Monday, July 27, 2009

Gaya Kepemimpinan Tenang, Dunia Usaha Senang

Senin, 27 Juli 2009
Gaya Kepemimpinan Tenang, Dunia Usaha Senang

Presiden baru sudah resmi terpilih. Gaya kepemimpinannya pun sudah lama kita tahu. Kalau toh masih ada pertanyaan: mungkinkah gaya asli SBY itu akan berubah?

Kemungkinan pertama: tidak berubah. Itu bukan lagi sekadar gaya, tapi sudah karakternya. Bisa jadi SBY berpendapat bahwa apa yang dia miliki itu sudah benar. Untuk apa lagi harus berubah. Buktinya, rakyat menyenangi dan memilihnya.

Kemungkinan kedua: SBY berubah. Gencarnya kampanye JK yang mencitrakan SBY itu lambat dan peragu mungkin saja dia renungkan dalam-dalam dan siapa tahu kemudian dia diam-diam setuju bahwa negeri ini memerlukan percepatan pembangunan. Tapi, kemungkinan ini sangat kecil terjadi, mengingat dia sendiri selalu mengatakan untuk apa cepat tapi keliru. Ingat reaksi dia yang sangat cepat setelah meletusnya bom JW Marriott dan Ritz-Carlton?

Walhasil, kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa kita akan memasuki situasi lima tahun ke depan kurang lebih sama dengan apa yang sudah kita alami selama ini. Ini ada baiknya juga agar kita tidak perlu terkaget-kaget menghadapi perubahan.

Bagaimana dengan berubahnya posisi wakil presiden dari Jusuf Kalla ke Boediono? Adakah berpengaruh pada gaya kepemimpinan nasional? Hampir dipastikan tidak. Bahkan, mestinya, nuansa kepemimpinan nasional akan lebih adem-ayem, kurang berwarna, dan jauh dari kejutan-kejutan.

Memang kita masih harus menunggu susunan kabinet baru. Siapa tahu banyak kejutan. Tapi, tidak juga. Kalau toh akan ada sedikit kejutan, hanya pada pemilihan orangnya. Tidak akan pada tindakan dan kebijaksanaan yang akan dilakukan anggota kabinet itu. Susunan kabinet SBY-Boediono ini nanti tentu lebih ‘disiplin tegak lurus’. Para menteri akan antre minta petunjuk untuk melahirkan suatu keputusan penting.

Dengan gambaran itu, rasanya kita sudah bisa memperkirakan bahwa pemerintahan yang akan datang adalah pemerintahan yang berjalan dengan prinsip bahwa segala sesuatunya sesuai saja dengan peraturan. Setiap pikiran baru harus bersabar untuk menunggu sampai peraturannya berubah dulu. Terobosan akan menjadi barang yang langka dalam lima tahun mendatang.

Apakah dengan demikian keadaan negara kita akan sangat stabil selama lima tahun ke depan? Secara internal ya. Sayangnya, kita selalu punya faktor eksternal yang di luar kontrol pemerintah: bencana alam, bencana politik, bencana terorisme, bencana krisis global, dan bencana harga minyak dunia. Ketika SBY baru terpilih lima tahun lalu, dia langsung disambut tsunami di Aceh yang dahsyat. Lalu, disusul banyak bencana alam lainnya.

Memang, tsunami Aceh, di samping membawa kesulitan besar, juga membawa kebaikan besar: terselesaikannya konflik di Aceh. Tapi, bencana yang berurutan terjadi setelah itu hanya lebih banyak menyusahkan. Kita tidak tahu apakah masih akan ada rangkaian bencana lagi di depan kita. Yang jelas, begitu quick count menyatakan SBY terpilih kembali jadi presiden, terjadilah peledakan hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta.

Mengait-ngaitkan bom itu dengan SBY sebenarnya terlalu dicari-cari. Kategorinya hanya rumor, desas-desus, dan bahkan bisa cenderung fitnah. Tapi, seperti juga tsunami, kita juga berharap bom Marriott dan Ritz-Carlton bisa membawa berkah yang lain: terbongkarnya seluruh jaringan terorisme di Indonesia.

Dengan gambaran-gambaran internal dan eksternal seperti itu, adakah dalam lima tahun ke depan Indonesia maju pesat? Ataukah hanya akan “sekadar” cukup maju? Atau bahkan akan mundur?

