Wednesday, February 2, 2011

Dengan BBM, Bangun Jalan Tol

Rabu, 02 Februari 2011, 00:55:00
Dengan BBM, Bangun Jalan Tol
Sesekali DPR Perlu Kunker ke Kalkuta


MEMANG tidak ada doktrin "belajarlah sampai ke India", tapi tetap saja ada pelajaran menarik dari sana. Terutama bagaimana negara miskin dengan penduduk besar yang dengan demokrasinya yang liberal itu akhirnya menemukan juga jalan keluar untuk bangkit.

Cara bangkitnya pun unik. Terutama dalam membangun infrastruktur dasar seperti jalan tol dan jalan raya nasional. Karena itu, di sela-sela kunjungan Presiden SBY ke India, saya memerlukan tinggal lebih lama di India. Untuk melihat perkembangan pembangunan India dan manajemen distribusi listrik di sana.

Semula, bukan main juga sulitnya membebaskan tanah untuk jalan tol, pelabuhan, bandara, dan jalan negara lainnya di India. Sampai kemudian, dibentuklah satu lembaga independen khusus untuk mengurus pembangunan, pemeliharaan, pengelolaan, dan pengoperasian jalan raya. Disingkat National Highway Authority of India (NHAI). Inilah lembaga yang kemudian terbukti menjadi terobosan dalam mempercepat pembangunan jalan raya di India.

Lembaga independen tersebut terdiri atas ahli konstruksi, ahli lalu lintas, ahli hukum, dan tokoh-tokoh tepercaya masyarakat. Kehadiran tokoh tepercaya masyarakat itu diperlukan agar penentuan harga tanah tidak hanya memihak investor. Lembaga tersebut bertanggung jawab atas terbangunnya jalan raya sepanjang 60.000 km, termasuk ribuan kilometer jalan tol.

Bahkan, bertanggung jawab juga menentukan aturan investasi, pedoman harga tanah, sampai ke soal perhitungan keuangan dan bisnisnya. Lembaga NHIA itulah yang terbukti menjadi kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi India yang begitu cepat lima tahun terakhir ini.

Dari mana India mendapat dana untuk pembangunan jalan tol yang begitu cepat" Ini juga bisa ditiru di Indonesia: dari pajak khusus BBM. Setiap mobil yang membeli BBM dibebani tambahan setara Rp 200/liter. Itu dinilai sangat adil. Yang memerlukan jalan raya adalah pemilik mobil.

Yang mengeluh kalau jalan rayanya macet juga pemilik mobil. Apa salahnya kalau keluhan mereka diselesaikan dengan cara membebankan biayanya kepada mereka juga. Berkat jalan-jalan yang lancar itu, ekonomi menjadi sangat baik. Setelah ekonomi baik, rakyat kecil ikut menikmati. Tidak pelak kalau pertumbuhan ekonomi India mencapai 9 persen tahun lalu. Hanya kalah sedikit oleh Tiongkok.

Semula, memang banyak yang menentang pengenaan pajak khusus BBM itu. Namun, setelah dijalankan dengan tegas, akhirnya diterima juga tanpa keributan. Bahkan akhirnya disyukuri karena India mampu bangkit dan menjadi buah bibir dunia.

Sistem tersebut juga membebaskan pemerintah dari sikap pro-kontra masyarakat. Soal ganti rugi tanah, misalnya, boleh saja pemilik tanah berkeberatan. Tapi, karena penentuan harga tanah sudah sangat adil, keberatan itu diselesaikan dengan jalan hukum. NHAI menitipkan sejumlah uang sesuai dengan tarif yang sudah ditentukan ke pengadilan. Sambil menunggu pengadilan, proyek jalan terus.

NHAI juga yang menetapkan paket-paket proyeknya. Setiap paket pembangunan jalan tol atau jalan raya maksimum 50 km. Dengan demikian, kalau yang akan dibangun 1.000 km, berarti ada 20 paket tender. Ketentuan tender masing-masing ruas tidak sama. Di ruas yang arus mobilnya sedikit, yang ditenderkan adalah berapa rupee si investor memerlukan subsidi dari NHAI. Perusahaan yang mengajukan penawaran subsidi paling rendah, dialah yang memenangkan tender itu.

