Tuesday, March 30, 2004

Ubah Rel KA Menjadi Jalan Tol

30 Maret 2004
Ubah Rel KA Menjadi Jalan Tol
Catatan: Dahlan Iskan
 
Pertengahan bulan ini, CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan, kembali berada di Tiongkok. Kali ini ke propinsi paling utara yang amat dingin. Berikut catatan ringannya.

SAYA memang suka mengendarai mobil dengan cepat, namun supir yang membawa saya di jalan tol antara Changchun-Jilin-Harbin ini jauh lebih berani. Ia hampir selalu memacu kendaraannya 180 km/jam. Saya yang duduk di belakang supir, selalu melirik ke speedometer. Tentu dengan doa mudah-mudahan si supir tidak menaikkan jarum itu ke angka 200 km/jam. Memang, saya juga sering carter mobil untuk perjalanan Makkah-Madinah yang jalannya amat lebar, sepi dan mulus itu. Namun di perjalanan sejauh 450 Km ini supir umumnya juga hanya lari maksimum 160 Km/jam.

Jalan tol di Tiongkok memang mengubah kehidupan yang luar biasa. Semangat membangun jalan tol gila-gilaan selama 10 tahun terakhir. Tahun 1987, ketika Surabaya saja sudah punya jalan tol Perak-Gempol sejauh 42 Km (jalan tol Jagorawi di Jakarta lebih lama lagi), saat itu Tiongkok belum punya jalan tol sama sekali (masih 0 Km). Namun akhir tahun 2003 kemarin, jumlah jalan tol di Tiongkok sudah mencapai 30.000 Km. Sedang jalan tol Perak-Gempol tidak juga bertambah satu kilometer pun.

Tiongkok membangun jalan tolnya yang pertama di bagian utara negara itu, yakni di tahun 1988 yang menghubungkan kota Senyang dengan kota Dalian. Jalan tol pertama ini panjangnya 400 Km. Rupanya manfaatnya luar biasa sehingga diputuskan setiap tahun membangun rata-rata 2.000 Km. Ini sama dengan setiap tahun membangun jalan tol antara Surabaya-Medan. Maka tak ayal bila selama 15 tahun membangun jalan tol, jumlah jalan tol di sana sudah mencapai 30.000 Km.

Dengan banyaknya jalan tol seperti itu, kini banyak acara bisa dijangkau dalam waktu yang lebih pendek. Hari itu, misalnya, saya masih makan malam di Singapura. Makan pagi sudah di Beijing, makan siang di Changchun, namun sudah bisa makan malam di Jilin. Bahkan malamnya masih bisa kembali ke Changchun agar pagi sekali bisa ke Kota Harbin (baca: ha-el-ping) di propinsi Heilongjiang. Masih sempat makan siang di kota ini, untuk kemudian terbang ke Shanghai dan makan malam di Shanghai. Semuanya hanya dalam waktu 40 jam.

Saya harus akui supir dalam perjalanan Changchun-Jilin-Changchun-Harbin ini safe sekali. Jalan dengan kecepatan hampir selalu 180 Km/jam tidak terasa terlalu memaksa kendaraanya. Saya sendiri hanya pernah memacu mobil maksimum 165 km/jam (dan tentu juga hanya beberapa detik untuk kemudian melambat lagi). Itu karena saya selalu ingat pesan ini: mesin dan mobil memang bisa lari dengan mudah di atas angka itu, namun apakah kondisi bannya mendukung? Dengan kecepatan yang tinggi, suhu ban pasti naik. Dalam kondisi ban yang panas, bisa saja mobil dan mesinnya baik-baik saja, namun bannya yang tidak kuat.

Tapi dalam perjalanan di Tiongkok belahan utara itu saya tidak khawatir. Suhu udara di sini masih di sekitar nol derajat. Bahkan di kota Harbin dinginnya luar biasa: delapan derajat di bawah nol. Pada suhu seperti itu saya yakin ban mobil tidak akan panas meski diputar dalam kecepatan tinggi.

Apalagi mobil yang saya naiki adalah Toyota Land Cruiser. Jadi, dalam kecepatan 180 Km/jam tidak terasa terlalu cepat. Yang membuat sedikit was-was adalah Land Cruiser ini bikinan Tiongkok. Tepatnya bikinan kota Changchun yang saya kunjungi. Tapi si supir yang tak lain adalah staf pabrik pembuat mobil itu, rupanya ingin menunjukkan bahwa ‘made-in’ Tiongkok juga bisa diandalkan.

