Thursday, February 22, 2007

Percayalah, Pilot Lebih Tahu

22 Februari 2007
Percayalah, Pilot Lebih Tahu
Oleh: Dahlan Iskan

DAPAT dimaklumi kalau penumpang Adam Air yang mendarat tidak normal di Surabaya kemarin sore panik. Lalu masing-masing penumpang mengeluarkan cerita sendiri berdasarkan tingkat pengetahuan masing-masing. Misalnya, ada penumpang yang menelepon radio Suara Surabaya dengan nada jengkel karena ada keterangan dari pihak berwenang bahwa pesawat mendarat mulus.

Lalu penumpang tersebut menjelaskan bahwa sejak sebelum mendarat pesawat sudah miring. Ketika reporter radio menanyakan apakah penyebabnya pesawat itu sendiri, si penumpang mengiyakannya. Pesawatnyalah yang tidak beres. Sebagai bukti tambahan, katanya, saat kejadian itu masker-masker oksigen tidak keluar. 

Penumpang lain mengatakan bahwa pesawat tidak beres dengan bukti ketika mendarat terasa sekali sentakannya. Lalu dilaporkan juga bahwa waktu mendarat mungkin rodanya tidak keluar. Ditambah lagi pramugari tidak berbuat apa-apa sehingga penumpang harus membuka pintu darurat sendiri. 

Saya tidak melihat sendiri keadaan pesawat setelah mendarat. Mungkin saja yang dikatakan penumpang itu benar, mungkin juga hanya mencerminkan orang yang sangat panik karena nyawanya baru saja dipertaruhkan. Maka, sebaiknya, pihak yang berwenang segera memberikan jawaban yang benar agar cerita-cerita seperti itu tidak didengarkan masyarakat yang berpengaruh pada ’’pendidikan’’ masyarakat pada umumnya. 

Melihat bahwa tidak ada penumpang yang cedera, tentu kita bersyukur. Tapi, juga sekaligus menunjukkan bahwa pendaratan tersebut belum bisa dikategorikan pendaratan darurat. Bahwa proses evakuasi pesawat dari landasan pacu hanya memakan waktu kurang dari tiga jam, bisa disimpulkan bahwa pesawat tidak sampai terjerembap keluar landasan. 

Bahwa kantong oksigen tidak otomatis keluar menandakan tidak ada perubahan tekanan udara di pesawat. Kantong oksigen baru keluar kalau terjadi perubahan tekanan dalam pesawat yang mengakibatkan penumpang kekurangan oksigen. Namun, mungkin juga banyak penumpang yang membayangkan kantong-kantong oksigen itu seperti air bag di mobil, yang setiap terjadi kecelakaan otomatis keluar. 

Bahwa tidak ada penumpang yang cedera atau terlempar dari kursinya, kita patut bersyukur dua kali. Yang pertama, menandakan bahwa penumpang cukup disiplin untuk mengenakan sabuk pengaman sebelum pesawat mendarat. Kedua, barangkali memang pesawat tidak berhenti secara mengejutkan.

Dari gambaran seperti itu, dunia penerbangan memang akan mengategorikan bahwa pendaratan tersebut termasuk mulus. Karena pemahaman penumpang berbeda, kata ’’mulus’’ itu lantas seperti menyinggung perasaan penumpang awam. 

Naik pesawat di musim hujan memang harus menyiapkan mental lebih baik. Apalagi kalau terbang sore. Pesawat sore lebih sering terlambat daripada pesawat pagi. Mungkin keterlambatan sedikit-sedikit di pagi karena akan terkumpul di sore hari. Juga karena sore hari kecenderungan cuaca jelek lebih banyak. 

Dalam cuaca bergolak, kesan penumpang yang duduk di bagian depan akan berbeda dengan yang di belakang. Yang di depan akan kurang merasakan guncangan (karena itu, mengapa business class menempati bagian depan). Yang di belakang akan seperti berada di buntut naga. Itulah sebabnya, di musim hujan banyak penumpang minta untuk dapat duduk relatif lebih depan. 

Demikian juga saat mendarat. Roda yang menyentuh landasan lebih dulu adalah roda belakang. Karena itu, kalau kebetulan dapat duduk paling belakang, saya suka menghibur diri: ah, biar lebih terguncang, tapi bisa lebih dulu tiba! Maka, pendaratan yang lembut atau yang keras (dengan entakan) bagian belakang yang lebih bisa merasakan. Kalau mendarat di waktu hujan seperti kemarin, penumpang juga harus siap bahwa pendaratannya akan terasa seperti dientakkan. Ini bukan karena pesawatnya bermasalah, melainkan memang begitulah sebaiknya mendarat di landasan yang basah: agar roda bisa mencium landasan lebih baik. 

Dalam cuaca jelek seperti apa pun, tenang akan lebih baik daripada panik. Kalau pesawat tiba-tiba anjlok di udara, percayalah bahwa anjloknya tidak akan sampai ke tanah. Pada ketinggian tertentu dia akan ’’jatuh’’ di udara yang normal, lalu pesawat mencapai keseimbangan lagi. 

Pernah pesawat ANA jatuh sampai 3.000 kaki. Toh kemudian normal lagi. Hanya penumpang yang tidak disiplin menggunakan sabuk pengaman yang terpelanting dari tempat duduknya, membentur langit-langit, dan meninggal dunia. 

Demikian juga ketika pesawat terombang-ambing udara jelek. Percayalah bahwa pesawat tidak akan jatuh, karena sudah didesain untuk menerima keadaan lebih buruk daripada itu. Bahwa tempo hari Adam Air nyungsep ke laut dekat Sulawesi dalam keadaan cuaca buruk, sungguh menjadi perhatian seluruh dunia sampai black box-nya ditemukan nanti. 

Saya pernah terbang dengan pesawat kecil (hanya 12 tempat duduk) dari Pontianak ke Sintang. Karena pesawat itu saya carter, kalau kosong sayang sekali. Maka, saya ajak para pesuruh dan tukang sapu di kantor saya di Pontianak untuk bersama-sama naik pesawat itu. Toh sorenya sudah akan kembali dengan pesawat yang sama. Waktu berangkat, kalau pesawat terkena mendung sedikit saja sudah terayun-ayun. Tapi, para penumpang dadakan itu malah senang, seperti berada di ayunan. Pulangnya, ketika tidak ada mendung, mereka pada minta apakah pesawat bisa diayunkan. Pilotnya cukup mengerti keinginan rakyat kecil itu. Maka, beberapa waktu lamanya pesawat pun dia ayun-ayunkan. Para tukang sapu itu pun tertawa-tawa. 

Memang, yang paling membuat dag-dig-dug adalah saat mendarat di udara jelek. Saya sering mengalami yang ’’nyaris-nyaris’’ seperti itu. Ketika mendarat dalam cuaca buruk di Pontianak, Manado, Semarang, Palembang (yang lama), Kendari, Kupang, dan Lampung sudah hafal betul bahwa hati harus ditenang-tenangkan. 

Tapi, kuncinya tetap satu: bersikap tenang akan lebih baik daripada panik. Kita harus percaya kapten pilot lebih tahu daripada kita. Karena itu, normalnya, setiap penumpang yang berada di dekat pintu darurat tidak boleh anak-anak atau orang tua. Dia harus cukup tahu untuk membuka atau tidak membuka pintu darurat. Kapten pilotlah yang memegang komando di pesawat. Pramugari pun harus tunduk padanya. Tidak bisa tanpa komando kapten pramugari menyuruh Anda membuka pintu darurat. 

Selebihnya adalah: takdir. (*)

No comments:

Post a Comment