Monday, September 20, 2010

Pertaruhan Sampai ke Jabatan

Senin, 20 September 2010
Pertaruhan Sampai ke Jabatan
Pilih Merokok atau Tinggalkan Jabatan


Inilah CEO’s note edisi ke-9 yang untuk menuliskannya tidak perlu mikir. Ini gara-gara e-mail curhat seorang karyawan yang dikirim ke beberapa rekannya pertengahan bulan Ramadan lalu. Salah satu alamat cc e-mail tersebut untuk saya sehingga saya ikut membacanya. E-mail itulah yang kemudian mendapat reaksi luas, bersahut-sahutan, dari karyawan lainnya.

Saya terus mengikutinya dengan seksama. E-mail itu lantas saya teruskan ke semua direksi PLN. Mereka pun ikut menanggapi. Lalu lintas e-mail antar karyawan itulah yang menjadi bagian pertama CEO’s note kali ini. Sedangkan tanggapan para direktur saya tempatkan di bagian berikutnya.

Inilah CEO’s note dadakan karena sudah harus terbit pada akhir Ramadan. Agar berkahnya masih kuat. Setidaknya, agar momentumnya masih nyambung. Setidaknya lagi, agar begitu bulan puasa lewat, apa yang dimaksudkan dalam CEO’s note ini langsung bisa dilaksanakan di semua kantor PLN di seluruh Indonesia.

Sebenarnya, sudah banyak pimpinan cabang PLN yang menerapkan peraturan ini lebih dulu dari pusatnya, tapi masih sporadis. Beberapa pimpinan cabang PLN memang ikut mengeluhkan pengapnya kantor pusat saat mereka datang ke Jakarta.

Saya sendiri, di tempat saya yang lama (Jawa Pos, Red), pernah mengeluarkan peraturan seperti ini. Jadi, bagi saya tidak ada masalah. Hasilnya juga sudah terbukti sangat baik. Karena itu, kalau sekarang saya dituntut karyawan PLN untuk mengeluarkan ketentuan yang sama, ibaratnya asu rindhik digitik. Seperti orang lapar tiba-tiba disuruh makan xia fei.

Bahkan, ketentuan yang pernah saya buat di tempat saya yang lama itu lebih keras. Larangan tersebut mula-mula hanya berlaku di ruang kerja. Lalu, berhasil diperluas ke seluruh gedung. Dua tahun berikutnya lebih keras lagi: Karyawan yang tidak memedulikan larangan itu tidak boleh memegang jabatan struktural.

Terakhir, larangan tersebut berbunyi: Barang siapa masih melakukannya, tunjangan kesehatannya (biaya pengobatannya) dihapuskan! Untuk apa memberikan tunjangan kesehatan kalau dia sendiri dengan sengaja mengorbankan kesehatannya!

Kebetulan, semua direksi saya waktu itu tidak ada yang begitu. Setidaknya, sudah tidak melakukannya lagi sebelum jadi direktur. Itu sebuah kebetulan yang hebat. Sekarang pun, tidak seorang pun direksi PLN yang melakukannya. Jadi, pasti, peraturan ini akan bisa ditegakkan dengan keras.

Saya perhatikan, di mana-mana, termasuk di anak-anak perusahaan tempat saya dulu bekerja, ketentuan seperti ini sulit dilaksanakan karena satu alasan: di antara pimpinannya sendiri ada yang melakukannya. Bahkan, sebagaimana bisa dibaca dalam kutipan e-mail di bawah nanti, ada salah seorang direksi PLN yang di tempat lamanya dulu, di sebuah unit PLN, kerasnya melebihi saya. Di samping ada juga yang lucunya sangat mengabunawas. Yakni, seorang direktur yang aslinya Surabaya dan memang alumnus ITS.

Maka, untuk meneruskan berkah Ramadan itu, ketentuan ini mulai berlaku di PLN sejak hari pertama masuk kerja pasca-Lebaran. SK direksinya sudah diterbitkan awal September lalu. Sebetulnya saya malu. Mengeluarkan ketentuan begini saja kok menghabiskan masa jabatan hampir delapan bulan. Kesannya seperti pimpinan yang tidak tegas.

