Catatan Dahlan Iskan
Tarif Listrik Regional: Harus tapi Khawatir
DI banyak daerah, ongkos produksi PLN jauh lebih tinggi dari harga
jual ke masyarakat. Ini karena PLN di banyak daerah harus memproduksi
listrik dengan tenaga diesel yang berbahan bakar solar. (Solar adalah
peringkat tertinggi tingkat kemahalannya untuk memperoduksi listrik,
jauh lebih mahal dibanding -sesuai dengan urutannya: gas, batu bara,
air, nuklir dan angin).
Ongkos produksinya antara Rp 800 sampai Rp 1000/kw, sedang jualnya ke masyarakat hanya sekitar Rp 600/kw. Maka tak heran bila tiga tahun terakhir, PLN Kaltim, misalnya, rugi rata-rata Rp 120 miliar/tahun. Dan PLN Kalbar rugi rata-rata hampir Rp 300 miliar/tahun. Daerah-daerah lain kurang lebih juga seperti itu. Karena itu PLN tidak mampu meningkatkan terus kapasitas produksinya di banyak daerah. Bukankah semakin tinggi kapasitas produksinya semakin tinggi ruginya?
Ongkos produksinya antara Rp 800 sampai Rp 1000/kw, sedang jualnya ke masyarakat hanya sekitar Rp 600/kw. Maka tak heran bila tiga tahun terakhir, PLN Kaltim, misalnya, rugi rata-rata Rp 120 miliar/tahun. Dan PLN Kalbar rugi rata-rata hampir Rp 300 miliar/tahun. Daerah-daerah lain kurang lebih juga seperti itu. Karena itu PLN tidak mampu meningkatkan terus kapasitas produksinya di banyak daerah. Bukankah semakin tinggi kapasitas produksinya semakin tinggi ruginya?
Akibatnya banyak daerah kesulitan listrik. Jangankan untuk
mengembangkan ekonomi daerah itu, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
sehari-hari saja tidak cukup. Bisa dimaklumi kalau lantas banyak daerah
yang tidak bisa maju.
Investor tidak tertarik sehingga investasi terus saja terpusat di
Jawa. Lama-lama, kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa bisa kian
menganga saja. Lalu, bagaimana masa depan NKRI kalau keadaan yang
seperti ini terus berlangsung? Apakah akan muncul Papua-papua, RMS-RMS
atau GAM-GAM yang lain?
Menghadapi kenyataan kesulitan listrik seperti itu Pemda di banyak
daerah mengambil langkah yang tidak seragam. Inilah beberapa langkah
yang telah diambil beberapa daerah di Indoensia, khususnya di luar Jawa:
1. Ada daerah yang menetapkan tarif sendiri yang lebih mahal dari
yang ditentukan pemerintah pusat/PLN. Logikanya begini: kalau listrik
sering mati toh masyarakat terpaksa membeli lilin. Padahal kalau
dijumlah, harga pembelian lilin sebulan lebih mahal dari tingkat
kenaikan listrik yang dilakukan. Dengan menaikkan tarif listrik setempat
seperti itu PLN daerah mampu membeli tambahan diesel. Ini yang antara
lain dilakukan oleh Walikota Tarakan yang gagah berani (termasuk berani
melayani demo-demo kenaikan tarif dari rakyatnya), dr Yusuf. Kini di
Tarakan tarif listriknya tertinggi di Indonesia. Namun tidak lagi
byar-pet. Juga tidak pernah lagi terdengar ada rumah yang terbakar
gara-gara lilin.
2. Ada daerah yang “membantu” PLN setempat dengan cara membelikan
diesel. Mesin-mesin diesel tersebut dibeli dengan APBD karena Pemda
setempat sudah panik terus-menerus didemo rakyatnya yang menuntut
tercukupinya listrik. Diesel dari APBD tersebut lantas diserahkan ke PLN
untuk dioperasikan. Dengan melakukan hal seperti ini, Pemda punya
perasaan bahwa Pemda telah membantu PLN sehingga giliran PLN dituntut
untuk memberikan layanan lebih baik. Dalam hal kasus seperti ini,
sebenarnya PLN tidak merasa terbantu. Mengapa? Dengan diberi tambahan
diesel seperti itu sebenarnya Pemda telah mendorong PLN untuk rugi lebih
besar lagi.
