Guru Khusus Ajari Anak Kemasyarakatan
Hidup Super si Superkaya (2-Habis)
CUKUP unik cara Dhirubhai Ambani menyiapkan anaknya, Mukhes Ambani,
agar kelak di tahun 2000-an jadi salah satu di antara 20 orang terkaya
dunia. Ketika Mukhes masih kecil, Dhirubhai tiap hari membuka halaman
iklan mini di koran lokal Mumbai (d/h Bombay). Dia mengamati siapa saja
yang hari itu ingin mencari pekerjaan sebagai guru. Suatu hari,
Dharabhai memanggil beberapa pengiklan itu untuk dites. Dia ingin
mencari seorang guru bagi anaknya. Untuk memberikan bimbingan di luar
jam sekolah.
Les privat? Bukan! Guru itu diminta menjadi teman bicara dan teman bermain saja bagi anaknya. Sang guru boleh mengajak Ambani-kecil pergi ke mana saja di dalam Kota Mumbai. Ke kebun binatang, ke pasar, ke pantai, ke mana pun mereka berdua ingin pergi. Lalu, di saat liburan sekolah, sang guru diminta mengajak Ambani pergi ke desa-desa melihat kehidupan di pedesaan selama dua minggu.
Syaratnya, sang guru tentu harus bisa menjawab
“pertanyaan-anak-kecil” apa pun dari Ambani mengenai yang sedang
dilihatnya. Yakni, jawaban yang sifatnya mendidik, merangsang lahirnya
pemikiran, dan tidak asal jawab. Itulah sebabnya ketika melakukan
seleksi terhadap calon guru anaknya itu, Dhirubhai amat hati-hati.
Jangan sampai anaknya mendapatkan guru yang hanya bisa asal-jawab atau
hanya suka menekan anak kecil.
Dari sistem itu, Dhirubhai ingin anaknya mendapatkan pandangan yang
luas mengenai kehidupan sehari-hari di masyarakat. Terutama setelah di
sekolah anaknya mendapatkan pelajaran yang penuh dengan kedisiplinan
ilmu. Untuk memperoleh sukses dalam hidup, pelajaran kemasyarakatan
tidak kalah penting daripada pelajaran keilmuan. Bukankah banyak sekali
orang yang sangat pintar, tapi tidak sukses dalam hidup?
Koran-koran Mumbai menceritakan riwayat hidup Ambani -yang jadi bahan
utama tulisan ini- dengan penuh kekaguman dan kritis. Tidak jarang
Ambani jadi sasaran empuk pemberitaan media setempat karena
praktik-praktik bisnisnya yang dianggap kurang fair.
Tapi, harus diakui bahwa ayahnya memang berperan amat besar. Sang
ayah memang sudah jadi pengusaha meski belum tergolong sangat besar.
Lalu, sang ayah pula yang merintis berdirinya perusahaan tekstil di
tahun 1975 yang jadi landasan bisnisnya sekarang. Bisnis tekstil
dianggap punya masa depan karena menyangkut hajat hidup satu miliar
penduduk India.
Lantaran keluarga Dhirubhai memasuki bisnis tekstil, sang ayah
menyarankan agar Ambani masuk ke fakultas teknik mesin. Dia harus
mendalami engineering. Tapi, Ambani memilih masuk fakultas teknik kimia.
Mengapa? Ini gara-gara film Hollywood yang amat terkenal saat itu, The
Graduate. Setelah nonton film tersebut, Ambani terkesan bahwa plastik
akan jadi masa depan yang menggairahkan. Untuk itu, dia harus belajar
kimia, bukan mesin.
Setelah tamat Universitas Bombay dan memiliki gelar sarjana kimia,
Ambani disekolahkan lagi ke USA. Di sinilah, di Stanford University
(salah satu universitas terkemuka di AS yang tidak jauh dari San
Fransisco), Ambani meraih MBA. Dia beruntung saat kuliah di Stanford,
dua orang profesor ekonomi terkemuka menjadi pembimbingnya. Ambani
mengakui dua ekonom itu sangat memengaruhi jalan hidupnya. Yakni,
Profesor M.M. Sharma dan pemenang Nobel ekonomi Profesor Bill Sharpe.
