Bandara Singkawang, Biar Hanya 1.200 Meter
Bercermin Ke Tarakan Dan Singkawang : Giatnya Daerah Untuk Membangun (2)
DALAM bahasa Mandarin Singkawang disebut Shankouyang (gunung, muara,
samudra). Dari nama itu nasib Singkawang mestinya sangat baik. Bersandar
gunung, memandang muara dan samudra. Mana ada yang bisa lebih baik dari
posisi seperti itu. Namun kenyataan berbicara lain. Dari tahun ke tahun
Singkawang semakin jauh tertinggal. Tentu bukan salah gunung, muara dan
samudra. Ini sepenuhnya salah manusianya. Kebijaksanaan pembangunan
yang memusat memang telah membuat kota seperti Singkawang akan cenderung
terabaikan.
Dari namanya yang begitu terkenal, tentu Singkawang merupakan daerah yang sangat maju di masa lalu. Ini dibenarkan oleh siapa pun yang mengenal kota itu. Pelabuhan utama Kalbar adalah di Singkawang. Penghasil ekonomi terbesar (yakni pada masa jayanya hasil bumi) juga dari Singkawang. Namun semua itu sudah lama berlalu. Pelabuhan terbesar tersebut sudah dilupakan orang. Tidak ada lagi kapal yang mau singgah ke situ. Bekas-bekas bangunan kantor pelabuhan masih ada, namun sudah reot dan sudah lama ditinggalkan.
Dari namanya yang begitu terkenal, tentu Singkawang merupakan daerah yang sangat maju di masa lalu. Ini dibenarkan oleh siapa pun yang mengenal kota itu. Pelabuhan utama Kalbar adalah di Singkawang. Penghasil ekonomi terbesar (yakni pada masa jayanya hasil bumi) juga dari Singkawang. Namun semua itu sudah lama berlalu. Pelabuhan terbesar tersebut sudah dilupakan orang. Tidak ada lagi kapal yang mau singgah ke situ. Bekas-bekas bangunan kantor pelabuhan masih ada, namun sudah reot dan sudah lama ditinggalkan.
Pintu untuk keluar Singkawang kini pindah dari rumahnya sendiri.
Pindah jauh sekali. Nun ke Pontianak sana, yang jaraknya 3,5 jam
perjalanan dengan mobil. Lama-lama orang Singkawang yang berpotensi pun
memindahkan rumahnya untuk mendekati pintunya yang telah lari. Mereka
pindah ke Pontianak atau bahkan sekalian ke Jakarta. Karena itu
penerbangan Jakarta-Pontianak luar biasa banyaknya: 17 kali sehari!
Menurut Sekkota Singkawang, Zeet Asovie, 30 persen penumpangnya dari
dan ke Singkawang. Beda dengan Tarakan yang di timur, Singkawang agak
lambat merespon otonomi daerah. Tapi keterlambatan itu tidak lebih lama
lagi. Dua tahun lalu terpilih pimpinan daerah yang baru yang juga punya
pikiran bagaimana agar bisa bosan dengan ketertinggalan. Memang agak
berat perjuangan yang harus diderapkan. Pelabuhan yang dulu menjadi
lokomotif utama kemajuan sudah lama mati. Kalau ingin menghidupkan biaya
mahal sekali. Muara sungai itu sudah begitu dangkalnya. Mengeruk muara
bukanlah pekerjaan sepele.
Namun walikota Singkawang, Awang Ishak, tidak melihat ada jalan lain
yang lebih tepat. Dia bertekad dengan seluruh jajarannya untuk
menghidupkan kembali mayat yang sudah lama jadi mummi itu. Pekerjaan itu
kini sudah dimulai. Beberapa hari lalu, saya bersama atase ekonomi dan
perdagangan kedutaan besar Tiongkok di Jakarta, Tan Wei Wen, sempat
melihat proyek menghidupkan mayat beku itu. Kami menarik nafas panjang.
Sungguh tidak mudah mengatasi persoalan yang sudah terlanjur terlalu
lama diterlantarkan seperti pelabuhan Singkawang itu.
