Catatan Dahlan Iskan
Kalau Saja Disewakan ke Indonesia…
“Pengin jadi jutawan?”
“Gampang!”
“Gampang bagaimana?”
“Jadikan diri Anda seorang miliader dulu. Lalu, bikinlah perusahaan penerbangan. Anda akan segera jadi jutawan…”
***
Itu memang hanya humor. Tapi, di saat banyak orang ingin mendirikan perusahaan penerbangan dan kemudian ternyata banyak juga yang mengalami kesulitan, humor tersebut tentu cukup mengena.
***
Itu memang hanya humor. Tapi, di saat banyak orang ingin mendirikan perusahaan penerbangan dan kemudian ternyata banyak juga yang mengalami kesulitan, humor tersebut tentu cukup mengena.
Punya perusahaan penerbangan, rupanya, memang sangat menggoda. Punya
pesawat saja sudah bisa membuat orang kagum, apalagi punya perusahaan
penerbangan. Meski harga pesawat (bekas) belum tentu lebih mahal
daripada sebuah pabrik kelas menengah, seseorang yang baru saja membeli
pesawat akan jadi buah bibir di mana-mana. “Wah, dia beli pesawat” akan
jadi kalimat yang bertebaran dari mulut ke mulut.
Sebelum krisis, ketika banyak pengusaha membeli pesawat pribadi, saya
melihat seorang konglomerat yang tidak tergoda. Yakni Eka Tjipta
Widjaya. Padahal, saat itu, dia konglomerat nomor tiga setelah Liem Sioe
Liong dan William Soeryajaya. Saya pernah bertanya mengapa tidak ikut
beli pesawat?
Jawabannya dua macam. Yang serius dan yang bercanda. “Bukankah untuk
bisa makan sate tidak perlu memelihara kambing sendiri?” ujar Pak Eka
setengah bercanda dan setengah berfilsafat. Lalu, dia memberikan jawaban
yang serius, tapi juga ada nada candanya: “Kalau saya punya pesawat,
dalam praktiknya, orang lain yang akan lebih sering memakai,” katanya.
Mengapa? “Tentu akan banyak sekali penguasa yang pinjam. Dan, saya tidak
mungkin bisa menolak,” jelasnya.
***
Saya juga ingat suatu saat kedatangan tamu penting. Orangnya
sederhana. Tidak pakai dasi dan bajunya juga tidak perlente. Padahal,
dia seorang lulusan MIT, sebuah perguruan tinggi paling beken di AS.
Padahal, dia seorang presiden direktur sebuah perusahaan penerbangan.
Dia menceritakan optimismenya. Perusahaan penerbangan baru yang
kepemimpinannya diserahkan kepadanya akan terus mengalami kemajuan. Dia
bangga dengan pilihan strategi untuk menggunakan pesawat yang relatif
baru: Boeing 737-300. Bukan seri 200 seperti perusahaan penerbangan
swasta yang sudah ada. Dia juga bangga dengan strateginya untuk hanya
berfokus melayani jurusan paling gemuk Jakarta-Surabaya.
Di sini dia head on dengan Garuda. Pesawatnya pun dibuat mirip
Garuda, sedangkan harga tiketnya lebih murah. Jadwalnya juga dibuat
mepet dengan Garuda, sedangkan keberangkatannya selalu diusahakan on
time.
Sungguh tak disangka kalau tidak lama kemudian satu per satu
jadwalnya hilang. Bahkan, akhirnya rute Jakarta-Surabaya ditutup sama
sekali. Tapi, perusahaan tersebut barangkali memang belum sampai jatuh
jadi jutawan. Buktinya masih terus berusaha hidup meski hanya menerbangi
satu rute.
***
Siapa pun tentu juga masih ingat munculnya perusahaan penerbangan
yang sangat spektakuler: Sempati. Pimpinannya seorang MBA dari Harvard.
Terobosan manajemennya begitu banyak dan serba mengejutkan. Mulai
memperkenalkan sistem city check-in sampai melakukan garansi tepat
waktu. Ada pula undian di udara. Yang juga spektakuler adalah
kemampuannya untuk hanya transit di suatu bandara selama 20 menit.
Padahal, perusahaan penerbangan lain harus 30 atau 40 menit.
Dengan
waktu transit yang hanya 20 menit, maka kalau sebuah pesawat dari
perusahaan penerbangan lain hanya mampu menjalani lima rute sehari,
Sempati bisa enam rute.
Bagaimana cara mempersingkat waktu transit? Penumpang diminta keluar
dari pintu depan. Sementara itu, dalam waktu hampir bersamaan, petugas
kebersihan masuk dari pintu belakang. Dengan demikian, ketika penumpang
terakhir keluar dari pesawat, bagian pembersihan sudah menyelesaikan 50
persen lebih tugasnya.
Maka, pimpinan perusahaan penerbangan tersebut menjadi amat terkenal.
Di mana-mana ada seminar manajemen, dia jadi pembicaranya. Sering juga
bersama saya. Atau, paling tidak, namanya disebut-sebut sebagai contoh
jadi baik.
Sungguh tak dinyana kalau umur perusahaan penerbangan itu tidak
panjang. Dia tidak hanya jatuh jadi jutawan, malah dinyatakan pailit
sama sekali.
***
Lalu, pernah pula ada Awair. Semula banyak dirumorkan bahwa
perusahaan penerbangan tersebut punya hubungan dengan Gus Dur sehingga
Awair dikira singkatan dari Abdurrahman Wahid Air. Ternyata tidak.
