Ubah Rel KA Menjadi Jalan Tol
Catatan: Dahlan Iskan
Pertengahan bulan ini, CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan, kembali berada
di Tiongkok. Kali ini ke propinsi paling utara yang amat dingin. Berikut
catatan ringannya.
SAYA memang suka mengendarai mobil dengan cepat, namun supir yang membawa saya di jalan tol antara Changchun-Jilin-Harbin ini jauh lebih berani. Ia hampir selalu memacu kendaraannya 180 km/jam. Saya yang duduk di belakang supir, selalu melirik ke speedometer. Tentu dengan doa mudah-mudahan si supir tidak menaikkan jarum itu ke angka 200 km/jam. Memang, saya juga sering carter mobil untuk perjalanan Makkah-Madinah yang jalannya amat lebar, sepi dan mulus itu. Namun di perjalanan sejauh 450 Km ini supir umumnya juga hanya lari maksimum 160 Km/jam.
SAYA memang suka mengendarai mobil dengan cepat, namun supir yang membawa saya di jalan tol antara Changchun-Jilin-Harbin ini jauh lebih berani. Ia hampir selalu memacu kendaraannya 180 km/jam. Saya yang duduk di belakang supir, selalu melirik ke speedometer. Tentu dengan doa mudah-mudahan si supir tidak menaikkan jarum itu ke angka 200 km/jam. Memang, saya juga sering carter mobil untuk perjalanan Makkah-Madinah yang jalannya amat lebar, sepi dan mulus itu. Namun di perjalanan sejauh 450 Km ini supir umumnya juga hanya lari maksimum 160 Km/jam.
Jalan tol di Tiongkok memang mengubah kehidupan yang luar biasa. Semangat membangun jalan tol gila-gilaan selama 10 tahun terakhir. Tahun 1987, ketika Surabaya saja sudah punya jalan tol Perak-Gempol sejauh 42 Km (jalan tol Jagorawi di Jakarta lebih lama lagi), saat itu Tiongkok belum punya jalan tol sama sekali (masih 0 Km). Namun akhir tahun 2003 kemarin, jumlah jalan tol di Tiongkok sudah mencapai 30.000 Km. Sedang jalan tol Perak-Gempol tidak juga bertambah satu kilometer pun.
Tiongkok membangun jalan tolnya yang pertama di bagian utara negara itu, yakni di tahun 1988 yang menghubungkan kota Senyang dengan kota Dalian. Jalan tol pertama ini panjangnya 400 Km. Rupanya manfaatnya luar
biasa sehingga diputuskan setiap tahun membangun rata-rata 2.000 Km. Ini
sama dengan setiap tahun membangun jalan tol antara Surabaya-Medan.
Maka tak ayal bila selama 15 tahun membangun jalan tol, jumlah jalan tol
di sana sudah mencapai 30.000 Km.
Dengan banyaknya jalan tol seperti itu, kini banyak acara bisa
dijangkau dalam waktu yang lebih pendek. Hari itu, misalnya, saya masih
makan malam di Singapura. Makan pagi sudah di Beijing, makan siang di
Changchun, namun sudah bisa makan malam di Jilin. Bahkan malamnya masih
bisa kembali ke Changchun agar pagi sekali bisa ke Kota Harbin (baca:
ha-el-ping) di propinsi Heilongjiang. Masih sempat makan siang di kota
ini, untuk kemudian terbang ke Shanghai dan makan malam di Shanghai.
Semuanya hanya dalam waktu 40 jam.
Saya harus akui supir dalam perjalanan
Changchun-Jilin-Changchun-Harbin ini safe sekali. Jalan dengan kecepatan
hampir selalu 180 Km/jam tidak terasa terlalu memaksa kendaraanya. Saya
sendiri hanya pernah memacu mobil maksimum 165 km/jam (dan tentu juga
hanya beberapa detik untuk kemudian melambat lagi). Itu karena saya
selalu ingat pesan ini: mesin dan mobil memang bisa lari dengan mudah di
atas angka itu, namun apakah kondisi bannya mendukung? Dengan kecepatan
yang tinggi, suhu ban pasti naik. Dalam kondisi ban yang panas, bisa
saja mobil dan mesinnya baik-baik saja, namun bannya yang tidak kuat.
Tapi dalam perjalanan di Tiongkok belahan utara itu saya tidak
khawatir. Suhu udara di sini masih di sekitar nol derajat. Bahkan di
kota Harbin dinginnya luar biasa: delapan derajat di bawah nol. Pada
suhu seperti itu saya yakin ban mobil tidak akan panas meski diputar
dalam kecepatan tinggi.
Apalagi mobil yang saya naiki adalah Toyota Land Cruiser. Jadi, dalam
kecepatan 180 Km/jam tidak terasa terlalu cepat. Yang membuat sedikit
was-was adalah Land Cruiser ini bikinan Tiongkok. Tepatnya bikinan kota
Changchun yang saya kunjungi. Tapi si supir yang tak lain adalah staf
pabrik pembuat mobil itu, rupanya ingin menunjukkan bahwa ‘made-in’
Tiongkok juga bisa diandalkan.