Barangkali saja momentum otonomi memang sedang pas dengan apa yang
diupayakan Pemda Singkawang itu. Bahkan masih ada momentum tambahan lain
yang tidak kalah penting. Yakni terjadinya perubahan ekonomi global
sehubungan dengan bangkitnya Tiongkok sebagai raksasa baru ekonomi
dunia. Bangkitnya Tiongkok mau tidak mau akan mengubah struktur ekonomi
Indonesia agar sesuai dengan perkembangan baru. Kalau tidak berubah
justru Indonesia akan tergilas. Perubahan itu adalah: galakkan lagi
agroekonomi. Ini berarti ekonomi yang berbasis perkebunan akan kembali
menjadi penting. Dan itu berarti kejayaan daerah seperti Singkawang bisa
terulang.
Tentu tidak gampang melakukan reorientasi ekonomi seperti itu. Namun
saya melihat semangat pimpinan daerah Singkawang sudah sampai pada
ubun-ubunnya. Kelihatannya tidak mungkin lagi menelan ludah kembali.
Saya memuji mereka dengan kalimat yang pernah saya sampaikan untuk
bupati Lamongan: bapak-bapak ini sudah seperti walikota atau bupati di
Tiongkok. Ya begini ini semangat mereka membangun daerah! (Saya sering
ngiri pada semangat pimpinan daerah seperti Tarakan dan Singkawang
seperi itu. Ngiri karena dalam posisi keterbatasan potensi pun mereka
bisa bangkit. Mengapa kota besar yang punya potensi besar tidak mau
maju?)
Singkawang juga sudah meneguhkan diri untuk membangun lapangan
terbang. Tanahnya sudah dibebaskan dan anggaran susah mulai
dialokasikan. Saya menyarankan agar pembangunan itu dimulai saja meski
harus kecil-kecilan dulu. Katakanlah cukup punya landasan 1.200 meter
dulu untuk mendarat pesawat-pesawat kecil. Kota-kota di Kaltim telah
melakukan itu. Dan kini kalau kita mau pergi ke kota kecil mana pun di
Kaltim sudah bisa menggunakan pesawat kecil. Misalnya kota Tanjungredeb,
ibukota kabupaten Berau. Zaman muda dulu saya pernah tinggal landas
dari bandara Berau. Waktu itu landasannya masih rumput. Pesawatnya juga
hanya berbaling-baling satu. Waktu mau menghidupkan mesin kita memutar
dulu baling-balingnya dengan tangan.
Kini bandara itu sudah bisa didarati pesawat ATR yang berpenumpang 40
orang. Dari kota ini (lihat sendirilah di peta, di mana kota ini
berada, he, he he) sudah ada 7 penerbangan setiap hari ke berbagai kota
di Kaltim. Memang persiapan lahan yang kurang luas di masa lalu
menimbulkan persoalan saat perluasan tahun lalu. Ada sebuah rumah yang
tidak mau dibebaskan. Akhirnya rumah itu sekarang berada di
tengah-tengah antara landasan pacu dengan apron (tempat parkir pesawat).
Beberapa minggu lalu saya sempat menengok rumah itu. Benar-benar
tidak punya jalan masuk atau keluar. Kalau penghuninya mau ke kota harus
berjalan melalui landasan pacu. Atau melalui apron untuk kemudian lewat
VIP room. Jadi, kalau suatu saat ada motor yang melaju di landasan
pacu, itulah motor si pemilik rumah. Bupati Berau memang baik hati. Dia
tidak mau dibilang mentang-mentang setelah jadi bupati. Sebab si pemilik
rumah itu dulunya adalah tukang cukurnya…
Tentu Singkawang tidak akan mengalami itu karena lahan calon
bandarannya saya lihat sudah cukup luas. Apalagi di calon lokasi bandara
Singkawang itu tidak ada satu rumah pun yang pemiliknya bekerja sebagai
tukang cukur…(bersambung)
No comments:
Post a Comment