Belajar Mengatasi Krismon dari Tiongkok
Catatan Dahlan Iskan
DALAM seminar besar yang diselenggarakan mahasiswa Universitas Petra
Surabaya bulan lalu, seorang peserta bertanya pada saya: apakah Tiongkok
juga akan mengalami krisis ekonomi? Pertanyaan tersebut dikemukakan
lantaran negeri itu sudah mengalami pertumbuhan ekonomi antara 9 sampai
12 persen pertahun selama sudah lebih dari 10 tahun berturut-turut.
Waktu itu saya akan sulit menjawab karena saya bukanlah ahli ekonomi. Tentu saya banyak sekali membaca perkembangan ekonomi Tiongkok, namun tetap saja saya tidak punya otoritas untuk menjawabnya. Namun pertanyaan mahasiswa Petra tersebut terus mendorong saya untuk ikut mencari jawabnya. Apalagi sejak pertanyaan itu diajukan hingga tulisan ini saya buat, saya sempat dua kali lagi ke Tiongkok. Tentu saya juga banyak bertanya, membaca dan menganalisis apa yang sedang terjadi dan kemungkinan apa yang bakal terjadi.
Waktu itu saya akan sulit menjawab karena saya bukanlah ahli ekonomi. Tentu saya banyak sekali membaca perkembangan ekonomi Tiongkok, namun tetap saja saya tidak punya otoritas untuk menjawabnya. Namun pertanyaan mahasiswa Petra tersebut terus mendorong saya untuk ikut mencari jawabnya. Apalagi sejak pertanyaan itu diajukan hingga tulisan ini saya buat, saya sempat dua kali lagi ke Tiongkok. Tentu saya juga banyak bertanya, membaca dan menganalisis apa yang sedang terjadi dan kemungkinan apa yang bakal terjadi.
Memang banyak juga pengamat dan pelaku bisnis yang memperkirakan
bahwa Tiongkok juga akan dapat giliran ambruk. Mereka tinggal berbeda
pendapat mengenai kapan waktunya? Ada yang berpendapat bencana itu akan
terjadi pada tahun 2009, yakni setelah Olimpiade Beijing, ada juga yang
berpendapat lebih cepat dari itu.
Dasar pemikiran kelompok ini adalah logika bahwa pertumbuhan ekonomi
yang begitu tinggi secara terus menerus akan membuat ekonomi kepanasan
(over heated) sehingga pada saatnya akan meledak.
Pendapat itu juga didasari pada besarnya kredit macet di bank-bank Tiongkok yang nilainya jauh sekali lebih besar dari kredit macet di bank-bank di Indonesia sebelum krisis. Hal itu terjadi karena sistem perbankan di sana juga masih belum baik, sesuatu yang dulu juga terjadi di Indonesia.
Pendapat itu juga didasari pada besarnya kredit macet di bank-bank Tiongkok yang nilainya jauh sekali lebih besar dari kredit macet di bank-bank di Indonesia sebelum krisis. Hal itu terjadi karena sistem perbankan di sana juga masih belum baik, sesuatu yang dulu juga terjadi di Indonesia.
Gejala jelek lain adalah booming properti. Di mana-mana di seluruh
Tiongkok orang membangun rumah, gedung, kota baru, jembatan, hotel,
apartemen seperti tak habis-habisnya. Akibatnya banyak rumah dan
apartemen dan perkantoran yang tidak laku. Gedung-gedung tinggi yang
gres dan wah itu masih banyak yang kosong tak terjual.
Belum lagi adanya faktor eksternal yang bisa saja sengaja ingin
mengganggu Tiongkok agar tidak bisa menjadi raksasa ekonomi dunia. Pihak
eksternal itu bisa saja merasa Tiongkok akan jadi ancaman bagi dominasi
ekonomi negaranya selama ini.
Bagaimana pendapat saya sendiri? Saya tidak setuju dengan analisis
itu. Tiongkok akan bisa terhindar dari krisis ekonomi dengan beberapa
fakta berikut ini :
Pertama, cadangan devisa Tiongkok luar biasa besarnya. Kini mencapai
USD 400 miliar dan masih akan terus bertambah lagi. Negara-negara yang
terkena krisis ekonomi lima tahun lalu umumnya tidak mempunyai cadangan
devisa yang cukup.
Kedua, bisnis properti memang boom, namun agak berbeda dengan apa
yang terjadi di Indonesia atau Thailand waktu itu. Boomingnya properti
di Tiongkok tidak sampai membuat harga-harga properti naik gila-gilaan.
Selama lima tahun terakhir, kenaikan harga properti di Tiongkok hanya
mencapai 4 persen saja. Suatu kenaikan yang amat kecil. Bandingkan dengan booming properti di
Indonesia saat itu yang kenaikan harganya tak terbendung, terus naik
seperti mengikuti selera yang menggoreng harga.
Ketiga, investasi asing di Tiongkok lebih banyak yang bersifat investasi langsung. Bukan investasi saham atau pinjaman luar negeri. Dengan investasi yang sifatnya langsung investor asing tidak akan gampang cabut dari Tiongkok. Dan memang aturan investasi di Tiongkok yang di satu pihak dipuji setinggi langit itu sebenarnya ada segi yang sangat jitu: investor tidak bisa membawa keluar uang mereka. Ini sangat berbeda dengan investasi lewat bursa saham yang setiap detik bisa ditarik ke luar. Di Tiongkok, saat ini, pasar saham di sana justru melemah. Indeks harga saham di bursa Shanghai maupun Shenzhen justru turun terus bahkan sampai 40 persen dari harga tertingginya.
Keempat, kontrol devisa di Tiongkok dilakukan sesuai dengan kepentingan negeri itu, termasuk terus memasang kurs yuan pada tingkat yang sangat menguntungkan ekspor negeri itu. Ini sama sekali bertolak belakang dibanding dengan negara-negara yang terkena krisis ekonomi lima tahun lalu. Indonesia, misalnya, saat itu menganut sistem devisa yang sebebas-bebasnya dengan menetapkan nilai tukar rupiah yang semangambang-mengambangnya. Biar pun tekanan untuk mengubah sistem nilai tukar yuan begitu kuat , toh nyatanya Tiongkok tetap bergeming.
Kelima, Tiongkok sendiri sudah mulai memperbaiki sistemnya. Termasuk
“menurunkan” suhu booming properti. Lima bulan lalu Tiongkok mulai
mengendalikan kredit untuk properti. Sistem perbankannya juga terus
diperbaiki.
Tentu setiap orang bisa punya pandangan yang berbeda. Saya sendiri
masih akan terus mengamati apa yang terjadi di sana sehingga bisa saja
suatu saat ada perkembangan lain yang bisa mengakibatkan kesimpulan yang
lain pula.(*)
No comments:
Post a Comment