Perusahaan-perusahaan maju di seluruh dunia sudah lama menerapkannya. Kalau tidak segera dibuat, kesannya, di bidang ini pun PLN ketinggalan jauh. Untung ada e-mail berikut ini. Bisa menjadi pemicu awal ketentuan baru ini:

***

Bulan Ramadhan memang bulan penuh rahmat. Hikmah Ramadhan kali ini tak hanya membekaskan hikmah-hikmah spiritual, tapi juga yang lain. Setelah beberapa hari memasuki Ramadhan aku merasakan kelapangan tersendiri memasuki ruang kerja.

Ya, dada ini begitu lapang, lega, dan nyamaaaannn.

Tidak seperti hari-hari sebelum Ramadhan.

Semenjak kepindahanku ke PLN Pusat ini lima bulan yg lalu, dada begitu sesaknya. Bahkan sudah semenjak pagi buta, saat baru keluar dari pintu lift sekali pun.

Bahkan terkadang aku malu saat punya tamu, dan mereka melihat kantor PLN-ku yang megah dan ber-AC tapi penuh dengan asap rokok.

Ya, di hari kelimabelas Ramadhan hikmah besar ini aku rasakan. Hilanglah sudah bekas-bekas asap rokok. Rupanya perlu 15 hari tersendiri untuk menghilangkan sisa-sisa asap rokok itu.

Dada menjadi begitu lapaaaang. Beraktivitas pun menjadi lebih bersemangat. Terasa sebuah kebersamaan hakiki: bekerja sehat adalah milik bersama.

Alhamdulillah.

Lalu.

Adakah ini bisa berlanjut sesudah Ramadhan? Selamanya? Adakah bekerja sehat ini akan berhasil kembali menjadi milik kita?

Aku enggak tahu, apakah hanya aku yang enggak tahan dengan asap itu?

Aku engga tahu, apakah aku yang terlalu menuntut hakku agar udara kamar kerjaku bersih? Aku enggak tahu, apakah merokok di ruang AC memang sudah dibenarkan? (sesuatu yg tidak aku dapati di unit-unit yang telah kulalui).

Aku juga enggak tahu, apakah ‘hanya’ untuk bekerja sehat diperlukan SK DIREKSI?

Hehehe.

(Supriyadi M.S., risk infrastructure, divisi manajemen risiko)

***

Kang Supri, banyak orang menonjolkan ego dan urat sarafnya, hanya karena sebatang rokok. Kalau diingatkan bahwa merokok itu mengganggu kesehatan… banyak yang menjawab yang tidak merokok pun banyak yang mati duluan. Astaghfirullah.

Kalau orang luar negeri datang ke kantor kita, mereka merokoknya keluar gedung. Atau ke ruang khusus tempat merokok. Yakni saat rapat break 10-15 menit… kemudian balik dan lanjut kerja. PLN sudah lama punya buku COC (code of conduct, Red) dan sudah naik cetak edisi yang baru. Tapi kayaknya hanya akan menjadi etalase berikutnya kalau tidak diimplementasikan.

Hanya waktu yang akan menjawab… apakah PLN bangkit… atau sebaliknya. Ini hampir terjadi di seluruh PLN. Lebih gawat lagi mereka juga masih merokok di kamar kecil alias WC. Maaf ini hanya mengungkapkan ketidakberdayaan saya melihat kondisi ini. Semoga masih ada waktu untuk menikmati hari-hari kerja TANPA ASAP ROKOK di luar bulan Ramadhan. (Tri Prantoro, perencanaan korporat PT PLN).

***

Kok sama ya. Ini juga kegelisahan saya. Saya pernah masuk ke salah satu ruang Kadiv (kepala divisi). Uh! Bau asap rokok. Yang juga berat adalah: banyaknya puntung rokok di sekitar kita. Saya sudah minta bagian umum untuk mengadakan pos penerimaan puntung rokok setelah Lebaran nanti. Dengan imbalan Rp 1.000/puntung.

Kalau memang aspirasi untuk sehat dari para karyawan sedemikian kuatnya, ok. Go! Kita tingkatkan upaya melarang merokok di ruang kerja ini. Yang masih melakukannya kita minta memilih: pilih tetap merokok di ruang kerja atau meninggalkan jabatannya! Setelah Lebaran mulai kita berlakukan.

(Dahlan Iskan).