Hari itu saya memang mendampingi teman pengusaha Surabaya yang akan melakukan kerjasama dengan pabrik mobil tersebut. Karena itu kami harus ke Kota Changchun, satu jam penerbangan ke arah utara-timur dari Beijing. Di kota inilah pusat pabrik mobil Yi-Qi (dalam bahasa Inggris menggunakan nama First Mobil). Di masa lalu kota ini amat terkenal di Tiongkok sebagai pusat perfilman, di samping Shanghai. Juga terkenal sebagai pusat industri berat, termasuk industri persenjataan. Kemampuannya membuat senjata berat di masa lalu itulah yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun industri mobil saat ini.
Hari itu saya memang mendampingi teman pengusaha Surabaya yang akan melakukan kerjasama dengan pabrik mobil tersebut. Karena itu kami harus ke Kota Changchun, satu jam penerbangan ke arah utara-timur dari Beijing. Di kota inilah pusat pabrik mobil Yi-Qi (dalam bahasa Inggris menggunakan nama First Mobil). Di masa lalu kota ini amat terkenal di Tiongkok sebagai pusat perfilman, di samping Shanghai. Juga terkenal sebagai pusat industri berat, termasuk industri persenjataan. Kemampuannya membuat senjata berat di masa lalu itulah yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun industri mobil saat ini.
Kini Yi-Qi menjelma jadi produsen mobil terbesar di Tiongkok. Tahun
lalu pabrik ini sudah memproduksi 600.000 mobil. Dan tahun ini
ditargetkan naik menjadi 1 juta mobil. Labanya saja tahun lalu sudah
mencapai Rp 60 triliun! (untuk sekedar bandingan, perusahaan seraksasa Gudang Garam
atau Sampoerna, labanya tahun lalu sekitar Rp 2 triliun). Berarti satu
perusahaan Yi-Qi sudah sama dengan 30 kali Gudang Garam. Itu baru satu
pabrik mobil. Padahal di Tiongkok ada beberapa pabrik mobil yang juga
besar-besar. Angka-angka itu bisa diketahui secara publik karena Yi-Qi
memang sudah menjadi perusahaan yang menaikkan papan namanya di pasar
modal.
Saya merenung dalam-dalam mengapa perkembangan perusahaan mobil di
Tiongkok melejit begitu cepat. Dan bagaimana industri ini bisa membuat
industri-industri pendukung lainnya berkembang melebar. Mulai dari
industri asesori, cat, kulit, plastik, komponen sampai ke industri ban.
Juga bengkel, toko-toko onderdil dan usaha terkait lainnya. Betapa besar
ekonomi yang bergerak di sekitar industri mobil ini.
Keberadaan jalan tol yang begitu besar tentu harus diakui menjadi
salah satu faktor utama penggerak semua itu. Di Tiongkok saat ini, ke
kota mana pun Anda pergi pasti sudah terhubung dengan jalan tol. Kini
kita, kalau mau, bisa naik mobil dan selalu di jalan tol dari kota
Harbin yang paling utara ke kota Beihai di propinsi Guangxi yang paling
selatan. Itu saja berarti sekitar 10.000 Km jauhnya. Atau dari timur ke
barat yang lebih jauh lagi. Atau dari barat daya ke timur laut dan dari
tenggara ke barat laut. Dalam hal strategi jalan tol ini, Tiongkok
mengikuti jejak sukses Amerika Serikat.
Maka saya agak heran ketika membaca berita mengenai rencana kerjasama ASEAN untuk membangun jalan kereta api yang akan mengelilingi pulau
Kalimantan. Mulai dari Sabah, Kaltim, Kalsel, Kalteng, Kalbar, Sarawak,
Brunai untuk kemudian nyambung lagi ke Sabah.
Rencana itu harus benar-benar diubah menjadi jalan tol. Dengan jalan
KA, tidak akan membawa nilai tambah apa-apa untuk sebagian besar kawasan
yang dilewati. Bahkan dari pengalaman selama ini, kawasan yang dilewati
rel KA harga tanahnya jatuh. Sebab rel KA telah membelah kawasan itu
menjadi tidak fleksibel. Lalu bandingkan dengan keberadaan jalan tol.
Semua kawasan yang dilewati jalan tol harganya naik. Maka kalau ada
jalan tol yang mengelilingi Pulau Kalimantan, harga tanah seluruh pulau
Kalimantan akan naik.
Hal serupa juga terjadi di Sumatera. Saya heran mengapa ada
pembicaraan yang serius untuk membangun jalan KA dari Lampung sampai
Aceh. Sekali lagi, jalan tol lah yang harus diutamakan. Adanya jalan tol yang
membelah pulau kaya itu akan semakin membuat berharga Pulau Sumatera.
Bahkan pemerintah sudah seharusnya memikir ulang keberadaan rel KA
Surabaya-Jakarta, atau Banyuwangi-Jakarta itu. Kita tahu setiap tahun PT
KIA (perusahaan yang mengelola kereta api) merugi. Dan sepanjang jalur
KA tersebut juga telah menjadi kawasan yang nilainya tidak terangkat.
Maka mengingat sulitnya mencari lahan untuk jalan tol Surabaya-Jakarta,
PT KIA boleh berpikir untuk mengubah usahanya dari usaha transportasi
kerata api menjadi usaha jalan tol. Yakni dengan mengubah rel KA-nya
menjadi jalan tol. Tanpa kesulitan yang besar dalam pengadaan tanahnya.
Maka para petani yang tanahnya berada di sepanjang rel KA yang selama
ini nilainya sangat rendah, tiba-tiba akan naik. Jutaan petani pemilik
tanah kita tiba-tiba akan lebih kaya!**
No comments:
Post a Comment