Sunday, September 11, 2005

Kekuatan Multiefek dari Exxon

11 September 2005
Kekuatan Multiefek dari Exxon
“Rebutan” Rezeki Rp 2 Triliun Per Bulan di Blok Cepu: Siapa Yang Harus Dibela? (2)

Dalam kasus Blok Cepu, Exxon mungkin merasa di atas angin. Tapi, Pertamina juga punya senjata. Lalu, apa jalan tengahnya? Berikut ini seri kedua tulisan CEO Jawa Pos – INDO.POS Dahlan Iskan. 
Dalam kasus Blok Cepu, siapa pun yang jadi pemerintah memang berada dalam posisi amat sulit. Itulah sebabnya, meski sudah empat kali pergantian presiden di Indonesia pasca Soeharto, soal Blok Cepu tetap saja macet.

Exxon rupanya tahu bahwa Indonesia punya kendala besar di dua segi sekaligus. Pertama, butuh uang besar (dan segera!) untuk mengatasi kesulitan keuangan negara. Kedua, tidak punya uang untuk menggarap Blok Cepu yang memerlukan investasi sekitar Rp 20 triliun. Godaan lainnya lagi adalah: kalau Exxon bisa membawa masuk USD 2 miliar, betapa besar kenaikan angka investasi asing di Indonesia. Lalu, ini bisa dipakai promosi untuk menarik investor-investor asing lainnya. Ekonomi pun bisa bergerak lebih cepat.

Exxon memang bisa merasa di atas angin. Kalau permintaannya tidak disetujui, mereka bisa ngambek. Lalu, melayanglah dana asing yang begitu besar yang sudah siap masuk Indonesia. Melayang pula gambaran untuk bisa segera mendapat bagi hasil yang besar yang bisa menutup defisit anggaran negara. Buruk pula citra iklim investasi Indonesia di mata Amerika.

Mungkin merasa posisinya seperti itu, Exxon meminta beberapa hal: bagi hasil yang lebih menguntungkan mereka (dibandingkan standar bagi hasil yang selama ini sudah diberikan kepada perusahaan minyak asing lainnya), minta perpanjangan hak menggarap Blok Cepu selama 30 tahun lagi.

Alasannya satu: investasi yang ditanam begitu besar. Kalau hanya meneruskan hak sampai 2010, mereka menganggap investasinya belum bisa kembali. Demikian juga, kalau persentase bagi hasilnya kurang menarik, secara bisnis kurang menguntungkan.

Mengenai permintaan bagi hasil yang lebih tinggi, tim negosiasi pemerintah berhasil dengan sangat cerdas mencari jalan keluar. Yakni, jalan tengah kreatif yang tidak merugikan salah satunya. Kalau harga minyak sekian, bagi hasilnya begini. Kalau harga minyak lebih tinggi, bagi hasilnya begini. Memang, ini akan mengundang kerawanan tertentu. Misalnya, pemegang hak garap yang lain juga menuntut perlakuan sama.

Soal perpanjangan 30 tahun, inilah kunci keramatnya. Pertamina kelihatannya akan menggunakannya sebagai senjata pamungkas. Kalau Exxon setuju pola 55 % (45 % + 10 %) – 45 %, Pertamina akan memberikan perpanjangan (soal perhitungan rumus itu, baca seri tulisan ini kemarin). Kalau tidak, Pertamina tidak akan memperpanjang.

Konsekuensi dari sikap Pertamina itu memang banyak: Exxon tidak jadi menggarap Blok Cepu dan Indonesia kehilangan kesempatan datangnya modal asing yang fantastis besar. Lalu, Indonesia menerima tekanan asing yang sangat besar dengan segala konsekuensi. Indonesia juga bisa dicitrakan yang sangat buruk di bidang investasi. MoU yang sudah ditandatangani Menko Perekonomian (wakil pemerintah) dianggap tidak ada harganya dan kepercayaan kepada pemerintah hilang.

Atau, pemerintah memaksa Pertamina mengikuti apa kata pemerintah, mengingat pemegang saham Pertamina adalah pemerintah. Soal penilaian bahwa isi RUPS berbeda dengan MoU, bisa saja diadakan RUPS ulang untuk menyesuaikannya.

Kalau Dirut Pertamina tidak mau mengikuti kata pemerintah, dalam RUPS ulangan tersebut Dirut Pertamina diganti orang lain yang mau mengikuti apa kata pemerintah. Martiono, mantan Dirut Pertamina yang juga ketua tim negosiasi dengan Exxon, tentu mau mengikuti apa kata pemerintah. Toh, dia juga yang selama ini berunding dengan Exxon. Tapi, siapakah pemerintah itu? (bersambung)

No comments:

Post a Comment