3. Ada daerah yang berinisiatif membuat terobosan seperti Kaltim.
Yakni membentuk perusahaan daerah kelistrikan. Perusda kelistrikan
Kaltim, bekerjasama dengan swasta akan membangun PLTU batu-bara 2 x 25
MW. Langkah model Kaltim ini, kelihatannya, akan segera diikuti oleh
Kalbar dan Lombok.
4. Ada daerah yang ingin membangun PLTU batu bara model Kaltim itu
namun tidak tahu cara dan mekanismenya. Pengetahuan orang Pemda tentang
listrik sangatlah minim. Mengapa? Lantaran selama ini Pemda memang tidak
tahu menahu soal listrik. Pemda menyerah begitu saja pada apa yang
dilakukan PLN. Istilah-istilah listrik pun mereka sulit memahaminya,
bagaimana akan membangunnya?
5. Ada daerah yang ingin memberlakukan tarif regional seperti
Tarakan, namun tidak cukup punya keberanian menghadapi protes
masyarakatnya. Forum seminar hari ini di jakarta ini pun, saya kira,
salah satu upaya untuk memberikan dorongan keberanian tersebut.
6. Ada daerah yang masa bodoh saja….
Memberlakukan tarif regional, adalah suatu keharusan. Agar masyarakat
juga tahu bahwa tarif yang sekarang ini adalah bukan tarif yang wajar.
Tapi dalam pelaksanaannya, barangkali perlu dipikirkan bagaimana agar
bisa dipisah-pisahkan mana yang perlu mendapat tarif tinggi dan mana
yang harus mendapat tarif rendah.
Kalau toh harus ada subsidi untuk lapisan tertentu, barangkali
mekanisme subsidinya diubah sedemikian rupa sehingga ybs tahu bahwa dia
sedang disubsidi (sekarang ini penduduk tidak sadar kalau sedang
mendapat subsidi).
Meski tarif regional itu suatu keharusan, namun tetap saja mengandung
sisi yang amat mengkhawatirkan dari sudut “memandang Indonesia ke
depan”. Dengan tarif regional, maka hampir pasti tarif listrik di luar
Jawa jauh lebih mahal daripada di Jawa. Ini akan berdampak jelek pada
perkembangan perekonomian seluruh Indoensia.
Maka, penentuan tarif regional haruslah hanya merupakan jalan darurat
sementara untuk mengatasi kepanikan-kepanikan akibat kekurangan
listrik. Setelah itu, harus dipikirkan bagaimana mencarikan daerah (atau
daerah itu sendiri mencari) sumber listrik yang lebih murah. Langkah
yang ditempuh Kaltim (dan mungkin akan diikuti Kalbar dan Lombok) adalah
merupakan terobosan itu.
Kalau saja terobosan seperti ini bisa dilakukan bisa jadi ada daerah
di luar Jawa yang tarif listriknya lebih murah atau paling tidak sama
dengan di Jawa. Logikanya, karena Kaltim punya tambang batubara yang
luar biasa dan PLTU di sana bisa dibangun di dekat tambang, maka tarif
regional di Kaltim, bisa berarti lebih murah dari di Jawa. Lalu, Kaltim
punya daya tarik yang lebih di mata investor.
Ini memang baru logika di atas kertas, yang pelaksanaan di lapangan
masih harus diuji dengan pengalaman. Tentu tidak semua daerah seperti
Kaltim. Daerah lain tentu akan lebih banyak berharap pada investor. Tapi
investor tidak ada yang berani masuk ke daerah karena tidak adanya
dukungan peraturan dari pusat.
PLN sendiri kini dalam posisi yang sulit karena dilarang oleh sebuah
Kepres untuk mengikat perjanjian pembelian listrik dari swasta. Tujuan
Kepres tersebut baik, yakni untuk tidak mengulang kejadian Paiton, di
mana proyek listrik swasta yang melibatkan keluarga Cendana itu nyaris
membangkrutkan PLN. Namun sudah selayaknya Kepres tersebut direvisi
dengan mengecualikan proyek-proyek kecil model Kaltim. Tanpa merevisi
Kepres tersebut maka penyediaan listrik yang baik di daerah akan terus
terbelit problem telur dan ayam yang abadi.
No comments:
Post a Comment