Percayalah, Pilot Lebih Tahu
Oleh: Dahlan Iskan
DAPAT dimaklumi kalau penumpang Adam Air yang mendarat tidak normal
di Surabaya kemarin sore panik. Lalu masing-masing penumpang
mengeluarkan cerita sendiri berdasarkan tingkat pengetahuan
masing-masing. Misalnya, ada penumpang yang menelepon radio Suara
Surabaya dengan nada jengkel karena ada keterangan dari pihak berwenang
bahwa pesawat mendarat mulus.
Lalu penumpang tersebut menjelaskan bahwa sejak sebelum mendarat pesawat sudah miring. Ketika reporter radio menanyakan apakah penyebabnya pesawat itu sendiri, si penumpang mengiyakannya. Pesawatnyalah yang tidak beres. Sebagai bukti tambahan, katanya, saat kejadian itu masker-masker oksigen tidak keluar.
Lalu penumpang tersebut menjelaskan bahwa sejak sebelum mendarat pesawat sudah miring. Ketika reporter radio menanyakan apakah penyebabnya pesawat itu sendiri, si penumpang mengiyakannya. Pesawatnyalah yang tidak beres. Sebagai bukti tambahan, katanya, saat kejadian itu masker-masker oksigen tidak keluar.
Penumpang lain mengatakan bahwa pesawat tidak beres dengan bukti
ketika mendarat terasa sekali sentakannya. Lalu dilaporkan juga bahwa
waktu mendarat mungkin rodanya tidak keluar. Ditambah lagi pramugari
tidak berbuat apa-apa sehingga penumpang harus membuka pintu darurat
sendiri.
Saya tidak melihat sendiri keadaan pesawat setelah mendarat. Mungkin
saja yang dikatakan penumpang itu benar, mungkin juga hanya mencerminkan
orang yang sangat panik karena nyawanya baru saja dipertaruhkan. Maka,
sebaiknya, pihak yang berwenang segera memberikan jawaban yang benar
agar cerita-cerita seperti itu tidak didengarkan masyarakat yang
berpengaruh pada ’’pendidikan’’ masyarakat pada umumnya.
Melihat bahwa tidak ada penumpang yang cedera, tentu kita bersyukur.
Tapi, juga sekaligus menunjukkan bahwa pendaratan tersebut belum bisa
dikategorikan pendaratan darurat. Bahwa proses evakuasi pesawat dari
landasan pacu hanya memakan waktu kurang dari tiga jam, bisa disimpulkan
bahwa pesawat tidak sampai terjerembap keluar landasan.
Bahwa kantong oksigen tidak otomatis keluar menandakan tidak ada
perubahan tekanan udara di pesawat. Kantong oksigen baru keluar kalau
terjadi perubahan tekanan dalam pesawat yang mengakibatkan penumpang
kekurangan oksigen. Namun, mungkin juga banyak penumpang yang
membayangkan kantong-kantong oksigen itu seperti air bag di mobil, yang
setiap terjadi kecelakaan otomatis keluar.
Bahwa tidak ada penumpang yang cedera atau terlempar dari kursinya,
kita patut bersyukur dua kali. Yang pertama, menandakan bahwa penumpang
cukup disiplin untuk mengenakan sabuk pengaman sebelum pesawat mendarat.
Kedua, barangkali memang pesawat tidak berhenti secara mengejutkan.
Dari gambaran seperti itu, dunia penerbangan memang akan
mengategorikan bahwa pendaratan tersebut termasuk mulus. Karena
pemahaman penumpang berbeda, kata ’’mulus’’ itu lantas seperti
menyinggung perasaan penumpang awam.
Naik pesawat di musim hujan memang harus menyiapkan mental lebih
baik. Apalagi kalau terbang sore. Pesawat sore lebih sering terlambat
daripada pesawat pagi. Mungkin keterlambatan sedikit-sedikit di pagi
karena akan terkumpul di sore hari. Juga karena sore hari kecenderungan
cuaca jelek lebih banyak.
