Wednesday, June 18, 2008

Dorong Dewasakan Parpol dan Birokasi

Rabu, 18 Juni 2008 , 09:21:00
Dorong Dewasakan Parpol dan Birokasi

Setelah sembilan tahun reformasi, adakah pers kita sudah lebih dewasa? Sebagai ketua umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang baru (menggantikan bapak Jakob Oetama) saya harus banyak bertemu tokoh pers dan keliling daerah se-Indonesia. Antara lain ingin melakukan pengukuran “tingkat kedewasaan pers” sekarang ini. Saya kepingin tahu, setelah sembilan tahun menikmati kebebasan pers apakah pers kita telah lebih dewasa. Jangan-jangan pers kita ternyata masih berjalan di tempat bahkan terus dinilai kebablasan dan mengalami kemunduran.

Tentu saya juga ingin membandingkan “tingkat kedewasaan pers” saat ini dengan tingkat kedewasaan unsur-unsur lain di dalam negara ini. Misalnya sudah sampai di manakah kedewasaan rakyat, kedewasaan sektor usaha, kedewasaan birokrasi dan kedewasaan partai politik. Saya juga ingin membandingkan siapa di antara unsur-unsur di dalam negara itu yang sudah mulai dewasa dan siapa yang masih tertinggal.

Pengukuran ini penting karena tingkat kedewasaan unsur-unsur di dalam masyarakat itulah yang akan menentukan maju mundurnya negara. Kalau di dalam unsur-unsur negara tersebut masih ada yang belum dewasa maka sia-sia sajalah kita berharap negara ini cepat maju.

Saya bicara dengan tokoh-tokoh pers tingkat nasional. Mulai dari yang sangat kritis pada diri sendiri seperti Goenawan Mohamad dan Rosihan Anwar, birokrat pers seperti Ketua umum PWI Tarman Azzam, orang independen seperti August Parengkuan (Kompas), tokoh luar Jakarta seperti Budi Santoso (Suara Merdeka Semarang), Leo Batubara (Dewan Pers). Juga dengan kelompok pers di Riau, Medan, Cirebon, Kaltim, Makassar, dan seterusnya.

Meski ini bukan penelitian tapi kami sudah bisa membuat kesimpulan. Ada yang menyenangkan ada pula yang memprihatinkan. Yang memprihatinkan, tingkat kedewasaan pers kita ternyata masih kalah dengan tingkat kedewasaan masyarakat pada umumnya. Rakyat ternyata sudah sangat dewasa. Yang menggembirakan, pers kita sudah jauh lebih dewasa dibanding birokrasi dan apalagi partai politik –dua unsur penting dalam menentukan maju mundurnya sebuah negara demokrasi.

Pada awalnya saya mengajukan asumsi bahwa di awal reformasi sembilan tahun lalu, nilai tingkat kedewasaan pers (untuk skala 1 sampai 10), hanyalah 5. Pertanyaannya: sudah atau masih di nilai berapakah kedewasaan pers kita sekarang (2008)?

Pertanyaan dan asumsi serupa juga saya ajukan untuk mengukur tingkat kedewasaan masyarakat, dunia usaha, birokrasi, dan partai politik. Sungguh mencengangkan bahwa yang paling dewasa di antara kita ternyata masyarakat. Elite-elitenya justru ketinggalan. Kalau dulu nilai kedewasaan masyarakat itu 5, sekarang sudah 7,5. Memang kita memerlukan nilai 8,5 untuk membuat negara ini maju, tapi kedewasaan masyarakat yang sudah mencapai 7,5 adalah modal yang luar biasa. Kejadian-kejadian seperti Maluku Utara, di sekitar FPI-Ahmadiyah dan juga banyaknya penumpang di atas gerbong kerata api dan hal-hal sejenislah yang membuat nilai itu belum bisa 8,5.

Kedewasaan pers, meski masih di bawah tingkat kedewasaan masyarakat, tapi sudah sangat lumayan. Sudah berada di level 7. Penyebab utama yang membuat belum bisa bernilai 8,5 adalah masih banyaknya penerbitan-bodrek (saya tidak menuliskannya dengan kata bodrex, karena sering diprotes produsen obat itu). Juga masih banyaknya wartawan-bodrek. Tapi jumlah mereka sudah sangat berkurang karena masyarakat sudah dewasa untuk menilai mana apa motif di balik penerbitan sebuah media. “Tapi pers kita semakin takut dan memihak,” komentar Toriq Hadad, pimred Koran TEMPO.

Memang, sorotan bahwa pers kita kebablasan dan seterusnya sudah jauh berkurang –antara lain karena masyarakat juga sudah semakin kebal. Pers sendiri juga banyak belajar selama sembilan tahun ini dan masih banyak lagi yang harus dipelajari untuk bisa mendapat nilai 8,5.

