Hindari Keramaian, Melihat Perkebunan Angin di Tengah Gurun
Perjalanan di Sekitar Libur Emas Tiongkok (1)
Tiongkok baru saja menjalani Libur Emas. Aktivitas menurun drastis, sehingga tinggal di kota bukanlah pilihan yang menarik. MENGISI Libur Emas, saya memilih pergi ke Ningxia, sebuah provinsi
jauh di bagian barat Tiongkok. Tidak banyak alasan tinggal di kota,
karena kegiatan menurun drastis selama libur panjang pada awal Mei
tersebut.
Termasuk di rumah sakit. Saking sepinya, banyak pasien yang hanya perlu infus tiap hari, melakukan infusnya di rumah saja. Atau setiap hari datang ke rumah sakit untuk suntik lalu pulang lagi. Atau, bagi yang mau ke luar kota, cukup bawa obat suntiknya. Lalu, di kota tujuan, mencari rumah sakit untuk menyuntikkannya.
Termasuk di rumah sakit. Saking sepinya, banyak pasien yang hanya perlu infus tiap hari, melakukan infusnya di rumah saja. Atau setiap hari datang ke rumah sakit untuk suntik lalu pulang lagi. Atau, bagi yang mau ke luar kota, cukup bawa obat suntiknya. Lalu, di kota tujuan, mencari rumah sakit untuk menyuntikkannya.
Dokter dan perawat bergilir jaga. Jadi, kalau banyak pasien yang pulang sementara, tidak terlalu berat juga tugas mereka.
Sebelum ke Ningxia, saya sebenarnya memilih terbang ke Qingdao, di
Provinsi Shandong. Lalu melanjutkannya ke Shanghai. Maunya berakhir di
Hangzhou, sebuah kota wisata di Provinsi Zhejiang. Tapi karena manusia
dari segala penjuru tumplek blek ke kota yang terkenal dengan danaunya
itu, jadinya tidak nyaman.
Maka, saya memutuskan tidak berlama-lama di Hangzhou. Saya mendadak
memilih terbang jauh ke wilayah barat. Mau ke mana, tidak saya tentukan
sendiri. Tergantung ada pesawat ke mana pada saat saya tiba di bandara.
Ketika tiba di Bandara Hangzhou siang hari, saya melihat jadwal
pesawat yang terbang ke arah barat laut. Ada beberapa pilihan. Bisa ke
Xining di Provinsi Qinghai, atau ke Yinchun di Provinsi Ningxia, ke
Lanzhou di Provinsi Gansu, atau bahkan ke Ulumuqi di Provinsi Xinjiang.
Saya memang sudah pernah pergi ke semua provinsi di Tiongkok, kecuali
yang itu.
Setelah memilih-milih, ternyata yang penerbangan langsung hanya ke
Ningxia. Ke kota-kota lain harus transit dulu di Xian. Untuk itu, saya
harus terbang dua jam lebih.
Pukul 19.00 malam itu, pesawat mendarat di ibu kota Ningxia, Yinchun.
Matahari masih tinggi, karena senja baru terjadi pukul 20.00. Maklum,
pada musim seperti ini (menjelang panas), malam hari amat pendek di
wilayah utara.
Sebelum mendarat, saya melihat Kota Yinchun ternyata berada di
tengah-tengah gurun pasir yang seperti gak ada batasnya. Atau
gunung-gunung batu. Di tengah gurun dan gunung batu itulah terlihat
jaringan jalan tol ke wilayah barat Tiongkok. Ini menandakan bahwa di
wilayah terpencil seperti itu pun jaringan jalan tolnya sudah siap lebih
dulu.
Tentu saya tidak berharap suasana di Kota Yinchun seperti umumnya
kota-kota di bagian tengah atau timur Tiongkok yang sudah modern. Saya
siap dengan keadaan akan tinggal di kota yang tertinggal. Tapi ternyata tidak. Yinchun justru sangat modern. Kotanya sudah
diperluas dengan kota baru di sekelilingnya dengan perencanaan yang
berblok-blok seperti di Amerika Serikat.
Jalan-jalan kotanya luas-luas. Trotoar-trotoarnya bersih dan lapang,
cukup untuk berjalan delapan orang bergandengan tangan. Hotel bintang
empat atau limanya lebih banyak dari Kota Surabaya. Malam hari,
lampu-lampu jalannya terang benderang. Juga lampu di taman-taman
terbuka.
Yang saya tidak menyangka, ternyata ada begitu banyak masjid.
Bagus-bagus lagi. Oh, saya baru ingat. Ini adalah provinsi khusus,
dengan penduduk asli suku Hui. Suku Hui identik dengan Islam, karena
umumnya beragama Islam.
Karena suku Hui identik dengan Islam, maka orang Tiongkok juga sering
menyebut orang Islam sebagai orang Hui. Misalnya, kalau saya lagi di
Beijing atau Shanghai, atau Tianjin. Mereka tahu saya dari Indonesia.
Maka, mereka biasanya juga bertanya apakah saya seorang Hui. Maksudnya:
Apakah saya beragama Islam.
Melihat majunya kota pedalaman ini, saya memperkirakan pemerintah
pusat banyak sekali memberi uang ke provinsi ini. Termasuk memberi biaya
pembangunan masjid dan Islamic Center.
Saya sempat makan siang sendirian di satu restoran di dalam Islamic
Cultural Center di Yinchun. Kompleks ini, kalau sudah jadi sepenuhnya,
akan sangat modern dan cantik.
Mereka mengatakan pemerintah banyak memberi uang untuk itu. Berangkat
haji pun, kini orang Ningxia tidak perlu lagi lewat Beijing. Sejak dua
tahun lalu, Bandara Yinchun sudah jadi embarkasi haji. Ini sangat
memudahkan jamaah haji dari suku Hui ke Makkah. Di lain pihak, mungkin
juga bisa meringankan beban Bandara Beijing yang kian padat itu.
Ulama-ulama Islam dari Timur Tengah memang amat sulit membawa Islam
ke Tiongkok. Maklum, kala itu, orang Tiongkok hanya mengenal hanzi. Beda
dengan alfabet, hanzi tidak mengenal a, b, c, d. Yang ada simbol. Waktu
itu, kata “Allah”, “Mohamad”, “Quran”, belum ada simbolnya dalam hanzi.
Lalu bagaimana mendakwahkan nama-nama itu kalau hurufnya saja belum
ada? Belum lagi kalau harus bicara “fikih”, “tauhid”, dan seterusnya.
Bagaimana menjelaskannya? Terlalu rumit bagi mereka.
Saya pernah baca buku yang aslinya terbit beberapa ratus tahun lalu.
Buku itu mengisahkan betapa sulitnya membawa Islam ke Tiongkok. Begitu
sulit menjelaskan apa itu Islam, dan harus bagaimana hidup secara Islam.
Sampai-sampai, ulama saat itu mengambil jalan tengah: Pokoknya, Islam
itu sama dengan Konghuchu. Dalam segala hal sama. Hanya plus iman dan
minus babi!
Karena itu, biarpun di restoran Islam, Anda akan melihat begitu banyak bir dijual dan diminum. Pada hari kedua, saya memutuskan pergi ke tengah gurun pasir.
Kebetulan, saya sudah punya teman yang cocok untuk itu. Saya ingin
melihat “perkebunan” pembangkit listrik tenaga angin, dan dia ingin
membanggakannya. Teman itulah memang yang terlibat dalam pembangunannya.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment