Thursday, September 23, 2004

Right Man in the Right Apa

23 September 2004
Right Man in the Right Apa?
Catatan Dahlan Iskan

SETELAH era Presiden Soeharto, menurut humor politik, kita punya tiga jenis presiden. Misalnya Prof Habibie. Orangnya hebat, langkah-langkahnya jitu. Dia bebaskan pers. Dia hapus istilah pri-nonpri. Dia bikin demokrasi lebih baik. Dia restrukturisasi utang konglomerat agar ekonomi segera jalan. Dia bikin nilai satu dolar AS dari Rp 15.000 menjadi tinggal Rp 6.500.

Dia merdekakan Timtim sehingga presiden berikutnya tidak perlu lagi terbebani soal Timtim. Dan banyak lagi.Namun, Habibie disebut sebagai orang hebat yang memerintah di waktu yang salah. Saat itu euforia reformasi lagi berada di puncaknya. Apa pun yang dia bikin akan disalahkan. Maka, secara guyon, Habibie disebut juga sebagai right man in the wrong time.

Lalu, kita punya Presiden Megawati. Banyak yang menilai orangnya tidak hebat. Bukan administrator dan bukan pula profesor. Tapi, Mega memerintah pada waktu yang sudah tepat. Orang sudah lelah dengan reformasi sehingga menjual BUMN pun sudah tidak terlalu banyak didemo. Mengampuni konglomerat hitam pun tidak sampai menggoyahkan kedudukannya. Timing (ketepatan waktu) memang sering menentukan dan tidak bisa diulang. Secara guyon, lantas Megawati disebut wrong woman in the right time.

Kita juga punya satu jenis presiden lagi: Gus Dur. Ia adalah presiden yang membuat istana kepresidenan tidak angker dan berani melakukan demiliterisasi. Keberaniannya memecat Menko Polkam Jenderal Wiranto termasuk dipuji banyak pihak. Namun, kekurangan fisiknya (beliau tidak bisa melihat), ditambah kebiasaan njaili lawan-lawan politiknya, masih ditambah pula situasi euforia reformasi yang belum sepenuhnya reda, membuat Gus Dur sering disebut dalam guyon itu sebagai wrong man in the wrong time.

Apakah kali ini, dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden baru, kita akan punya presiden jenis keempat? Yakni right man in the right time? Harapan banyak orang tentunya begitu. Meski kenyataannya belum tentu juga.

Salah satu faktor yang bisa membuat SBY bukan right man dan bukan di right time adalah citra Partai Demokrat yang dilahirkannya, sekaligus yang mencalonkannya. Aparat Partai Demokrat di tingkat daerah (baik yang di struktur partai maupun yang di legislatif) mengingatkan kita pada citra PDI Perjuangan lima tahun yang lalu.

Ini memang problem internal yang dilematis. Seperti juga PDI Perjuangan kala kurangan kader berkualitas, Partai Demokrat pun idem ditto. Maklum, siapa sih yang mau jadi aktivis PDI Perjuangan di saat partai itu ditindas Orde Baru? Demikian juga, siapa sih yang mau aktif di Partai Demokrat yang begitu kecil? Waktu itu, kata seorang aktivis Partai Demokrat, kita sampai tawar-tawarkan kepada siapa saja untuk jadi pengurus, tapi nggak ada yang mau.

Akhirnya, mereka itulah yang berhak menikmati hasil perjuangannya dengan duduk di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Ada yang latar belakangnya benar-benar saat minim: pendidikan, wawasan, maupun ekonominya. Ada juga yang bapak, ibu, anak, menantu duduk di DPRD.

Di satu pihak kenikmatan itu memang menjadi “hak” mereka. Di pihak lain, citra SBY bisa sangat jelek, apalagi kalau mereka tidak bisa mengendalikan diri sebagaimana banyak yang dipertontonkan anggota dewan dari partai penguasa saat ini. Sebab, rakyat melihat langsung tingkah laku mereka.

Sebagaimana juga rakyat melihat bagaimana seorang anggota dewan dari PDI Perjuangan Surabaya yang semula hanya bisa tinggal di rumah kontrakan di dalam sebuah gang kecil tiba-tiba harus menguasai banyak mobil, hidupnya dari hotel ke hotel, dan rumahnya tiba-tiba menjadi mewah. Begitu banyak cerita lucu tentang bagaimana yang semula menggunakan sendok dan garpu saja tidak bisa tiba-tiba harus selalu makan di hotel berbintang. Bahkan, tak jarang ada cerita di awal masa kenikmatan itu, di antara mereka, ada yang diam-diam membungkus sendok milik hotel -karena di rumahnya tidak ada sendok seperti itu.

Kini problem serupa bisa jadi akan menimpa Partai Demokrat. Kalau hal itu terjadi, sejarah akan terulang: SBY akan dibusukkan oleh anak-anak revolusinya sendiri. Gejala ke arah sana ada. Utang mereka untuk kampanye kan harus dibayar. Gengsi mereka sebagai anggota dewan yang terhormat juga harus diongkosi. Misalnya, kita bisa melihat betapa bangganya mereka mengenakan jas baru, seolah-olah tanpa jas itu keberadaan mereka sebagai anggota dewan belum terlihat.

Memang, ada anggapan di antara mereka: kamilah yang berjuang keras menjadikan SBY sebagai presiden baru. Orang lain, seperti saya ini, hanya bisa mencela. Tapi, patut juga direnungkan pertanyaan ini: apakah mereka yang menjadikan SBY presiden atau justru kepopuleran SBY-lah yang membuat mereka bisa dapat suara dan akhirnya jadi anggota dewan?

Memang ada kombinasi juga di antara keduanya. Merenungkan pertanyaan tersebut akan bisa membuat orang berkaca: siapa tahu yang sekeluarga jadi anggota dewan segera mengambil sikap. Yang mulai tergoda uang mulai sadar siapa asal usulnya. Atau SBY akan bernasib sama dengan Mega, yang antara lain dibusukkan oleh internnya. ***

No comments:

Post a Comment