Wednesday, May 16, 2007

Hindari Keramaian, Melihat Perkebunan Angin di Tengah Gurun

16 Mei 2007
Hindari Keramaian, Melihat Perkebunan Angin di Tengah Gurun
Perjalanan di Sekitar Libur Emas Tiongkok (1)

Tiongkok baru saja menjalani Libur Emas. Aktivitas menurun drastis, sehingga tinggal di kota bukanlah pilihan yang menarik. MENGISI Libur Emas, saya memilih pergi ke Ningxia, sebuah provinsi jauh di bagian barat Tiongkok. Tidak banyak alasan tinggal di kota, karena kegiatan menurun drastis selama libur panjang pada awal Mei tersebut.

Termasuk di rumah sakit. Saking sepinya, banyak pasien yang hanya perlu infus tiap hari, melakukan infusnya di rumah saja. Atau setiap hari datang ke rumah sakit untuk suntik lalu pulang lagi. Atau, bagi yang mau ke luar kota, cukup bawa obat suntiknya. Lalu, di kota tujuan, mencari rumah sakit untuk menyuntikkannya.

Dokter dan perawat bergilir jaga. Jadi, kalau banyak pasien yang pulang sementara, tidak terlalu berat juga tugas mereka.

Sebelum ke Ningxia, saya sebenarnya memilih terbang ke Qingdao, di Provinsi Shandong. Lalu melanjutkannya ke Shanghai. Maunya berakhir di Hangzhou, sebuah kota wisata di Provinsi Zhejiang. Tapi karena manusia dari segala penjuru tumplek blek ke kota yang terkenal dengan danaunya itu, jadinya tidak nyaman.

Maka, saya memutuskan tidak berlama-lama di Hangzhou. Saya mendadak memilih terbang jauh ke wilayah barat. Mau ke mana, tidak saya tentukan sendiri. Tergantung ada pesawat ke mana pada saat saya tiba di bandara.

Ketika tiba di Bandara Hangzhou siang hari, saya melihat jadwal pesawat yang terbang ke arah barat laut. Ada beberapa pilihan. Bisa ke Xining di Provinsi Qinghai, atau ke Yinchun di Provinsi Ningxia, ke Lanzhou di Provinsi Gansu, atau bahkan ke Ulumuqi di Provinsi Xinjiang. Saya memang sudah pernah pergi ke semua provinsi di Tiongkok, kecuali yang itu.

Setelah memilih-milih, ternyata yang penerbangan langsung hanya ke Ningxia. Ke kota-kota lain harus transit dulu di Xian. Untuk itu, saya harus terbang dua jam lebih.

Pukul 19.00 malam itu, pesawat mendarat di ibu kota Ningxia, Yinchun. Matahari masih tinggi, karena senja baru terjadi pukul 20.00. Maklum, pada musim seperti ini (menjelang panas), malam hari amat pendek di wilayah utara.

Sebelum mendarat, saya melihat Kota Yinchun ternyata berada di tengah-tengah gurun pasir yang seperti gak ada batasnya. Atau gunung-gunung batu. Di tengah gurun dan gunung batu itulah terlihat jaringan jalan tol ke wilayah barat Tiongkok. Ini menandakan bahwa di wilayah terpencil seperti itu pun jaringan jalan tolnya sudah siap lebih dulu.

Tentu saya tidak berharap suasana di Kota Yinchun seperti umumnya kota-kota di bagian tengah atau timur Tiongkok yang sudah modern. Saya siap dengan keadaan akan tinggal di kota yang tertinggal. Tapi ternyata tidak. Yinchun justru sangat modern. Kotanya sudah diperluas dengan kota baru di sekelilingnya dengan perencanaan yang berblok-blok seperti di Amerika Serikat.

Jalan-jalan kotanya luas-luas. Trotoar-trotoarnya bersih dan lapang, cukup untuk berjalan delapan orang bergandengan tangan. Hotel bintang empat atau limanya lebih banyak dari Kota Surabaya. Malam hari, lampu-lampu jalannya terang benderang. Juga lampu di taman-taman terbuka.

Yang saya tidak menyangka, ternyata ada begitu banyak masjid. Bagus-bagus lagi. Oh, saya baru ingat. Ini adalah provinsi khusus, dengan penduduk asli suku Hui. Suku Hui identik dengan Islam, karena umumnya beragama Islam.

Karena suku Hui identik dengan Islam, maka orang Tiongkok juga sering menyebut orang Islam sebagai orang Hui. Misalnya, kalau saya lagi di Beijing atau Shanghai, atau Tianjin. Mereka tahu saya dari Indonesia. Maka, mereka biasanya juga bertanya apakah saya seorang Hui. Maksudnya: Apakah saya beragama Islam.

Melihat majunya kota pedalaman ini, saya memperkirakan pemerintah pusat banyak sekali memberi uang ke provinsi ini. Termasuk memberi biaya pembangunan masjid dan Islamic Center.

Saya sempat makan siang sendirian di satu restoran di dalam Islamic Cultural Center di Yinchun. Kompleks ini, kalau sudah jadi sepenuhnya, akan sangat modern dan cantik.

Mereka mengatakan pemerintah banyak memberi uang untuk itu. Berangkat haji pun, kini orang Ningxia tidak perlu lagi lewat Beijing. Sejak dua tahun lalu, Bandara Yinchun sudah jadi embarkasi haji. Ini sangat memudahkan jamaah haji dari suku Hui ke Makkah. Di lain pihak, mungkin juga bisa meringankan beban Bandara Beijing yang kian padat itu.

Ulama-ulama Islam dari Timur Tengah memang amat sulit membawa Islam ke Tiongkok. Maklum, kala itu, orang Tiongkok hanya mengenal hanzi. Beda dengan alfabet, hanzi tidak mengenal a, b, c, d. Yang ada simbol. Waktu itu, kata “Allah”, “Mohamad”, “Quran”, belum ada simbolnya dalam hanzi.

Lalu bagaimana mendakwahkan nama-nama itu kalau hurufnya saja belum ada? Belum lagi kalau harus bicara “fikih”, “tauhid”, dan seterusnya. Bagaimana menjelaskannya? Terlalu rumit bagi mereka.

Saya pernah baca buku yang aslinya terbit beberapa ratus tahun lalu. Buku itu mengisahkan betapa sulitnya membawa Islam ke Tiongkok. Begitu sulit menjelaskan apa itu Islam, dan harus bagaimana hidup secara Islam. Sampai-sampai, ulama saat itu mengambil jalan tengah: Pokoknya, Islam itu sama dengan Konghuchu. Dalam segala hal sama. Hanya plus iman dan minus babi!

Karena itu, biarpun di restoran Islam, Anda akan melihat begitu banyak bir dijual dan diminum. Pada hari kedua, saya memutuskan pergi ke tengah gurun pasir. Kebetulan, saya sudah punya teman yang cocok untuk itu. Saya ingin melihat “perkebunan” pembangkit listrik tenaga angin, dan dia ingin membanggakannya. Teman itulah memang yang terlibat dalam pembangunannya. (bersambung)

No comments:

Post a Comment