Hotel Mulia ala Nurwahid
Catatan Dahlan Iskan
Saya sering berada di Hotel Mulia Senayan, terutama untuk janjian
dengan tamu. Letaknya strategis sehingga mudah dijangkau dari mana saja.
Juga tidak terlalu jauh (untuk ukuran Jakarta) dari kantor Jawa Pos
Jakarta. Kalau mau ke bandara atau datang dari bandara, juga mudah
aksesnya ke jalan tol.
Banyak hotel di sekitar gedung DPR/MPR, tetapi memang Hotel Mulialah yang paling dekat dengan gedung wakil rakyat itu. Juga paling baru dan paling besar. Jumlah kamarnya hampir 1.000 dan fasilitasnya benar-benar comfort. Kucuran air di kamar mandinya begitu besar dan sempurna. Handuknya empuk dan nyaman sekali terasa di kulit. Bantalnya khas empuknya dan pas tingginya.
Banyak hotel di sekitar gedung DPR/MPR, tetapi memang Hotel Mulialah yang paling dekat dengan gedung wakil rakyat itu. Juga paling baru dan paling besar. Jumlah kamarnya hampir 1.000 dan fasilitasnya benar-benar comfort. Kucuran air di kamar mandinya begitu besar dan sempurna. Handuknya empuk dan nyaman sekali terasa di kulit. Bantalnya khas empuknya dan pas tingginya.
Ruang kamarnya lebar, TV-nya besar, sofa dan
meja kerjanya nyaman sekali rasanya. Warna kamarnya dominan kuning
lunak dan pandangan ke luar kamar baik semua. Di kamar tertentu bisa
melihat gedung DPR/MPR dari atas. Di kamar lain bisa melihat
kemegahan Stadion Senayan. Dari kamar yang lain lagi bisa lihat lapangan
golf. Dan, dari kamar tertentu bisa melihat gedung Graha Pena Jakarta.
Restoran di lantai bawah tanah juga lengkap. Makanan Thailandnya
selalu penuh pengunjung. Masakan Jepangnya terkenal. Chinese foodnya di
atas rata-rata. Tapi, semua itu kalah dengan coffee shop-nya yang mirip
pujasera, tapi bintang lima. Mulai sashimi sampai dawet ada di sini.
Lift-nya 10 buah, semuanya dengan kecepatan tinggi. Lobby-nya longgar
sekali dan terasnya cukup untuk mobil berhenti jajar empat. Mobil-mobil
mewah mendapat prioritas berhenti di teras: ada BMW seri 7, Roll Roys
Bently, Jaguar, dan sebangsanya.
Kalau musim sidang pleno DPR atau MPR, hotel ini ramainya lebih-lebih
lagi. Atau, kalau lagi ada perhelatan politik tingkat nasional.
Politisi berlalu-lalang di hotel ini. Coffee shop-nya melebihi ruang
rapat berbagai komisi politik. Dijamin tidak ada yang ketiduran dalam “rapat komisi” di berbagai sudut hotel ini.
Meski paling dekat dengan gedung DPR/MPR, untuk menuju gedung wakil
rakyat ini tetap harus bermobil. Maka, sebenarnya ukuran dekat di sini
juga relatif. Sama-sama masih harus naik mobil, maka sebenarnya ada juga
hotel yang jauh lebih sederhana dari Hotel Mulia. Yakni, Hotel Century
atau Hotel Ibis. Tapi, mana bisa bergengsi untuk menggunakan kedua hotel
itu, karena memang hanya berbintang tiga?
Maka, kalau Ketua MPR Dr Hidayat Nurwahid tidak mau menggunakan
fasilitas untuk tinggal di Hotel Mulia ini, barangkali bukan dengan
alasan semata-mata agar lebih menghemat. Untuk ukuran hotel semewah
Mulia, tarifnya sebenarnya tidak mahal. Saya bisa dapat tarif kurang
dari Rp 1 juta satu malam.
Langkah ketua MPR itu harus lebih dilihat dari semangatnya.
Semangat menyesuaikan diri dengan kesulitan ekonomi umumnya masyarakat
yang mereka wakili. Di mata orang seperti ketua MPR, Hotel Mulia
mengandung banyak aspek yang harus dia hindari: Itulah hotel yang
mengambil tanah kompleks olahraga Senayan (meski prosedurnya barangkali secara hukum benar).
Itulah hotel
yang melanggar tata ruang karena menggunakan sempadan jalan (meski
secara hukum sudah diselesaikan dengan cara membayar denda). Itulah
hotel yang pemiliknya atau sebagian pemiliknya terkait dengan BLBI dalam
jumlah besar, lalu terlibat kasus cesie Bank Bali, tapi grup perusahaan ini mampu menyumbang puluhan miliar untuk kepentingan partai penguasa.
Kalau dilihat dari semua itu, alangkah sayangnya kalau politisi dan
negarawan lainnya tidak mau mengikuti jejak Hidayat Nurwahid. Sekadar
untuk menunjukkan kepekaan perasaan keadilan yang umumnya juga dirasakan
masyarakat yang mereka wakili.
Toh, tanpa politisi tinggal di hotel ini selama bersidang MPR hari
ini, Hotel Mulia akan tetap berjaya: hotel ini nyaman, mudah dijangkau,
bergensi, lengkap, dan relatif murah. Hotel ini juga “bersejarah”.
Inilah hotel yang memegang rekor dunia dalam kecepatan pembangunannya.
Hotel 40 tingkat ini dibangun dalam delapan bulan saja sehingga masuk ke
Guinness Book of World Records.
Karena itu, saya yakin tetap saja di hari-hari mendatang hotel ini
akan tetap penuh dengan politisi yang lalu lalang di dalamnya. Sebuah
kenikmatan yang sudah begitu lama menjadi bagian dari gaya hidup
politisi Jakarta. (dis)
No comments:
Post a Comment