Thursday, March 11, 2010

Test Debaran Jantung dari Listrik Medan

11 Maret 2010
Test Debaran Jantung dari Listrik Medan

Benarkah PLN masih punya utang kepada PT Inalum? Sehingga PT Inalum tidak mau ”meminjamkan” sejumlah listriknya ke PLN untuk diteruskan kepada masyarakat Sumut?

Pertanyaan itu datang dari seorang anggota DPRD Sumut di sela-sela pertemuan mereka dengan Direksi PLN di Jakarta dua pekan lalu. Saya tidak bisa langsung menjawab. Ini persoalan utang-piutang. Ini persoalan uang. Saya harus mengeceknya secara benar.

Kalau saya salah menjawab bisa panjang akibatnya. Apalagi menyangkut kebutuhan listrik masyarakat Medan yang lagi dalam keadaan gawat saat itu. Waktu itu tiap hari terjadi pemadaman yang sangat gawat di Medan. Kalau sampai benar bahwa PT Inalum tidak mau “meminjamkan” sejumlah listriknya  gara-gara PLN masih punya utang puluhan miliar, tentu dosa PLN kepada masyarakat Sumut kian menggunung.

Hasil pengecekan saya, puji Tuhan, negatif. Artinya PLN sedang dalam posisi tidak punya utang ke PT Inalum. Di masa lalu memang biasa PLN punya utang ke PT Inalum atau PT Inalum punya utang kepada PLN. Ini urusan transaksi listrik biasa saja. Kadang PLN ikut memakai listrik dari Inalum, kadang pula Inalum memakai listrik dari PLN. Lalu, setiap akhir bulan ada itung-itungan siapa punya utang dan siapa yang punya piutang.

Kalau memang begitu, mengapa Inalum tidak bisa “meminjamkan” sebagian listrik produksinya (dari bendungan Asahan 2) kepada PLN untuk rakyat Medan? Bahkan sampai-sampai Gubernur Sumut sendiri Syamsul Arifin mendesakkannya?

Alasannya: di Asahan 2 sedang diadakan perbaikan. Asahan 2 tidak punya kelebihan listrik yang bisa dialir-pinjamkan ke PLN.

Benarkah alasan itu? Ada benarnya, ada tidaknya. Saya sudah mendiskusikannya secara khusus dengan salah seorang direktur PLN yang selama ini dikenal sebagai ketua tim taskforce  penanggulangan krisis listrik Sumut: Vickner Sinaga. Dari sini bisa diketahui bagaimana duduk persoalan sebenarnya.

Seperti diketahui, Asahan-2 mampu memproduksi listrik sangat-sangat besar: 630 MW lebih! Tapi sesuai perjanjian dengan Jepang hampir 30 tahun yang lalu, listrik itu memang khusus untuk menghidupkan pabrik alumunium PT Inalum. Perjanjian itu baru akan berakhir dua tahun lagi, 2013.

Sesuai dengan perjanjian pula, ketika dikembalikan ke pemerintah Indonesia kelak, pembangkit listrik itu harus dalam keadaan baik. Itulah sebabnya, sisa dua tahun ini dipergunakan untuk perbaikan 8 turbin yang ada.

Kedelapan turbin itu diatur secara berpasang-pasangan. Ada empat unit di PLTASigura-gura (atas) dan empat unit di PLTA Tangga (bawah). Dengan demikian mula-mula air Danau Toba dialirkan ke Sigura-gura untuk dipakai memutar ke empat  turbin atas. Setelah melewati turbin itu, air tersebut akan menggerojok lagi ke bawah dan bisa menggerakkan empat turbin yang di Tangga.

Maka ketika, katakanlah, salah satu turbin “atas” (Sigura-gura) diperbaiki, saluran air yang menuju turbin ini dimatikan. Akibatnya satu turbin pasangannya yang berada di bawah (Tangga) ikut dimatikan. Ini karena akibat satu saluran tadi dimatikan, maka airnya hanya cukup untuk 3 turbin tapi tidak cukup untuk 4 turbin di bawahnya. Karena itu meski yang diperbaiki saat ini hanya satu turbin (70 MW), namun yang mati dua turbin (140 MW). Demikian sebaliknya, jika satu unit di Tangga (bawah) diperbaiki, maka satu turbin di Sigura-gura dimatikan.

“Teori” inilah yang oleh teman-teman PLN di Medan dicoba diubah. Terutama di saat krisis listrik melanda Medan dengan hebatnya seperti yang terjadi sampai bulan lalu itu. Sampai-sampai Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI asal Sumut, Effendi Simbolon selalu mempersoalkannya. Menurut Vickner Sinaga, meski turbin yang atas sedang diperbaiki, mestinya aliran airnya jangan dimatikan. Air itu bisa dibelokkan untuk masuk ke saluran yang menuju turbin bawah. Dengan demikian turbin yang bawah tetap bisa menghasilkan listrik.

Hanya saja pihak Asahan-2 tidak mau menggunakan cara seperti itu. Pihak Asahan-2 punya prinsip bahwa air Danau Toba sangat berharga. Harus dipakai secara maksimal. Kalau dengan air yang sama bisa menghasilkan 140 MW mengapa hanya dipakai untuk menghasilkan separonya? Prinsip tersebut dilihat dari segi keekonomian memang benar.

