Monday, August 1, 2005

Sejuta Teman Masih Kurang, Satu Musuh Sudah Kelebihan

1 Agustus 2005
Sejuta Teman Masih Kurang, Satu Musuh Sudah Kelebihan
Bersama Presiden SBY Belajar sampai ke China (1)

Tahun ini saja sudah delapan kali CEO Jawa Pos Dahlan Iskan ke Tiongkok. Tapi, yang terakhir ini menjadi khusus karena bersama Presiden SBY. Berikut catatan bersambungnya mengenai lawatan itu berikut penilaian pribadinya.

MUSUH terbesar kita sekarang ini adalah waktu. Tiga kali kalimat itu diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama tiga hari berada di Tiongkok. Yang sekali disambungnya dengan kalimat, “tapi sahabat kita juga waktu.”

Pengucapan kalimat seperti itu, kalau kemarin-kemarin, barangkali hanya akan dianggap sebagai bagian dari kepandaiannya membuat pidato yang memikat. Namun, kali ini sebaiknya perlu dicatat khusus dengan dua alasan.

Pertama, masa kepemimpinannya tidak terasa sudah berumur sembilan bulan. Presiden SBY benar-benar dikejar waktu untuk segera mewujudkan janji-janji kampanyenya dan program kabinetnya. Kalau tidak, lawan-lawan politiknya akan semakin mampu menimbun amunisi untuk suatu saat siap ditembakkan secara bertubi-tubi.

Kedua, kalimat itu diucapkan di Tiongkok. Barangkali saja Presiden SBY benar-benar mendapatkan inspirasi untuk meneguhkan sikap: Tiongkok bisa, mengapa kita tidak. Dulu, ketika banyak orang membandingkan Indonesia dengan Amerika atau Eropa, selalu saja beralasan begini: AS sudah 200 tahun merdeka, sedangkan kita belum 60 tahun. Lalu, ketika dibandingkan mengapa Singapura bisa, juga ada alasan begini: Singapura penduduknya kan cuma tiga juta.

Nah, kini, Tiongkok ini, mengapa bisa? Negaranya juga muda. Penduduknya lebih dari satu miliar. Berangkatnya juga amat miskin. Mulainya membangun juga baru 1980. Asalnya juga amat miskin: negaranya maupun penduduknya. Mengapa bisa? Bagi yang selalu suka bikin alasan tentu masih banyak juga yang bisa dipakai cuci-tangan: mereka kan komunis, kan punya huajiao yang banyak dan kaya, kan ini, kan itu.

Presiden SBY kelihatannya sama sekali tidak menunjukkan sikap suka cari alasan seperti itu. Ini tecermin dari pembukaan pembicaraannya setiap kali bertemu pemimpin Tiongkok. Baik tingkat pusat, daerah maupun swastanya. “Di samping memenuhi undangan Presiden Hu Jintao, saya ke sini juga untuk belajar,” katanya suatu saat di awal sebuah pertemuan.

Atau, saat di forum bisnis yang diprakarsai Moh S Hidayat, ketua Umum Kadin Indonesia, Presiden SBY membuka pidatonya dengan ini: “Ada kata-kata bijak, belajarlah sampai ke negeri China. Dan hari ini saya melakukan itu.”

Rendah hati adalah modal awal untuk kemajuan. Juga menandakan sikap dan hatinya terbuka untuk mendengar dan menerima masukan. Satu kenyataan memang tidak bisa ditutupi: Tiongkok maju perekonomiannya secara menakjubkan. Lima belas tahun lalu, para pengusaha Indonesia yang datang ke Tiongkok (tentu umumnya huajiao), masih merasa sebagai orang kaya. “Kini, kalau kami ke sini, rasanya seperti orang miskin,” ujar seorang pengusaha dari Bandung.

Mau belajar saja tentu belum cukup. Ingin belajar dari Tiongkok, apalagi ingin kerja sama, lebih-lebih lagi kalau ingin menarik modal mereka, ada lika-liku yang harus dilaluinya. Syarat-syarat itu gampang-gampang susah. Gampang karena tidak perlu membayar. Susah karena harus memahami kultur mereka. Kepercayaan lebih penting dari apa pun. Persahabatan adalah pintunya.

Bagaimana mau bersahabat kalau tidak memahami kulturnya? Mereka tidak peduli kita beragama apa dan berideologi mana. Tapi, saling menghormati adalah sesuatu yang lebih penting daripada perbedaan apa pun. Saya, misalnya, tidak pernah membuat mereka merasa sungkan untuk minum minuman keras berbotol-botol. Saya bisa cari jalan untuk menghindarinya tanpa membuat mereka merasa tidak menghormati saya. Banyak cara yang bisa dipakai untuk itu. Misalnya saya akan bilang, “Saya ada masalah dengan liver saya.”

Selesai. Mereka mengerti, minuman keras amat merusak liver. Tidak perlu bilang begini: agama saya melarang itu, karena termasuk haram dan siapa yang meminumnya akan masuk neraka. Kalimat seperti itu hanya akan merusak persahabatan. Mereka juga tidak mengerti neraka karena umumnya memang tidak beragama. Meski komunis, mereka saya lihat tidak anti Tuhan. Bahkan, saya lihat mereka juga bertuhan. Hanya tidak beragama.

Ketika saya ingin menghindari makan kodok, biasanya menggunakan penjelasan ini: saya ini orang yang lahir di desa. Dulu, kodok itu mainan dan sahabat kecil saya. Terlalu banyak alasan yang bisa dibuat untuk itu. Dan yang paling mudah adalah ini: saya punya penyakit alergi ini atau itu.

Presiden SBY sudah memenuhi syarat itu. Ketika memulai pidato, presiden tidak perlu mengucapkan “assalamu alaikum…” yang akan menimbulkan kewajiban bagi pendengarnya untuk membalas ucapan itu. Saya bisa membayangkan, betapa tidak mengertinya mereka harus membalas dengan kalimat apa. Tapi, untuk menunjukkan jati dirinya sebagai orang Islam, presiden memulai pidato dengan mengucapkan basmallah: bismillahirrahmanirrahim… dengan fasihnya.

Tanda yang lain lagi bisa saya lihat dengan jelas dari kalimat-kalimatnya seperti ini: di samping ingin belajar, saya ke sini juga ingin mencari teman! Tepat sekali dengan kultur Tionghoa. Mencari teman! Mungkin maksudnya juga sekalian mencari uang, tapi pengucapannya tidak boleh vulgar begitu. Harus dibungkus dengan kemasan “mencari teman”!

Kemasan sangat penting. Meski isi adalah segala-galanya. Di Tiongkok sendiri sangat terkenal ungkapan “punya sejuta teman masih kurang, punya satu musuh sudah terlalu banyak”. Carilah teman. Jangan ciptakan musuh. Alangkah tenteramnya hidup. Makan-minum bersama-sama. Dengan riang gembira. Mereka minum arak putih, saya minum air putih. Mereka minum anggur merah, saya minta fanta! Gelas terus beradu. Minum lagi. Minum lagi. Gan Bei! Tanda tangan besoknya.

Dari segi ini Presiden SBY sukses mencari teman. Juga sukses minta tanda tangan. Besoknya, USD 7,5 miliar dibawa pulang. Untuk Indonesia. (bersambung)

No comments:

Post a Comment