Saturday, December 18, 2010

Damai di Tobelo, Padam di Ternate, Terjun Bebas di Ambon

Sabtu, 18 Desember 2010, 06:47:00
Damai di Tobelo, Padam di Ternate, Terjun Bebas di Ambon

BERANGKAT melakukan perjalanan ke Ternate, Tidore, Halmahera, Morotai, Ambon, dan Poso minggu lalu, perasaan saya kurang enak. Di Ternate, menurut info yang saya terima, kembali terjadi pemadaman bergilir. Memang tidak parah seperti dulu, tapi sangat mengganggu perasaan saya.

Sebenarnya, listrik hanya kurang 1 MW, namun sempat menimbulkan citra negatif. Sampai ada yang menilai bahwa program sehari sejuta sambungan pada 27 Oktober lalu itu kurang tepat. Gara-gara program tersebut, pemakaian listrik bertambah dan terjadilah pemadaman bergilir lagi.

Info itu memang belum tentu akurat. Dalam hati kecil, saya masih berharap info tersebut mengada-ada. Sayangnya, ternyata benar. Dalam pertemuan dengan karyawan PLN di Ternate, seorang karyawan angkat bicara. Dia mengeluhkan hal itu. Dia mempersoalkan janji saya untuk mengatasi pemadaman bergilir di seluruh Indonesia. Seolah-olah saya tidak menepati janji tersebut di Ternate.

Saya sendiri heran mengapa itu bisa terjadi. Padahal, mestinya listrik sangat cukup di Ternate. Karena itu, saya balik bertanya sebelum memberikan komentar: apakah janji tersebut diucapkan oleh saya sebagai direktur utama PLN atau janji saya itu janji pribadi" Kalau mereka berpendapat bahwa janji itu merupakan janji saya pribadi, saya pun tidak akan mempersalahkan. Saya akan langsung membeli pembangkit. Toh hanya 1 MW. Lalu saya kirim ke Ternate. Beres. Listrik di Ternate kembali cukup. Membeli pembangkit 1 MW sama sekali tidak akan memberatkan keuangan pribadi saya.

Namun, kalau mereka berpendapat janji tersebut saya ucapkan sebagai direktur utama PLN, semestinya janji itu adalah juga janji seluruh warga PLN. Terutama para pimpinan di semua jenjang. "Kalau prinsip ini tidak bisa diterima," kata saya dalam forum itu, "Maka konsekuensinya hanya dua: saya yang berhenti sebagai direktur utama atau pemilik pendapat tersebut yang harus berhenti dari PLN."

Tentu saya tidak memperpanjang masalah itu menjadi sebuah perdebatan yang tidak produktif. Saya pun tahu karyawan yang menagih janji saya tersebut pada dasarnya hanya main karambol: mungkin dia hanya ingin mengkritik secara tidak langsung rekan-rekannya di bagian pemeliharaan mesin.

Memang, sebenarnya sama sekali tidak perlu ada pemadaman bergilir lagi. Pembangkitnya sudah sangat cukup. Hanya kebetulan salah satu mesin di situ rusak. Masalahnya: mengapa perbaikan mesin itu lamaaa... sekali. Sampai-sampai, ketika ada mesin lain yang menyusul rusak, yang rusak pertama itu belum selesai diperbaiki. Padahal rusaknya tidak berat. Padahal kalau hanya satu mesin yang rusak tidak perlu ada pemadaman bergilir. Sebab, dua mesin diesel tersebut masing-masing berkapasitas 3 MW. Jadi, kalau satu saja berhasil diperbaiki, Ternate sudah kembali kelebihan 2 MW. Apalagi kalau dua-duanya berhasil diperbaiki.

Kesimpulannya: ini bukan kasus kekurangan listrik. Tapi kasus kekurangan kepedulian. Juga, kasus betapa masih berbelitnya birokrasi pengadaan suku cadang. Rupanya, kasus seperti ini pula yang terjadi di Bima, NTB. Juga di Lombok. Minimnya kepedulian memang menjadi persoalan besar di negeri ini.

Karena itu, saya tidak setuju dengan rencana sewa mesin untuk mengatasi kekurangan listrik di Ternate. Kalau semua kekurangan listrik diselesaikan dengan sewa mesin, betapa manjanya PLN ini. Kalau sedikit-sedikit kekurangan listrik diselesaikan dengan sewa mesin, tidak mustahil manajemen PLN hanya akan pintar melakukan transaksi. Tidak pintar lagi melakukan pekerjaan engineering. Ini perlu saya singgung karena saya masih melihat kecenderungan bermanja-manja seperti ini. Misalnya, di Manokwari. Saya juga melihat ada enam unit mesin PLN yang dibiarkan rusak. Listrik di Manokwari lebih mengandalkan sewa.

Memang ada kalanya mesin PLN sendiri sudah tidak efisien. Ada kalanya menyewa mesin lebih murah daripada menghidupkan mesin sendiri yang sudah tua. Saya memahami itu. Karena itu, saya juga setuju, dua di antara empat mesin yang rusak di Ternate tidak perlu diperbaiki. Tapi, saya percaya bahwa yang dua lagi masih baik.

