Sejuta Teman Masih Kurang, Satu Musuh Sudah Kelebihan
Bersama Presiden SBY Belajar sampai ke China (1)
Tahun ini saja sudah delapan kali CEO Jawa Pos Dahlan Iskan ke
Tiongkok. Tapi, yang terakhir ini menjadi khusus karena bersama Presiden
SBY. Berikut catatan bersambungnya mengenai lawatan itu berikut
penilaian pribadinya.
MUSUH terbesar kita sekarang ini adalah waktu. Tiga kali kalimat itu diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama tiga hari berada di Tiongkok. Yang sekali disambungnya dengan kalimat, “tapi sahabat kita juga waktu.”
MUSUH terbesar kita sekarang ini adalah waktu. Tiga kali kalimat itu diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama tiga hari berada di Tiongkok. Yang sekali disambungnya dengan kalimat, “tapi sahabat kita juga waktu.”
Pengucapan kalimat seperti itu, kalau kemarin-kemarin, barangkali
hanya akan dianggap sebagai bagian dari kepandaiannya membuat pidato
yang memikat. Namun, kali ini sebaiknya perlu dicatat khusus dengan dua
alasan.
Pertama, masa kepemimpinannya tidak terasa sudah berumur sembilan bulan. Presiden SBY benar-benar dikejar waktu untuk segera mewujudkan janji-janji kampanyenya dan program kabinetnya. Kalau tidak, lawan-lawan politiknya akan semakin mampu menimbun amunisi untuk suatu saat siap ditembakkan secara bertubi-tubi.
Pertama, masa kepemimpinannya tidak terasa sudah berumur sembilan bulan. Presiden SBY benar-benar dikejar waktu untuk segera mewujudkan janji-janji kampanyenya dan program kabinetnya. Kalau tidak, lawan-lawan politiknya akan semakin mampu menimbun amunisi untuk suatu saat siap ditembakkan secara bertubi-tubi.
Kedua, kalimat itu diucapkan di Tiongkok. Barangkali saja Presiden
SBY benar-benar mendapatkan inspirasi untuk meneguhkan sikap: Tiongkok
bisa, mengapa kita tidak. Dulu, ketika banyak orang membandingkan
Indonesia dengan Amerika atau Eropa, selalu saja beralasan begini: AS
sudah 200 tahun merdeka, sedangkan kita belum 60 tahun. Lalu, ketika
dibandingkan mengapa Singapura bisa, juga ada alasan begini: Singapura
penduduknya kan cuma tiga juta.
Nah, kini, Tiongkok ini, mengapa bisa? Negaranya juga muda.
Penduduknya lebih dari satu miliar. Berangkatnya juga amat miskin.
Mulainya membangun juga baru 1980. Asalnya juga amat miskin: negaranya
maupun penduduknya. Mengapa bisa? Bagi yang selalu suka bikin alasan
tentu masih banyak juga yang bisa dipakai cuci-tangan: mereka kan
komunis, kan punya huajiao yang banyak dan kaya, kan ini, kan itu.
Presiden SBY kelihatannya sama sekali tidak menunjukkan sikap suka
cari alasan seperti itu. Ini tecermin dari pembukaan pembicaraannya
setiap kali bertemu pemimpin Tiongkok. Baik tingkat pusat, daerah maupun
swastanya. “Di samping memenuhi undangan Presiden Hu Jintao, saya ke
sini juga untuk belajar,” katanya suatu saat di awal sebuah pertemuan.
Atau, saat di forum bisnis yang diprakarsai Moh S Hidayat, ketua Umum
Kadin Indonesia, Presiden SBY membuka pidatonya dengan ini: “Ada
kata-kata bijak, belajarlah sampai ke negeri China. Dan hari ini saya
melakukan itu.”
Rendah hati adalah modal awal untuk kemajuan. Juga menandakan sikap
dan hatinya terbuka untuk mendengar dan menerima masukan. Satu kenyataan
memang tidak bisa ditutupi: Tiongkok maju perekonomiannya secara
menakjubkan. Lima belas tahun lalu, para pengusaha Indonesia yang datang
ke Tiongkok (tentu umumnya huajiao), masih merasa sebagai orang kaya.
