Mampir ke Zhuhai, setelah Sebulan Belajar Putonghua di Tiongkok
Wewenang Lebih Penting dari Uang
Pulang dari belajar bahasa mandarin (Putonghua) di Jiangxi Shi Fan
University Nanchang, CEO Jawa Pos DAHLAN ISKAN mampir di kota Zhuhai.
Dia sangat tertarik dengan kota ini. Berikut catatannya:
Inilah cara membangun kota yang modal utamanya bukan uang tapi ‘kemauan untuk membangun’. Setelah kemauan ada, lalu ditetapkanlah kebijaksanaan (policy) untuk melaksanakan kemauan itu. Setelah kebijaksanaannya digariskan, baru dicari caranya. Cara itulah yang menghasilkan dana untuk membangun kota Zhuhai yang beberapa tahun lalu masih seperti kampung kumuh, namun sekarang sudah hampir mendekati Singapura.
Inilah cara membangun kota yang modal utamanya bukan uang tapi ‘kemauan untuk membangun’. Setelah kemauan ada, lalu ditetapkanlah kebijaksanaan (policy) untuk melaksanakan kemauan itu. Setelah kebijaksanaannya digariskan, baru dicari caranya. Cara itulah yang menghasilkan dana untuk membangun kota Zhuhai yang beberapa tahun lalu masih seperti kampung kumuh, namun sekarang sudah hampir mendekati Singapura.
Sebenarnya ini untuk kedua kalinya saya ke Zhuhai. Tapi baru kali ini
saya tahu latar belakangnya mengapa kota Zhuhai bisa membangun begitu
cepat. Seperti juga kota-kota lain di Tiongkok, 15 tahun yang lalu
Zhuhai hanyalah kota kecil yang jelek, kumuh dan miskin. Apalagi Zhuhai
berada persis di seberang pulau Macao yang amat terkenal dengan
perjudian dan pariwisatanya itu. Waktu itu, kelihatan betul betapa
mencoloknya perbandingan antara Macao yang dikelola Portugal dengan
Zhuhai yang dikelola pemerintahan komunis Tiongkok.
Tapi kini, dalam waktu yang begitu singkat, kota kecil yang miskin
itu, Zhuhai, berubah total menjadi kota yang tertata, bersih, maju dan
modern. Hari ini Zhuhai sudah mengalahkan Macao dari sudut apa pun:
besarnya, banyaknya bangunan pencakar langit, bersihnya, hotel-hotelnya
dan sebut saja apa lagi bidang yang harus diperbandingkan.
Ketika ke Zhuhai pertama kali awal tahun ini, saya tidak menyangka
kota ini begitu berubah. Tapi, waktu itu, saya tidak bisa menulis
tentang Zuhai karena tidak punya keterangan yang valid tentang kota itu.
Yang bisa saya lakukan adalah menyeberang ke Macao dan ingin tahu apa
beda Zuhai hari ini dengan Macao hari ini. Saya pernah ke Macao 15
tahunan yang lalu sehingga tahu agak banyak bagaimana perkembangan
Macao. Karena itu saya juga ingin tahu bagaimana Macao setelah
dikembalikan oleh Portugal kepada pemilik asalnya, Tiongkok.
Macao sendiri tentu juga berubah. Gedung pencakar langitnya lebih
banyak. Bahkan kini ada jembatan yang amat panjang yang merangkai tiga
pulau milik Macao menjadi satu untaian kepulauan. Kalau malam, jembatan
ini menjadi lebih indah karena lampu-lampunya yang menghias sepanjang
jembatan. Macao kini juga sudah punya lapangan terbang internasional.
Namun karena kali ini saya masuk Macao dari kota Zuhai (15 tahun lalu
saya masuk Macao dari Hongkong dengan jalan naik jetfoil selama satu
jam), kini saya bisa merasakan langsung beda Zuhai dan Macao. Sungguh
terasa benar bedanya, bahwa Macao kini bukan apa-apanya lagi dibanding
Zuhai. Apa pun yang ada di Macao (kecuali casino) kini sudah ada pula di
Zuhai – bahkan dalam ukuran yang lebih besar.
Baru sepulang dari sekolah ini saya tahu bagaimana latar belakangnya
sehingga Zuhai bisa berubah begitu cepat. Yakni ketika saya dapat
kesempatan makan bersama Wakil Walikota Zuhai, Zhou Ben Hui. Saya kaget
bahwa riwayat kebangkitan Zuhai yang begitu cepat dan pesat ternyata
atas inisiatif tokoh-tokoh di Zuhai sendiri.