***

Luar biasa… Dirut seperti ini yang kita harapkan… yang mampu menyehatkan karyawannya. Kegelisahan kawan-kawan semua ini sebenarnya juga dirasakan oleh sebagian besar kaum perempuan. Hanya, umumnya tidak mau protes. Tapi, dari beberapa kali saya komunikasi dengan pegawai/outsourcing wanita di PLN, sebenarnya mereka juga keberatan. Hanya tidak mau ribut saja. Pilih diam.

Sebenarnya sudah ada peraturan tentang hal ini yang bisa dijadikan pedoman termasuk sanksi-sanksinya. Hanya, masalahnya apakah pimpinan kita secara kolektif mau menjalankan apa tidak. Sudah terlalu banyak aturan di negeri ini… tapi yang kita harapkan sebenarnya pada tataran pelaksanaannya.

Kalau kita perhatikan Perda dan Pergub DKI, yang punya kewajiban menegakkannya bukan hanya perokok, tapi juga pimpinan perusahaan dan pegawai secara umum. Pasal-pasal dalam perda tersebut tidak dimuat di sini. Intinya, perokok di dalam ruangan kerja bisa dimasukkan penjara. (Endro Yulianto).

***

From: Manu Sukendro

Jika seorang tukang ojek merokok sehari 1 bungkus, maka sebulan telah membakar tembakau Rp 300.000. Setahun Rp 3.600.000. Dalam 10 tahun Rp 36.000.000. Padahal, jika uang sebesar Rp 10.000 dishadaqahkan, Allah menggantinya sebesar 10x, atau sebesar 700x, atau tak terhingga tergantung keridhaan-Nya. Tergantung tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang.

Katakan balasan dari Allah sebesar 700x, seorang tukang ojek yang mau bershadaqah setiap hari (hadist shahih mengatakan bershadaqah wajib setiap hari), maka Allah akan memberikan ganjarannya per hari Rp 10.000 x 700 = Rp 7.000.000, sebulan Rp 210.000.000, setahun Rp 2.520.000.000, atau 10 tahun Rp 25.200.000.000.000.

Balasan rizki dari Allah bisa berupa harta yang mendatangkan keberkahan, istri, anak-anak yang saleh dan saleha, shadaqah dapat memadamkan panas kubur, shadaqah dapat menjadi naungan di Padang Mashar, dll. (Muh. Manu S.).

***

Terima kasih pencerahannya. Mari kita sama-sama menyesuaikan diri dengan aturan yang ada, dengan niat ibadah. (Iskandar, divisi perbendaharaan).

***

Aku pernah ikut seminar di Gedung Serbaguna di Pusdiklat PLN di Ragunan, a few years ago. Tiba-tiba Pak Nur Pamudji (sekarang menjabat direktur energi primer PLN) dengan gagahnya mengambil mic dan berkata: ”Karena ruangan seminar ini ber-AC, mohon peserta seminar yang merokok di ruangan ini diminta keluar oleh panitia” (demikian kira2 kalimat yg saya ingat). Bahkan, ada yg cerita ke saya bahwa beliau mencabut rokok dari mulut seseorang yg sedang merokok di dalam ruangan Jawa Bali Control Center di Gandul. (Helmi Najamuddin).

***

Pak Eddy (direktur SDM), setelah saya mengamati aspirasi karyawan yang beredar di e-mail mereka, saya ikut menanggapi: Lain kali ruang Kadiv jangan diberi pintu, agar mereka jangan menutup pintu dengan alasan untuk merokok! Dalam e-mail itu saya kemukakan bahwa siapa yang merokok di ruang kerja akan kita suruh memilih: merokok atau berhenti dari jabatan/status karyawan. Mohon disiapkan SK, dengan sanksi yang benar-benar kita tegakkan (saya sendiri bersedia jadi polisi). (Dahlan Iskan).

***

Besok saya akan mulai menyiapkan aturan tersebut lengkap dengan sanksi disiplinnya, begitu pula prosedur pengendalian & penegakan GCG (termasuk pembuatan/pengelolaan situs whistle blower). (Eddy Erningpramaja, direktur SDM)

***

Aku sedih… manakala ingatanku kembali pada dua orang bulik/tanteku, orang2 yang aku dekat dengan mereka… Mereka sakit, mereka berbulan-bulan batuk, mereka sesak napas, menderita… Mereka terkena kanker paru2, dan akhirnya mereka tidak kuat…

Mereka bukan perokok, mereka setiap hari… dipaksa menghirup asap rokok. Orang bilang… mereka perokok pasif. Bulikku yang satu terpaksa kerja di satu ruangan… di kantornya… yang isinya orang-orang yang…. semuanya perokok.