Dalam hal seperti ini, saya akan selalu ingat kasus Palu. Mesin-mesin diesel milik PLN sendiri di Palu yang dulunya hanya mampu menghasilkan listrik 9 MW kini bisa menghasilkan listrik 29 MW! Hanya dengan modal kepedulian. Model ini yang bisa jadi cermin untuk banyak daerah lainnya.

Maka, malam itu juga kami rapat sambil duduk di lantai di ruang kontrol PLTD Ternate. Diputuskanlah tata cara baru dalam memperpendek proses keputusan pengadaan suku cadang. Saya senang bahwa GM Maluku dan Maluku Utara bisa meluruskan benang kusut proses pengadaan suku cadang yang ruwet itu. Saya juga senang Murtaqi Syamsuddin, direktur PLN yang menyertai saya, bisa mencarikan solusi prosedur baru pengadaan suku cadang yang lebih sederhana tapi tetap akuntabel.

Di banyak kasus, PLN memang masih memerlukan sewa mesin. Mesin-mesin sewa di berbagai daerah itu, selain bisa ikut mengatasi krisis listrik, sebenarnya juga bisa memberikan pelajaran berharga. Mengapa mesin-mesin sewa itu selalu lancar, sedangkan milik PLN tidak. Perbedaan tersebut begitu terlihat karena mesin-mesin sewa itu biasanya berada dalam satu lokasi dengan mesin-mesin PLN. Malam itu juga diputuskan bahwa apa yang terjadi di mesin sewa harus bisa terjadi di mesin PLN sendiri. Tidak ada faktor yang bisa membedakannya: operatornya sama-sama makan nasi! Lain halnya kalau operator mesin sewa makan keju sedangkan operator PLN makan singkong.

Lepas dari itu, keperluan listrik Kota Ternate memang meningkat tajam. Itu terjadi karena Ternate berkembang pesat. Saya sudah tidak kenal lagi Kota Ternate lama yang pernah saya kunjungi 15 tahunan yang lalu. Kotanya kini sudah lebih teratur, bersih, dan terasa menggeliat.

Ada mal, hotel bintang lima, dan wilayah pengembangan baru hasil reklamasi di pinggir pantai. Di sini dibangun masjid yang indah yang kalau dilihat dari laut seperti mengambang di air. Mirip masjid di Jeddah atau di Kota Melaka, Malaysia. PLN ketinggalan langkah di mana-mana. Karena itu, PLN harus mengejarnya dengan sungguh-sungguh. Kalau tidak, PLN yang seharusnya menjadi lokomotif pembangunan ekonomi di suatu daerah justru akan menjadi penghambat.

Mengunjungi kota-kota kecil di Indonesia Timur menimbulkan kesan bahwa kota-kota di sana berkembang pesat. Ada geliat baru. Ada gairah baru. Ini agak berbeda dengan kalau kita berkunjung ke kota-kota sekitar Danau Toba seperti Tarutung, Balige, dan Porsea. Karena itu, saya pernah mengusulkan satu terobosan untuk menjual Danau Toba lebih taktis dengan cara memperbesar Bandara Silangit. Saya tidak melihat cara lain untuk memakmurkan wilayah itu kecuali mendorong maju bandara di dekat Danau Toba tersebut.

Dari Ternate, kami menyeberang ke Tidore. Untuk melihat pembangunan PLTU 2 x 7 MW yang insya Allah selesai paling lambat 10 bulan lagi. Tapi, PLTU itu terasa sudah terlalu kecil karena beban puncak listrik di Ternate saja sudah 18 MW. Belum termasuk Tidore sendiri. Belum terhitung lagi betapa banyak hotel yang masih menggunakan listriknya sendiri yang amat mahal tersebut. Karena itu, kami memutuskan untuk langsung saja menambah listrik di lokasi tersebut dengan 2 x 7 MW lagi.

Bahkan, untuk masa depan, rasanya perlu mengonsentrasikan PLTU di lokasi itu. Listrik untuk Pulau Halmahera bisa dialirkan dengan jaringan kabel bawah laut dari Tidore. Jarak terdekat antara Tidore dan Halmahera hanya 8 km. Lokasi PLTU tersebut memang cukup strategis dan tidak bermasalah sama sekali.

Berada di kapal feri menuju Tidore, kita seperti berada di tengah-tengah pegunungan yang unik. Di sana-sini terlihat gunung yang menjulang tinggi. Tapi, gunung-gunung itu seperti mencuat begitu saja dari bawah laut. Di belakang kita terlihat Gunung Gamalama (1.721 meter) yang mendominasi Pulau Ternate. Di depan kita ada Gunung Kiematubu (1.730 meter) yang mendominasi Pulau Tidore. Di arah kanan ada Gunung Maitara. Nama gunung itu jarang disebut lagi sekarang. Orang sudah lebih sering menyebutnya dengan nama Gunung Seribu. Disebut Gunung Seribu karena gunung itulah yang menghiasi uang Rp 1.000 saat ini. Sedangkan di kiri sana tampak banyak gunung yang mendominasi Pulau Halmahera dan dua di antaranya masih sering mengeluarkan asap: Gunung Ibu (1.325 meter) dan Gunung Gamkunoro (1.635 meter).

