Harus Turun Mesin, karena Organ-Organ Saya Rusak Parah
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (1)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
Pagi ini, hari ke-20 saya hidup dengan liver baru. Kelihatannya akan
baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda kegagalan seperti yang dialami Cak
Nur (Nurcholish Madjid, tokoh yang digadang-gadang menjadi salah satu
calon presiden), yang menjalani transplantasi liver di Tiongkok pada 19
Juli 2004.
Kadar protein dalam darah saya yang tidak pernah bisa normal, kini menjadi sangat baik. Salah satu unsur penting di protein itu, albumin, sejak liver saya diganti sudah mencapai angka 3,6. Selama lebih dari 10 tahun saya hidup dengan kadar albumin yang hanya 2,7. Padahal, normalnya paling tidak 3,2.
Kadar protein dalam darah saya yang tidak pernah bisa normal, kini menjadi sangat baik. Salah satu unsur penting di protein itu, albumin, sejak liver saya diganti sudah mencapai angka 3,6. Selama lebih dari 10 tahun saya hidup dengan kadar albumin yang hanya 2,7. Padahal, normalnya paling tidak 3,2.
Rendahnya kadar albumin membuat tubuh saya tak mampu membuang
kelebihan air, baik dalam bentuk keringat maupun kencing. Sehingga air
yang berlebih ikut darah beredar ke seluruh tubuh. Akibatnya, tubuh saya
jadi “gemuk”.
Karena itu, kalau ada orang memuji badan saya terlihat lebih gemuk
dan segar, dalam hati sebenarnya saya menderita. Sebab, saya tahu, tubuh
saya tidak sedang gemuk, tapi bengkak!
Begitu liver diganti dan albumin normal, badan saya langsung susut. Tapi tidak kuyu, melainkan sebaliknya: lebih segar.
Dua hari pertama pascatransplantasi, kencing saya bisa mencapai 10
liter sehari. Sebagian karena memang banyak cairan yang masuk ke badan,
sebagian lagi karena air yang tadinya beredar bersama darah, sudah bisa
dipisahkan oleh albumin dan dikirim ke kandung kemih.
Platelet atau trombosit saya, yang seharusnya minimal 200, pernah
tinggal 55. Dengan platelet serendah itu, saya terancam mengalami
perdarahan dari mana pun: mulut, hidung, lubang kemaluan, telinga, dan
mata.
Untuk menyelamatkan saya dari ancaman itu, dokter lantas memotong
limpa saya hingga sepertiga. Setelah limpa dipotong, platelet saya naik
sampai 120. Sayangnya, itu tidak lama. Perlahan-lahan angka itu menurun
secara konstan. Terakhir tinggal 70. Hampir sama dengan sebelum limpa
saya dipotong.
Tapi, setelah liver saya diganti, platelet saya langsung naik. Tiga
hari lalu angkanya sudah mencapai 260. Normalnya, antara 200 sampai 300.
Mengapa saya memutuskan ganti liver? Tidakkah takut gagal? Mengapa
liver saya sakit? Separah apa? Bagaimana jalannya penggantian liver?
Bagaimana mempersiapkan diri? Bahkan sampai ke doa apa yang saya
ucapkan? Semua akan saya tulis untuk berbagi pengalaman dengan pembaca.
Cerita ini mungkin akan agak panjang (bisa 50 hari). Bukan karena
saya mau berpanjang-panjang, tapi karena redaksi membatasi saya untuk
menulis hanya sekitar 1.000 kata di setiap seri.
Berikut saya mulai dengan seri pertama ini. (Nama-nama dokter, rumah
sakit, sengaja baru akan disebutkan di bagian-bagian akhir tulisan):
***
Di umur 55 tahun ternyata saya harus “turun mesin”. Begitu parahnya
kerusakan organ-organ di dalam badan saya sampai harus pada keputusan
menambal seluruh saluran pencernaan saya, memotong sepertiga limpa saya,
dan mengganti sama sekali organ terbesar yang dimiliki manusia: liver.
Turun mesin total itu harus diatur sedemikian rupa karena mesin yang
sama harus tetap menjalankan tugas sehari-hari, yang tidak bisa
ditinggalkan begitu saja. Maka, saya pun mulai membuat jadwal turun
mesin. Dimulai yang paling membahayakan agar yang penting nyawa bisa
selamat dulu.
Ternyata saya memang terancam meninggal dunia dari tiga jenis
penyakit. Yang pertama adalah yang bisa membuat saya meninggal mendadak
kapan saja tanpa penyebab apa pun. Tiba-tiba bisa saja saya muntah darah
dan tak tertolong lagi. Ini karena seluruh saluran pencernaan saya,
mulai tenggorok sampai perut sudah penuh dengan varises yang menor-menor
karena sudah matang dan siap pecah. Ibarat kumpulan balon-balon kecil
berwarna merah, yang kulitnya sudah tipis seperti balon yang ditiup
terlalu keras. Kapan meletusnya bisa setiap saat. Saat meletus itulah
orang akan muntah darah dan tak tertolong lagi.
