Gaya Kepemimpinan Tenang, Dunia Usaha Senang
Presiden baru sudah resmi terpilih. Gaya kepemimpinannya pun sudah
lama kita tahu. Kalau toh masih ada pertanyaan: mungkinkah gaya asli SBY
itu akan berubah?
Kemungkinan pertama: tidak berubah. Itu bukan lagi sekadar gaya, tapi sudah karakternya. Bisa jadi SBY berpendapat bahwa apa yang dia miliki itu sudah benar. Untuk apa lagi harus berubah. Buktinya, rakyat menyenangi dan memilihnya.
Kemungkinan pertama: tidak berubah. Itu bukan lagi sekadar gaya, tapi sudah karakternya. Bisa jadi SBY berpendapat bahwa apa yang dia miliki itu sudah benar. Untuk apa lagi harus berubah. Buktinya, rakyat menyenangi dan memilihnya.
Kemungkinan kedua: SBY berubah. Gencarnya kampanye JK yang
mencitrakan SBY itu lambat dan peragu mungkin saja dia renungkan
dalam-dalam dan siapa tahu kemudian dia diam-diam setuju bahwa negeri
ini memerlukan percepatan pembangunan. Tapi, kemungkinan ini sangat
kecil terjadi, mengingat dia sendiri selalu mengatakan untuk apa cepat
tapi keliru. Ingat reaksi dia yang sangat cepat setelah meletusnya bom
JW Marriott dan Ritz-Carlton?
Walhasil, kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa kita akan memasuki
situasi lima tahun ke depan kurang lebih sama dengan apa yang sudah
kita alami selama ini. Ini ada baiknya juga agar kita tidak perlu
terkaget-kaget menghadapi perubahan.
Bagaimana dengan berubahnya posisi wakil presiden dari Jusuf Kalla ke
Boediono? Adakah berpengaruh pada gaya kepemimpinan nasional? Hampir
dipastikan tidak. Bahkan, mestinya, nuansa kepemimpinan nasional akan
lebih adem-ayem, kurang berwarna, dan jauh dari kejutan-kejutan.
Memang kita masih harus menunggu susunan kabinet baru. Siapa tahu banyak
kejutan. Tapi, tidak juga. Kalau toh akan ada sedikit kejutan, hanya
pada pemilihan orangnya. Tidak akan pada tindakan dan kebijaksanaan yang
akan dilakukan anggota kabinet itu. Susunan kabinet SBY-Boediono ini
nanti tentu lebih ‘disiplin tegak lurus’. Para menteri akan antre minta
petunjuk untuk melahirkan suatu keputusan penting.
Dengan gambaran itu, rasanya kita sudah bisa memperkirakan bahwa
pemerintahan yang akan datang adalah pemerintahan yang berjalan dengan
prinsip bahwa segala sesuatunya sesuai saja dengan peraturan. Setiap
pikiran baru harus bersabar untuk menunggu sampai peraturannya berubah
dulu. Terobosan akan menjadi barang yang langka dalam lima tahun
mendatang.
Apakah dengan demikian keadaan negara kita akan sangat stabil selama
lima tahun ke depan? Secara internal ya. Sayangnya, kita selalu punya
faktor eksternal yang di luar kontrol pemerintah: bencana alam, bencana
politik, bencana terorisme, bencana krisis global, dan bencana harga
minyak dunia. Ketika SBY baru terpilih lima tahun lalu, dia langsung
disambut tsunami di Aceh yang dahsyat. Lalu, disusul banyak bencana alam
lainnya.
Memang, tsunami Aceh, di samping membawa kesulitan besar, juga membawa
kebaikan besar: terselesaikannya konflik di Aceh. Tapi, bencana yang
berurutan terjadi setelah itu hanya lebih banyak menyusahkan. Kita tidak
tahu apakah masih akan ada rangkaian bencana lagi di depan kita. Yang
jelas, begitu quick count menyatakan SBY terpilih kembali jadi presiden,
terjadilah peledakan hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta.
Mengait-ngaitkan bom itu dengan SBY sebenarnya terlalu dicari-cari.
Kategorinya hanya rumor, desas-desus, dan bahkan bisa cenderung fitnah.
Tapi, seperti juga tsunami, kita juga berharap bom Marriott dan
Ritz-Carlton bisa membawa berkah yang lain: terbongkarnya seluruh
jaringan terorisme di Indonesia.
Dengan gambaran-gambaran internal dan eksternal seperti itu, adakah
dalam lima tahun ke depan Indonesia maju pesat? Ataukah hanya akan
“sekadar” cukup maju? Atau bahkan akan mundur?
