Rabu, 14 Mei 2008,
Naikkan BBM, Pemerintah Perlu Koreksi Diri Lebih Keras
Naikkan BBM, Pemerintah Perlu Koreksi Diri Lebih Keras
Oleh: Dahlan Iskan
TIAP kelompok punya logika berpikir sendiri dalam menghadapi lonjakan harga minyak dunia. Rakyat kecil (dan yang mengatasnamakan rakyat kecil) sangat khawatir, kenaikan harga BBM akan lebih menyengsarakan mereka. Kelompok ini menggunakan logika bahwa kenaikan harga BBM ujung-ujungnya menaikkan harga bahan kebutuhan lain yang kian tidak terjangkau oleh mereka.
Mereka tidak tahu dan tidak perlu tahu bahwa tanpa kenaikan harga
BBM, ekonomi nasional bisa bangkrut. Bagi mereka, sekarang pun mereka
sudah bangkrut. Kalau nanti ekonomi bangkrut, apa bedanya dengan yang
sudah mereka alami sekarang. Logika ini sangat kuat di benak mereka yang
kadang tidak bisa dirasakan oleh kelompok yang di atas.
Bagi kelompok ini, tugas para pemimpinlah untuk mencari jalan keluar.
Kalau untuk menghindari kebangkrutan itu para pemimpin hanya bisa
mencari jalan yang paling mudah, yakni dengan menaikkan harga BBM, apa
bedanya para pemimpin yang mendapatkan fasilitas mewah itu dengan orang
biasa. Logika mereka, kalau harga BBM dinaikkan dan ekonomi terhindar
dari kebangkrutan, pada dasarnya hanya para pemimpinlah yang ingin
menghindarkan diri dari kebangkrutan. Para pemimpinlah yang ternyata
tidak mau bersusah payah dan takut menderita.
***
Kelompok pemikir nonpemerintah melihat bahwa tanpa kenaikan harga BBM, ekonomi negara bisa bangkrut. Penyebabnya, dana APBN habis untuk membayar subsidi BBM. Kalau APBN jebol, kepanikan akan terjadi. Kalau sudah panik, ekonomi bisa lebih bangkrut lagi. Bahkan, kepanikan yang bercampur kebangkrutan itu bisa membuat kekacauan.
Subsidi BBM itu harus dicabut atau dikurangi untuk menghindarkan
kebangkrutan itu, dan kepanikan itu, dan kekacauan itu. Toh yang
menikmati subsidi BBM pada dasarnya bukan orang kecil. Para pemilik
mobil, terutama mobil mewah, yang boros BBM-lah yang menikmati paling
banyak. Kelompok ini berpikir kenaikan harga BBM memang akan menyulitkan
masyarakat, tapi tidak menaikkan BBM akan lebih menyulitkan lagi.
***
Kalangan pengusaha besar punya pikiran sendiri. Dinaikkan atau tidak harga BBM itu, yang penting harus ada kepastian. Kalau mau naik, ya naiklah. Cari angka kenaikan yang terbaik. Kalau sudah ada keputusan seperti itu, pengusaha akan menghitung ulang bisnis mereka. Apa saja yang harus disesuaikan.
Pengusaha sudah biasa berada dalam situasi yang sulit begitu. Ini
bukanlah kenaikan harga BBM yang pertama. Sejak dulu-dulu harga BBM
sudah sering naik. Setiap harga BBM naik juga selalu sama: didahului
dengan pendapat-pendapat yang menentang, lalu demo, lalu menjadi biasa
lagi. Bagi pengusaha, usaha tetap hidup dan berkembang adalah fokus
perhatiannya. Ketika orang lagi demo, pengusaha terus berhitung harus
berbuat apa.
Setiap kenaikan harga BBM pengusaha selalu sulit. Tapi setiap itu
pula pengusaha selalu mendapatkan jalan keluarnya. Tentu, ada satu dua
yang benar-benar harus tutup. Misalnya, pabrik genting dan keramik dalam
skala kecil.
Bagaimana kalau tidak ada kenaikan harga BBM?
Pengusaha besar juga akan berhitung. Kalau harga BBM tidak naik, pemerintah hanya akan bisa bertahan sampai bulan apa. Masing-masing punya hitungan sendiri. Ada yang memperkirakan pemerintah hanya akan bisa bertahan sampai Desember. Ada juga yang menghitung mungkin masih kuat sampai April tahun depan. Desember atau April, itu hanya hitungan bulan.