Sebaliknya, untuk ruas yang sangat ramai, tendernya terbalik. Investor yang bisa membayar kepada NHAI paling tinggi, dialah yang menang tender. Itulah yang dimaksud dengan private public partnership di India. Dengan sistem tersebut, pembangunan jalan tol Golden Quadrilateral sepanjang lebih 1.000 km bisa selesai dalam waktu kurang dari lima tahun. Karena itu, ibu kota New Delhi yang di utara kini sudah bisa dihubungkan dengan jalan tol ke Mumbay di barat, Chennai di selatan, dan Kalkuta di timur kini sudah terhubung dengan jalan tol.

Tanpa terobosan seperti itu, bisa dibayangkan alangkah sulitnya ekonomi India dengan beban penduduk 1,1 miliar sekarang ini. Karena sistem baru tersebut sudah berjalan lebih dari delapan tahun dan sudah bisa diterima dengan baik oleh masyarakat, pertumbuhan ekonomi yang cepat sekarang ini tidak akan tertahankan lagi.

Meski begitu, India tetap memerlukan waktu lebih lama untuk benar-benar bisa menjadi negara modern seperti Tiongkok. Negara itu telanjur terlalu miskin dengan beban penduduk yang begitu besar. Kebangkitan ekonominya tentu terjadi tidak sekaligus. Kota seperti New Delhi, Mumbai, dan Bangalore sudah terlihat menggeliat. Tapi, kota besar seperti Kalkuta, masih sulit diceritakan.

Saya memang perlu ke Kalkuta setelah mengikuti kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke New Delhi pekan lalu. Sekaligus ingin melihat pedesaannya. Saya ingin membandingkan apakah geliat kebangkitan pembangunan India itu bisa seperti Tiongkok, merata sampai ke pedesaannya. Saya masuk sampai ke sebuah desa perbatasan dengan Bangladesh.

Gerakan bosan miskin itu seperti belum sampai di Kalkuta. Kota Kalkuta jauh lebih parah dari yang saya bayangkan. Kepadatan penduduknya, kemiskinan, kekumuhan, kesemrawutan, bau busuk, kaki lima, bangunan reyot, dan sampah berhamburan di mana-mana seperti tidak ada batas akhirnya.

Kota besar berpenduduk 12 juta orang itu (sebesar Jakarta atau empat kali Surabaya) praktis seperti lautan slump. Bangunan-bangunan kuno peninggalan Inggris tidak terasa lagi keanggunannya. Kalah oleh kekumuhan dan debu yang melingkupinya. Sesekali semestinya para pimpinan negara, pejabat daerah, dan anggota DPR kita perlu kunker ke Kalkuta. Setidaknya untuk menjaga agar kota-kota di Indonesia jangan sampai mundur seperti Kalkuta.

Malam itu, setiba di sebuah hotel bintang lima di Kalkuta, kami (saya dan dua staf PLN) ingin langsung melihat-lihat kota. Petugas keamanan hotel terlihat heran, pada pukul 22.00 seperti itu kami ngotot mau jalan-jalan. Tapi, belum lagi 200 langkah perjalanan kami, petugas tersebut mengejar kami. "Sebaiknya jangan diteruskan. Tidak aman," katanya.

Kami sendiri sudah mulai merasakan itu. Baru beberapa meter dari gerbang hotel, bulu kuduk mulai berdiri. Tidak ada lampu penerangan di trotoar itu. Begitu banyak orang yang duduk-duduk atau tiduran di trotoar. Bangkelan-bangkelan besar terlihat terikat di trotoar tersebut pertanda trotoar itu menjadi arena pedagang kaki lima saat siang. Padahal hotel tersebut berada di sebelah taman nasional, seperti Taman Monas kalau di Jakarta.

Taman terbuka itu sebenarnya cukup luas. Desain awalnya juga terlihat bagus dan elite. Tapi, jantungnya Kota Kalkuta itu sangat tidak terurus.

Kami akhirnya pilih mempercepat tidur. Agar pagi-pagi bisa bangun untuk jalan pagi sambil melihat sudut kota yang lebih banyak. Ketika matahari belum terbit, jalan-jalan sudah ramai dengan lalu lintas orang serta kendaraan. Hari itu hari kemerdekaan India. Akan ada parade militer. Tapi, tidak terlihat sama sekali suasana pesta.