Kalau mundur, sudah pasti tidak. Kematangan bangsa Indonesia sudah
sampai pada tingkat tidak mau lagi mundur. Siapa pun presiden yang
terpilih. Proses demokrasi yang keras telah menciptakan situasi bahwa
orang tidak boleh lagi tidak maju. Pilihannya tinggal “maju pesat” dan
“cukup maju” saja.
Agar tidak terjadi kekecewaan yang meluas, sebaiknya semua orang
menyiapkan mental bahwa Indonesia akan “cukup maju” saja. Jangan terlalu
berharap bahwa Indonesia akan “maju pesat”. Harus kita syukuri bahwa
“cukup maju” adalah satu keberuntungan yang hebat. Kalau ternyata
Indonesia bisa “maju pesat”, anggap saja kita semua mendapat “bonus”.
Dengan demikian, kita bisa hidup lebih bahagia. Sebab, menurut pendapat
saya, bahagia adalah “apa yang kita dapatkan lebih baik dari yang kita
harapkan”.
Untuk sekadar bisa mengharap “cukup maju” pun ada syaratnya. Rakyat
sebaiknya segera melupakan pemilu, melupakan politik, dan melupakan
bahwa pernah ada tokoh-tokoh yang membuat janji-janji kampanye. Kita
harus tahu bahwa janji kampanye adalah bukan program. Maka, jangan
gantungkan nasib kita masing-masing kepada janji-janji itu.
Juga, jangan pedulikan ini: siapa jadi siapa. Toh, mereka juga tidak
akan bisa membawa nasib kita masing-masing menjadi langsung lebih baik.
Yang bisa membuat nasib kita baik adalah kita sendiri. Maka, sebaiknya
yang sudah bekerja segera meneguhkan diri untuk kembali bekerja secara
tekun dan fokus pada profesinya.
Yang belum bekerja segera menentukan sikap: apakah akan terus mencari
pekerjaan atau harus segera berusaha sendiri, meski dengan susah payah
dan dengan skala yang amat kecil. Pada akhirnya, diri masing-masinglah
yang akan menyelamatkan masing-masing: bukan partai, bukan politikus,
dan bukan pejabat pemerintah.
Bagi pengusaha, segera lupakan pikiran “wait and see”. Lupakan
keinginan untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, stimulus, insentif,
atau koneksi. Zaman sudah berubah: daripada untuk menyogok, lebih baik
uang dipakai untuk menaikkan gaji buruh. Yakinlah bahwa Indonesia “siapa
pun presidennya” akan terus maju, sehingga kalau seorang pengusaha
tidak maju, maka dia akan ketinggalan dari kemajuan itu sendiri.
Dengan gaya kepemimpinan nasional seperti yang akan terjadi lima
tahun mendatang, kita sudah tahu bahwa meski pemerintah tidak akan bisa
banyak membantu, tapi juga tidak akan banyak mengganggu. Berarti, maju
tidaknya dunia usaha kini sepenuhnya ada di tangan para pengusaha
sendiri.
Dengan gaya kepemimpinan nasional yang tenang, seharusnya dunia usaha
senang karena pada dasarnya dunia usaha menyenangi stabilitas. Apalagi,
dunia usaha di Indonesia sebenarnya sudah sampai pada tingkat “tidak
perlu dibantu” asal “jangan diganggu”. Bahkan persyaratan “jangan
diganggu” lebih penting daripada “harus dibantu”.
Untuk lima tahun ke depan ini, dunia usaha sudah akan cukup senang
kalau pemerintah bisa menciptakan keamanan yang baik, peraturan tidak
berubah-ubah, kurs rupiah stabil “berapa pun nilainya?, dan sampai
ketemu di pemilu yang akan datang. Tertangkapnya teroris, berkurangnya
perampokan, dan tidak adanya kerusuhan adalah tiga tugas utama SBY untuk
pengusaha. SBY pasti mampu melakukannya. Sedangkan kurs yang stabil,
Boediono jagonya. Hanya empat itu tugas utama pemerintah yang diharapkan
dari rakyat “tiga tugas SBY dan satu tugas Boediono. Selebihnya, kini
pengusaha sudah bisa maju sendiri.
Pengusaha (sektor swasta) yang “sudah bisa maju sendiri” itulah yang
akan membuat lima tahun lagi pendapatan rakyat Indonesia menjadi USD
4.000/kapita. Bayangkan, alangkah hebatnya! (***)
No comments:
Post a Comment