Namun, dalam suatu pertemuan dengan Gus Dur, saya sempat juga
terkesima. Waktu saya diterima Gus Dur, di situ sudah ada dua orang
pimpinan Awair. Entah apa yang diceritakannya kepada Gus Dur, yang jelas
Gus Dur kembali menceritakan kepada saya mengenai betapa
membanggakannya Awair. “Sebentar lagi, Awair akan menerbangi rute
internasional,” ujarnya. “Bahkan, sudah segera memesan Airbus XXX,”
tambah beliau.
Airbus XXX adalah pesawat terbesar yang sedang dibuat yang akan
menjadi pesawat terbesar di muka bumi. Pesawat itu begitu besarnya
sehingga ada ruang olah raganya. Kabinnya dua tingkat dari muka sampai
belakang.
Begitu besarnya pesawat ini sehingga pintu keluarnya pun akan ada
yang atas dan ada yang bawah. Dengan begitu, kalau pesawat ini kelak
benar-benar dipergunakan, harus banyak bandara yang menyesuaikan diri.
Terutama dalam penyediaan “belalai gajah”-nya.
Saya tidak mengira bahwa tak lama setelah pertemuan dengan Gus Dur
tersebut, Awair tidak lagi mengudara. Pemiliknya, seorang pengusaha
kimia, rugi ratusan miliar. Nama pemilik Awair tetap harum karena bisa
menyelesaikan seluruh kewajibannya tanpa cacat. Perusahaan kimianya pun
masih terus bertambah besar.
***
Meski sudah banyak yang sulit, rupanya, minat untuk mendirikan
perusahaan penerbangan tidak pernah surut. Dalam skala yang amat kecil,
ini mirip dengan orang mau bikin koran.
Saya sendiri kini tidak hafal ada berapa perusahaan penerbangan di
Indonesia. Begitu banyak nama baru. Sebagai orang yang sering ke
berbagai daerah di seluruh Indonesia, saya amat tertolong. Banyak rute
baru dibuka. Rute “aneh-aneh” seperti Pontianak-Batam atau
Jogya-Balikpapan kini ada yang menerbangi.
Tarif pun luar biasa murahnya. Kini tidak merasa berat lagi ke
Jayapura atau ke Medan. Tinggal kita terus berdoa mudah-mudahan tidak
ada lagi yang tutup. Agar tetap banyak rute baru. Memang, terjadinya
perang tarif seperti sekarang kadang-kadang menimbulkan pertanyaan:
apakah cukup untuk biaya perawatan? Apakah perawatannya dilakukan dengan
benar? Bukankah pesawat yang dipakai umumnya yang tahun 1980-an (Boeing
737-200 atau MD-80) yang tentu saja memerlukan perhatian lebih besar?
Begitu kerasnya perlombaan turun tarif tersebut sehingga iklan Sampoerna perlu dikutip di sini: how low can you go!
***
Di tengah lomba turun harga seperti itu, Garuda yang menggunakan
pesawat lebih baru tentu tidak akan kuat melayani. Memang Garuda juga
menyediakan tarif hanya Rp 199.000 untuk Surabaya-Jakarta, namun itu
tidak untuk semua kursi. Sekadar untuk ikut ramai-ramai perang tarif,
rupanya. Dengan banyaknya pesawat Lions dan Bouraq jurusan
Jakarta-Surabaya, bisa jadi penumpang Garuda memang tersedot ke sana.
Maka, kini Garuda menempuh kiat baru. Balik menyedot penumpang dengan
menggunakan pesawat besar untuk Surabaya-Jakarta. Pilotnya pun ikut
promosi dengan memberikan pengumuman kepada penumpangnya begini: Selamat
datang di dalam pesawat Garuda, pesawat yang paling canggih… Rupanya,
dengan menggunakan kalimat “paling canggih”, Garuda ingin mengingatkan
bahwa perusahaan lain menggunakan pesawat tahun 1980-an.
Benarkah pesawat yang digunakan Garuda itu yang paling canggih? Sabar
dulu. Sang pilot masih meneruskan kata-kata “yang paling canggih”
tersebut dengan lanjutan “yang dimiliki oleh Garuda…”
***
Kalau pesawat Concorde mulai kemarin tidak lagi terbang untuk
selama-lamanya, tentu tidak ada hubungannya dengan perang tarif. Pesawat
itu memang sudah waktunya tidak boleh terbang karena umurnya yang sudah
20 tahun. Kalau saja bisa disewakan ke Indonesia, barangkali saja masih
bisa diberdayakan. Namun, mau untuk jurusan mana?
Saya tidak menyesal Concorde mengakhiri masa baktinya. Saya sudah
pernah “makan sate”-nya. Saya pernah menggunakan Concorde ketika akan
pergi dari London ke New York. Saya akan terus ingat pengalaman itu
meski sertifikat saya sebagai orang yang pernah naik Concorde hilang
entah di mana.
Yang selalu saya ingat adalah bahwa jarak London-New York hanya saya
tempuh 3,5 jam. Saya berangkat dari London pukul 10.00, sampai di New
York masih pukul 09.30. Malah lebih pagi setengah jam!
Saya juga masih ingat bagaimana rasanya percepatan laju pesawat itu
hingga akhirnya mencapai dua kali kecepatan suara. Juga bagaimana
melihat bumi yang melengkung dari ketinggian 60.000 kaki itu!**
No comments:
Post a Comment