Hari itu saya memang mendampingi teman pengusaha Surabaya yang akan melakukan kerjasama dengan pabrik mobil tersebut. Karena itu kami harus ke Kota Changchun, satu jam penerbangan ke arah utara-timur dari Beijing. Di kota inilah pusat pabrik mobil Yi-Qi (dalam bahasa Inggris menggunakan nama First Mobil). Di masa lalu kota ini amat terkenal di Tiongkok sebagai pusat perfilman, di samping Shanghai. Juga terkenal sebagai pusat industri berat, termasuk industri persenjataan. Kemampuannya membuat senjata berat di masa lalu itulah yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun industri mobil saat ini.

Kini Yi-Qi menjelma jadi produsen mobil terbesar di Tiongkok. Tahun lalu pabrik ini sudah memproduksi 600.000 mobil. Dan tahun ini ditargetkan naik menjadi 1 juta mobil. Labanya saja tahun lalu sudah mencapai Rp 60 triliun! (untuk sekedar bandingan, perusahaan seraksasa Gudang Garam atau Sampoerna, labanya tahun lalu sekitar Rp 2 triliun). Berarti satu perusahaan Yi-Qi sudah sama dengan 30 kali Gudang Garam. Itu baru satu pabrik mobil. Padahal di Tiongkok ada beberapa pabrik mobil yang juga besar-besar. Angka-angka itu bisa diketahui secara publik karena Yi-Qi memang sudah menjadi perusahaan yang menaikkan papan namanya di pasar modal.

Saya merenung dalam-dalam mengapa perkembangan perusahaan mobil di Tiongkok melejit begitu cepat. Dan bagaimana industri ini bisa membuat industri-industri pendukung lainnya berkembang melebar. Mulai dari industri asesori, cat, kulit, plastik, komponen sampai ke industri ban. Juga bengkel, toko-toko onderdil dan usaha terkait lainnya. Betapa besar ekonomi yang bergerak di sekitar industri mobil ini.

Keberadaan jalan tol yang begitu besar tentu harus diakui menjadi salah satu faktor utama penggerak semua itu. Di Tiongkok saat ini, ke kota mana pun Anda pergi pasti sudah terhubung dengan jalan tol. Kini kita, kalau mau, bisa naik mobil dan selalu di jalan tol dari kota Harbin yang paling utara ke kota Beihai di propinsi Guangxi yang paling selatan. Itu saja berarti sekitar 10.000 Km jauhnya. Atau dari timur ke barat yang lebih jauh lagi. Atau dari barat daya ke timur laut dan dari tenggara ke barat laut. Dalam hal strategi jalan tol ini, Tiongkok mengikuti jejak sukses Amerika Serikat.

Maka saya agak heran ketika membaca berita mengenai rencana kerjasama ASEAN untuk membangun jalan kereta api yang akan mengelilingi pulau Kalimantan. Mulai dari Sabah, Kaltim, Kalsel, Kalteng, Kalbar, Sarawak, Brunai untuk kemudian nyambung lagi ke Sabah.

Rencana itu harus benar-benar diubah menjadi jalan tol. Dengan jalan KA, tidak akan membawa nilai tambah apa-apa untuk sebagian besar kawasan yang dilewati. Bahkan dari pengalaman selama ini, kawasan yang dilewati rel KA harga tanahnya jatuh. Sebab rel KA telah membelah kawasan itu menjadi tidak fleksibel. Lalu bandingkan dengan keberadaan jalan tol. Semua kawasan yang dilewati jalan tol harganya naik. Maka kalau ada jalan tol yang mengelilingi Pulau Kalimantan, harga tanah seluruh pulau Kalimantan akan naik.

Hal serupa juga terjadi di Sumatera. Saya heran mengapa ada pembicaraan yang serius untuk membangun jalan KA dari Lampung sampai Aceh. Sekali lagi, jalan tol lah yang harus diutamakan. Adanya jalan tol yang membelah pulau kaya itu akan semakin membuat berharga Pulau Sumatera.

Bahkan pemerintah sudah seharusnya memikir ulang keberadaan rel KA Surabaya-Jakarta, atau Banyuwangi-Jakarta itu. Kita tahu setiap tahun PT KIA (perusahaan yang mengelola kereta api) merugi. Dan sepanjang jalur KA tersebut juga telah menjadi kawasan yang nilainya tidak terangkat. Maka mengingat sulitnya mencari lahan untuk jalan tol Surabaya-Jakarta, PT KIA boleh berpikir untuk mengubah usahanya dari usaha transportasi kerata api menjadi usaha jalan tol. Yakni dengan mengubah rel KA-nya menjadi jalan tol. Tanpa kesulitan yang besar dalam pengadaan tanahnya. Maka para petani yang tanahnya berada di sepanjang rel KA yang selama ini nilainya sangat rendah, tiba-tiba akan naik. Jutaan petani pemilik tanah kita tiba-tiba akan lebih kaya!**

No comments:

Post a Comment