Senin, 04 Juni 2012, 00:48:00
Tekad Baru: Hidup yang Polos - Polos Saja
Manufacturing Hope 29
SAYA tidak menyangka persoalan seperti utang negara, impor
garam, dan sulitnya swasembada gula sudah menjadi bisik-bisik tetangga di desa.
Padahal, desa ini berada di lereng Gunung Ciremai nun di Kabupaten Kuningan,
Jabar. Saya beruntung Jumat malam lalu bisa bermalam di Desa Bunigeulis dan
berdialog dengan ratusan penduduk setempat.
Mengapa penduduk desa sampai gelisah dan pusing memikirkan
utang negara? Bahkan impor garam? Ternyata ada virus yang menjalar cepat: virus
informasi setengah matang. Mereka hanya tahu sepotong tentang utang negara:
jumlahnya yang meningkat.
Saya minta seorang peserta dialog untuk berdiri. Saya ajukan
pertanyaan padanya: baik mana, Anda punya utang Rp 8 juta tapi kekayaan Anda Rp
10 juta atau Anda punya utang Rp 20 juta tapi kekayaan Anda Rp 100 juta.
Benar bahwa utang itu meningkat, tapi juga benar kekayaannya
meningkat drastis. Inilah yang tidak pernah sampai ke masyarakat. Mungkin
memang tidak sampai, mungkin juga sengaja disembunyikan.
Peserta dialog yang saya minta berdiri itu rupanya seorang
humoris. Dengan nada bergurau dia menjawab, lebih baik kekayaannya meningkat,
tapi tidak punya utang! Ini mah mirip khotbah Jumat yang pernah saya dengar:
semua orang itu inginnya serbaenak. Waktu kecil dimanja, waktu remaja
foya-foya, waktu muda kaya raya, waktu tua sehat bahagia, waktu meninggal masuk
sorga!
Dari dialog di desa malam itu saya melihat penularan hope
kalah cepat dengan penularan pesimisme. Begitu cepat virus pesimisme, sinis,
keluh kesah, dan sebangsanya menjalar ke mana-mana. Ini tentu bahaya, mengingat
hope adalah salah satu faktor utama untuk kemajuan bangsa.
Di sini hope menghadapi persoalan yang sangat berat.
Menularkan pesimisme cukup hanya dengan kata-kata. Modalnya pun hanya gombal.
Sedangkan membangun hope harus dengan kerja nyata plus hasil yang bisa dirasa.
Setiap kesulitan harus diberikan jalan keluar. Setiap kebuntuan harus ada
terobosan. Masyarakat yang ada dalam "kuldesak" yang terlalu lama
hanya akan membuat virus anti kemajuan merajalela.
Serbuan virus hopeless dari kota inilah yang kini harus
dilawan di desa-desa dengan bukti nyata. Karena itu, Bulog, Sang Hyang Sri,
Pertani, Pupuk Indonesia, PT Garam, pabrik-pabrik gula, perhutani, dan banyak
BUMN lainnya tahun ini harus bekerja all-out di lapangan.
Bulog, dengan pasukan semutnya, ternyata bisa. Dalam lima
bulan ini saja Bulog sudah berhasil menghimpun 2 juta ton beras! Prestasi yang
sangat membanggakan. Kerja lima bulan ini sudah sama dengan hasil pengadaan
beras selama dua tahun (2010-2011).
Memang melelahkan. Tapi, itulah harga yang harus dibayar
untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Memang harus muter terus, saya lihat
sampai-sampai Dirut Bulog Sutarto Alimoeso kini ganti sepatu kets, tapi dengan
hasil yang begitu nyata akan menambah kepercayaan diri kita.
Memulai kerja keras memang sangat berat. Tapi, kalau sudah
terbiasa bekerja keras, semua pekerjaan akan menjadi mudah.
