Kejutan Siasat Memutar Demokrat ke PDIP
Langkah Partai Demokrat ini mengejutkan. Setidaknya tak
disangka-sangka. Juga seperti tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun
sebelumnya. Mengajak PDI-Perjuangan untuk berkoalisi sama sekali di luar
angan-angan siapa pun.
Kemenangannya yang besar, banyaknya partai yang langsung menyatakan
bergabung kepadanya dan kenaikan drastis popularitasnya, membuat satu
kesimpulan bahwa SBY akan dengan mudah mengepung, menjepit, dan
mengalahkan Megawati.
Sejak awal di masyarakat memang sudah terbentuk persepsi, bahwa lawan
SBY hanyalah Megawati. Ini karena sejak awal Megawati sudah bertekad
untuk maju melawan SBY, dan sejak awal pula memang terkesan hanya
Megawatilah yang mampu melawan SBY.
JK tidak pernah masuk hitungan antara lain karena sejak awal JK sudah
memosisikan diri untuk jadi calon wapres saja. Termasuk terkesan tidak
mau membesarkan Golkar, agar mempermudah dirinya untuk hanya menjadi
cawapres. Bahkan banyak kalangan dekat JK yang secara guyon menyatakan
ketakutannya jangan-jangan Golkar menang pemilu dan akibat kemenangan
itu JK harus menjadi calon presiden. Sampai-sampai iklan-iklan Golkar
dan pencitraan JK baru gencar di hari-hari akhir menjelang pemilu.
Maka, sejak awal akan dianggap aneh kalau Partai Demokrat akan
menggandeng PDI-Perjuangan. Bahwa, hari-hari ini partai pemenang Pemilu
itu menjalin kontak intensif dengan PDI-Perjuangan, siapa yang sangka”
Persis seperti tidak tersangkanya pembalap yang sedang cepat-cepatnya
melaju di jalur lurus mendekati finis tiba-tiba harus menikung dan
memutar balik.
Seolah-olah ada teriakan peringatan dari tribun yang membuat sang
pembalap harus menoleh: hati-hati, ada koalisi besar! Bergabungnya
Golkar dan PDI-Perjuangan dalam koalisi besar ini rupanya tidak boleh
diabaikan. Apalagi kenyataan berbicara meski sudah begitu banyak partai
yang bergabung ke SBY, jumlah kursi di DPR belum mencapai 50 persen.
Rupanya dari sinilah Demokrat termakan oleh isu koalisi besar. Lalu
muncul pikiran apa salahnya mencoba “memecah” koalisi besar itu. Bahkan
apa salahnya kalau wakil presiden pasangan SBY adalah orang
PDI-Perjuangan meski itu tidak harus Megawati. Munculnya nama Boediono
sebagai cawapres rasanya bermula dari sini. Apakah mantan Menko Ekuin
yang kini menjabat gubernur Bank Indonesia itu orang PDI-Perjuangan”
Setidaknya Boediono adalah “anak pilih” Megawati. Boediono bisa menjadi
tokoh nasional ketika Megawati sebagai presiden mengangkatnya sebagai
menteri keuangan yang berhasil. Boediono bisa dianggap sebagai “anak
Megawati” sendiri.
Meski mengejutkan, ide mengajak PDI-Perjuangan itu tentu harus
dinilai sangat cerdas. Juga ide yang bisa memberikan pendidikan politik
bahwa di zaman seperti ini fanatik itu tidak diperlukan. Di politik itu
apa pun mungkin saja terjadi. Koalisi yang sudah ada, kalau ditambah
PDI-Perjuangan tentu amat sempurna bagi SBY: tidak hanya mencapai
cita-cita jadi presiden tapi juga menguasai parlemen. Dengan kondisi
seperti itu keinginan apa pun akan bisa dicapai dengan lebih mudah.
Termasuk, mestinya, keinginan untuk membuat Indonesia lebih maju. Kalau
toh partai-partai kecil anggota koalisi “ngambek” tidak banyak
berpengaruh. Penguasaan kursi dua partai ini (PD 148 dan PDIP 93) sudah
mencapai 42 persen dari 560 kursi parlemen.
