Menghitung Masa Depan Persebaya (1)
Catatan Dahlan Iskan
Inti dari seluruh persoalan Persebaya adalah ini:
- Yang memiliki tidak mampu
- Yang mampu tidak memiliki
Siapakah yang memiliki Persebaya? Semua sudah tahu. Pemilik Persebaya
adalah klub-klub anggota Persebaya (IM, Sakti, Gelora, Asyabaab, dan
seterusnya itu).
Suporter, pemkot, pencinta, penggila, pencoleng, penggerogot, benalu,
dan pengobyek hanyalah konsumen Persebaya. Memang, dalam dunia
manajemen modern, ada istilah untuk mereka itu: stake holder. Tapi,
tetap saja bukan pemilik.
Sehebat-hebat Anda mencintai Persebaya, tetaplah Anda bukan pemilik
Persebaya. Biar pun Anda sampai pernah nekat menipu orang tua,
membohongi istri, jualan celana, mencopet, dan memaksa sopir truk,
semata-mata bukan karena Anda orang jahat, melainkan agar bisa mendukung
Persebaya, tetaplah Anda bukan pemilik Persebaya.
Saya pernah menjelaskan kepada seorang pengusaha yang pernah dimintai
uang senilai harga karcis stadion oleh suporter yang menggerombol di
pinggir jalan. Pengusaha tersebut ndongkol sekali karena merasa diperas.
Untuk menghibur hatinya, saya jelaskan kepada dia bagaimana logika cara
berpikir suporter tersebut.
Begini: di dalam hati suporter itu, dia tidak merasa lagi memeras.
Dia merasa sedang berjuang untuk mendukung Persebaya. Saya membedakan
antara mendukung dan menonton. Kalau menonton, dia harus punya uang.
Tapi, kalau mendukung, bisa harus punya uang, bisa juga hanya bermodal
nekat. Inilah asbabun nuzul-nya istilah bonek.
Kebetulan, yang minta uang kepada teman saya tersebut tidak punya
uang. Tapi, dia merasa harus berjuang mendukung Persebaya. Untuk itu,
dia merasa rela berkorban berjalan kaki dari rumahnya yang jauh,
berpanas-panas, dan berteriak-teriak.
Untuk bisa berjuang lebih maksimal, dia harus bisa masuk stadion.
Sekali lagi, dia tidak ingin menonton dalam pengertian menikmati
jalannya pertandingan. Kalau toh ada, mungkin hanya 25 persen. Yang 70
persen adalah ingin mewujudkan dukungannya agar Persebaya menang.
Karena tidak punya uang, bagaimana agar bisa memberikan dukungan
maksimal? Maka, dia berpikir begini: “Mengapa untuk membela Persebaya
hanya dia yang harus berkorban (jalan kaki, teriak-teriak,
berpanas-panas, dlsb)? Mengapa yang punya uang seperti teman saya itu
tidak ikut berkorban untuk Persebaya-kita? Dia berpikir, teman saya itu
mungkin tidak punya waktu untuk mendukung Persebaya dengan cara datang
ke stadion. Maka, biarlah dia yang datang ke stadion, tapi uangnya harus
dari teman saya itu. Dia berpikir sudah seharusnya siapa pun warga
Surabaya memberikan dukungan ke Persebaya”.
Jadi, di dalam masyarakat, ada dua logika yang bertentangan. Teman
saya punya logika, kalau mau nonton, ya harus punya uang. Suporter itu
punya logika, semua orang Surabaya harus mau berkorban untuk Persebaya.
Kalau tidak mau berkorban waktu dan energi fisik, apa salahnya berkorban
uang? Toh, kalau Persebaya menangan, yang bangga bukan hanya dia, tapi
semua orang Surabaya!
