Monday, March 12, 2012

Efisiensi

12 March 2012
Efisiensi
Oleh: Nur Pamudji, Direktur Utama PLN.

Di awal Januari lalu, sebuah e-mail masuk, dari seorang staf Garuda Maintenance Facility (GMF) AeroAsia, anak perusahaan PT Garuda Indonesia yang menangani pemeliharaan pesawat terbang. Dia bercerita tentang kemampuan bengkel GMF dalam memelihara mesin-mesin pesawat, termasuk turbin gas aero derivative dan industrial yang banyak digunakan di pembangkit PLN. Dua hari kemudian saya tengok bengkel di kawasan Bandara Soekarno Hatta (Soetta) ini, ditemani Direksi PT Indonesia Power (IP) dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB). Tindak lanjutnya, akhir Februari lalu saya bersama Dirut Garuda menandatangani kerjasama perawatan turbin gas yang diharapkan mempermudah prosedur untuk memperoleh layanan dari GMF. Sebulan dua bulan lagi, setelah seluruh perangkat peraturannya selesai, unit PLN yang memerlukan layanan perawatan dari GMF tidak perlu mengadakan lelang jasa perawatan atau penggantian sukucadang, cukup menerbitkan perintah ke GMF.

Sejak empat tahun berselang, saya memang terus memikirkan tatacara pengadaan barang dan jasa PLN agar lebih mencerminkan sebuah perusahaan yang modern, yaitu cepat dan ringkas, barang atau layanan yang didapat berkualitas dan oleh rekanan PLN yang terpercaya, namun efisien dari segi biaya. Masih terbayang tatkala menjadi GM Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B) Jawa-Bali, saya harus menandatangani kontrak pengadaan barang atau jasa, dan rekanan yang terpilih beralamatkan di ruko-ruko seputar Jakarta. Waktu itu saya tercenung, kenapa PLN, sebuah perusahaan besar, harus membeli trafo puluhan milyar rupiah sebuah, atau circuit breaker ratusan juta rupiah sebuah, atau arrester puluhan juta rupiah sebuah, dari perusahaan yang beralamat di ruko? Apakah perusahaan ini memproduksi barang-barang tersebut? Cenungan tadi saya ungkapkan ke para manajer P3B, sambil berikhtisab, meskipun cara ini sah secara aturan, tidak adakah cara yang lebih baik? Kenapa tidak membeli dari pabrik?

Di triwulan terakhir 2009, cara baru membeli trafo dicoba di P3B JB, dengan menerapkan empat hal baru. Pertama, beli langsung ke perusahaan pembuat trafo dan trafo diantar langsung ke gardu induk. Kedua, karena ini barang impor, maka dibayar dengan mata uang asing, sehingga pemasok PLN terbebas dari risiko kurs. Ketiga, alih-alih pemasok, PLN-lah yang membuka letter of credit, sehingga biaya yang ditanggung pemasok juga turun. Keempat, termin pembayaran dijadikan empat atau lima tahap sehingga cost of money yang ditanggung pemasok turun drastis. Sebelumnya, trafo dibayar setidaknya 18 bulan setelah kontrak ditandatangani (bayangkan berapa biaya bunga yang ditanggung pemasok). Semua biaya dan risiko yang ditanggung pemasok itu pada akhirnya akan dibebankan ke PLN dalam bentuk harga trafo. Dengan cara baru ini, mungkin ditambah kondisi pasar global saat itu, harga trafo anjlok hampir setengahnya, dan ketika PLN kemudian konsisten menerapkan cara ini, harga trafo 500 kV nyaris tinggal sepertiga harga semula, dan harga trafo 150 kV menjadi setengah harga semula. Seandainya tidak keburu diangkat menjadi Direktur Energi Primer, sebenarnya saya ingin melangkah lebih jauh, yaitu membeli sukucadang transmisi dan gardu induk secara ex-works, yaitu membeli barang di pintu pabrik. Kemudian PLN menugasi forwarder untuk membawa barang tersebut ke lokasi PLN. Saya kira rekan-rekan di P3B JB sedang menyiapkan langkah ke sana.

