Friday, April 9, 2004

Bandara Singkawang, Biar Hanya 1.200 Meter

9 April 2004
Bandara Singkawang, Biar Hanya 1.200 Meter
Bercermin Ke Tarakan Dan Singkawang : Giatnya Daerah Untuk Membangun (2)

DALAM bahasa Mandarin Singkawang disebut Shankouyang (gunung, muara, samudra). Dari nama itu nasib Singkawang mestinya sangat baik. Bersandar gunung, memandang muara dan samudra. Mana ada yang bisa lebih baik dari posisi seperti itu. Namun kenyataan berbicara lain. Dari tahun ke tahun Singkawang semakin jauh tertinggal. Tentu bukan salah gunung, muara dan samudra. Ini sepenuhnya salah manusianya. Kebijaksanaan pembangunan yang memusat memang telah membuat kota seperti Singkawang akan cenderung terabaikan.

Dari namanya yang begitu terkenal, tentu Singkawang merupakan daerah yang sangat maju di masa lalu. Ini dibenarkan oleh siapa pun yang mengenal kota itu. Pelabuhan utama Kalbar adalah di Singkawang. Penghasil ekonomi terbesar (yakni pada masa jayanya hasil bumi) juga dari Singkawang. Namun semua itu sudah lama berlalu. Pelabuhan terbesar tersebut sudah dilupakan orang. Tidak ada lagi kapal yang mau singgah ke situ. Bekas-bekas bangunan kantor pelabuhan masih ada, namun sudah reot dan sudah lama ditinggalkan.

Pintu untuk keluar Singkawang kini pindah dari rumahnya sendiri. Pindah jauh sekali. Nun ke Pontianak sana, yang jaraknya 3,5 jam perjalanan dengan mobil. Lama-lama orang Singkawang yang berpotensi pun memindahkan rumahnya untuk mendekati pintunya yang telah lari. Mereka pindah ke Pontianak atau bahkan sekalian ke Jakarta. Karena itu penerbangan Jakarta-Pontianak luar biasa banyaknya: 17 kali sehari!

Menurut Sekkota Singkawang, Zeet Asovie, 30 persen penumpangnya dari dan ke Singkawang. Beda dengan Tarakan yang di timur, Singkawang agak lambat merespon otonomi daerah. Tapi keterlambatan itu tidak lebih lama lagi. Dua tahun lalu terpilih pimpinan daerah yang baru yang juga punya pikiran bagaimana agar bisa bosan dengan ketertinggalan. Memang agak berat perjuangan yang harus diderapkan. Pelabuhan yang dulu menjadi lokomotif utama kemajuan sudah lama mati. Kalau ingin menghidupkan biaya mahal sekali. Muara sungai itu sudah begitu dangkalnya. Mengeruk muara bukanlah pekerjaan sepele.

Namun walikota Singkawang, Awang Ishak, tidak melihat ada jalan lain yang lebih tepat. Dia bertekad dengan seluruh jajarannya untuk menghidupkan kembali mayat yang sudah lama jadi mummi itu. Pekerjaan itu kini sudah dimulai. Beberapa hari lalu, saya bersama atase ekonomi dan perdagangan kedutaan besar Tiongkok di Jakarta, Tan Wei Wen, sempat melihat proyek menghidupkan mayat beku itu. Kami menarik nafas panjang. Sungguh tidak mudah mengatasi persoalan yang sudah terlanjur terlalu lama diterlantarkan seperti pelabuhan Singkawang itu.

Barangkali saja momentum otonomi memang sedang pas dengan apa yang diupayakan Pemda Singkawang itu. Bahkan masih ada momentum tambahan lain yang tidak kalah penting. Yakni terjadinya perubahan ekonomi global sehubungan dengan bangkitnya Tiongkok sebagai raksasa baru ekonomi dunia. Bangkitnya Tiongkok mau tidak mau akan mengubah struktur ekonomi Indonesia agar sesuai dengan perkembangan baru. Kalau tidak berubah justru Indonesia akan tergilas. Perubahan itu adalah: galakkan lagi agroekonomi. Ini berarti ekonomi yang berbasis perkebunan akan kembali menjadi penting. Dan itu berarti kejayaan daerah seperti Singkawang bisa terulang.

Tentu tidak gampang melakukan reorientasi ekonomi seperti itu. Namun saya melihat semangat pimpinan daerah Singkawang sudah sampai pada ubun-ubunnya. Kelihatannya tidak mungkin lagi menelan ludah kembali. Saya memuji mereka dengan kalimat yang pernah saya sampaikan untuk bupati Lamongan: bapak-bapak ini sudah seperti walikota atau bupati di Tiongkok. Ya begini ini semangat mereka membangun daerah! (Saya sering ngiri pada semangat pimpinan daerah seperti Tarakan dan Singkawang seperi itu. Ngiri karena dalam posisi keterbatasan potensi pun mereka bisa bangkit. Mengapa kota besar yang punya potensi besar tidak mau maju?)

Singkawang juga sudah meneguhkan diri untuk membangun lapangan terbang. Tanahnya sudah dibebaskan dan anggaran susah mulai dialokasikan. Saya menyarankan agar pembangunan itu dimulai saja meski harus kecil-kecilan dulu. Katakanlah cukup punya landasan 1.200 meter dulu untuk mendarat pesawat-pesawat kecil. Kota-kota di Kaltim telah melakukan itu. Dan kini kalau kita mau pergi ke kota kecil mana pun di Kaltim sudah bisa menggunakan pesawat kecil. Misalnya kota Tanjungredeb, ibukota kabupaten Berau. Zaman muda dulu saya pernah tinggal landas dari bandara Berau. Waktu itu landasannya masih rumput. Pesawatnya juga hanya berbaling-baling satu. Waktu mau menghidupkan mesin kita memutar dulu baling-balingnya dengan tangan.

Kini bandara itu sudah bisa didarati pesawat ATR yang berpenumpang 40 orang. Dari kota ini (lihat sendirilah di peta, di mana kota ini berada, he, he he) sudah ada 7 penerbangan setiap hari ke berbagai kota di Kaltim. Memang persiapan lahan yang kurang luas di masa lalu menimbulkan persoalan saat perluasan tahun lalu. Ada sebuah rumah yang tidak mau dibebaskan. Akhirnya rumah itu sekarang berada di tengah-tengah antara landasan pacu dengan apron (tempat parkir pesawat).

Beberapa minggu lalu saya sempat menengok rumah itu. Benar-benar tidak punya jalan masuk atau keluar. Kalau penghuninya mau ke kota harus berjalan melalui landasan pacu. Atau melalui apron untuk kemudian lewat VIP room. Jadi, kalau suatu saat ada motor yang melaju di landasan pacu, itulah motor si pemilik rumah. Bupati Berau memang baik hati. Dia tidak mau dibilang mentang-mentang setelah jadi bupati. Sebab si pemilik rumah itu dulunya adalah tukang cukurnya…

Tentu Singkawang tidak akan mengalami itu karena lahan calon bandarannya saya lihat sudah cukup luas. Apalagi di calon lokasi bandara Singkawang itu tidak ada satu rumah pun yang pemiliknya bekerja sebagai tukang cukur…(bersambung)

No comments:

Post a Comment