Senin, 10 Januari 2011, 02:02:00
"Pembunuhan Berencana" Bernilai Triliunan Rupiah Setahun
Uji Coba di Tanjung Perak Dulu, Indonesia Timur Bisa Maju
Uji Coba di Tanjung Perak Dulu, Indonesia Timur Bisa Maju
INILAH
"pembunuhan berencana" yang tidak melanggar pasal 340 KUHP (pasal
tentang pembunuhan berencana, Red). Inilah "pembunuhan berencana" yang
akan bisa menghemat minimal Rp 1 triliun setahun. Inilah "pembunuhan
berencana" yang harus dilakukan karena kepepet: di satu pihak jengkel
tidak mendapatkan gas, di pihak lain harus melakukan efisiensi secara
besar-besaran.
Yang
akan "dibunuh" adalah pembangkit listrik yang amat besar di berbagai
lokasi. "Pembunuhan" pertama sedang dilakukan secara kecil-kecilan di
Tanjung Perak, Surabaya. "Pembunuhan" kedua akan dilakukan secara
besar-besaran di Tambak Lorok, Semarang, pertengahan tahun ini. Lokasi
lain menyusul karena masih dikaji oleh teman-teman di PLN.
Semua
orang tahu bahwa PLN selama ini memiliki banyak sekali pembangkit
listrik yang "salah makan". Pembangkit-pembangkit itu seharusnya diberi
"makan" gas. Namun, karena tak ada gas, pembangkit-pembangkit tersebut
terpaksa diberi "makan" solar. Mahalnya minta ampun. Di sinilah
pemborosan triliunan rupiah terjadi setiap tahun. Entah sudah berapa
lama.
Di
Semarang, misalnya. Pembangkit listrik sebesar hampir 1.000 MW (kalau
dibangun sekarang, menelan dana sekitar Rp 15 triliun) mestinya bisa
diberi "makan" gas.
Ada
dua skenario untuk mendapatkan gas di situ. Pertama, dari proyek yang
disebut pipa gas trans-Jawa. Inilah "jalan tol" gas yang melintang dari
Jakarta ke Surabaya lewat Semarang. Pemegang izin proyek tersebut sudah
lama ada, tetapi kabar pembangunannya tidak pernah nyata. Di atas
kertas, kalau pipa gas trans-Jawa itu dibangun, fleksibilitas distribusi
gas menjadi luar biasa.
Skenario
kedua bisa mendapatkan gas dari lepas pantai Semarang. Sumur gasnya
ada. Milik Petronas, perusahaan (BUMN) minyak dan gas Malaysia. Petronas
sudah setuju menjual gas kepada PLN. PLN juga sudah setuju untuk
membeli. Harganya pun sudah disepakati.
Tetapi,
transaksi itu tidak bisa terjadi. Gara-garanya sepele: menentukan siapa
yang harus membangun pipanya. Untuk membangun pipa dari sumur gas ke
Semarang, Petronas tidak diperbolehkan. PLN juga tidak. Begitulah
peraturannya. Harus ditunjuk tersendiri siapa yang boleh membangun pipa
tersebut.
Kalaupun
sampai sekarang pipa itu belum terbangun, bukan karena sulit. Justru
karena proyek tersebut termasuk bisnis yang amat menggiurkan. Gula itu
kian manis kian banyak semut yang mengincar. Padahal, antarsemut tidak
dilarang untuk saling mendahului atau saling berebut.
Akibat
perebutan antarsemut itu, PLN menjadi korban. Kesimpulannya: PLN tidak
boleh terlalu berharap dari dua skenario tersebut. Harus dicari
terobosan lain untuk melakukan efisiensi.
Memang,
kalau saja Tambak Lorok bisa mendapatkan gas, akan bisa menghemat biaya
separo. Kinerja pembangkit itu juga bisa meningkat 15 persen karena
tidak lagi "salah makan".
Memang,
sudah lama teman-teman di PLN jengkel dalam menghadapi kelangkaan gas
seperti itu. Tetapi, jengkel saja tidak akan menyelesaikan masalah.
Bahkan, bisa merugikan kejiwaan. Maka, saya meminta para ahli di PLN
yang jumlahnya luar biasa banyak itu berpikir di luar kebiasaan. Energi
jengkel dialihkan untuk menciptakan terobosan.
Maka,
lahirlah ide besar ini: melakukan "pembunuhan berencana" secara
besar-besaran. Yang harus "dibunuh" adalah pembangkit listrik di
Semarang yang borosnya bukan main. Kalau sukses, "pembunuhan" itu akan
bisa menghemat biaya sekurang-kurangnya Rp 1 triliun setiap tahun.