Tapi apakah pihak Asahan-2 harus membeli air Danau Toba itu dengan mahalnya sehingga harus mempunyai perhitungan yang begitu njelimet? Bukankah Asahan-2 juga mendapat “sumbangan” gratis dari bendungan Renun milik PLN yang ada di atas Danau Toba? Di Renun ini air sungai yang sudah dipakai menggerakkan turbin PLN mestinya terbuang ke Samudera Hindia. Tapi, demi Asahan, PLN membangun infrastruktur khusus agar air tersebut bisa masuk ke Danau Toba. Maksudnya agar air Danau Toba bisa lebih banyak dan bisa menambah pasok air untuk Asahan-2.

Dengan gambaran seperti ini maka layak kalau sejak dulu PLN sesekali juga minta pengertian: kalau Asahan-2 hanya memperbaiki satu turbin, mengapa harus dua turbin yang mati? Pertanyaan itu kini tidak relevan lagi. Pihak Asahan-2 sudah memenuhi permintaan Gubernur Sumut yang heroik itu. Sejak pekan lalu PLN sudah mendapat kiriman listrik dari Asahan-2 sekitar 60 MW. Terutama pada beban puncak malam hari (6 jam) dan selalu dibayar oleh PLN pada siang harinya.

Maka kalau sejak pekan lalu pemadaman di Medan dan Sumut tidak parah lagi, itu antara lain karena adanya sumbangan Asahan-2 tersebut. Selebihnya karena nasib PLN di Medan memang sudah lebih baik. Dua pekan lalu sudah ada tambahan daya dari dua jurusan sekaligus: perbaikan GT1.2 Belawan yang molor sampai 4 bulan itu akhirnya bias selesai. Bersamaan dengan itu pemasangan pembangkit baru di Lot 3 Belawan juga selesai.

Tapi bukan berarti Medan sudah bisa tenang. Kondisi listrik di Medan sekarang ini masih pas-pasan. Inilah yang membuat jantung saya dan teman-teman PLN Medan terus dag-dig-dug. Kalau ada satu saja pembangkit yang rewel, posisi pas-pasan tadi menjadi defisit. Karena itu, permintaan sambungan baru dan penambahan daya masih belum bisa dilayani.

Yang bisa dilayani hanyalah rumah sangat sederhana yang dibangun anggota REI. Untuk rumah sangat sederhana ini, di seluruh Indonesia, PLN baru saja memberikan komitmen khusus: harus diberi listrik. Kalau perlu dengan mengurangi listrik di kantor dan rumah para pegawai PLN!

Ancaman pemadaman masih terus mengintai Medan. Pekan lalu, misalnya, nasib listrik di Medan kembali diuji Masyarakat Medan tentu tidak tahu bahwa pekan lalu sebenarnya pekan yang “mendebarkan”. Yakni ketika diadakan pengecekan, ternyata pembangkit GT2.2 Belawan sebenarnya sudah waktunya harus dihentikan.

“Jam beroperasinya habis. Bahkan sudah lewat. Kalau tidak dihentikan bahaya,” lapor Ikuten Sinulingga, GM Pembangkitan Sumbagut kepada saya. Mesin itu, seharusnya memang sudah harus dihentikan setelah beroperasi 100.000 jam. Padahal GT2.2 hari itu sudah beroperasi 123.000 jam!

Perdebatan seru dilakukan: dihentikan atau tidak. Kesimpulan diskusi sebenarnya jelas: harus dihentikan. Kalau tidak, benar-benar bahaya. Bisa meledak dan menghancurkan pembangkit-pembangkit sebelahnya. Pertanyaan besarnya: setelah dihentikan dan mesin dibuka, bagaimanakah kira-kira keadaan “pedalaman” mesin GT2.2 itu? Sudah parahkah gara-gara dipaksa jalan 123.000 jam? Kalau parah, berapa lama memakan waktu untuk perbaikannya? Empat bulan lagi? Seperti GT1.2 lagi? Haruskah Medan gelap lagi empat bulan?

Maka sambil membuka mesin GT2.2 doa pun dikumandangkan: mudah-mudahan Tuhan menyayangi masyarakat Medan. Mudah-mudahan mesin itu baik-baik saja dan bisa segera dijalankan lagi. Ternyata Tuhan benar-benar menyayangi masyarakat Medan kali ini. Setelah dilakukan pemeriksaan selama dua hari, para “internist” PLN bisa menarik nafas panjang: mesin GT2.2 dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan masih boleh dijalankan lagi untuk 7.000 jam berikutnya. Berarti mesin itu masih akan baik-baik saja sampai tujuh bulan ke depan.

Dengan perasaan lega, mesin ditutup lagi. Tepat Minggu dini hari pekan lalu, mesin GT2.2 berjalan normal lagi. Itulah sebabnya mengapa di Medan tidak ada pemadaman sejak dua pekan terakhir. Tentu masih harus lebih banyak doa lagi agar nyala itu bisa langgeng sampai kapan pun.

Tapi bagaimanakah keadaan tujuh bulan lagi? Ketika GT2.2 sudah waktunya mau tidak mau harus turun mesin?

Mestinya sudah tidak akan ada masalah. Pada saat itu nanti Asahan I yang lebih besar dari GT2.2 sudah beroperasi. Demikian juga PLTU Labuhan Angin yang sekarang masih angin-anginan itu tentu sudah selesai “dibedah” total. Tapi untuk bisa mengatakan Medan aman seaman-amannya memang harus menunggu tahun depan ketika PLTU Pangkalan Susu dan PLTU Meulaboh beroperasi.

Begitulah. Selama dua bulan menjadi Dirut PLN, tidak ada masalah lain yang membuat debaran jantung saya kerasnya melebihi memikirkan listrik di Medan ini! (*)

No comments:

Post a Comment