Tuesday, June 3, 2003

Tarif Listrik Regional: Harus tapi Khawatir

Selasa, 3 Juni 2003
Catatan Dahlan Iskan
Tarif Listrik Regional: Harus tapi Khawatir

DI banyak daerah, ongkos produksi PLN jauh lebih tinggi dari harga jual ke masyarakat. Ini karena PLN di banyak daerah harus memproduksi listrik dengan tenaga diesel yang berbahan bakar solar. (Solar adalah peringkat tertinggi tingkat kemahalannya untuk memperoduksi listrik, jauh lebih mahal dibanding -sesuai dengan urutannya: gas, batu bara, air, nuklir dan angin).

Ongkos produksinya antara Rp 800 sampai Rp 1000/kw, sedang jualnya ke masyarakat hanya sekitar Rp 600/kw. Maka tak heran bila tiga tahun terakhir, PLN Kaltim, misalnya, rugi rata-rata Rp 120 miliar/tahun. Dan PLN Kalbar rugi rata-rata hampir Rp 300 miliar/tahun. Daerah-daerah lain kurang lebih juga seperti itu. Karena itu PLN tidak mampu meningkatkan terus kapasitas produksinya di banyak daerah. Bukankah semakin tinggi kapasitas produksinya semakin tinggi ruginya?

Akibatnya banyak daerah kesulitan listrik. Jangankan untuk mengembangkan ekonomi daerah itu, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari saja tidak cukup. Bisa dimaklumi kalau lantas banyak daerah yang tidak bisa maju.

Investor tidak tertarik sehingga investasi terus saja terpusat di Jawa. Lama-lama, kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa bisa kian menganga saja. Lalu, bagaimana masa depan NKRI kalau keadaan yang seperti ini terus berlangsung? Apakah akan muncul Papua-papua, RMS-RMS atau GAM-GAM yang lain?

Menghadapi kenyataan kesulitan listrik seperti itu Pemda di banyak daerah mengambil langkah yang tidak seragam. Inilah beberapa langkah yang telah diambil beberapa daerah di Indoensia, khususnya di luar Jawa:

1. Ada daerah yang menetapkan tarif sendiri yang lebih mahal dari yang ditentukan pemerintah pusat/PLN. Logikanya begini: kalau listrik sering mati toh masyarakat terpaksa membeli lilin. Padahal kalau dijumlah, harga pembelian lilin sebulan lebih mahal dari tingkat kenaikan listrik yang dilakukan. Dengan menaikkan tarif listrik setempat seperti itu PLN daerah mampu membeli tambahan diesel. Ini yang antara lain dilakukan oleh Walikota Tarakan yang gagah berani (termasuk berani melayani demo-demo kenaikan tarif dari rakyatnya), dr Yusuf. Kini di Tarakan tarif listriknya tertinggi di Indonesia. Namun tidak lagi byar-pet. Juga tidak pernah lagi terdengar ada rumah yang terbakar gara-gara lilin.

2. Ada daerah yang “membantu” PLN setempat dengan cara membelikan diesel. Mesin-mesin diesel tersebut dibeli dengan APBD karena Pemda setempat sudah panik terus-menerus didemo rakyatnya yang menuntut tercukupinya listrik. Diesel dari APBD tersebut lantas diserahkan ke PLN untuk dioperasikan. Dengan melakukan hal seperti ini, Pemda punya perasaan bahwa Pemda telah membantu PLN sehingga giliran PLN dituntut untuk memberikan layanan lebih baik. Dalam hal kasus seperti ini, sebenarnya PLN tidak merasa terbantu. Mengapa? Dengan diberi tambahan diesel seperti itu sebenarnya Pemda telah mendorong PLN untuk rugi lebih besar lagi.

3. Ada daerah yang berinisiatif membuat terobosan seperti Kaltim. Yakni membentuk perusahaan daerah kelistrikan. Perusda kelistrikan Kaltim, bekerjasama dengan swasta akan membangun PLTU batu-bara 2 x 25 MW. Langkah model Kaltim ini, kelihatannya, akan segera diikuti oleh Kalbar dan Lombok.

