Kamis, 30 Desember 2010, 09:11:00
Demam di Pegunungan Gayo
Setahun
sudah saya menjabat CEO PLN, pekan lalu. Kurang dari setahun semua
provinsi di Indonesia sudah saya kunjungi. Banyak yang sudah saya
kisahkan dalam CEO Noted, tapi beberapa di antaranya belum. Misalnya,
kunjungan ke Aceh, Kalteng, Kalsel, Kalbar, Bangka, dan Bengkulu. Saya
juga belum menulis kunjungan ke Jambi, Wakatobi, Tanimbar, Kolaka, dan
Kendari.
Daerah
yang paling sering saya kunjungi ternyata Sumut. Mengalahkan pulang
kampung saya ke Surabaya. Ini sudah cocok dengan prinsip "mementingkan
yang penting dan jangan mementingkan yang kurang penting". Maklum, Medan
adalah kota metropolitan yang krisis listriknya terparah. Saya harus
mendorong teman-teman PLN Medan bekerja all-out. Dalam waktu enam bulan
krisis listrik yang begitu hebat itu bisa teratasi.
Banyak
juga daerah yang saya kunjungi sampai tiga kali. Termasuk Kendari.
Kunjungan pertama saya ke Kendari tidak diketahui siapa pun. Kunjungan
saya yang ketiga pun saya lakukan diam-diam meski akhirnya gagal:
menjelang kembali ke bandara, keberadaan saya bocor ke PLN setempat.
Hanya saat kunjungan kedua kami melakukannya beramai-ramai dengan hampir
semua direksi. Yakni, dalam rangkaian rapat direksi di Wakatobi dan
sekalian menjelajah dari Kolaka ke Kendari jalan darat.
Aceh
saya kunjungi 1,5 kali. Saya sebut 1,5 karena pada kunjungan kedua
pertengahan Desember lalu saya jatuh sakit. Yakni, ketika rombongan tiba
di sebuah bukit yang amat tinggi di Takengon, Aceh Tengah. Begitu turun
dari mobil, badan saya menggigil. Di Pegunungan Gayo itu, di tepi danau
Laut Tawar itu, udara memang amat dingin dan angin berembus agak
kencang. Tapi, bukan itu soalnya. Gejala demam memang sudah ada sejak
berangkat dari Jakarta.
Apalagi,
saat itu saya tidak berjaket (jaket yang saya beli di London saya
hadiahkan kepada supervisor penyulang "jaringan listrik 20 KV" yang
paling berprestasi di PLN Kota Bireuen tiga jam sebelumnya). Tapi, demam
ini memang sudah waktunya tiba. Badan saya terasa meriang sejak tiga
hari sebelumnya. Disertai batuk-batuk kecil yang tidak
berhenti-berhenti. Radang tenggorokan sudah kelihatan gejalanya.
Memang
ada yang tidak beres di tubuh saya. Tapi, demam itu saya tahan. Tujuan
kunjungan ke Takengon harus tercapai dulu. Yakni, untuk melihat Danau
Tawar yang akan menjadi sumber PLTA (pembangkit listrik tenaga air)
Peusangan sebesar 80 MW. Hanya dari ketinggian gunung inilah danau
Takengon bisa terlihat jelas berada di bawah sana. Terutama bagian di
mana air dari danau itu mengalir ke sungai yang akan dijadikan proyek.
Dari sini pula pemandangan terindah bisa dinikmati. Danau Laut Tawar itu
terhampar damai di bawah sana, di pangkuan Pegunungan Gayo yang mistis.
Dari ketinggian ini terlihat juga Kota Takengon yang terhampar di salah
satu sisi danau itu.
Janji
pergi ke Takengon memang tidak bisa saya abaikan. Sayalah yang
mengundang pimpinan puncak Nippon Koei untuk datang ke Takengon saat
saya menemuinya di Tokyo dua bulan lalu. Saya berjanji kalau bos besar
Nippon Koei itu mau datang ke Takengon, saya sendiri yang akan
mengantarkannya. Ini saya maksudkan agar proyek yang sudah tertunda 12
tahun lebih itu bisa segera dimulai kembali. Proyek ini penting agar
Aceh segera mandiri di bidang energi listrik. Tidak lagi selalu
bergantung kepada Sumut (karena Sumut sendiri juga memerlukan listrik
lebih besar).
