Right Man in the Right Apa?
Catatan Dahlan Iskan
SETELAH era Presiden Soeharto, menurut humor politik, kita punya tiga
jenis presiden. Misalnya Prof Habibie. Orangnya hebat,
langkah-langkahnya jitu. Dia bebaskan pers. Dia hapus istilah
pri-nonpri. Dia bikin demokrasi lebih baik. Dia restrukturisasi utang
konglomerat agar ekonomi segera jalan. Dia bikin nilai satu dolar AS
dari Rp 15.000 menjadi tinggal Rp 6.500.
Dia merdekakan Timtim sehingga presiden berikutnya tidak perlu lagi terbebani soal Timtim. Dan banyak lagi.Namun, Habibie disebut sebagai orang hebat yang memerintah di waktu yang salah. Saat itu euforia reformasi lagi berada di puncaknya. Apa pun yang dia bikin akan disalahkan. Maka, secara guyon, Habibie disebut juga sebagai right man in the wrong time.
Dia merdekakan Timtim sehingga presiden berikutnya tidak perlu lagi terbebani soal Timtim. Dan banyak lagi.Namun, Habibie disebut sebagai orang hebat yang memerintah di waktu yang salah. Saat itu euforia reformasi lagi berada di puncaknya. Apa pun yang dia bikin akan disalahkan. Maka, secara guyon, Habibie disebut juga sebagai right man in the wrong time.
Lalu, kita punya Presiden Megawati. Banyak yang menilai orangnya tidak hebat. Bukan administrator dan bukan pula profesor. Tapi, Mega memerintah pada waktu yang sudah tepat. Orang sudah lelah dengan reformasi sehingga menjual BUMN pun sudah tidak terlalu banyak didemo. Mengampuni konglomerat hitam pun tidak sampai menggoyahkan kedudukannya. Timing (ketepatan waktu) memang sering menentukan dan tidak bisa diulang. Secara guyon, lantas Megawati disebut wrong woman in the right time.
Kita juga punya satu jenis presiden lagi: Gus Dur. Ia adalah presiden
yang membuat istana kepresidenan tidak angker dan berani melakukan
demiliterisasi. Keberaniannya memecat Menko Polkam Jenderal Wiranto
termasuk dipuji banyak pihak. Namun, kekurangan fisiknya (beliau tidak
bisa melihat), ditambah kebiasaan njaili lawan-lawan politiknya, masih
ditambah pula situasi euforia reformasi yang belum sepenuhnya reda,
membuat Gus Dur sering disebut dalam guyon itu sebagai wrong man in the
wrong time.
Apakah kali ini, dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
presiden baru, kita akan punya presiden jenis keempat? Yakni right man
in the right time? Harapan banyak orang tentunya begitu. Meski
kenyataannya belum tentu juga.
Salah satu faktor yang bisa membuat SBY bukan right man dan bukan di
right time adalah citra Partai Demokrat yang dilahirkannya, sekaligus
yang mencalonkannya. Aparat Partai Demokrat di tingkat daerah (baik yang
di struktur partai maupun yang di legislatif) mengingatkan kita pada
citra PDI Perjuangan lima tahun yang lalu.
Ini memang problem internal yang dilematis. Seperti juga PDI
Perjuangan kala kurangan kader berkualitas, Partai Demokrat pun idem
ditto. Maklum, siapa sih yang mau jadi aktivis PDI Perjuangan di saat
partai itu ditindas Orde Baru? Demikian juga, siapa sih yang mau aktif
di Partai Demokrat yang begitu kecil? Waktu itu, kata seorang aktivis
Partai Demokrat, kita sampai tawar-tawarkan kepada siapa saja untuk jadi
pengurus, tapi nggak ada yang mau.
Akhirnya, mereka itulah yang berhak menikmati hasil perjuangannya
dengan duduk di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Ada yang latar
belakangnya benar-benar saat minim: pendidikan, wawasan, maupun
ekonominya. Ada juga yang bapak, ibu, anak, menantu duduk di DPRD.
Di satu pihak kenikmatan itu memang menjadi “hak” mereka. Di pihak
lain, citra SBY bisa sangat jelek, apalagi kalau mereka tidak bisa
mengendalikan diri sebagaimana banyak yang dipertontonkan anggota dewan
dari partai penguasa saat ini. Sebab, rakyat melihat langsung tingkah
laku mereka.
Sebagaimana juga rakyat melihat bagaimana seorang anggota dewan dari
PDI Perjuangan Surabaya yang semula hanya bisa tinggal di rumah
kontrakan di dalam sebuah gang kecil tiba-tiba harus menguasai banyak
mobil, hidupnya dari hotel ke hotel, dan rumahnya tiba-tiba menjadi
mewah. Begitu banyak cerita lucu tentang bagaimana yang semula
menggunakan sendok dan garpu saja tidak bisa tiba-tiba harus selalu
makan di hotel berbintang. Bahkan, tak jarang ada cerita di awal masa
kenikmatan itu, di antara mereka, ada yang diam-diam membungkus sendok
milik hotel -karena di rumahnya tidak ada sendok seperti itu.
Kini problem serupa bisa jadi akan menimpa Partai Demokrat. Kalau hal
itu terjadi, sejarah akan terulang: SBY akan dibusukkan oleh anak-anak
revolusinya sendiri. Gejala ke arah sana ada. Utang mereka untuk
kampanye kan harus dibayar. Gengsi mereka sebagai anggota dewan yang
terhormat juga harus diongkosi. Misalnya, kita bisa melihat betapa bangganya mereka
mengenakan jas baru, seolah-olah tanpa jas itu keberadaan mereka sebagai
anggota dewan belum terlihat.
Memang, ada anggapan di antara mereka: kamilah yang berjuang keras
menjadikan SBY sebagai presiden baru. Orang lain, seperti saya ini,
hanya bisa mencela. Tapi, patut juga direnungkan pertanyaan ini: apakah
mereka yang menjadikan SBY presiden atau justru kepopuleran SBY-lah yang
membuat mereka bisa dapat suara dan akhirnya jadi anggota dewan?
Memang ada kombinasi juga di antara keduanya. Merenungkan pertanyaan
tersebut akan bisa membuat orang berkaca: siapa tahu yang sekeluarga
jadi anggota dewan segera mengambil sikap. Yang mulai tergoda uang mulai
sadar siapa asal usulnya. Atau SBY akan bernasib sama dengan Mega, yang
antara lain dibusukkan oleh internnya. ***
No comments:
Post a Comment