Penyakit kedua, yang bisa membuat saya meninggal dalam hitungan bulan
adalah jumlah darah putih saya yang terus merosot. Mengapa? Karena
limpa saya sudah membesar tiga kali lipat dari ukuran normal. Limpa yang
tugasnya antara lain mengubur sel-sel darah merah yang mati (dengan
darah putih yang diproduksinya), tidak mampu lagi berfungsi baik.
Platelet saya yang seharusnya antara 200-300, hari itu tinggal 60. Itu
pun dalam posisi terus menurun. Pada penurunan beberapa poin lagi, saya
akan menderita perdarahan dari mana saja: bisa dari hidung, dari
telinga, dari mulut, atau dari mata. Limpa sendiri bisa juga pecah
karena sudah tidak kuat lagi akibat terus membesar.
Yang ketiga, ya liver saya sendiri, yang ternyata sudah amat rusak.
Setelah liver saya dibuang setahun kemudian, tampaklah nyata bahwa liver
saya sudah seperti daging yang dipanggang terlalu masak. Padahal,
seharusnya mulus seperti pipi bayi. Ini yang bisa membuat saya meninggal
dunia dalam hitungan dua-tiga tahun. Bahkan, sebenarnya liver itu yang
membuat limpa saya membesar dan membuat seluruh saluran darah di
sepanjang pencernakan saya penuh dengan balon-balon darah yang siap
pecah.
Maka, satu per satu harus saya selesaikan. Saya mulai dari mengatasi
agar tidak terjadi muntah darah. Lalu, setengah tahun kemudian memotong
limpa saya. Dan, terakhir 6 Agustus lalu, beberapa hari sebelum ulang
tahun ke-56 saya, saya lakukan transplantasi liver: membuang liver lama,
diganti dengan liver baru.
Semua proses itu memakan waktu hampir dua tahun. Ini karena saya
tetap harus menjalankan aktivitas, baik sebagai pimpinan Grup Jawa Pos
maupun sebagai CEO perusahaan daerah Jatim yang lagi giat-giatnya
membangun tiga proyek besar: pabrik conveyor belt, gedung ekspo, dan
shorebase.
Semua tahap itu saya jalani dengan keputusan yang mantap, tanpa
keraguan sedikit pun mengenai kegagalan hasilnya. Banyak teman yang
bertanya mengapa saya bisa tegas membuat keputusan yang begitu
membahayakan hidup saya. Saya jawab bahwa percaya sepenuhnya dengan
takdir -sesuai dengan tafsir yang saya yakini, yakni mirip dengan uraian
buku Saudara Agus Mustofa Takdir Itu Bisa Berubah.
Faktor lain adalah bahwa rupanya, kebiasaan saya membuat keputusan
berani, keputusan besar dan keputusan yang cepat di perusahaan ikut
memengaruhi keberanian membuat keputusan dengan kualitas yang sama untuk
diri sendiri. Lalu, keyakinan bahwa saya mampu me-manage hal-hal yang
rumit selama ini, tentu juga akan mampu me-manage kerumitan persoalan
yang ternyata ada di dalam tubuh saya.
Apakah tidak ada kekhawatiran sama sekali akan gagal dan kemudian
meninggal? Tentu ada. Tapi, amat kecil. Saya tahu kapan harus ngotot dan
kapan harus sumeleh. Keluarga saya yang miskin dan menganut tasawuf
Syathariyah sudah mengajarkan sejak awal tentang sangkan paraning dumadi
(dari mana dan akan ke mana hidup dan semua kejadian). Ini membuat saya
akan ngotot melakukan apa pun untuk berhasil, tapi juga tahu batas
kapan harus berakhir.
Tentu ada penyebab lain: Banyak keluarga saya mati muda, sehingga
saya pun seperti sudah siap sejak kecil bahwa saya juga akan mati muda.
Ibu saya meninggal dalam usia 36 tahun (muntah darah). Kakak saya, yang
digelari agennya Nurcholish Madjid di Jatim untuk urusan pembaharuan
pemikiran Islam, meninggal dalam usia 32 tahun (muntah darah). Dia
sering memarahi saya, mengapa masih kecil sudah belajar filsafat/tasawuf
dan mengapa sering pergi ke pondok salaf. Tapi, tahun depannya saya
masih tetap ke pondok salaf Kaliwungu, 25 km sebelah barat Semarang.
Paman saya dan pakde saya juga meninggal muda. Penyebabnya juga sama:
muntah darah. Muntah darah sebenarnya bukan penyebab, tapi begitulah
orang di desa mengatakannya, karena tidak tahu bahwa semua itu berawal
dari persoalan liver.
Tapi, ada juga sedikit harapan bahwa saya bisa berumur panjang: Bapak
saya meninggal dalam usia 93 tahun. Kakak tertua saya yang amat baik,
Khosiyatun, yang juga ketua umum Aisyiah Kaltim, kini berumur hampir 70
tahun dan masih aktif mengajar di SD swasta di Samarinda. Entahlah, saya
ikut yang mana. (bersambung)
No comments:
Post a Comment