Dalam cuaca bergolak, kesan penumpang yang duduk di bagian depan akan
berbeda dengan yang di belakang. Yang di depan akan kurang merasakan
guncangan (karena itu, mengapa business class menempati bagian depan).
Yang di belakang akan seperti berada di buntut naga. Itulah sebabnya, di
musim hujan banyak penumpang minta untuk dapat duduk relatif lebih
depan.
Demikian juga saat mendarat. Roda yang menyentuh landasan lebih dulu
adalah roda belakang. Karena itu, kalau kebetulan dapat duduk paling
belakang, saya suka menghibur diri: ah, biar lebih terguncang, tapi bisa
lebih dulu tiba! Maka, pendaratan yang lembut atau yang keras (dengan
entakan) bagian belakang yang lebih bisa merasakan. Kalau mendarat di
waktu hujan seperti kemarin, penumpang juga harus siap bahwa
pendaratannya akan terasa seperti dientakkan. Ini bukan karena
pesawatnya bermasalah, melainkan memang begitulah sebaiknya mendarat di
landasan yang basah: agar roda bisa mencium landasan lebih baik.
Dalam cuaca jelek seperti apa pun, tenang akan lebih baik daripada
panik. Kalau pesawat tiba-tiba anjlok di udara, percayalah bahwa
anjloknya tidak akan sampai ke tanah. Pada ketinggian tertentu dia akan
’’jatuh’’ di udara yang normal, lalu pesawat mencapai keseimbangan lagi.
Pernah pesawat ANA jatuh sampai 3.000 kaki. Toh kemudian normal lagi.
Hanya penumpang yang tidak disiplin menggunakan sabuk pengaman yang
terpelanting dari tempat duduknya, membentur langit-langit, dan
meninggal dunia.
Demikian juga ketika pesawat terombang-ambing udara jelek. Percayalah
bahwa pesawat tidak akan jatuh, karena sudah didesain untuk menerima
keadaan lebih buruk daripada itu. Bahwa tempo hari Adam Air nyungsep ke
laut dekat Sulawesi dalam keadaan cuaca buruk, sungguh menjadi perhatian
seluruh dunia sampai black box-nya ditemukan nanti.
Saya pernah terbang dengan pesawat kecil (hanya 12 tempat duduk) dari
Pontianak ke Sintang. Karena pesawat itu saya carter, kalau kosong
sayang sekali. Maka, saya ajak para pesuruh dan tukang sapu di kantor
saya di Pontianak untuk bersama-sama naik pesawat itu. Toh sorenya sudah
akan kembali dengan pesawat yang sama. Waktu berangkat, kalau pesawat
terkena mendung sedikit saja sudah terayun-ayun. Tapi, para penumpang
dadakan itu malah senang, seperti berada di ayunan. Pulangnya, ketika
tidak ada mendung, mereka pada minta apakah pesawat bisa diayunkan.
Pilotnya cukup mengerti keinginan rakyat kecil itu. Maka, beberapa waktu
lamanya pesawat pun dia ayun-ayunkan. Para tukang sapu itu pun
tertawa-tawa.
Memang, yang paling membuat dag-dig-dug adalah saat mendarat di udara
jelek. Saya sering mengalami yang ’’nyaris-nyaris’’ seperti itu. Ketika
mendarat dalam cuaca buruk di Pontianak, Manado, Semarang, Palembang
(yang lama), Kendari, Kupang, dan Lampung sudah hafal betul bahwa hati
harus ditenang-tenangkan.
Tapi, kuncinya tetap satu: bersikap tenang akan lebih baik daripada
panik. Kita harus percaya kapten pilot lebih tahu daripada kita. Karena
itu, normalnya, setiap penumpang yang berada di dekat pintu darurat
tidak boleh anak-anak atau orang tua. Dia harus cukup tahu untuk membuka
atau tidak membuka pintu darurat. Kapten pilotlah yang memegang komando
di pesawat. Pramugari pun harus tunduk padanya. Tidak bisa tanpa
komando kapten pramugari menyuruh Anda membuka pintu darurat.
Selebihnya adalah: takdir. (*)
No comments:
Post a Comment