Monday, April 21, 2008

Prancis dan Pahlawan Obor Olimpiade

21 April 2008,
Prancis dan Pahlawan Obor Olimpiade
Oleh Dahlan Iskan

Gangguan terhadap obor olimpiade oleh aktivis kemerdekaan Tibet telah membuat rasa nasionalisme rakyat Tiongkok terbakar. Terutama sejak “peristiwa Paris” pekan lalu. Di ibu kota Prancis itu, api yang lagi dikelilingkan dunia tersebut diserang untuk direbut dari tangan gadis cacat yang membawanya di atas kursi rodanya. Ditambah munculnya pernyataan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang berencana memboikot pembukaan olimpiade.

Peristiwa itu kontan melahirkan gerakan memboikot Carrefour, jaringan pasar swalayan Prancis di seluruh Tiongkok. Mula-mula berbentuk SMS, lalu internet, dan minggu lalu mulai berwujud demo-demo di depan Carrefour. “Memalukan kalau masih ada yang belanja di Carrefour.” Begitu bunyi salah satu spanduk yang mereka bawa.

Dari pembicaraan saya secara informal dengan banyak orang biasa di Tiongkok, mulai dari Beijing dan Tianjin di utara sampai Shanghai di tengah dan Shenzhen di bagian selatan, terekam bahwa kemarahan mereka kepada Prancis sangat menyala-nyala.

Carrefour yang di Tiongkok disebut Jia Le Fu memang berkembang pesat belakangan ini sehingga menjadi simbol kehadiran Prancis yang mencolok di seluruh Tiongkok. Di tiap kota besar selalu ada tiga atau empat Jia Le Fu. Bahkan, kini sudah merambah ke kota-kota sedang dan kecil.

Pembantu saya di Tianjin yang dulu juga biasa belanja di Carrefour ternyata juga sudah tidak mau ke sana. Karena itu, ketika saya tanya apakah yang berbelanja di Carrefour kini menyusut, dia tidak bisa menjawab. “Saya tidak tahu. Saya tidak belanja lagi di Jia Le Fu,” katanya. “Saya belanja di Yi Mai De,” tambahnya. Nah, pembantu saya yang asli Tianjin pun sudah terbakar emosinya. Yi Mai De adalah mal dan supermarket lokal yang juga sangat besar. Meski tempatnya sedikit lebih jauh daripada Jia Le Fu, toh dia memilih belanja ke sana.

Begitu meluasnya perasaan tidak suka akan sikap Prancis itu membuat orang Prancis yang tinggal di Tiongkok sampai risi. Salah seorang tokoh bisnisnya sampai-sampai menulis di China Daily Rabu lalu, mengimbau agar Barat memahami dengan benar Tiongkok baru yang sudah berbeda dengan 30 tahun lalu.

Dia juga minta Barat untuk realistis karena tuntunan Dalai Lama tidak lagi realistis. Menurut tulisan tokoh bisnis Prancis di Beijing itu, meski Dalai Lama kelihatannya hanya minta otonomi, namun ketika dijabarkan seperti apa otonomi yang dimaksudkan itu, ternyata sampai pada tidak boleh ada tentara Tiongkok sama sekali di Tibet. Juga tidak boleh ada orang suku Han di pemerintahan Tibet.

Suku Han adalah suku utama di Tiongkok, yang jumlahnya mencapai 90 persen penduduk Tiongkok. Lebih sulit lagi, yang dimaksud dengan wilayah Tibet adalah bukan hanya daerah otonomi (setingkat provinsi) Tibet sekarang ini, melainkan juga provinsi-provinsi lain di sekitarnya. Misalnya sebagian dari Provinsi Gansu, sebagian dari Provinsi Sichuan, dan keseluruhan Provinsi Qinghai yang sangat luas itu. Wilayah-wilayah yang disebutkan tadi kalau dijadikan satu sama dengan seperempat wilayah Tiongkok sekarang. “Mungkinkah Tiongkok akan memenuhi keinginan seperti itu?” tulisnya.

Tokoh bisnis Prancis lainnya juga menulis bahwa apakah yang jadi aktivis sampai menyerang obor olimpiade itu juga pernah melihat Tibet belakangan ini? Dia menyebutkan, dalam sejarah Tibet, termasuk saat dikuasai beberapa negara asing lainnya, baru sekarang inilah dilakukan pembangunan besar-besaran. Jalan-jalan tol, jalan-jalan kereta api, jalan-jalan pedesaan, dan pertanian dikembangkan dengan sangat mencolok. Termasuk membangun jalan kereta api yang termahal di dunia karena jalan itu harus dibangun di atas lahan yang tingginya lebih dari 4.000 meter. Gangguan terhadap obor olimpiade itu sampai ajakan boikot olimpiade, menurut dia, hanya akan membuat dunia yang sudah keruh akan semakin keruh saja.