Kalangan intern PDI-Perjuangan kelihatannya juga sudah mulai menerima
ide ini. Apalagi koalisi ini tentu memberikan kesempatan pada
kader-kader PDI-Perjuangan untuk duduk di kabinet dalam jumlah yang
besar. Sebuah kesempatan untuk menyiapkan kader-kader partai menjadi
pimpinan puncak negara kalau kelak PDI-Perjuangan menang Pemilu.
Tentu bisa saja ada motif lain yang sifatnya lebih pragmatis: sudah
lelah jadi oposisi. Apa salahnya sekali-kali ikut jadi penguasa. Dan
koalisi besar langsung berubah menjadi koalisi gemuk “di pihak yang
berbeda.
Untuk merealisasikan koalisi gemuk ini tentu masih harus ada kata
putus dari tokoh sentral PDI-Perjuangan Megawati: mau atau tidak. Ini
tidak mudah meski juga bukan berarti tidak mungkin. Semua orang sudah
mencatat bahwa dalam hal ini Megawati sangat keras. Dan dia sangat
bangga dengan kekerasan hatinya itu. Jangankan berkoalisi, bertemu saja
tidak mau.
Tapi, siapa tahu realitas hasil pemilu ini mampu menyadarkan dirinya.
Atau, siapa tahu masih ada orang yang bisa meluluhkan hatinya, meski
suaminya sendiri pun tidak akan bisa melunakkan kekerasan hatinya.
Konon, ketika sang suami sakit dan dijenguk oleh SBY, sang isteri keluar
ruangan hanya beberapa menit sebelum SBY masuk. Sampai-sampai sang
suami (yang Palembang) pernah guyon mengenai isterinya yang Jawa itu:
apakah orang Jawa memang begitu?
Meski demikian bukan berarti tidak ada tanda-tanda Megawati mau
melunak. Lihatlah apa yang terjadi Minggu lalu ketika Megawati sudah mau
menerima kedatangan Mensesneg Hatta Radjasa di rumahnya. Ini tentu
kemajuan besar mengingat Hatta adalah orang kepercayaan SBY.
Apalagi pembicaraan itu sampai satu jam. Tidak mungkin waktu selama itu
hanya untuk membicarakan serah terima rumah dinas. Waktu satu jam
cukuplah untuk membicarakan berapa kursi menteri yang akan didapat
PDI-Perjuangan di kabinet kelak. Termasuk siapa tahu cukup untuk
membicarakan bagaimana Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) bisa bekerja sama
secara harmonis dengan Puan Maharani Megawati ketika dua-duanya sudah
dilantik menjadi anggota DPR dengan sejarah kehebatan masing-masing:
peraih suara terbanyak pertama dan kedua se-Indonesia.
Maka fokus perhatian hari-hari menjelang batas waktu pendaftaran
calon presiden yang tinggal lima hari lagi ini adalah Megawati. Lebih
fokus lagi: hatinya Megawati. Tetap keraskah” Melunakkah” Bisa jadi
tanggal 12 besok dia melunak, lalu tanggal 13 mengeras, tanggal 14
melunak lagi, tanggal 15 pagi mengeras lagi dan tanggal 15 siang melunak
kembali. Drama akan menegangkan sampai tanggal 15 siang itu: saat
capres SBY harus menggandeng calon wakilnya ke KPU untuk mendaftarkan
diri keesokan harinya.
Siapa tahu Megawati mulai mempertimbangkan betapa banyak kadernya
yang sudah lama mimpi kekuasaan dan kini ada peluang untuk mencapainya.
Apalagi, siapa tahu Megawati juga berpikir alangkah hebatnya Indonesia
kalau dipimpin oleh seorang presiden yang dalam pemilu menang mutlak
dalam satu putaran dan di parlemen selalu didukung oleh koalisi gemuk.
Bahkan siapa tahu Golkar (setelah menyingkirkan JK dalam Munas yang
akan datang) juga tertarik sekalian untuk bergabung ke koalisi gemuk
dengan tawaran jatah menteri tertentu lagi. Dan siapa tahu, ya sudahlah,
untuk apa ada tiga partai besar. Satu sajalah. Semua bergabung ke
dalamnya di bawah satu kepemimpinan SBY.
Indonesia pun akan bisa seperti yang diharapkan, meski kenyataan tidak akan selalu bisa sebagus yang diinginkan.(*)
No comments:
Post a Comment