Guru besar yang pertama selalu bertanya, “Dari kimia, apa yang bisa kamu
kerjakan untuk menghasilkan uang?” Sedangkan sang pemenang Nobel selalu
bertanya, “Bagaimana kamu bisa mengerjakan suatu hal yang berbeda untuk
dunia?”
“Dua guru besar itu selalu mengajari kita untuk bisa berpikir di luar
kotak-kotak yang sudah ada,” katanya pada suatu wawancara dengan media
setempat. Nah, dari situlah, Ambani memiliki ide untuk memasuki industri
polyester. Dengan mengembangkan produk polyester, dia akan bisa
mengubah dan memperbesar bisnis tekstil bapaknya. Ambani senang karena
bapaknya langsung setuju. Tapi, Ambani juga kecewa karena ide itu
langsung dikerjakan oleh bapaknya tanpa menunggu Ambani pulang ke India.
Padahal, Ambani masih harus menyelesaikan kuliah masternya 1,5 tahun
lagi. Ambani ingin dia sendirilah yang akan memulai proyek
polyester-nya.
Bagi bapaknya, menunggu 1,5 tahun lagi bisa akan kehilangan momentum.
Bapaknya memang sangat agresif. Kalau tidak, bagaimana hanya dalam
waktu 15 tahun perusahaannya sudah berhasil menjadi salah satu yang
terbesar di dunia.
Apalagi, setelah mendapat gelar MBA, Ambani ternyata masih harus
menambah pengalaman yang lain lagi. Kalau semasa kecil Ambani dapat
bimbingan pelajaran kemasyarakatan dari guru ekstrakurikulernya, maka
setamat Stanford, dia memasuki pergaulan besar yang akan menambah
network-nya kelak. Dia mendapat kesempatan bekerja di lembaga di bawah
Bank Dunia selama enam bulan. Yakni, lembaga yang disebut Program Bank
Dunia untuk profesional muda.
Pulang ke Mumbai, Ambani langsung terjun ke grup perusahaan bapaknya,
Reliance Group. Dia bekerja di bawah direksi yang sudah ada. Namun,
semua itu tidak membuat canggung karena Ambani sudah kenal mereka.
Sebab, sejak masih di SMA, Ambani dari sekolah tidak pulang ke rumah,
melainkan ke kantor itu. Dia mulai praktik kerja sejak masih amat
remaja.
Magang yang amat dini itu sangat berguna karena, ternyata, sang bapak
tidak berumur panjang. Pada tahun 2002, bapaknya meninggal setelah
beberapa lama menderita stroke. Ambani tampil sebagai pimpinan puncak
meski dia masih punya adik yang bernama Anil Ambani. Dua-duanya pintar
dan agresif. Dua-duanya mengendalikan perusahaan yang selama sepuluh
tahun sering ganti nama karena seringnya melakukan merger di antara
anak-anak perusahaan dalam grup.
Kini Reliance Group menjadi grup usaha terbesar di India, mengalahkan
Laksmi Mittal dan Tata Group. Tahun lalu, omsetnya melampaui Rp 200
triliun dengan laba lebih dari Rp 20 triliun. Ini berarti Reliance Group
sama dengan 20 kali Gudang Garam. Karyawannya secara keseluruhan
mencapai 80.000 orang. Usahanya juga berkembang ke kilang minyak dan
pertambangannya sekaligus.
Kilang minyaknya di Gujarat menjadi yang terbesar ketiga di dunia. Di
sebelahnya didirikan pula industri petrokimia yang terkait langsung
dengan kilangnya itu. Maka, berdirilah di kompleks Gujarat tersebut,
pabrik polyester fiber dan yarn terbesar di dunia, pabrik paraxylene
nomor 4 terbesar di dunia, pabrik purified therepthalic acid nomor 5
terbesar di dunia, juga pabrik polypropelene raksasa. Boleh dikata,
kompleks itu merupakan industri pengolahan minyak dan kimia yang terkait
dengan minyak yang paling terintegrasi. Kompleks seperti itu pula yang
dulu dirancang untuk didirikan di Tuban, namun setelah dimulai 12 tahun
lalu, sampai sekarang masih tetap mangkrak.