“Kini, kalau kami ke sini, rasanya seperti orang miskin,” ujar seorang
pengusaha dari Bandung.
Mau belajar saja tentu belum cukup. Ingin belajar dari Tiongkok,
apalagi ingin kerja sama, lebih-lebih lagi kalau ingin menarik modal
mereka, ada lika-liku yang harus dilaluinya. Syarat-syarat itu
gampang-gampang susah. Gampang karena tidak perlu membayar. Susah karena
harus memahami kultur mereka. Kepercayaan lebih penting dari apa pun.
Persahabatan adalah pintunya.
Bagaimana mau bersahabat kalau tidak memahami kulturnya? Mereka tidak
peduli kita beragama apa dan berideologi mana. Tapi, saling menghormati
adalah sesuatu yang lebih penting daripada perbedaan apa pun. Saya,
misalnya, tidak pernah membuat mereka merasa sungkan untuk minum minuman
keras berbotol-botol. Saya bisa cari jalan untuk menghindarinya tanpa
membuat mereka merasa tidak menghormati saya. Banyak cara yang bisa
dipakai untuk itu. Misalnya saya akan bilang, “Saya ada masalah dengan
liver saya.”
Selesai. Mereka mengerti, minuman keras amat merusak liver. Tidak
perlu bilang begini: agama saya melarang itu, karena termasuk haram dan
siapa yang meminumnya akan masuk neraka. Kalimat seperti itu hanya akan
merusak persahabatan. Mereka juga tidak mengerti neraka karena umumnya
memang tidak beragama. Meski komunis, mereka saya lihat tidak anti
Tuhan. Bahkan, saya lihat mereka juga bertuhan. Hanya tidak beragama.
Ketika saya ingin menghindari makan kodok, biasanya menggunakan
penjelasan ini: saya ini orang yang lahir di desa. Dulu, kodok itu
mainan dan sahabat kecil saya. Terlalu banyak alasan yang bisa dibuat
untuk itu. Dan yang paling mudah adalah ini: saya punya penyakit alergi
ini atau itu.
Presiden SBY sudah memenuhi syarat itu. Ketika memulai pidato,
presiden tidak perlu mengucapkan “assalamu alaikum…” yang akan
menimbulkan kewajiban bagi pendengarnya untuk membalas ucapan itu. Saya
bisa membayangkan, betapa tidak mengertinya mereka harus membalas dengan
kalimat apa. Tapi, untuk menunjukkan jati dirinya sebagai orang Islam,
presiden memulai pidato dengan mengucapkan basmallah:
bismillahirrahmanirrahim… dengan fasihnya.
Tanda yang lain lagi bisa saya lihat dengan jelas dari
kalimat-kalimatnya seperti ini: di samping ingin belajar, saya ke sini
juga ingin mencari teman! Tepat sekali dengan kultur Tionghoa. Mencari
teman! Mungkin maksudnya juga sekalian mencari uang, tapi pengucapannya
tidak boleh vulgar begitu. Harus dibungkus dengan kemasan “mencari
teman”!
Kemasan sangat penting. Meski isi adalah segala-galanya. Di Tiongkok
sendiri sangat terkenal ungkapan “punya sejuta teman masih kurang, punya
satu musuh sudah terlalu banyak”. Carilah teman. Jangan ciptakan musuh.
Alangkah tenteramnya hidup. Makan-minum bersama-sama. Dengan riang
gembira. Mereka minum arak putih, saya minum air putih. Mereka minum
anggur merah, saya minta fanta! Gelas terus beradu. Minum lagi. Minum
lagi. Gan Bei! Tanda tangan besoknya.
Dari segi ini Presiden SBY sukses mencari teman. Juga sukses minta
tanda tangan. Besoknya, USD 7,5 miliar dibawa pulang. Untuk Indonesia.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment