pengaduan itu banyak yang memang berasal dari kelemahan kita sendiri. Misalnya pengaduan tanggal 5 Mei dari seorang ibu di komplek Raffles Hill ini: Pak Dahlan, ini sudah hampir tujuh jam mati lampu…anak-anak tidak bisa mandi, makan harus membeli, dan ikan koi yang mahal itu mulai ada yang mati…”Mengapa tidak menghubungi bagian pengaduan?,” tanya saya. “Sudah Pak, tidak pernah ada yang mengangkat,” katanya. “Kenapa tidak mengadu ke saya sejak tadi-tadi?,” tanya saya lagi. “Di koran, Pak Dahlan kan bilang untuk sekarang ini, kalau ada mati lampu di Jawa paling lama hanya tiga jam. Jadi saya menunggu dalam tiga jam pasti akan hidup,” katanya.

Saya tidak bisa berkutik. Saya berjanji untuk mengurusnya dan memberitahukan sejelas-jelasnya apa yang sedang terjadi. Saya juga harus menyediakan diri untuk mendengarkan omelannya yang lebih panjang ini: makanya Pak, sebaiknya para manajer dan kepala cabang jangan banyak main golf supaya mereka lebih punya waktu melakukan inspeksi trafo atau jaringan sehingga sebelum rusak sudah bisa diantisipasi.

Sebenarnya sudah banyak yang mengingatkan saya untuk melarang para manajer bermain golf. Setidaknya untuk sementara. Sampai mutu pelayanan PLN sudah baik. Tapi saya tidak mau melarang-larang seperti itu. Apalagi saya bukan pemain golf. Bisa jadi, kalau saya lakukan itu hanya akan dicibir dengan kalimat “dia kan tidak tahu enaknya main golf!”.

Masih panjang keluhan warga Raffles Hill itu. Saya terus mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Ketika akhirnya saya mendapat penjelasan mengapa mati lampu itu sampai begitu lama, penjelasan itu pun saya teruskan dengan apa adanya: seorang petugas sedang mengisi oli ke trafo dengan sistem online (agar tidak perlu listrik mati), selangnya pecah dan bocor, lalu menyiram trafo itu dan terjadilah gangguan. “Terpaksa petugas harus membersihkan trafo tersebut sebelum akhinya melakukan penggantian”, begitu bunyi penjelasan yang dlsampaikan ke saya.

Saya tidak tahu pelanggan itu bisa atau tidak menerima penjelasan seperti itu. Saya berharap dia bukan ahli trafo atau ahli manajemen yang bisa menilai apakah alasan seperti itu bisa diterima. Pelanggan kita pada dasarnya orang-orang yang penyabar. Asal lampunya sudah hidup mereka lupa bertanya: mengapa dan mengapanya.

Minggu itu saja tiga pengaduan yang serupa di tempat yang berbeda di Jakarta. Bahkan Pak Puka Yanuar, Kemayoran, mengalami mati lampu 12 jam!

Semoga kalimat “dibersihkan dulu semua baru diadakan penggantian” tidak termasuk salah satu dari tujuh teguran Kahlil Gibran itu. Mengapa kita harus berlagak Pincang di depan orang yang lagi lumpuh?

Dahlan Iskan
CEO PLN

No comments:

Post a Comment