Sebenarnya, media mainstream sudah bisa dikatakan mencapai nilai kedewasaan 8. Yang mainstream ini juga sudah mendominasi pers nasional (kira-kira mencapai 70 persen). Namun, karena yang bodrek nilainya hanya 1, maka ketika dirata-rata memelorotkan citra media yang bernilai 8.

Dunia usaha juga sudah sangat lumayan. Kebetulan saya juga salah satu ketua Kadin Komite Tiongkok sehingga bisa memonitor secara intensif perkembangan kedewasaan dunia usaha. Perilaku negatif seperti menipu bank dengan cara mark up dan main-main angka sudah jauh berkurang. Antara lain dan terutama karena bank sendiri yang sudah mencapai tingkat kedewasaan 8.

Demikian juga kesadaran bahwa bisnis itu tidak harus mengerjakan proyek pemerintah atau menggunakan fasilitas pemerintah juga sudah jauh berkurang. Kepercayaan bahwa menyogok pejabat itu tidak banyak lagi gunanya untuk kemajuan usahanya juga sangat meningkat. Kesimpulannya, dunia usaha juga sudah mencapai nilai kedewasaan 7,5.

Kini tinggal dua unsur saja di negara ini yang belum juga mau dewasa: birokrasi dan partai politik! Nilai kedewasaan birokrasi, kami hampir sepakat, baru saja beranjak dari nilai 6! Hebatnya, kemajuan yang agak nyata justru terjadi di tingkat paling bawah. Di tingkat “rakyatnya birokrasi”. Misalnya dalam pelayanan kependudukan dan kesehatan tingkat kecamatan. Semakin ke atas kedewasaan itu semakin jauh. Karena itu apa yang baru saja dicoba dilakukan menteri keuangan akan sangat diperhatikan seluruh masyarakat. Puncak kedewasaan birokrasi itu baru akan terjadi kalau seorang dirjen sudah berstatus seperti seorang CEO di perusahaan besar. Punya otoritas dan tanggung jawab yang seimbang yang tidak bisa diintervensi oleh kepentingan politik menterinya.

Rasanya masih sangat berat untuk membuat birokrasi bisa mencapai nilai 7 atau 7,5 pun. Misalnya apakah pemerintah yang sekarang, khususnya menteri keuangan yang sekarang sempat mencapai nilai itu sebelum masa jabatannya habis. Lalu kita menunggu dengan harap-harap-cemas apa yang terjadi setelah ada menteri keuangan baru.

Dan …yang paling belum dewasa di republik ini adalah partai politik. Nilainya masih juga 5! “Apa bukan malah mundur ke empat?,” Tanya seorang tokoh pers. “Saya kira kok malah 0,” ujar seorang tokoh dari Semarang. Tapi ketika sudah dipikirkan secara jernih, memang tidak ada sama sekali yang berani memberi nilai 6.

Tentu akan banyak yang menentang penilaian ini. Tentangan dan kecaman itu akan saya anggap sebagai kado ulang tahun SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) yang jatuh di bulan Juni ini.

Agar penilaian itu tidak akan hanya jadi wacana yang juga hanya akan di follow-up-i dengan wacana pula, maka kami sedang merumuskan bagaimana cara untuk bisa mendorong atau memaksa agar dua unsur yang belum dewasa tadi (birokrasi dan parpol) bisa ikut dewasa. Tidak akan gampang karena keduanya bisa saling bantu untuk saling lambat dewasa. Sulitnya sudah kami bayangkan. Tapi ada juga faktor kemudahannya. Yakni karena sudah ada tiga unsur di masyarakat kita yang sudah mulai dewasa: masyarakat, pers dan dunia usaha. Maka kami akan menggalang kerja sama antara masyarakat dan pers untuk bersama-sama memaksa dua unsur tersebut mau tumbuh dewasa.

Kalau masyarakat dan pers sudah bergabung, parpol dan birokrasi harus menyiapkan antisipasi atau pilih mati. Banyak yang akan kami lakukan selama lima tahun ke depan. Lebih mendewasakan diri sendiri dan mengajak rakyat untuk secara bersama-sama mendewasakan birokrasi dan partai politik akan jadi prioritas. Kami percaya kalau dua unsur yang belum dewasa tadi tidak bisa dewasa negara tidak akan cepat maju. Bahkan, tiga unsur yang sudah mulai dewasa itu pun akan terganggu lagi kedewasaannya! (*)

Dahlan Iskan, Ketua Umum SPS Pusat

No comments:

Post a Comment