Memang, perjalanan yang amat cepat perusahaan itu masih belum teruji
untuk jangka panjang. Rating-nya di dunia memang cukup baik (bbb dan
baa) serta bisa mendapatkan kepercayaan untuk memperoleh dana obligasi
dengan masa pengembalian 50 sampai 100 tahun. Namun, mulai juga ada
gejala pepecahan antara Mukesh Ambani dan Anil Ambani.
Bahkan, perselisihan itu sudah masuk ke pengadilan tinggi Mumbai. Ini
terjadi justru ketika perusahaan berhasil menemukan cadangan gas alam
yang amat besar di pantai timur India. Yakni, 40 juta mmbtu atau 40
triliun btu, dan akan naik dua kali lipat beberapa tahun lagi. Gas itu
sudah dapat digali dan tahun depan sudah akan menghasilkan.
Dua tahun lalu, sang kakak dan sang adik (dalam posisi masing-masing
sebagai pimpinan anak perusahaan dalam Reliance Group) menandatangani
kontrak penjualan gas tersebut. Sebagai pemimpin anak perusahaan yang
sedang membangun pembangkit listrik di dekat New Delhi sebesar 8.000 MW,
Anil akan mendapatkan jatah pertama gas tersebut. Tapi, sebagai
pemimpin anak perusahaan yang membawahkan perusahaan penambangan gas
tersebut, sang kakak ingin juga memperoleh harga jual yang lebih tinggi
kepada pihak lain. Sebab, perusahaan yang di bawah adiknya, sesuai
dengan kontrak, akan membeli gas tersebut USD 2,45 per ton, suatu harga
yang lumayan saat itu, tapi sudah terlalu murah sekarang ini.
Perselisihan tidak bisa diselesaikan di tingkat holding karena keduanya
sama-sama duduk sebagai pemimpin holding company.
Karena perkara itu sampai ke pengadilan, lantas beredar rumor bahwa
kakak-beradik Ambani akan berpisah. Masyarakat India ramai
membicarakannya. Kalau benar-benar gak bisa rukun lagi, bisa jadi
perusahaan akan dibelah dua. Sangat mungkin sang kakak akan mengambil
bisnis tekstil, petrokimia, dan ritel. Sedangkan sang adik akan
mengambil perusahaan gas dan pembangkit listrik. Tapi, banyak juga yang
berdoa agar jangan terjadi perpisahan itu karena hanya akan merugikan
pemegang saham publik.
Memang, kalau sampai terjadi perpisahan itu, sebuah berita besar akan
menanti. Maklum, perusahaan lagi agresif-agresifnya berekspansi. Grup
ini baru saja mulai masuk ke ritel, dengan cara yang amat berbeda dengan
apa yang sudah dilakukan Walmart atau Carrefour di Tiongkok. Dia
membangun jaringan ritel bukan setelah daya beli masyarakat ada, tapi
justru untuk menciptakan daya beli masyarakat. Caranya, Reliance
langsung terjun ke pembinaan petani produsen dan membina mereka
bagaimana bertani cara baru. Dengan demikian, petani memperoleh
penghasilan sembilan kali lipat daripada cara tradisional -suatu langkah
yang akan menarik kalau ditulis secara khusus untuk itu.
Ada lagi bisnis barunya yang juga baru mulai: mengelola dua kawasan
ekonomi khusus di Mumbai. India memang belajar dari Tiongkok untuk
membangun ekonominya. Termasuk bagaimana harus menciptakan
sebanyak-banyaknya kawasan ekonomi khusus. Wapres kita, Yusuf Kalla,
juga ingin sekali segera membuat lima kawasan ekonomi khusus di
Indonesia, tapi banyak sekali hambatannya. “Kita harus benar-benar
belajar apa yang terjadi di Shenzhen, Shanghai, dan kawasan lain di
Tiongkok,” ujar Ambani. Ekonomi India kini memang diunggulkan jadi calon
raksasa berikutnya setelah Tiongkok. Bahkan, dunia sudah mulai
membayangkan kalau ekonomi Chindia digabung, bisa akan membalik dunia.
“Chindia”, sayangnya, adalah singkatan untuk China-India, bukan
China-Indonesia. (Habis)
No comments:
Post a Comment