Kalau mundur, sudah pasti tidak. Kematangan bangsa Indonesia sudah sampai pada tingkat tidak mau lagi mundur. Siapa pun presiden yang terpilih. Proses demokrasi yang keras telah menciptakan situasi bahwa orang tidak boleh lagi tidak maju. Pilihannya tinggal “maju pesat” dan “cukup maju” saja.

Agar tidak terjadi kekecewaan yang meluas, sebaiknya semua orang menyiapkan mental bahwa Indonesia akan “cukup maju” saja. Jangan terlalu berharap bahwa Indonesia akan “maju pesat”. Harus kita syukuri bahwa “cukup maju” adalah satu keberuntungan yang hebat. Kalau ternyata Indonesia bisa “maju pesat”, anggap saja kita semua mendapat “bonus”. Dengan demikian, kita bisa hidup lebih bahagia. Sebab, menurut pendapat saya, bahagia adalah “apa yang kita dapatkan lebih baik dari yang kita harapkan”.

Untuk sekadar bisa mengharap “cukup maju” pun ada syaratnya. Rakyat sebaiknya segera melupakan pemilu, melupakan politik, dan melupakan bahwa pernah ada tokoh-tokoh yang membuat janji-janji kampanye. Kita harus tahu bahwa janji kampanye adalah bukan program. Maka, jangan gantungkan nasib kita masing-masing kepada janji-janji itu.

Juga, jangan pedulikan ini: siapa jadi siapa. Toh, mereka juga tidak akan bisa membawa nasib kita masing-masing menjadi langsung lebih baik. Yang bisa membuat nasib kita baik adalah kita sendiri. Maka, sebaiknya yang sudah bekerja segera meneguhkan diri untuk kembali bekerja secara tekun dan fokus pada profesinya.

Yang belum bekerja segera menentukan sikap: apakah akan terus mencari pekerjaan atau harus segera berusaha sendiri, meski dengan susah payah dan dengan skala yang amat kecil. Pada akhirnya, diri masing-masinglah yang akan menyelamatkan masing-masing: bukan partai, bukan politikus, dan bukan pejabat pemerintah.

Bagi pengusaha, segera lupakan pikiran “wait and see”. Lupakan keinginan untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, stimulus, insentif, atau koneksi. Zaman sudah berubah: daripada untuk menyogok, lebih baik uang dipakai untuk menaikkan gaji buruh. Yakinlah bahwa Indonesia “siapa pun presidennya” akan terus maju, sehingga kalau seorang pengusaha tidak maju, maka dia akan ketinggalan dari kemajuan itu sendiri.

Dengan gaya kepemimpinan nasional seperti yang akan terjadi lima tahun mendatang, kita sudah tahu bahwa meski pemerintah tidak akan bisa banyak membantu, tapi juga tidak akan banyak mengganggu. Berarti, maju tidaknya dunia usaha kini sepenuhnya ada di tangan para pengusaha sendiri.

Dengan gaya kepemimpinan nasional yang tenang, seharusnya dunia usaha senang karena pada dasarnya dunia usaha menyenangi stabilitas. Apalagi, dunia usaha di Indonesia sebenarnya sudah sampai pada tingkat “tidak perlu dibantu” asal “jangan diganggu”. Bahkan persyaratan “jangan diganggu” lebih penting daripada “harus dibantu”.

Untuk lima tahun ke depan ini, dunia usaha sudah akan cukup senang kalau pemerintah bisa menciptakan keamanan yang baik, peraturan tidak berubah-ubah, kurs rupiah stabil “berapa pun nilainya?, dan sampai ketemu di pemilu yang akan datang. Tertangkapnya teroris, berkurangnya perampokan, dan tidak adanya kerusuhan adalah tiga tugas utama SBY untuk pengusaha. SBY pasti mampu melakukannya. Sedangkan kurs yang stabil, Boediono jagonya. Hanya empat itu tugas utama pemerintah yang diharapkan dari rakyat “tiga tugas SBY dan satu tugas Boediono. Selebihnya, kini pengusaha sudah bisa maju sendiri.

Pengusaha (sektor swasta) yang “sudah bisa maju sendiri” itulah yang akan membuat lima tahun lagi pendapatan rakyat Indonesia menjadi USD 4.000/kapita. Bayangkan, alangkah hebatnya! (***)

No comments:

Post a Comment