Jadi, kata saya kepada teman saya tersebut, dia itu sama sekali tidak
merasa jadi pemeras, melainkan merasa sedang jadi pejuang! Bahwa
caranya seperti itu, bahwa logikanya seperti itu, ya begitulah logika
orang Surabaya tadi. Dan pemilik logika seperti itu bukan hanya orang
Surabaya (meski ini khas Surabaya).
Lihatlah film Nagabonar atau Nagabonar Jadi Dua! Kurang lebih logika
Nagabonar itulah yang terjadi. Logika dia, orang yang punya uang harus
ikut berjuang, sopir truk harus ikut berjuang, masinis kereta api harus
ikut berjuang. Dia saja yang miskin mau berjuang, mengapa yang mampu
tidak mau? Dia justru merasa aneh kalau ada orang yang mengatakan bahwa
dia itu pemeras. Dia justru berpikir: orang-orang itu gila, diajak
berjuang kok ngomel, tidak ikhlas dan perhitungan. Dia mengatakan pada
dirinya sendiri: Lihat saya ini, tidak punya apa-apa saja mau berjuang!
Mendukung Persebaya bagi dia adalah berjuang. Bukan menonton!
Tapi, sungguh kasihan. Suporter yang merasa sedang jadi pejuang
tersebut, tetaplah bukan pemilik Persebaya. Pemilik Persebaya tetaplah
klub-klub anggota Persebaya saja. Klub-klub yang sebenarnya sudah tidak
mampu lagi menjadi pemilik Persebaya. Ini bukan kesalahan klub-klub itu
sendiri. Ini hanya sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman.
Ibaratnya, ada seorang guru yang dulu mendirikan dan memiliki rumah
di Jalan Pabrice Lumumba. Jalan itu lama-kelamaan dilebarkan menjadi
delapan lajur, sehingga rumahnya tinggal beberapa meter saja. Bahkan,
akibat perkembangan kota yang pesat, jalan tersebut menjadi jalan utama
di Surabaya dan pada 1965 namanya berganti menjadi Jalan Raya Darmo.
NJOP-nya pun pada 2007 sudah mencapai Rp 10 juta/meter. Sebagai orang
yang tetap berstatus guru, kini dia tidak lagi mampu membayar pajak
PBB-nya. Biar pun tidak ada peraturan bahwa guru dilarang tinggal di
Jalan Raya Darmo, namun dia harus membuat keputusan. Apalagi, dia kini
sudah amat tua dan tidak punya anak.
Kini, pilihannya hanyalah: menjual tanah yang tinggal beberapa meter
itu. Harganya tidak bisa tinggi karena tidak cukup untuk mendirikan
sebuah rumah mewah. Kebetulan, meski di Jalan Darmo, tapi berada di
sudut jalan, sehingga hanya dua rumah di sebelah kiri dan belakangnya
yang masih mau membeli. Kalau tanah itu masih sedikit berharga, itu
hanyalah karena namanya yang besar, yakni berada di Jalan Raya Darmo.
Kalau saya ditanya sang guru akan diapakan tanahnya di Jalan Raya
Darmo itu, saya akan sarankan agar dijual saja, meski harganya tidak
bisa tinggi. Kalau tidak dijual, sampai dia mati tidak akan ada orang
yang mau menyumbang membayarkan PBB-nya. Tapi, untuk apa hasil penjualan
tanahnya tersebut? Saya sarankan, hasil penjualan tanah itu bisa
dipakai untuk mendirikan sekolah sepak bola.
Bisa saja dia mokong, karena mokong adalah juga menjadi haknya. Bisa
saja dia bertekad untuk mati di lokasi itu. Tidak ada orang yang
membunuhnya karena dia mati akibat stres memikirkan pajak tanahnya yang
di luar kemampuannya untuk membayar. Padahal, dia telanjur berwasiat
agar kalau mati nanti harus dikuburkan di tanah yang bagi dirinya sangat
bersejarah itu. Dia tidak peduli apakah kuburannya tersebut nanti
mengganggu warga kota secara keseluruhan atau tidak. (bersambung)
No comments:
Post a Comment