Monday, September 12, 2005

SBY ke AS Bawa Oleh-oleh Apa?

12 September 2005
SBY ke AS Bawa Oleh-oleh Apa?
“Rebutan” Rezeki Rp 2 Triliun Per Bulan di Blok Cepu: Siapa Yang Harus Dibela? (3-Habis)

Eksplorasi Blok Cepu penting ketika produksi minyak Indonesia masih kekurangan seperti saat ini. Berikut bagian akhir tulisan CEO Jawa Pos – INDO POS Dahlan Iskan:
Siapakah pemerintah itu?
Presiden? Wakil Presiden? Menko Ekuin? Men BUMN?
Tentu, ya semuanya itu. Tapi, dari perkembangan berita pencopotan dirut Pertamina (dari satu-dua hari menjadi satu-dua minggu, lalu jadi satu-dua bulan, dan jadi entah berapa lama lagi), pertanda yang disebut ’’pemerintah’’ masih belum satu.

Beranikah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menyetujui sikap Pertamina yang jelas-jelas sangat merah-putih?

Apalagi, kalau dipertimbangkan lagi bahwa situasi saat ini sudah jauh berbeda. Ketika harga minyak mencapai USD 50 sampai USD 60 perbarel, jelas bukan hanya Exxon yang menitikkan air liur. Artinya, kekhawatiran tidak akan ada perusahaan lain yang mampu berinvestasi sebesar itu bisa diabaikan.

Tapi, bagaimana soal produksi minyak Indonesia yang masih terus kekurangan? Bagaimana agar Indonesia bisa segera menambah produksi minyaknya, minimal 200.000 barel/hari, untuk mengatasi harga BBM yang berat ini?

Dari Blok Cepu, pemerintah berharap bisa menambah produksi minyak Indonesia sebesar 150.000 barel perhari. Padahal, kalau kita gagal berpartner dengan Exxon, Pertamina baru boleh menggarap blok tersebut pada 2010. Yakni, masa berakhirnya kontrak dengan Exxon yang tidak diperpanjang. Lalu, dari mana gantinya?

Tentu kita akan menuntut Pertamina untuk mencari ganti dalam waktu dekat. Para pejuang minyak Indonesia juga harus ikut memikirkan. Misalnya, segera saja garap Blok Kedung Tuban di dekat Blora. Juga peras lagi sumur-sumur marjinal.

Saya baru saja mengunjungi (lagi) satu kawasan penghasil minyak di Tiongkok. Kawasan itu disebut sebagai ’’Kuwait’’ salah satu provinsi di sana. Ada ribuan sumur tua yang terus ’’diperah’’ minyaknya. Sebagian dengan sangat susah payah.

Karena kualitas minyak mentah di sana sangat jelek (dibandingkan Indonesia), biaya mengambilnya dari dalam tanah pun lebih mahal. Sumur tua itu harus dipanasi dulu agar ’’lumpur minyaknya’’ mencair. Bahkan, ada sumur yang kalau dipompa selama satu minggu, minyaknya sudah habis. Harus dibiarkan dulu selama satu minggu lagi agar rembesan minyak dari sekitar sumur mengumpul lagi. Lalu, dipanasi lagi. Disedot lagi selama seminggu. Habis lagi. Dibiarkan lagi dulu untuk menunggu rembesan minyak terkumpul. Disedot lagi. Begitu seterusnya.

Dengan keadaan sumur seperti itu saja, Tiongkok masih terus bisa menghasilkan minyak. Alangkah banyak sumur tua di Indonesia yang jauh lebih baik dan lebih mudah digarap dibandingkan di Tiongkok itu. Asal tidak manja, tidak mau cari mudahnya, dan serba sok mau pakai peralatan modern.

Tapi, dari mana dananya? Bukankah Pertamina miskin?
Pertama, Pertamina harus hemat agar biayanya jangan terlalu besar. Juga jangan mark-up dan korupsi. Lalu, cari uang dari pasar dengan jaminan blok itu. Dengan situasi minyak seperti sekarang, dana memang bisa antre datang sendiri.

Tapi, kuatkah Indonesia menerima tekanan dari Amerika?
Terutama, ketika Presiden SBY berangkat ke Amerika Serikat Sabtu malam (10 September)? Bukankah presiden harus bawa ’’oleh-oleh’’ untuk Amerika? (*)

No comments:

Post a Comment