Sambil
menahan gigil saya dengarkan paparan desain PLTA Peusangan di udara
terbuka di ketinggian Pegunungan Gayo. Sesekali konsultan dari Nippon
Koei (Koei dalam bahasa Jepang berarti engineering) menunjuk ke gambar
proyek, sesekali pula menudingkan tangannya ke arah danau di bawah sana.
Beberapa pertanyaan saya ajukan ke konsultan itu sambil gigi saya
menahan gemeretak.
Nippon
Koei setuju memulai kembali proyek ini. Dua bulan lagi (Februari 2011)
PLTA Peusangan mulai dikerjakan. Rasanya proyek ini akan menjadi
megaproyek pertama di Aceh sejak terjadinya perdamaian di sana. Seminggu
kemudian, ketika saya bertemu Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ketika
sama-sama rapat dengan Wapres, saya laporkan soal ini. Gubernur bukan
hanya gembira. Bahkan, dia sekalian minta PLN bangun saja semua listrik
panas bumi di sana. Ketika paparan selesai, saya minta langsung diantar
ke hotel. Tidak ikut kunjungan lanjutan menelusuri Sungai Peusangan.
Tiba
di hotel saya langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Menarik
selimut tebal dan menggigilkan badan segigil-gigilnya. Tidak ada yang
tahu dan tidak ada yang melihat. Saya memang minta agar semua rombongan
meneruskan agenda. Sedangkan beberapa teman Aceh yang mengantarkan saya,
saya minta menunggu di luar kamar saja.
Suhu
badan saya rasanya tinggi sekali. Panas. Sambil menggigil saya berpikir
penyebab-penyebab yang mungkin melatarbelakangi demam itu. Yang paling
saya waspadai tentu demam berdarah. Ini bisa mematikan. Terutama kalau
telat menanganinya. Tapi, saya merasa bukan demam berdarah. Tidak ada
gejala kembung di perut.
Tenggorokan
memang agak gatal, tapi untuk menelan ludah tidak sakit. Saya coba
minum air sedikit juga tidak terasa sakit. Bahkan, selera makan saya
tidak berubah. Saya paksakan makan kue yang saya bawa dari kantor PLN
Bireuen juga terasa enak "kue yang disiapkan ibu-ibu persatuan istri PLN
Bireuen ini memang enak. Ini berarti bukan demam berdarah. Maka, saya
putuskan: cukup beristirahat total di tempat tidur. Juga tidak ikut
makan malam dengan dua bupati setempat.
Selama
dua kali ke Aceh saya mendapat kesan bahwa program-program PLN berjalan
lancar di sana. Program mengatasi krisis listrik yang amat berat itu
sudah lama selesai. Di Bireuen, Bener Meriah (ini nama kabupaten baru)
sampai Takengon tidak banyak lagi listrik padam. Gangguan penyulang
tinggal 2-3 sebulan. Memang masih ada loses (kebocoran listrik di
perjalanan karena "menguap") yang tinggi, tapi sudah ketahuan
penyebabnya: jaringan listrik 20 KV di sana terlewat panjang (140 km
dari Bireuen ke Bener Meriah tanpa ada gardu induk di tengahnya).
Program mengatasinya sudah siap dilaksanakan. Penyulang panjang itu akan
dipotong. Listrik untuk Bener Meriah tidak akan dikirim lagi dari
Bireuen, tapi diikutkan Takengon. Jaraknya hanya 40 km.
Pimpinan
PLN Aceh, Pak Zulkifli, juga berhasil menggerakkan para manajer untuk
memerangi tagihan macet. Aceh, sejak terjadi gejolak politik dan bencana
alam, memang menderita "demam tagihan" yang akut: rakyat ogah membayar
listrik. Satu per satu penyakit ini berhasil disembuhkan. Kini tinggal
satu kampung yang masih sulit.
Dua
hari setelah pulang dari Aceh saya ke Pangkalan Bun, Kalteng. Saya
ingin bertemu teman-teman PLN Pangkalan Bun dan melihat PLTU skala kecil
yang hampir selesai dibangun di sana. Di Pangkalan Bun juga terdapat
penyulang yang terlewat panjang. Yakni, penyulang 240 km ke arah Sampit
yang sering mengalami gangguan. Di seluruh Indonesia terlalu banyak
jenis penyulang seperti ini.