Ahli-ahli
di PLN sudah menemukan caranya. Begini: Kebutuhan listrik di Semarang
adalah 900 MW. Karena itu, di Semarang disediakan pembangkit listrik
hampir 1.000 MW di Tambak Lorok. Alangkah besarnya. Hampir sama dengan
listrik yang tersedia untuk seluruh Indonesia Timur. Untuk bisa
mematikan pembangkit di Semarang itu harus bisa menemukan pasokan
listrik dalam jumlah yang sama sebagai penggantinya.
Diskusi
dilakukan berkali-kali. Ditemukanlah beberapa sumber listrik lain untuk
Semarang. Pertama, dari GITET (gardu induk tegangan ekstratinggi) di
Ungaran, selatan Semarang. Teman-teman PLN memutuskan untuk memasang
trafo IBT (interbus transformer) tambahan di Ungaran. Tambahan IBT itu
akan bisa mengalirkan listrik ke Semarang 400 MW. Sumber listriknya
diambilkan dari sistem 500KV trans-Jawa.
Kekurangan
500 MW lagi akan diambilkan dari pembangkit baru di Rembang (2 x 300
MW) yang sudah hampir jadi. Dari Rembang, listrik akan dialirkan dengan
sistem 150 KV ke Semarang. Di luar itu, masih akan ada back-up dari
pembangkit baru Tanjung Jati yang juga segera selesai.
Maka,
cukuplah listrik untuk Semarang tanpa harus menghidupkan pembangkit
yang "salah makan" itu. Dari pemikiran tersebut, penghematan yang luar
biasa besar bisa dilakukan segera. Tidak lagi menunggu gas yang entah
kapan akan tiba di Semarang. Dengan demikian, fungsi pembangkit listrik
di Tambak Lorok itu bakal berubah. Hanya akan disuruh jaga-jaga
kalau-kalau ada kerusakan di sistem 500, di GITET Ungaran, atau di
transmisi dari arah Rembang.
Sebagai
"latihan" untuk "pembunuhan berencana" itu, teman-teman PLN kini sedang
mencoba secara lebih kecil di Surabaya. Di Tanjung Perak, beroperasi
pembangkit sebesar 100 MW (2 x 50 MW). Ini juga "salah makan". Satu
pembangkit itu saja besarnya sudah sama dengan seluruh pembangkit PLN di
Provinsi NTT, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat jika
dijadikan satu. Kalau saja pembangkit di Tanjung Perak tersebut berhasil
dimatikan dan BBM-nya dialihkan untuk melistriki provinsi-provinsi itu,
alangkah majunya Indonesia Timur.
Setelah
pembangkit di Tanjung Perak dimatikan, dari mana mendapatkan ganti 100
MW? Teman-teman PLN sudah menemukan sumbernya: dari GITET Ngimbang
(antara Babat-Jombang). Saya sudah berkunjung ke GITET itu dan
pembangunannya memang sudah selesai. Satu sirkuit sudah berfungsi dan
satu sirkuit lagi sedang diuji coba.
Apalagi,
fungsi pembangkit di Tanjung Perak tersebut ternyata lebih banyak
sebagai penghasil tegangan reaktif. Listrik untuk Surabaya sendiri cukup
dari sistem 500 KV. Terlalu boros kalau, untuk keperluan daya reaktif,
harus menghidupkan pembangkit begitu besar, yang cukup untuk melistriki
lima provinsi di Indonesia Timur.
Bagi
Surabaya, yang rawan justru macetnya proyek GITET Surabaya Selatan
sehingga bisa saja Surabaya terkena pemadaman berat kalau terjadi
gangguan di sistem itu. Kini sedang diupayakan bagaimana proyek yang
macet sejak 12 tahun lalu tersebut bisa bergerak lagi.
Kalau
"pembunuhan berencana" di Tanjung Perak dan Semarang itu berhasil tahun
ini, tidak tertutup kemungkinan cara yang sama akan dilakukan di
beberapa lokasi lain di Jawa.
Entah berapa triliun rupiah lagi akan bisa dihemat!
Kepepet
memang sering membuat orang lebih kreatif. Gara-gara kepepet tidak
mendapat gas, ditemukanlah cara berhemat yang lain. Tetapi, bukan
berarti tidak memberikan gas ke PLN bisa diterus-teruskan! (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN
No comments:
Post a Comment