Setelah menghitung seperti itu, pengusaha lalu berpikir begini: saat
ekonomi bangkrut itu nanti, berbagai macam kejadian bisa meledak. Mereka
pun lantas mengambil tindakan: daripada berada harus menghadapi ledakan
yang akan terjadi, lebih baik mulai sekarang menarik uang dari bank dan
mengirimkan ke luar negeri. Dan, kalau sudah ada satu orang yang
melakukan itu, yang lain akan menyusul. Dalam waktu sekejap, kepanikan
akan terjadi. Kepanikan ini tidak dirasakan masyarakat umum karena hanya
terjadi di kalangan pengusaha.
Tapi, dalam waktu beberapa minggu, kepanikan akan menjalar ke
perbankan dan dalam hitungan hari bakal menjalar ke masyarakat luas.
Kalau hal ini terjadi, pemerintah yang diperkirakan baru akan
bangkrut pada April tiba-tiba akan bangkrut dalam waktu lebih cepat.
Dan, kalau saat itu baru diputuskan harga BBM naik, terlambatlah sudah.
Tidak tertolong lagi.
Bagi pengusaha, kenaikan harga BBM memang akan menyulitkan, tapi
risiko-risikonya bisa dihitung. Antisipasi-antisipasinya juga bisa
direncanakan.
Kalau harga BBM tidak naik, dalam waktu pendek (lima bulan) memang
akan menyenangkan. Setelah itu, segala macam risikonya sulit
diperhitungkan. Pengendaliannya juga akan sulit direncanakan. Yang akan
terjadi, terjadilah.
***
Yang paling sulit adalah pemerintah. Apalagi, pemerintah yang masih ingin lagi dipilih untuk menjadi pemerintah dalam pemilu yang akan datang. Pilihannya tidak ada yang enak. Pilihannya bukan pahit dan manis, atau pahit dan hambar. Pilihannya adalah pahit dan pahit. Sulitnya, pemerintah tidak bisa untuk tidak memilih.
Saya bisa merasakan kesulitan itu. Karena itu, ketika pekan lalu saya
diminta untuk memberikan pandangan di hadapan presiden, Wapres,
beberapa menteri, dan pimpinan media massa di Istana Negara Jakarta,
saya kemukakan risiko-risiko pilihan itu.
***
Meski belum memformalkan, pemerintah sudah memberikan kepastian akan menaikkan harga BBM. Angkanya masih disimulasikan dan apa saja akibat yang akan ditanggulangi juga sedang dirumuskan. Salah satu di antaranya adalah bantuan langsung untuk orang miskin dan pegawai negeri, TNI-Polri, dan buruh.
Langkah ini pernah dinilai berhasil dalam mengatasi kenaikan harga
BBM yang lalu. Harus dihitung ulang apakah kali ini juga akan berhasil.
Terutama dengan menambah lapisan yang menerima bantuan langsung seperti
buruh dan pegawai negeri.
Kalau hasil hitungan itu ternyata menyatakan bahwa rakyat masih belum
puas, pemerintah harus menunjukkan kesungguhannya untuk mengoreksi
dirinya lebih keras. Ini sebagai bentuk “penebusan dosa” kepada rakyat.
Di Istana Negara, saya mengatakan kurang lebih begini: kalau pejabat
yang korupsi Rp 1 miliar ditindak, mestinya pejabat yang gagal
memasukkan uang ke negara yang nilainya triliunan rupiah juga harus
ditindak. Misalnya, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap
kemerosotan produksi minyak Indonesia. Mengapa tujuh tahun terakhir
produksi minyak turun terus di bawah pejabat yang sama. Padahal, kalau
saja produksi minyak mentah kita bisa naik terus, mestinya Indonesia
justru bersuka ria dengan kenaikan harga minyak mentah dunia yang
mencapai USD 120 per barel seperti sekarang ini.
Meski saya tidak menyebut nama, saya kira presiden dan Wapres tahu
benar siapa yang saya maksud hari itu. Kalaupun tidak, dua hari lalu
tajuk Media Indonesia menuding langsung: Menteri ESDM Purnomo
Yusgiantoro.***
sumber : Jawa Pos, 14 Mei 2008
No comments:
Post a Comment