Pasti bukan hanya saya yang memikirkan tatacara pengadaan yang lebih baik. Saya yakin, banyak manajer sektor pembangkit muda usia nan cerdas yang bertugas di pusat pembangkit di pelosok negeri, merasa konyol, ketika hendak membeli suku cadang pembangkit merek Z, harus melelangkan diantara perusahaan A, B dan C, dan ketiga perusahaan tersebut didukung oleh pabrik pembuat merek Z. Lingkungan sosial tempat mereka bertugas mungkin belum cukup matang untuk menerima tatacara yang lebih masuk akal, yaitu langsung membeli ke pabrik pembuat merek Z. Persoalan sosial ini bisa menghabiskan waktu mereka lebih banyak dari tugas utamanya, yaitu operation and maintenance (O&M) pembangkit. Saat kerjasama dengan GMF kelak sudah berjalan lancar, dalam hal pekerjaan di atas bisa dilakukan oleh GMF, maka manajer sektor pembangkit tadi cukup menerbitkan purchase order (PO) ke GMF. Dengan demikian, tatacara pengadaan menjadi ringkas dan cepat, kualitas terjamin dan efisiensi (mungkin tidak sebesar kasus trafo) akan diperoleh pula. Waktu yang semula terpakai untuk pengadaan barang dan jasa bisa dipakai untuk mengerjakan hal lain yang menambah kompetensi teknik mereka.

Ternyata bukan hanya GMF yang bisa merawat pembangkit. Belum lama berselang saya mendatangi sebuah bengkel besar milik swasta yang berlokasi di kawasan industri seputar Jakarta. Sebenarnya lebih tepat disebut workshop ketimbang bengkel, karena ini adalah tempat membuat sukucadang dari bahan baku logam lantakan, bukan hanya memasang sukucadang seperti di bengkel mobil. Seratus lima puluh insinyur dan teknisi asli Indonesia di workshop ini sudah melakukan perbaikan turbin milik Tenaga Nasional Berhad (TNB), perusahaan listrik milik Malaysia, Vietnam Electricity (EVN) Vietnam, Filipina, Taiwan dan negeri lain. Kepada kami bersepuluh dari group PLN, diperlihatkan reverse engineering terhadap berbagai macam sukucadang turbin, bahkan sampai meng-copy seluruh turbin. Ya, meng-copy, dikirimi satu turbin rusak dari Taiwan, dan workshop ini diminta mengganti seluruh blade-nya kemudian menyalin seluruh bagian turbin persis sama, bentuk maupun jenis materialnya, lantas mengirim balik dua turbin siap operasi ke Taiwan. Bahkan perusahaan Jepang yang memenangkan lelang PLN untuk merekondisi turbin berukuran 400 MW, alih-alih membawa turbin tersebut ke Jepang, malah mengerjakannya di workshop ini. Setidaknya ada dua atau tiga lagi workshop semacam ini di Indonesia, dengan tingkat kemampuan dan bonafiditas yang tidak persis sama. Saya tercenung lagi, kalau bangsa-bangsa lain mempercayai workshop yang diawaki bangsa Indonesia, kenapa PLN belum memanfaatkan kemampuan bangsa dewek ini secara maksimal? Tervisualkan di benak saya, kalau PLN butuh sukucadang PLTU buatan China, alih-alih memesannya ke China, kenapa kita tidak membuatnya di Indonesia? Bisa kok. Kita memang harus mengembangkan tatacara pengadaan peralatan, sukucadang dan jasa perawatan untuk pembangkit dan transmisi agar sebanyak mungkin dikerjakan di negeri sendiri, oleh bangsa sendiri.