Dalam dua minggu ini saya juga sudah berkeliling 14 pabrik
gula di tiga provinsi. Sudah pula tampak perubahan: bukan saja pocong-pocong
sudah bermetamorfosis menjadi "Ayu-ayu Azhari", tapi gigitannya pun
sudah berotot. Semua pabrik gula sudah mampu meningkatkan rendemen awal. Semua
pabrik gula juga sudah berani memberikan jaminan rendemen minimal kepada petani.
Hebatnya lagi, semua pabrik gula juga sudah berani memberikan
uang jaminan kepada petani tebu. Selama ini petani tebu terjerat oleh pedagang
gula. Ini bukan salah si pedagang, tapi karena pabrik gula sendiri yang tidak
berdaya: baru bisa membayar sebulan setelah petani menyerahkan tebunya.
Sebaliknya pabrik-pabrik gula kini juga sudah berani
menerapkan prinsip BSM kepada petani tebu: bersih, segar, manis. Tebu yang
dikirim ke pabrik haruslah tebu yang bersih. Tidak tercampur pucuk-pucuknya,
tanah-tanahnya, dan anakan-anakannya. Tebu itu juga tebu yang segar, yang fresh
from the field.
Dan yang paling penting, tebu yang dikirim ke pabrik adalah
tebu yang sudah cukup manisnya. Jangan menebang tebu sebelum dipastikan
(diperiksa dengan alat pengukur) bahwa tebu tersebut sudah matang kadar
gulanya.
Saya melihat semangat yang tinggi di semua manajer dan
karyawan pabrik gula yang sudah saya kunjungi. Juga semangat untuk
"polos-polos saja". Semula dahi saya mengerut ketika mendengar
istilah "polos-polos saja" itu. Saya tidak mengerti apa maksudnya.
Ternyata itulah tekad baru untuk tidak mempermainkan angka. Angka rendemen,
angka timbangan, angka pupuk, angka tanam, angka angkutan, dan angka-angka yang
menggoda lainnya.
Saya paham, membiasakan diri untuk "polos-polos saja"
juga sangat berat awalnya. Tapi, kalau sudah terbiasa, hidup ini akan
dimudahkan jalannya.
Sang Hyang Sri, Pertani, dan Pupuk Indonesia (Pupuk
Sriwijaya, Petrokimia Gresik, Pupuk Kaltim, dan Pupuk Kujang) juga bisa menjadi
motor besar untuk menggerakkan hope di seantero desa: mendekatkan benih unggul,
pupuk, dan pembasmi hama ke desa-desa. Puluhan ribu kios harus di bangun. Di
mana-mana.
Jangan sampai petani kesulitan mencari pupuk yang akhirnya
mendapat pupuk palsu. Sulit mencari benih unggul yang akhirnya menanam padi
seadanya. Program mendekatkan benih-pupuk ke desa-desa memang akan memakan
waktu, tapi harus istiqamah jalannya.
Garam pun sebenarnya juga penuh dengan hope. Terutama untuk
garam yang dimakan manusia. (Sebagian besar garam diperlukan oleh pabrik
kertas!). Sebetulnya, kalau hanya untuk manusia Indonesia, keperluan garamnya
tidak banyak: 1,4 juta ton per tahun. Kita lebih menyukai yang manis-manis
daripada yang asin-asin.
Saya berterima kasih bahwa Menteri Perindustrian, Bapak M.S. Hidayat,
menemukan cara baru: membranisasi ladang garam. Begitu pentingnya program
membranisasi ini sehingga saya usul ke Pak Hidayat penyertaan modal negara
(PMN) untuk berbagai industri dikurangi saja. Lebih baik dikonsentrasikan untuk
menolong jutaan petani garam di seluruh Indonesia. Triliun rupiah PMN untuk
Merpati, misalnya, hasilnya begitu-begitu saja. Merpati harus dicarikan jalan
sendiri. Jalan korporasi. Bukan jalan subsidi.
Kalau dari sekitar 20.000 hektare ladang garam di seluruh
Indonesia bisa diberikan membran 10 persennya saja, hasilnya bisa mencapai 1,7
juta ton/tahun. Sudah melebihi keperluan garam untuk manusia Indonesia.