Tidak ada bendera nasional, umbul-umbul, atau hiasan. Tidak ada juga keinginan, misalnya agar paling tidak sehari itu, kotanya lebih bersih. Bahkan, barikade-barikade untuk mengatur lalu lintas hari itu terlihat lebih semrawut karena terbuat dari bambu-bambu tua yang dibelah.

Maka, pagi itu, selama sejam berjalan kaki, saya hanya bisa melihat kesemrawutan dan kekumuhan di sepanjang jalan. Di salah satu jalan di pusat kota, saya melihat begitu banyak orang mandi di trotoar. Hanya mengenakan celana dalam. Rupanya, ada air PDAM yang sudah lama bocor di situ. Bisa untuk mandi gratis beramai-ramai.

Saya menghitung ada berapa orang yang lagi mandi pagi di trotoar itu: 14 orang. Di sepanjang trotoar yang saya lalui, tidak henti-hentinya pemandangan ini: orang berdiri di atas trotoar sambil menggosok gigi. Ada yang pakai sikat gigi, banyak juga yang pakai sepotong kayu, sebesar jeruji jendela yang kecil. Sesekali saya lihat mereka mematahkan kayu itu, lalu memasukkan kembali ke mulut.

Masih ada lagi fungsi lain trotoar di sana: untuk tempat memasak. Begitu banyak ibu-ibu yang memasak di pinggiran jalan. Demikian juga toilet umum, rupanya kurang diperlukan. Saya melihat di mana-mana orang bisa kencing sambil berdiri begitu saja di pinggir jalan.

Setelah lelah berjalan kaki, kami meloncat ke dalam trem listrik. Biar bisa menjangkau kota lebih jauh. Juga, siapa tahu bisa melihat satu bagian kota yang lain yang agak berbeda. Tapi, ternyata sama. Di mana-mana kami melihat pemandangan yang itu-itu juga. Praktis, hanya di dalam lingkungan hotel yang terlihat terawat indah.

Tidak adakah sisi positifnya" Tentu ada. Semiskin-miskinnya mereka dan sesemrawut-semrawutnya Kalkuta, penduduknya masih ingat melakukan sikat gigi. Itu pertanda bahwa penduduknya berpendidikan. Di India, pendidikan memang utama, yang kelak bisa dipakai modal sosial untuk kemajuan India. Sisi positif lainnya adalah: semua kendaraan umum sudah menggunakan gas atau elpiji. Itu membuat kepadatan dan kesemrawutan lalu lintasnya tidak bertambah pengap oleh polusi. Dari sudut ini, Jakarta pun kalah.

Tentu tidak perlu diceritakan lagi perjalanan saya ke pedalaman. Termasuk bagaimana pengalaman kami naik kereta rakyat yang horornya sudah sering terlihat di televisi itu. Saya harus berdiri di sela-sela bungkusan sayur selama dua jam. Duduk di lantai pun dimarahi penumpang lain karena bisa untuk menambah satu lagi penumpang berdiri. Positifnya: rel di sana double-track sehingga perjalanan bisa lebih cepat. Meski harus berhenti di kira-kira 30 stasiun, tapi tidak membosankan karena setiap berhenti tidak lebih dari 1 menit.

Melihat Kalkuta hari ini, saya jadi memahami mengapa Inggris memindahkan ibu kota India ke New Delhi pada zaman dulu.

Tidak ada harapankah Kalkuta?

Ternyata ada. Di sebelah Kota Kalkuta ternyata kini sedang dibangun kota baru: Jyothibasu. Kota itu masih jauh dari jadi, tapi mulai terlihat menggeliat. Jaringan jalan-jalannya dan beberapa gedung tinggi yang modern mulai terlihat di sana. Rupanya, Kalkuta memilih lebih dulu membangun sesuatu yang baru sama sekali daripada merenovasi kota lama yang begitu beratnya.

Saya jadi ingin melihat lagi Kalkuta lima tahun mendatang. (*)


Dahlan Iskan
Dirut PLN

No comments:

Post a Comment