Friday, April 8, 2011

Pelanggan Siwo Mego Nikmati Listrik PLN 1 Mei

Jumat, 08 April 2011 | 11:34 WIB
Pelanggan Siwo Mego Nikmati Listrik PLN 1 Mei

Oleh Dahlan Iskan (CEO PLN)

GUBERNUR Lampung Sjachroedin Z.P. membuat langkah penting dengan keberaniannya mencabut izin usaha kelistrikan Koperasi Listrik Pedesaan Sinar Siwo Mego (KLPSSM) akhir bulan lalu. Keputusan itu mulai berlaku 1 Mei mendatang. Berarti dalam tiga minggu ke depan, Siwo Mego tidak boleh lagi melayani listrik untuk 70.000 rumah di tiga kabupaten di Lampung.

Langkah gubernur tersebut sangat tepat dan memang sudah lama ditunggu masyarakat di tiga kabupaten (Lampung Tengah, Metro, dan Lampung Timur). Rupanya selama ini terjadi situasi saling tunggu. Pemda mengira pencabutan izin itu urusan pusat karena yang memberi izin dahulu adalah pemerintah pusat. Tetapi pusat merasa tidak lagi punya wewenang mencabut izin Siwo Mego. Mengapa? Karena sudah ada Undang-Undang Kelistrikan yang baru.

Menurut UU tersebut, peranan pemda sudah sangat besar. Beberapa wewenang yang dahulu ada di pusat, kini berada di daerah. Bahkan sebenarnya, tugas melistriki rakyat di suatu daerah, menurut UU tersebut adalah tugas pemda. Begitulah menurut UU yang baru. Sayangnya, UU ini memang kurang memasyarakat. Sehingga untuk urusan listrik, masyarakat tahunya hanya PLN. Ini wajar mengingat PLN adalah perusahaan yang 100 persen sahamnya milik pemerintah. PLN harus menerima tugas untuk menjalankan misi pemerintah melistriki rakyatnya.

Maka keputusan gubernur mengenai Siwo Mego sudah sesuai dengan UU Kelistrikan. Apalagi alasan pencabutannya sangat kuat. Siwo Mego sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai lembaga yang menjalankan usaha kelistrikan. Siwo Mego sudah tidak memiliki pembangkit sama sekali. Pembangkit-pembangkit dieselnya sudah lama sekali tidak berfungsi. Siwo Mego sudah lama tidak mampu membeli pembangkit listrik untuk mengganti pembangkit yang sudah lama rusak. Jaringan listriknya juga sudah sangat usang dan membahayakan.

Selama ini, Siwo Mego sebenarnya hanya menjadi ’’perantara”. Siwo Mego membeli listrik dalam bentuk curah dari PLN. Lalu membagikannya kepada para pelanggannya. Padahal, PLN sendiri sebenarnya dalam posisi terpaksa mengalirkan listrik ke Siwo Mego. Kalau tidak karena rakyat yang begitu besar di tiga kabupaten itu, PLN tidak akan mau mengalirkan listrik ke ’’gudang’’-nya Siwo Mego.

Apalagi rakyat sendiri sudah lama ingin mendapatkan listrik langsung dari PLN saja. Setiap saya berkunjung ke Lampung, selalu ada delegasi rakyat yang minta agar PLN segera menggantikan fungsi Siwo Mego. Demikian juga setiap Komisi VII DPR RI melakukan dengar pendapat dengan PLN, para anggota DPR dari Lampung seperti Pak Alimin dan Bu Ismiyatun selalu dengan gigih mempersoalkan pelayanan listrik untuk rakyat yang mereka wakili itu. Mungkin jumlahnya sudah bukan 70.000 lagi. Mungkin sekarang sudah mencapai 100.000 rumah.

Dengan keluarnya keputusan gubernur tersebut, kini tugas PLN-lah untuk melistriki para mantan pelanggan Siwo Mego tersebut. Tentu ini pekerjaan tambahan yang besar bagi PLN. Mengapa? PLN harus membangun jaringan baru untuk seluruh pelanggan tersebut. Jaringan yang ada selama ini tidak memenuhi syarat. Tentu untuk membangun tersebut diperlukan waktu. Tidak mungkin bisa selesai dalam enam bulan. Lalu bagaimana jalan keluarnya?

Tidak ada jalan lain kecuali untuk sementara PLN menggunakan jaringan milik Siwo Mego. Toh Siwo Mego sudah tidak akan menggunakannya lagi. Persoalannya, apakah Siwo Mego mengizinkan? Masuk akal juga bila Siwo Mego tidak mau meminjamkan jaringan tersebut ke PLN. Bisnis adalah bisnis.

Maka muncul ide: bagaimana kalau PLN membeli jaringan itu? Untuk dipakai sementara saja? Seandainya PLN itu swasta, kemungkinan tersebut sangat mungkin dilakukan. Tetapi karena PLN itu BUMN, maka ada kesulitan teknis. Membeli barang yang tidak memenuhi syarat bisa dianggap korupsi. Saya bisa masuk penjara. Membeli barang yang tidak memenuhi syarat pasti dianggap menyalahi aturan.

Kemungkinan lain adalah sewa. PLN menyewa jaringan tersebut. Katakanlah menyewa dua tahun. Setelah itu dikembalikan ke Siwo Mego untuk dijual sebagai besi tua. Dengan menyewa, PLN tidak akan disalahkan karena aset tersebut tidak akan menjadi aset PLN.
Masalahnya, berapa nilai sewanya? Negosiasi untuk itu akan memakan waktu. Bagaimana kalau sampai tangal 1 Mei mendatang negosiasinya belum selesai?

Di sinilah peran bupati/wali kota setempat sangat vital. Apalagi UU Kelistrikan memang memberi peran yang sangat besar kepada kepala daerah. Bupati/wali kota dengan kewenangannya bisa menyelesaikannya. Tentu harus sudah beres dalam waktu 15 hari ini.

Bagi PLN, sewa-menyewa jaringan seperti itu sudah ada pedomannya. Nilainya tinggal dihitung seperti tarif jalan tol. Jadi tidak perlu ada lembaga lain yang ikut menentukan transaksi ini. PLN bisa langsung membayar tarif tol kepada Siwo Mego sesuai ketentuan yang ada di PLN. Tentu dengan potongan harga yang tinggi, mengingat jaringan ini sudah sangat tua.

Sewa jaringan ini juga bisa membantu Siwo Mego untuk mengurangi utangnya kepada PLN. Siwo Mego masih memiliki utang puluhan miliar kepada PLN. Bisa saja PLN memperhitungkannya dengan utang Siwo Mego yang besar itu. Dengan demikian, jalan keluar sudah tersedia.

Dari mana PLN akan mulai memasuki wilayah Siwo Mego tersebut? PLN kini sedang melakukan pembicaraan dengan tiga kepala daerah yang terkait dengan Siwo Mego. Kami tinggal menunggu daerah mana yang bisa menyelesaikan dahulu pembicaraan dengan Siwo Mego atas jasa baik dari para bupati dan wali kota setempat.

Tampaknya, 1 Mei akan dikenang sebagai babak baru kelistrikan di tiga daerah di Lampung tersebut. (c1/niz)

No comments:

Post a Comment