Tapi, membeli membran untuk 2.000 ha ladang garam memang
memerlukan biaya besar. Tiap hektare memakan dana Rp 20 juta. Tapi, angka itu
tidak ada artinya jika dibandingkan dengan PMN untuk bidang lain. Padahal,
angka itu begitu besar artinya bagi petani garam. Belum lagi bagi harga diri
bangsa yang selalu dihina dengan kalimat: garam pun harus impor!
Sambil menunggu PMN, saya akan minta bank-bank BUMN untuk
menghitung. Mungkinkah skema kredit dilakukan untuk membranisasi itu. Menurut
hitungan Dirut PT Garam, payback membran ini hanya dua tahun. Berarti petani
garam bisa mengembalikan kredit itu dalam dua tahun. Apalagi kalau diizinkan
menggunakan dana KPBL BUMN untuk membayarkan bunganya. Agar petani garam tidak
dibebani bunga.
Membran adalah sejenis plastik yang dihamparkan di tambak
garam. Dengan dihampari membran, keuntungannya dobel: proses pembuatan garamnya
lebih cepat (air lautnya lebih panas sehingga lebih cepat menguap) dan semua
garamnya menjadi garam kelas satu.
Tanpa membran, lapisan garam yang paling bawah pasti
tercampur tanah dan lumpur. Ini membuat sekian persen garam menjadi garam kelas
tiga. Sulit dijual. Murah pula harganya. Di Madura saja kini ada 350.000 ton
garam jenis ini. Menumpuk. Tidak ada yang beli. Isunya pun negatif: BUMN tidak
mau beli garam rakyat.
Membran adalah hope baru bagi petani garam. Ini juga belum
banyak diketahui.
Selesai salat Jumat di sebuah masjid di pinggir jalan di
Cirebon minggu lalu, ketika mulai mengenakan sepatu DI-19, saya didatangi camat
dan kuwu setempat. Sambil melirik DI-19, Pak Camat mengemukakan bahwa di depan
masjid itu ada aset BUMN yang sudah puluhan tahun menganggur. Itulah bangunan
milik PT Garam yang sudah lama ditinggalkan.
Padahal, ada sekitar 1.000 petani garam di kawasan dekat
masjid itu sampai ke Indramayu. PT Garam sebagai BUMN tidak pernah melakukan
pembelian garam rakyat. Kepada Pak Camat, saya berjanji untuk menelusurinya.
Saya juga bertanya: apakah sudah ada petani garam yang menggunakan membran.
Ternyata belum. Bahkan, kata membran pun baru sekali itu dia dengar.
Sambil mengemudikan mobil ke Pabrik Gula Jatitujuh, saya
hubungi Dirut PT Garam. Benar. Tidak ada pembelian itu. Bahkan sudah sejak
1992. Tapi, PT Garam yang baru mulai tahun ini bisa bernapas sudah bisa
memberikan hope. Tahun ini PT Garam bisa membeli garam rakyat di
Cirebon-Indramayu sebanyak 15.000 ton. Indikasi harganya pun sudah bisa
disebut: Rp 700 hingga Rp 720 per kilogram, bergantung kualitasnya. Ini sudah
lebih baik daripada harga tahun lalu yang Rp 620 per kilogram.
Untuk garam, kawasan Cirebon-Indramayu memang tidak sebagus
Madura. Di Indramayu, petani hanya bisa membuat garam sekitar empat bulan dalam
setahun. Bulan ini, saat Madura sudah bisa menghasilkan garam, Indramayu masih
hujan. Tentu di atas langit masih ada langit. Sebagus-bagus Madura masih lebih
bagus lagi Kupang, NTT. Di sana garam bisa dibuat selama sembilan bulan dalam
setahun!
Hanya belum ada ladang garamnya. PT Garam baru akan ke sana
setelah napasnya genap. Mungkin tahun depan.
Hope memang tidak membuat perut terasa kenyang. Tapi,
hope-lah yang bisa membuat hidup terasa lebih hidup!
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
No comments:
Post a Comment