Saturday, November 29, 2003

Belajar Mengatasi Krismon dari Tiongkok

29 November 2003
Belajar Mengatasi Krismon dari Tiongkok
Catatan Dahlan Iskan

DALAM seminar besar yang diselenggarakan mahasiswa Universitas Petra Surabaya bulan lalu, seorang peserta bertanya pada saya: apakah Tiongkok juga akan mengalami krisis ekonomi? Pertanyaan tersebut dikemukakan lantaran negeri itu sudah mengalami pertumbuhan ekonomi antara 9 sampai 12 persen pertahun selama sudah lebih dari 10 tahun berturut-turut.

Waktu itu saya akan sulit menjawab karena saya bukanlah ahli ekonomi. Tentu saya banyak sekali membaca perkembangan ekonomi Tiongkok, namun tetap saja saya tidak punya otoritas untuk menjawabnya. Namun pertanyaan mahasiswa Petra tersebut terus mendorong saya untuk ikut mencari jawabnya. Apalagi sejak pertanyaan itu diajukan hingga tulisan ini saya buat, saya sempat dua kali lagi ke Tiongkok. Tentu saya juga banyak bertanya, membaca dan menganalisis apa yang sedang terjadi dan kemungkinan apa yang bakal terjadi.

Memang banyak juga pengamat dan pelaku bisnis yang memperkirakan bahwa Tiongkok juga akan dapat giliran ambruk. Mereka tinggal berbeda pendapat mengenai kapan waktunya? Ada yang berpendapat bencana itu akan terjadi pada tahun 2009, yakni setelah Olimpiade Beijing, ada juga yang berpendapat lebih cepat dari itu.

Dasar pemikiran kelompok ini adalah logika bahwa pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi secara terus menerus akan membuat ekonomi kepanasan (over heated) sehingga pada saatnya akan meledak.

Pendapat itu juga didasari pada besarnya kredit macet di bank-bank Tiongkok yang nilainya jauh sekali lebih besar dari kredit macet di bank-bank di Indonesia sebelum krisis. Hal itu terjadi karena sistem perbankan di sana juga masih belum baik, sesuatu yang dulu juga terjadi di Indonesia.

Gejala jelek lain adalah booming properti. Di mana-mana di seluruh Tiongkok orang membangun rumah, gedung, kota baru, jembatan, hotel, apartemen seperti tak habis-habisnya. Akibatnya banyak rumah dan apartemen dan perkantoran yang tidak laku. Gedung-gedung tinggi yang gres dan wah itu masih banyak yang kosong tak terjual.

Belum lagi adanya faktor eksternal yang bisa saja sengaja ingin mengganggu Tiongkok agar tidak bisa menjadi raksasa ekonomi dunia. Pihak eksternal itu bisa saja merasa Tiongkok akan jadi ancaman bagi dominasi ekonomi negaranya selama ini.

Bagaimana pendapat saya sendiri? Saya tidak setuju dengan analisis itu. Tiongkok akan bisa terhindar dari krisis ekonomi dengan beberapa fakta berikut ini :

Pertama, cadangan devisa Tiongkok luar biasa besarnya. Kini mencapai USD 400 miliar dan masih akan terus bertambah lagi. Negara-negara yang terkena krisis ekonomi lima tahun lalu umumnya tidak mempunyai cadangan devisa yang cukup.

Kedua, bisnis properti memang boom, namun agak berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia atau Thailand waktu itu. Boomingnya properti di Tiongkok tidak sampai membuat harga-harga properti naik gila-gilaan. Selama lima tahun terakhir, kenaikan harga properti di Tiongkok hanya mencapai 4 persen saja. Suatu kenaikan yang amat kecil. Bandingkan dengan booming properti di Indonesia saat itu yang kenaikan harganya tak terbendung, terus naik seperti mengikuti selera yang menggoreng harga. 

Ketiga, investasi asing di Tiongkok lebih banyak yang bersifat investasi langsung. Bukan investasi saham atau pinjaman luar negeri. Dengan investasi yang sifatnya langsung investor asing tidak akan gampang cabut dari Tiongkok. Dan memang aturan investasi di Tiongkok yang di satu pihak dipuji setinggi langit itu sebenarnya ada segi yang sangat jitu: investor tidak bisa membawa keluar uang mereka. Ini sangat berbeda dengan investasi lewat bursa saham yang setiap detik bisa ditarik ke luar. Di Tiongkok, saat ini, pasar saham di sana justru melemah. Indeks harga saham di bursa Shanghai maupun Shenzhen justru turun terus bahkan sampai 40 persen dari harga tertingginya.

Keempat, kontrol devisa di Tiongkok dilakukan sesuai dengan kepentingan negeri itu, termasuk terus memasang kurs yuan pada tingkat yang sangat menguntungkan ekspor negeri itu. Ini sama sekali bertolak belakang dibanding dengan negara-negara yang terkena krisis ekonomi lima tahun lalu. Indonesia, misalnya, saat itu menganut sistem devisa yang sebebas-bebasnya dengan menetapkan nilai tukar rupiah yang semangambang-mengambangnya. Biar pun tekanan untuk mengubah sistem nilai tukar yuan begitu kuat , toh nyatanya Tiongkok tetap bergeming.

Kelima, Tiongkok sendiri sudah mulai memperbaiki sistemnya. Termasuk “menurunkan” suhu booming properti. Lima bulan lalu Tiongkok mulai mengendalikan kredit untuk properti. Sistem perbankannya juga terus diperbaiki.

Tentu setiap orang bisa punya pandangan yang berbeda. Saya sendiri masih akan terus mengamati apa yang terjadi di sana sehingga bisa saja suatu saat ada perkembangan lain yang bisa mengakibatkan kesimpulan yang lain pula.(*)

No comments:

Post a Comment