4. Ada daerah yang ingin membangun PLTU batu bara model Kaltim itu namun tidak tahu cara dan mekanismenya. Pengetahuan orang Pemda tentang listrik sangatlah minim. Mengapa? Lantaran selama ini Pemda memang tidak tahu menahu soal listrik. Pemda menyerah begitu saja pada apa yang dilakukan PLN. Istilah-istilah listrik pun mereka sulit memahaminya, bagaimana akan membangunnya?

5. Ada daerah yang ingin memberlakukan tarif regional seperti Tarakan, namun tidak cukup punya keberanian menghadapi protes masyarakatnya. Forum seminar hari ini di jakarta ini pun, saya kira, salah satu upaya untuk memberikan dorongan keberanian tersebut.

6. Ada daerah yang masa bodoh saja….
Memberlakukan tarif regional, adalah suatu keharusan. Agar masyarakat juga tahu bahwa tarif yang sekarang ini adalah bukan tarif yang wajar. Tapi dalam pelaksanaannya, barangkali perlu dipikirkan bagaimana agar bisa dipisah-pisahkan mana yang perlu mendapat tarif tinggi dan mana yang harus mendapat tarif rendah.

Kalau toh harus ada subsidi untuk lapisan tertentu, barangkali mekanisme subsidinya diubah sedemikian rupa sehingga ybs tahu bahwa dia sedang disubsidi (sekarang ini penduduk tidak sadar kalau sedang mendapat subsidi).

Meski tarif regional itu suatu keharusan, namun tetap saja mengandung sisi yang amat mengkhawatirkan dari sudut “memandang Indonesia ke depan”. Dengan tarif regional, maka hampir pasti tarif listrik di luar Jawa jauh lebih mahal daripada di Jawa. Ini akan berdampak jelek pada perkembangan perekonomian seluruh Indoensia.

Maka, penentuan tarif regional haruslah hanya merupakan jalan darurat sementara untuk mengatasi kepanikan-kepanikan akibat kekurangan listrik. Setelah itu, harus dipikirkan bagaimana mencarikan daerah (atau daerah itu sendiri mencari) sumber listrik yang lebih murah. Langkah yang ditempuh Kaltim (dan mungkin akan diikuti Kalbar dan Lombok) adalah merupakan terobosan itu.

Kalau saja terobosan seperti ini bisa dilakukan bisa jadi ada daerah di luar Jawa yang tarif listriknya lebih murah atau paling tidak sama dengan di Jawa. Logikanya, karena Kaltim punya tambang batubara yang luar biasa dan PLTU di sana bisa dibangun di dekat tambang, maka tarif regional di Kaltim, bisa berarti lebih murah dari di Jawa. Lalu, Kaltim punya daya tarik yang lebih di mata investor.

Ini memang baru logika di atas kertas, yang pelaksanaan di lapangan masih harus diuji dengan pengalaman. Tentu tidak semua daerah seperti Kaltim. Daerah lain tentu akan lebih banyak berharap pada investor. Tapi investor tidak ada yang berani masuk ke daerah karena tidak adanya dukungan peraturan dari pusat.

PLN sendiri kini dalam posisi yang sulit karena dilarang oleh sebuah Kepres untuk mengikat perjanjian pembelian listrik dari swasta. Tujuan Kepres tersebut baik, yakni untuk tidak mengulang kejadian Paiton, di mana proyek listrik swasta yang melibatkan keluarga Cendana itu nyaris membangkrutkan PLN. Namun sudah selayaknya Kepres tersebut direvisi dengan mengecualikan proyek-proyek kecil model Kaltim. Tanpa merevisi Kepres tersebut maka penyediaan listrik yang baik di daerah akan terus terbelit problem telur dan ayam yang abadi.

No comments:

Post a Comment