Dorong Dewasakan Parpol dan Birokasi
Setelah sembilan tahun reformasi, adakah pers kita sudah lebih
dewasa? Sebagai ketua umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang baru
(menggantikan bapak Jakob Oetama) saya harus banyak bertemu tokoh pers
dan keliling daerah se-Indonesia. Antara lain ingin melakukan pengukuran
“tingkat kedewasaan pers” sekarang ini. Saya kepingin tahu, setelah
sembilan tahun menikmati kebebasan pers apakah pers kita telah lebih
dewasa. Jangan-jangan pers kita ternyata masih berjalan di tempat bahkan
terus dinilai kebablasan dan mengalami kemunduran.
Tentu saya juga ingin membandingkan “tingkat kedewasaan pers” saat ini
dengan tingkat kedewasaan unsur-unsur lain di dalam negara ini. Misalnya
sudah sampai di manakah kedewasaan rakyat, kedewasaan sektor usaha,
kedewasaan birokrasi dan kedewasaan partai politik. Saya juga ingin
membandingkan siapa di antara unsur-unsur di dalam negara itu yang sudah
mulai dewasa dan siapa yang masih tertinggal.
Pengukuran ini penting karena tingkat kedewasaan unsur-unsur di dalam
masyarakat itulah yang akan menentukan maju mundurnya negara. Kalau di
dalam unsur-unsur negara tersebut masih ada yang belum dewasa maka
sia-sia sajalah kita berharap negara ini cepat maju.
Saya bicara dengan tokoh-tokoh pers tingkat nasional. Mulai dari yang
sangat kritis pada diri sendiri seperti Goenawan Mohamad dan Rosihan
Anwar, birokrat pers seperti Ketua umum PWI Tarman Azzam, orang
independen seperti August Parengkuan (Kompas), tokoh luar Jakarta
seperti Budi Santoso (Suara Merdeka Semarang), Leo Batubara (Dewan
Pers). Juga dengan kelompok pers di Riau, Medan, Cirebon, Kaltim,
Makassar, dan seterusnya.
Meski ini bukan penelitian tapi kami sudah bisa membuat kesimpulan.
Ada yang menyenangkan ada pula yang memprihatinkan. Yang memprihatinkan,
tingkat kedewasaan pers kita ternyata masih kalah dengan tingkat
kedewasaan masyarakat pada umumnya. Rakyat ternyata sudah sangat dewasa.
Yang menggembirakan, pers kita sudah jauh lebih dewasa dibanding
birokrasi dan apalagi partai politik –dua unsur penting dalam menentukan
maju mundurnya sebuah negara demokrasi.
Pada awalnya saya mengajukan asumsi bahwa di awal reformasi sembilan
tahun lalu, nilai tingkat kedewasaan pers (untuk skala 1 sampai 10),
hanyalah 5. Pertanyaannya: sudah atau masih di nilai berapakah
kedewasaan pers kita sekarang (2008)?
Pertanyaan dan asumsi serupa juga saya ajukan untuk mengukur tingkat
kedewasaan masyarakat, dunia usaha, birokrasi, dan partai politik.
Sungguh mencengangkan bahwa yang paling dewasa di antara kita ternyata
masyarakat. Elite-elitenya justru ketinggalan. Kalau dulu nilai
kedewasaan masyarakat itu 5, sekarang sudah 7,5. Memang kita memerlukan
nilai 8,5 untuk membuat negara ini maju, tapi kedewasaan masyarakat
yang sudah mencapai 7,5 adalah modal yang luar biasa. Kejadian-kejadian
seperti Maluku Utara, di sekitar FPI-Ahmadiyah dan juga banyaknya
penumpang di atas gerbong kerata api dan hal-hal sejenislah yang membuat
nilai itu belum bisa 8,5.
Kedewasaan pers, meski masih di bawah tingkat kedewasaan masyarakat,
tapi sudah sangat lumayan. Sudah berada di level 7. Penyebab utama yang
membuat belum bisa bernilai 8,5 adalah masih banyaknya penerbitan-bodrek
(saya tidak menuliskannya dengan kata bodrex, karena sering diprotes
produsen obat itu). Juga masih banyaknya wartawan-bodrek. Tapi jumlah
mereka sudah sangat berkurang karena masyarakat sudah dewasa untuk
menilai mana apa motif di balik penerbitan sebuah media. “Tapi pers kita
semakin takut dan memihak,” komentar Toriq Hadad, pimred Koran TEMPO.
Memang, sorotan bahwa pers kita kebablasan dan seterusnya sudah jauh
berkurang –antara lain karena masyarakat juga sudah semakin kebal. Pers
sendiri juga banyak belajar selama sembilan tahun ini dan masih banyak
lagi yang harus dipelajari untuk bisa mendapat nilai 8,5.