Saya melihat kemungkinan yang besar bahwa dengan kabel bawah laut, listrik dari Tidore itu bisa untuk Ternate, Sofifi (kota baru yang akan menjadi ibu kota Maluku Utara), Jaelolo (ibu kota Kabupaten Halmahera Barat), Tobelo (ibu kota Kabupaten Halmahera Utara), dan Galela, kota pelabuhan Halmahera.

Minggu ini sudah akan ada kabel bawah laut dari Tidore ke Ternate. Pemasangannya sudah selesai. Karena itu, saya minta segera dikomisioning agar dalam seminggu sudah bisa digunakan. Dengan kabel tersebut, kelebihan kapasitas 1 MW di Tidore bisa digunakan untuk mengatasi kekurangan 1 MW di Ternate sambil menunggu selesainya perbaikan dua unit mesin yang di Ternate sendiri. Bahkan, dengan kabel bawah laut itu, kini antara Ternate dan Tidore (jaraknya hanya 1 km) sudah bisa saling bantu. Sistem di dua pulau tersebut bisa lebih andal.

Perjalanan ke Maluku Utara kali ini memang amat panjang, tapi hampir tidak pernah melalui jalan darat. Harus dengan pesawat atau feri. Syukurlah, perjalanan dari Halmahera, Morotai, Ternate, Tidore, Ambon, dan Poso ini bisa dituntaskan dalam waktu dua hari. Malam pertama menginap di Tobelo dan malam kedua di Ternate. Dua malam itu adalah malam-malam yang hening. Tidak ada hiruk-pikuk dan kebisingan. Berada di Pulau Halmahera yang indah, hidup terasa lebih damai. Meski juga berarti lebih lambat. Tidak banyak tuntutan dan desakan. Pagi-pagi ketika gerak jalan pagi bersama karyawan PLN Tobelo, kami hanya bertemu suami-istri yang duduk di atas pedati yang ditarik sapi. Begitulah cara penduduk setempat menuju kebun. Begitu damainya. Tidak terlihat orang yang serba terburu-buru. Saya teringat kata-kata bijak yang dikutip teman saya selalu: Dunia ini sebenarnya cukup untuk keperluan seluruh manusia, tapi tidak cukup untuk seorang manusia yang rakus. Di Tobelo, kami tidak melihat kerakusan manusia.

Demikian juga di Ternate. Pagi-pagi kami juga gerak jalan bersama karyawan. Karyawan PLN Ternate sangat menyenangkan. Kami ramai-ramai jalan kaki. Rutenya ke pinggir pantai yang indah. Juga begitu damai. Ketika kami melewati satu toko kaset yang sedang memutar lagu dangdut amat keras, kami berhenti di depan toko itu. Kami ramai-ramai berjoget, joget-komando, memenuhi jalan raya di depan toko tersebut memanfaatkan musik keras itu. Tentu jadi tontonan yang aneh. Tapi, PLN memang sudah waktunya perlu promosi.

Sayangnya, joget itu tidak bisa terlalu lama. Pertama, menghambat lalu lintas. Kedua, kami harus segera menuju Ambon. Di Ambon, sebuah acara bersejarah sudah menanti: memulai pengeboran geothermal Tulehu.

Di Tulehu itu, direksi PLN memang melakukan terobosan: geothermal tersebut harus segera dibangun. Maklum, proyek itu sudah macet sekitar 15 tahun. Keruwetan administrasi coba diterobos dengan kiat-kiat yang tajam. Tanpa terobosan itu, proyek geothermal tersebut mustahil bisa dimulai.

Kalau saja Tulehu benar-benar bisa menghasilkan listrik 2 x 10 MW, separo keperluan listrik Ambon teratasi dari sini. Geothermal Tulehu ini agak unik karena tidak memerlukan air dari luar. Airnya sudah tersedia di dalam. Bahkan, Tulehu bisa menghasilkan air nantinya. Maka, ketika diminta melakukan gunting pita, saya memilih minta para pendeta dan kiai yang hadir dalam acara itu untuk ramai-ramai menggunting pita. Doa mereka akan lebih terkabul.

Dengan dimulainya proyek geothermal Ambon tersebut, di Ambon sedang ada dua proyek besar yang sedang bersaing: mana yang lebih dulu menghasilkan listrik. PLTP Tulehu atau PLTU Tulehu. Skalanya sama. Sama-sama 2 x 10 MW dan sama-sama baru mulai. Kalau dua proyek itu sukses, PLN di Ambon akan terkejut: biaya pokok produksinya akan langsung terjun bebas. PLN akan sangat berhemat karena dari dua proyek itu saja seluruh kebutuhan listrik di Ambon terpenuhi dengan cara yang jauh lebih murah. (*)

No comments:

Post a Comment