Menurut
teori, satu jaringan penyulang sebaiknya paling panjang hanya 30 km.
Tapi, tak terhitung banyaknya penyulang yang panjangnya melebihi 100 km!
Inilah salah satu penyebab seringnya mati listrik. Juga penyebab
turun-naiknya tegangan yang sangat merugikan konsumen. Gerakan memerangi
penyulang panjang, betapapun mahal dan sulitnya, sedang dilakukan di
seluruh Indonesia.
Kegelisahan
teman-teman PLN yang wilayahnya memiliki penyulang yang terlampau
panjang kini sudah menjadi virus yang mendemamkan Indonesia. Kegelisahan
itu, di Bengkulu bertambah-tambah. Kota sebesar Bengkulu ternyata hanya
dilayani satu GI (gardu induk). Kalau ada masalah dengan GI ini, bisa
dibayangkan akibatnya: seluruh ibu kota provinsi itu akan gelap-gulita.
Maka, selama kunjungan saya ke Bengkulu masalah ini dibahas.
Tidak
mungkin Bengkulu menunggu GI dengan cara normal. Harus ada langkah
khusus secara cepat. Maka, saya tantang kepala PLN Bengkulu untuk
membangun GI sendiri. Materialnya bisa didapat dari gudang-gudang proyek
PLN dari seluruh Indonesia. Saya hubungi teman-teman di proyek untuk
mengetahui apakah material untuk membangun sebuah GI cukup tersedia di
gudang-gudang itu.
Begitu
banyak proyek GI di Indonesia ini, tentu banyak barang tersisa.
Ternyata benar. Banyak material GI yang bisa dihimpun dari berbagai
gudang itu. Kalaupun harus membeli beberapa bagian, tidak akan banyak
lagi. Apalagi, Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin bersedia
menyediakan tanahnya secara gratis. Sedangkan kepala PLN Bengkulu pernah
menangani proyek GI. Maka, GI made in Bengkulu ini harus jadi dalam
waktu singkat.
Gubernur
Bengkulu juga ikut gelisah. Saat saya turun dari pesawat, saya sudah
melihat sang gubernur ada di antara penjemput. Dia yang siang itu ikut
bersepatu kets mendekat ke tangga pesawat. Dia siap mengantarkan saya ke
mana saja, termasuk meninjau PLTA Musi, kira-kira 2 jam perjalanan
dengan mobil dinasnya.
Mula-mula
saya menawarkan diri untuk menjadi sopirnya. Tapi, sang gubernur justru
mengambil alih kendali. Maka, kami berangkat dengan gubernur sebagai
sopir. Baliknya, apa boleh buat, saya yang mengemudi.
Jalan
menuju PLTA ini sangat istimewa. Menanjak, berbelok dan menukik.
Sungguh baru dalam perjalanan ini saya tahu asal-usul istilah "mabuk
kepahyang". Kepahyang ternyata nama daerah/kampung yang kami lewati. Di
kawasan Kepahyang inilah jalannya begitu unik: tukikannya, kelokannya,
dan tanjakannya serba ekstrem. Di masa lalu tidak ada orang yang lewat
kawasan ini yang tidak mabuk. Bahkan, mabuknya bisa gila-gilaan. Istilah
"mabuk kepahyang" ternyata bermula dari sini. Tentu saya tidak mabuk.
Jalan di Kepahyang sekarang sudah lebih lebar.
Sewaktu
ke Jambi, sebenarnya saya juga dijemput sendiri oleh Gubernur Jambi
Hasan Basri Agus. Hanya, sempat agak salah paham. Ketika gubernur
mendekat ke tangga pesawat, saya menyelinap ke sela-sela penumpang untuk
menjauhi kerumunan penjemput itu. Saya pikir sang gubernur pasti
menjemput orang penting yang satu pesawat dengan saya. Karena itu, lebih
baik saya menyelinap dan menjauh. Ternyata, sang gubernur mengejar saya
karena memang tujuannya ke bandara untuk menjemput saya.
Ketika
saya beri tahu bahwa Jambi sudah bebas krisis listrik, sang gubernur
yang baru dua bulan dilantik senang sekali. "Berarti janji saya dalam
kampanye sudah terpenuhi hanya dalam waktu dua bulan," katanya. (*)
No comments:
Post a Comment