Kalau pun ada pekerjaan yang harus dilakukan di negeri lain, PLN harus punya cara untuk menugasi workshop di luar negeri tersebut. Group PLN sudah mengidentifikasi setidaknya ada delapan workshop di luar negeri yang mampu membuat sukucadang pembangkit. Tapi jangan mengharapkan workshop-workshop hebat di luar negeri tersebut akan ikut lelang pengadaan barang dan jasa di PLN, kalau tatacaranya masih seperti saat ini. Harus ada tatacara yang lebih cerdas, di antaranya PLN secara proaktif memprakualifikasi atau men-due diligent workshop-workshop luar negeri tersebut, dan kemudian menetapkannya menjadi rekanan PLN. Saya memvisualkan, kelak ada yang disebut “Pasar Peralatan dan Suku Cadang Ketenagalistrikan” di internet, dimana PLN (termasuk pembangkit listrik swasta kalau mereka mau bergabung), bisa bertemu di dunia maya dengan workshop-workshop pembuat sukucadang untuk bertransaksi barang dan jasa.

Kembali ke soal sukucadang merek Z di atas, sebenarnya ada cara yang lebih baik, yaitu dengan membeli sukucadang merek Y, yang persis bisa menggantikan sukucadang merek Z. Di khasanah industri, sukucadang merek Z disebut original equipment manufacturer (OEM), maknanya pembuat sukucadang tatkala peralatan pertama kali dibeli, sedangkan merek Y disebut non-OEM. Saya pernah mengalami di P3B Jawa-Bali di 2009, ketika non-OEM diperbolehkan untuk ikut lelang, penawaran OEM turun drastis menjadi setengah harga awal. Untuk menggunakan non-OEM pertama kali, para insinyur PLN memang harus berani dan mampu membuat pertimbangan teknik (engineering judgment) yang sah, dan memastikan kemampuan non-OEM tersebut. Memang paling aman kalau kita selalu menggunakan sukucadang dari OEM, lantas kalau rusak dibuang karena tidak berani untuk mereparasinya. Kalau kita minta pertimbangan OEM, jawabannya adalah beli sukucadang baru. Lantas buat apa kita menyandang gelar insinyur pemeliharaan, kalau beraninya cuma sebatas beli OEM padahal non-OEM tersedia? Untunglah para insinyur PLN tidak setakut dan senaif itu, terbukti sudah banyak yang kompeten untuk memutuskan pemanfaatan non-OEM.

Saya memvisualkan dan mengidamkan adanya sebuah keputusan direksi tentang “Tatacara Pengadaan Peralatan, Sukucadang dan Jasa Pemeliharaan” yang bisa mengakomodasi apa yang saya uraikan di atas. Disamping membuat tatacara pengadaan menjadi cepat, ringkas, dan efisien, staf PLN yang melaksanakannya tidak tergoda atau digoda menerima kick back (uang terima kasih) dari rekanan. Selain itu, pada saat melakukan niat baik memajukan bangsa dewek ini, jangan sampai PLN diadukan ke lembaga pengawas kompetisi bahwa PLN bermaksud melakukan diskriminasi dan persekongkolan atau tuduhan negatif lainnya. Itulah sebabnya awal bulan ini saya menandatangani kerjasama dengan Transparency International Indonesia (TII), sebuah lembaga yang berinduk ke organisasi global bernama Transparency International (TI). Anggaran Dasar TII menyebutkan, ini adalah sebuah lembaga nirlaba dan non partisan yang didirikan untuk mendorong tumbuhnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan usaha di Indonesia sebagai bagian dari upaya global untuk menghapuskan korupsi. Dua hal pertama yang digarap adalah pengadaan barang dan jasa serta pelayanan pelanggan. Dengan dukungan pengalaman dan jaringan para ahli Transparency International di belakang mereka, TII sedang membantu PLN merumuskan tatacara pengadaan barang dan jasa idaman tadi.

No comments:

Post a Comment