Friday, February 24, 2006

Belajar dari Ambisi Singapura Menguasai Dunia

24 Feb 2006
Belajar dari Ambisi Singapura Menguasai Dunia
Catatan Dahlan Iskan

Bulan ini, CEO Grup Jawa Pos Dahlan Iskan mondar-mandir Surabaya-Singapura. Antara lain, terkait dengan urusan PT Petrogas Wira Jatim, anak perusahaan BUMD Jatim, yang berpatungan dengan perusahaan Singapura untuk membangun shore base senilai Rp 250 miliar di Lamongan. Di luar urusan perusahaan yang dipimpinnya itu, inilah catatannya perihal ambisi Singapura menguasai dunia.

Dua peristiwa besar menjadi pembicaraan sangat hot di Singapura dalam sebulan terakhir. Yakni, pengambilalihan dua bisnis besar di Bangkok (rumah sakit terbaik di Thailand dan perusahaan telekomunikasi milik keluarga Perdana Menteri Thailand Taksin Shinawatra) serta rencana pembelian salah satu operator pelabuhan terbesar di dunia, P&O.

Tiga proyek tersebut dibeli oleh Temasek Holding, satu-satunya holding company yang membawahkan seluruh bisnis milik BUMN Singapura. Di negeri kecil itu, seluruh perusahaan milik negara memang di bawah satu komando: Temasek Holdings.

Di bawah Temasek itulah, baru ada grup-grup besar. Misalnya, grup telekomunikasi (yang saat ini di Indonesia, antara lain, sudah menjadi pemilik saham dari Indosat dan Telkomsel), grup keuangan dan perbankan (di Indonesia saat ini memiliki saham Bank Danamon dan Bank NISP), grup angkutan udara (memiliki Bandara Changi, Singapore Airlines, dan banyak lagi), grup konstruksi, grup ritel (kini di Indonesia sedang membangun mal di kawasan Bubutan, Surabaya), grup transportasi kelautan (memiliki pelabuhan Singapura, PSA), serta banyak grup lagi.

Karena di bawah satu komando, maka Temasek menjadi sangat fleksibel dalam pergerakan ekspansinya. Kini model Temasek itu di-copy oleh pemerintah Malaysia dengan membentuk Khazanah Holdings. Semua perusahaan negara di Malaysia berada dalam komando Khazanah Holdings.

Saya beruntung pernah diajak berdiskusi oleh CEO Temasek Holdings Ho Ching di kantornya yang simpel di Singapura. Wanita itu sangat sederhana dan rendah hati meski mengendalikan begitu banyak grup bisnis di bawah Temasek.

Saya juga pernah berdiskusi dengan jajaran direksi Khazanah Holdings di kantornya, Menara Kembang, Kuala Lumpur. Mereka juga sedang bersemangat memajukan seluruh perusahaan negara Malaysia.

Indonesia sebetulnya pernah punya ide untuk mengikuti jejak Singapura itu. Tetapi, karena terlalu banyaknya kepentingan politik yang terkait di dalamnya, ide tersebut sampai sekarang tidak terlaksana.

Sebagai negara yang hanya mampu mengandalkan jasa, Singapura memang harus mati-matian untuk memperkuat sektor jasa. Sebagai negara yang hanya terdiri atas satu kota (penduduknya 3 juta jiwa atau sama dengan penduduk kota Surabaya), tentu pasar domestiknya sangat terbatas. Karena itu, mau tidak mau harus ekspansi ke negara lain.

Misalnya, dengan membeli perusahaan telekomunikasi di Indonesia dan Thailand saja, pelanggan luar negerinya bisa mencapai berkali-kali lipat daripada pelanggan di dalam negerinya. Demikian juga dengan membeli bank-bank di Indonesia, Malaysia, Thailand, India, dan bahkan kini sudah membeli saham bank terbesar di Tiongkok, nasabah luar negerinya menjadi ribuan kali lipat daripada nasabah di dalam negeri.