Waktu itu pemerintah pusat Tiongkok yang dipelopori oleh Si Orang
Kecil yang berpikiran besar Deng Xiaoping, memang mulai menjalankan
sistem perekonomian terbuka. Penduduk mulai boleh punya toko sendiri
(sebelumnya, toko pun harus milik negara) dan boleh punya kekayaan
sendiri. Seiring dengan itu daerah-daerah juga dirangsang untuk maju
dengan inisiatifnya sendiri. Maka banyak sekali kota di Tiongkok yang
tiba-tiba bangkit membangun dengan gegap gempita. Lalu menimbulkan
persaingan antar kota, karena kota yang lain juga tidak ingin
ketinggalan. Apalagi Deng Xiaoping selalu memuji kota-kota yang
mengalami kemajuan sehingga kota lain pun juga ingin dapat pujian yang
sama.
Maka kota Zuhai yang sebenarnya terlalu kecil dibandingkan dengan
kota-kota lain, juga mengajukan keinginan untuk maju. Lalu saya bertanya
kepada wakil walikota Zuhai yang berada di sebelah saya: berapa
pemerintah pusat memberi dana untuk pembangunan yang menakjubkan itu.
Jawabnya sungguh mengejutkan. Pusat praktis tidak memberikan dana. Kalau toh ada hanya untuk memberikan semangat yang jumlahnya sungguh tidak berarti. Yakni 20 juta yen, atau sekitar Rp 20 miliar. Sedang dari pemerintah propinsi Guangdong juga tidak memberikan dana tambahan.
Jawabnya sungguh mengejutkan. Pusat praktis tidak memberikan dana. Kalau toh ada hanya untuk memberikan semangat yang jumlahnya sungguh tidak berarti. Yakni 20 juta yen, atau sekitar Rp 20 miliar. Sedang dari pemerintah propinsi Guangdong juga tidak memberikan dana tambahan.
Memang bukan sekadar uang yang diinginkan kota Zuhai. Tapi wewenang. Yakni wewenang untuk membangun sendiri, mengundang investor, mengelola pendapatan dan seterusnya. Wewenang ternyata lebih penting dari uang, karena di balik wewenang ada tanggung jawab untuk bertanggung jawab atas wewenang yang diberikan padanya.
Wewenang itulah yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah propinsi. Zuhai boleh mengundang investor sendiri dan
memberikan izin sendiri. Lebih dari itu pemerintah pusat memberikan
rangsangan pada Zuhai, selama lima tahun boleh tidah setor pajak ke
propinsi maupun ke pusat. Segala bentuk pajak, semuanya boleh dikelola
dan dipakai sendiri oleh Zuhai. Baru setelah lima tahun, pajak yang
menjadi hak pusat harus diberikan ke pusat dan yang harus jadi hak
propinsi diserahkan ke propinsi. Itu pun dengan menggunakan tahapan
sesuai dengan perundingan, seberapa Zuhai sudah tidak memerlukan
rangsangan itu. (Jatim kalau diberi hak seperti ini selama 5 tahun akan
punya dana pembangunan sebesar sekitar Rp 100 triliun. Apalagi daerah
seperti Kaltim, Riau dan sebagainya).
Pusat tentu punya pertimbangan sendiri untuk memberikan wewenang
seperti itu. Yakni, karena letak Zuhai yang berada persis di seberang
Macao yang kala itu sangat modern. Tentu kalau Zuhai bisa dibangun lebih
hebat dari Macao maka secara politis akan sangat berarti. Ini akan
mirip dengan Shenzhen yang berada di seberang Hongkong.
Pemberian otonomi, kalau bisa jatuh kepada orang yang tepat,
sebenarnya bisa menghasilkan kemajuan yang hebat. Zuhai adalah contoh
pemberian wewenang yang jelas tapi juga jatuh kepada orang yang tepat.
Untuk kecermatan memilih orang yang tepat itulah pusat ikut menentukan.
Memang pemilihan pimpinan kota di situ dilakukan oleh DPRD setempat,
namun karena terjadi mayoritas mutlak maka pimpinan partai akan sangat
menentukan di balik pemilihan itu. Padahal pimpinan partai punya
disiplin berjenjang yang ketat sampai di pusat. Maka pusat maupun
propinsi mengendalikan wewenang tersebut melalui mekanisme partai.
Maka untuk pemilihan pimpinan kota, biasanya sudah akan diketahui
jauh-jauh hari siapa yang dapat “restu”. Bisa saja dia berasal dari kota
setempat tapi juga bisa dari kota lain. Yang jelas, calon pimpinan kota
yang mendapat “restu” tersebut haruslah orang yang sudah pernah
menunjukkan prestasinya.
Dengan demikian maka pemberian wewenang yang begitu besar tidak akan
jatuh kepada orang yang hanya mengandalkan punya massa besar tapi
sebenarnya tidak akan mampu mengelola wewenang tersebut demi kemajuan
kotanya. (*)
No comments:
Post a Comment