SBY ke AS Bawa Oleh-oleh Apa?
“Rebutan” Rezeki Rp 2 Triliun Per Bulan di Blok Cepu: Siapa Yang Harus Dibela? (3-Habis)
Eksplorasi Blok Cepu penting ketika produksi minyak Indonesia masih
kekurangan seperti saat ini. Berikut bagian akhir tulisan CEO Jawa Pos –
INDO POS Dahlan Iskan:
Siapakah pemerintah itu?
Presiden? Wakil Presiden? Menko Ekuin? Men BUMN?
Beranikah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menyetujui sikap Pertamina yang jelas-jelas sangat merah-putih?
Apalagi, kalau dipertimbangkan lagi bahwa situasi saat ini sudah jauh
berbeda. Ketika harga minyak mencapai USD 50 sampai USD 60 perbarel,
jelas bukan hanya Exxon yang menitikkan air liur. Artinya, kekhawatiran
tidak akan ada perusahaan lain yang mampu berinvestasi sebesar itu bisa
diabaikan.
Tapi, bagaimana soal produksi minyak Indonesia yang masih terus
kekurangan? Bagaimana agar Indonesia bisa segera menambah produksi
minyaknya, minimal 200.000 barel/hari, untuk mengatasi harga BBM yang
berat ini?
Dari Blok Cepu, pemerintah berharap bisa menambah produksi minyak
Indonesia sebesar 150.000 barel perhari. Padahal, kalau kita gagal
berpartner dengan Exxon, Pertamina baru boleh menggarap blok tersebut
pada 2010. Yakni, masa berakhirnya kontrak dengan Exxon yang tidak
diperpanjang. Lalu, dari mana gantinya?
Tentu kita akan menuntut Pertamina untuk mencari ganti dalam waktu
dekat. Para pejuang minyak Indonesia juga harus ikut memikirkan.
Misalnya, segera saja garap Blok Kedung Tuban di dekat Blora. Juga peras
lagi sumur-sumur marjinal.
Saya baru saja mengunjungi (lagi) satu kawasan penghasil minyak di
Tiongkok. Kawasan itu disebut sebagai ’’Kuwait’’ salah satu provinsi di
sana. Ada ribuan sumur tua yang terus ’’diperah’’ minyaknya. Sebagian
dengan sangat susah payah.
Karena kualitas minyak mentah di sana sangat jelek (dibandingkan
Indonesia), biaya mengambilnya dari dalam tanah pun lebih mahal. Sumur
tua itu harus dipanasi dulu agar ’’lumpur minyaknya’’ mencair. Bahkan,
ada sumur yang kalau dipompa selama satu minggu, minyaknya sudah habis.
Harus dibiarkan dulu selama satu minggu lagi agar rembesan minyak dari
sekitar sumur mengumpul lagi. Lalu, dipanasi lagi. Disedot lagi selama
seminggu. Habis lagi. Dibiarkan lagi dulu untuk menunggu rembesan minyak
terkumpul. Disedot lagi. Begitu seterusnya.
Dengan keadaan sumur seperti itu saja, Tiongkok masih terus bisa
menghasilkan minyak. Alangkah banyak sumur tua di Indonesia yang jauh
lebih baik dan lebih mudah digarap dibandingkan di Tiongkok itu. Asal
tidak manja, tidak mau cari mudahnya, dan serba sok mau pakai peralatan
modern.
Tapi, dari mana dananya? Bukankah Pertamina miskin?
Pertama, Pertamina harus hemat agar biayanya jangan terlalu besar.
Juga jangan mark-up dan korupsi. Lalu, cari uang dari pasar dengan
jaminan blok itu. Dengan situasi minyak seperti sekarang, dana memang
bisa antre datang sendiri.
Tapi, kuatkah Indonesia menerima tekanan dari Amerika?
Terutama, ketika Presiden SBY berangkat ke Amerika Serikat Sabtu
malam (10 September)? Bukankah presiden harus bawa ’’oleh-oleh’’ untuk
Amerika? (*)
No comments:
Post a Comment