Kecilnya wilayah Singapura ternyata bisa “diperluas” ke negara lain tanpa menjajah teritorial negara-negara itu. Contohnya, ketika mulai banyak orang berobat ke Bangkok karena di sana kini terdapat rumah sakit yang amat modern dengan biaya jauh lebih murah daripada rumah sakit di Singapura. Tentu saja jasa rumah sakit di Singapura mulai tergerogoti. Karena itu, dibelilah rumah sakit di Bangkok tersebut.

Begitu juga saat Malaysia mulai membangun pelabuhan Tanjung Pelepas di dekat Singapura, pelabuhan Singapura tidak tinggal diam. Apalagi, dari tahun ke tahun, statistik menunjukkan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok terus membesar sehingga bisa mengancam “kebesaran” pelabuhan Singapura. Karena itulah, pelabuhan Singapura membuat langkah menghebohkan: berencana membeli P&O, perusahaan pelabuhan di London yang termasuk salah satu terbesar di dunia.

Maksudnya, jika pelabuhan Singapura berhasil membeli P&O, mendadak sontak pelabuhan Singapura akan menjadi pelabuhan terbesar di dunia. Bisa dibayangkan, bagaimana negara sekecil itu bisa punya pelabuhan di 30 negara di dunia. (Di Indonesia, misalnya, P&O sudah memiliki saham di Pelabuhan Peti Kemas Surabaya).

Posisi pelabuhan Singapura belakangan memang terus terancam. Ada empat pelabuhan besar di Tiongkok yang siap menggeser kebesaran Singapura: Shenzhen, Tianjin, Dalian, dan Shanghai. Terutama Shanghai. Itu tentu belum termasuk pelabuhan Hongkong.

Dalam waktu lima tahun ke depan, Shanghai dipastikan menggeser Singapura karena kini berhasil membangun pelabuhan di tengah laut yang amat besar. Untuk menuju pelabuhan itu, harus dibangun jembatan layang di atas laut sejauh 38 km! Jembatan itu kini sudah jadi dan sudah diresmikan.

Karena itu, pelabuhan Singapura all-out dalam berusaha membeli P&O. Dengan membeli P&O, tanpa membangun pelabuhan baru (dan memang lahannya sudah tidak ada), pelabuhan Singapura bisa langsung menjadi yang terbesar di dunia. Jauh meninggalkan pelabuhan Shanghai yang membuntutinya.

Tentu, banyak pelabuhan di dunia juga ingin membeli P&O. Namun, karena tawaran Singapura terus naik, semua penawar tersisih. Kecuali satu: Dubai! Maka, dua negara itu terus saling kejar dalam mengajukan penawaran. Singapura terakhir mengajukan harga fantastis: sekitar Rp 80 triliun! Itu pun akan dibayar kontan.

Tetapi, Dubai yang kini berambisi menjadi New York belahan bumi lain masih terus menaikkan tawaran. Dubai kini memang all-out menjadi pusat keuangan dunia. Negeri kecil itu kini juga terus meliberalisasikan apa pun yang bisa membuatnya jadi pusat keuangan dunia. Semua mata kini sedang menatap Dubai. Termasuk, dalam persaingannya dengan Singapura untuk membeli P&O.

Ternyata, Dubai akhirnya menang. Singapura lempar handuk dua pekan lalu. Gagallah ambisi Singapura untuk menjadi yang terbesar di dunia.

Namun, harapan itu belum sepenuhnya hilang. Karena P&O juga memiliki enam pelabuhan di Amerika Serikat, otomatis enam pelabuhan di negeri adidaya itu jadi milik Dubai. AS pun heboh. Bagaimana sebuah negeri di Arab yang mereka citrakan sebagai pusat teroris menjadi pemilik enam pelabuhan di AS. Padahal, salah satu kebijaksanaan AS untuk membentengi diri dari terorisme adalah menjaga pelabuhannya.

Tidak heran bila ada upaya di AS untuk menggagalkan transaksi tersebut. Ini bakal persis seperti ketika perusahaan Tiongkok berhasil membeli sebuah perusahaan minyak AS yang punya cadangan minyak sangat besar itu. Transaksi perusahaan Tiongkok tersebut dianggap membahayakan kepentingan AS. Karena itu, harus dibatalkan. Apakah Dubai akan senasib dengan Tiongkok? (*)

No comments:

Post a Comment