Bulikku yang satunya lagi, suaminya perokok berat. Dia habiskan waktunya… bercengkerama, makan, tidur dengan suaminya yang tidak pernah lepas dari rokok… Aku pikir…. mereka ini, bulik-bulikku, sejatinya para korban orang-orang yang kurang peduli…

Duh Gusti… ampunilah dosa2 bulik-bulikku itu… Juga, limpahkan kasih-MU bagi yang lain, yang tidak berdaya, para korban perokok. Duh Gusti… berilah petunjuk kepada orang-orang yang kurang peduli itu…

Duh Gusti… terima kasih dan puji syukur… aku haturkan. Nyatanya… Engkau telah berikan kekuatan padaku dan kawan2ku untuk jadikan bilik, lorong, selasar, dan ruang-ruang majelis tempatku bekerja… terbebas dari kurang peduli. (Murtaqi Syamsuddin, direktur bisnis dan manajemen risiko)

***

Saya sudah merokok sejak kelas 5 SD. Maklum anak kolong. Puncaknya waktu tugas di Aceh Tengah selama 4 tahun, 96-99. Maklum udara sangat dingin dan tiap hari stres krn GAM. Bisa 3 bungkus sehari! Kretek lagi. Saya 3x usaha berhenti. Kali pertama dan kedua berhenti dgn niat krn batuk dan nggak enak badan… gagal total karena 6 bulan kemudian krn badan mantap terus merokok lagi.

Kali ketiga berhenti tahun 2005. Alasan? Nggak ada. Berhenti saja. Sukses sampai hari ini. Supaya terus sukses saya mendukung 100% larangan merokok. Nggak usah bikin ruangan khusus merokok atau apa pun. Nggak ada gunanya. Di bandara gagal! Nggak usah pake alasan kesehatan atau ditakut-takuti pake gambar tengkorak segala, percuma! Pokoknya tidak boleh saja. (Nasri Sebayang, direktur perencanaan dan teknologi)

***

Waktu saya Kabag Operasi di Control Center Gandul tahun 2000, saya berlakukan larangan merokok di Gedung Operasi Gandul. Alasannya: ”Bahaya Kebakaran” (habis gimana, pangkat cuma kepala bagian, di atas masih ada kepala dinas dan kepala divisi di gedung yang sama, jadi musti cari alasan yang kuat).

Alasan yang sebenarnya adalah saya tidak mau jadi perokok pasif seperti buliknya Pak Murtaqi. Sebab, di Gandul, asap rokok beredar melalui saluran AC sentral. Larangan ini mendapat dukungan luas, sampai kepala divisi pun (Pak Gultom) yang berkantor di gedung itu nggak berani melanggar (Pak Gultom alumnus Inggris, jadi paham benar soal sopan santun merokok). Mereka yang melanggar, saya cabut rokoknya dari mulutnya, nggak peduli atasan atau bawahan (saya dulu dijuluki ”Madura” karena galak banget soal rokok ini).

Tahun 2005, GM P3B JB (Muljo Adji) mengeluarkan larangan merokok di semua gedung P3B JB dan masih berlaku sampai sekarang. Kalau Dirut mengeluarkan larangan merokok itu, dukungan akan datang dari 99,999% pegawai PLN. Karena sesungguhnya yang merokok ini sedikit sekali, tapi mereka mendominasi, seolah-olah itu kebebasan mereka. Next turn, larangan merokok harus masuk surat pernyataan ketika rekruitmen dan perjanjian kerja bersama. Setuju dengan Pak Nasri, nggak usah dibuatkan tempat merokok. Pokoknya DILARANG. Titik. (Nur Pamudji)

***

Wah… aku setuju 1000%. Bagiku, mending bau kentut daripada bau rokok. Kentut gak jelas pelakunya dan gak bisa dilarang… Kalo perokok, pelakunya jelas… Larang aja! (Bagiyo, direktur pengadaan strategis).

***

Bismillah! Ramadan kali ini kita kenang sebagai bulan pemicu larangan merokok di ruang kerja di seluruh PLN!

Mohon maaf lahir batin. (*)

No comments:

Post a Comment