Sebenarnya, media mainstream sudah bisa dikatakan mencapai nilai
kedewasaan 8. Yang mainstream ini juga sudah mendominasi pers nasional
(kira-kira mencapai 70 persen). Namun, karena yang bodrek nilainya hanya
1, maka ketika dirata-rata memelorotkan citra media yang bernilai 8.
Dunia usaha juga sudah sangat lumayan. Kebetulan saya juga salah satu
ketua Kadin Komite Tiongkok sehingga bisa memonitor secara intensif
perkembangan kedewasaan dunia usaha. Perilaku negatif seperti menipu
bank dengan cara mark up dan main-main angka sudah jauh berkurang.
Antara lain dan terutama karena bank sendiri yang sudah mencapai tingkat
kedewasaan 8.
Demikian juga kesadaran bahwa bisnis itu tidak harus mengerjakan
proyek pemerintah atau menggunakan fasilitas pemerintah juga sudah jauh
berkurang. Kepercayaan bahwa menyogok pejabat itu tidak banyak lagi
gunanya untuk kemajuan usahanya juga sangat meningkat. Kesimpulannya,
dunia usaha juga sudah mencapai nilai kedewasaan 7,5.
Kini tinggal dua unsur saja di negara ini yang belum juga mau dewasa:
birokrasi dan partai politik! Nilai kedewasaan birokrasi, kami hampir
sepakat, baru saja beranjak dari nilai 6! Hebatnya, kemajuan yang agak
nyata justru terjadi di tingkat paling bawah. Di tingkat “rakyatnya
birokrasi”. Misalnya dalam pelayanan kependudukan dan kesehatan tingkat
kecamatan. Semakin ke atas kedewasaan itu semakin jauh. Karena itu apa
yang baru saja dicoba dilakukan menteri keuangan akan sangat
diperhatikan seluruh masyarakat. Puncak kedewasaan birokrasi itu baru
akan terjadi kalau seorang dirjen sudah berstatus seperti seorang CEO di
perusahaan besar. Punya otoritas dan tanggung jawab yang seimbang yang
tidak bisa diintervensi oleh kepentingan politik menterinya.
Rasanya masih sangat berat untuk membuat birokrasi bisa mencapai nilai 7 atau 7,5 pun. Misalnya apakah pemerintah yang sekarang, khususnya menteri keuangan yang sekarang sempat mencapai nilai itu sebelum masa jabatannya habis. Lalu kita menunggu dengan harap-harap-cemas apa yang terjadi setelah ada menteri keuangan baru.
Rasanya masih sangat berat untuk membuat birokrasi bisa mencapai nilai 7 atau 7,5 pun. Misalnya apakah pemerintah yang sekarang, khususnya menteri keuangan yang sekarang sempat mencapai nilai itu sebelum masa jabatannya habis. Lalu kita menunggu dengan harap-harap-cemas apa yang terjadi setelah ada menteri keuangan baru.
Dan …yang paling belum dewasa di republik ini adalah partai politik.
Nilainya masih juga 5! “Apa bukan malah mundur ke empat?,” Tanya
seorang tokoh pers. “Saya kira kok malah 0,” ujar seorang tokoh dari
Semarang. Tapi ketika sudah dipikirkan secara jernih, memang tidak ada
sama sekali yang berani memberi nilai 6.
Tentu akan banyak yang menentang penilaian ini. Tentangan dan kecaman
itu akan saya anggap sebagai kado ulang tahun SPS (Serikat Penerbit
Suratkabar) yang jatuh di bulan Juni ini.
Agar penilaian itu tidak akan hanya jadi wacana yang juga hanya akan
di follow-up-i dengan wacana pula, maka kami sedang merumuskan bagaimana
cara untuk bisa mendorong atau memaksa agar dua unsur yang belum dewasa
tadi (birokrasi dan parpol) bisa ikut dewasa. Tidak akan gampang karena
keduanya bisa saling bantu untuk saling lambat dewasa. Sulitnya sudah
kami bayangkan. Tapi ada juga faktor kemudahannya. Yakni karena sudah
ada tiga unsur di masyarakat kita yang sudah mulai dewasa: masyarakat,
pers dan dunia usaha. Maka kami akan menggalang kerja sama antara
masyarakat dan pers untuk bersama-sama memaksa dua unsur tersebut mau
tumbuh dewasa.
Kalau masyarakat dan pers sudah bergabung, parpol dan birokrasi harus
menyiapkan antisipasi atau pilih mati. Banyak yang akan kami lakukan
selama lima tahun ke depan. Lebih mendewasakan diri sendiri dan mengajak
rakyat untuk secara bersama-sama mendewasakan birokrasi dan partai
politik akan jadi prioritas. Kami percaya kalau dua unsur yang belum
dewasa tadi tidak bisa dewasa negara tidak akan cepat maju. Bahkan,
tiga unsur yang sudah mulai dewasa itu pun akan terganggu lagi
kedewasaannya! (*)
No comments:
Post a Comment