Saya jadi ingat bahwa Presiden Hu Jintao adalah orang yang secara emosional juga tidak mungkin mengalah dalam soal Tibet. Presiden Hu ketika muda dulu adalah panglima militer untuk wilayah Tibet sehingga tahu benar kondisi Tibet dan cara mengatasinya. Di awal karirnya sebagai tentara, Presiden Hu adalah orang yang dianggap berhasil memadamkan gejolak terbesar dalam sejarah tuntutan kemerdekaan Tibet. Tidak mungkin ketika Hu justru menjadi penguasa tertinggi di Tiongkok sikapnya akan melunak.

Maka, kalau gangguan terhadap obor itu masih akan terus berlangsung sepanjang perjalanan obor sampai ke pelaksanaan olimpiade, kita bisa membayangkan reaksi rakyat Tiongkok nanti. Keresahan dunia akibat perang Iraq, disusul krisis harga minyak, disusul ancaman krisis pangan (yang oleh ahli diramalkan bisa berkembang sampai mengakibatkan perang antarnegara), dan ditambah dengan krisis keuangan dunia sekarang ini belum dapat jalan keluar. Masih akan ditambah lagi ketegangan akibat politisasi olimpiade tahun ini.

Padahal, obor olimpiade masih akan melintasi beberapa wilayah rawan seperti Jepang dan lalu ketika mampir ke Tibet sendiri. Kita masih terus waswas apa yang akan terjadi, termasuk sampai seberapa jauh nasionalisme rakyat Tiongkok akan tersulut. Teman saya yang sangat sabar seperti Robert Lai saja ikut emosional dalam soal Tibet ini, sampai-sampai kehilangan rasa humornya yang tinggi. Karena itu, ketika dia bertanya kepada saya apakah saya setuju ajakan boikot pada Carrefour, saya jawab dengan humor yang bisa menurunkan tensinya.

“Saya lebih setuju kalau yang diboikot adalah Louis Vuitton. Ini karena harganya yang mahal. Masak satu tas wanita harganya Rp 30 juta,” kata saya. Ternyata, dia masih bisa tertawa. Saya lega. “Ya, saya juga setuju. Agar istri saya tidak minta LV,” ujarnya. Saya masih terus bercanda padanya. “Mestinya, Anda tidak setuju boikot produk Prancis. Anakmu saja namanya Michelle,” kata saya mengenai anaknya yang masih 22 tahun, cantik, cerdas, dan kini sudah bekerja di bagian yang penting bank asing yang berkantor di Singapura. “Dan istrimu sendiri tiap hari bicara dalam bahasa Prancis,” tambah saya.

Rakyat Tiongkok begitu bangga menunggu berlangsungnya olimpiade. Bertahun-tahun sudah dibangun sikap untuk menyukseskan olimpiade itu. Tiba-tiba, ketika waktunya hampir tiba, terjadi gerakan pemboikotan. Maka, perasaan nasionalisme mereka seperti dihinakan.

Seorang warga Kota Nanjing Jumat lalu menempuh cara yang unik untuk menggalang nasionalisme Tiongkok itu. Dia pasang iklan berwarna satu halaman penuh, di halaman depan pula. Dia nyatakan perasaan kecewanya dengan membayar iklan yang begitu mahal di Xian Dai Ri Bao.

Seorang sastrawan membuat sajak panjang yang nadanya juga amat kecewa terhadap Barat. Judul puisi itu kira-kira mirip dengan Pertanyaan untuk Rumput yang Bergoyang:
Ketika kami tertutup,
Kau selundupkan narkoba.
Ketika kami buka pasar bebas,
Kau anggap mencuri lapangan kerja.
Ketika kami miskin,
Kau hinakan kami seperti anjing.
Ketika kami maju,
Kau anggap kami ancaman.
Ketika negeri kami terbelah-belah,
Kau ambil satu irisan melonnya.
OK, Lalu kami jadi negara komunis,
Tapi lantas kau benci kami.
Ketika kami menerima kapitalisme,
Kau tetap juga membenci kami.
Ketika penduduk kami 1 miliar,
Kau tuduh kami mau kuasai planet.
Ketika kami galakkan KB,
Kau tuduh kami tidak manusiawi.
Ketika kami miskin,
Kau anggap kami pengemis.
Ketika kami mulai pinjami kau uang,
Kau tuduh kami penambah utang kalian.
Dan masih panjang lagi. Berkali-kali saya membaca puisi itu karena membayangkan juga kurang lebih itulah yang dialami Palestina dan Indonesia dengan demokrasi barunya.

Tapi, di samping menimbulkan kejengkelan yang meluas, gangguan terhadap obor olimpiade di Paris itu juga melahirkan pahlawan. Rakyat Tiongkok kini sangat bangga dan memuja seorang gadis berumur 26 tahun asal Anhui bernama Jin Jing. Gadis cantik ini adalah seorang altet penyandang cacat. Kedua kakinya tinggal separo. Penyakit malignen yang dia derita ketika kecil membuat kakinya harus diamputasi. Meski cacat, semangat gadis ini luar biasa. Dialah yang saat itu membawa obor di atas kursi rodanya.

Ketika obor itu diserang aktivis pro kemerdekaan Tibet, Jin Jing melawan dengan hebat dari atas kursi rodanya. Terjadilah serang-menyerang. Seluruh penyerangnya laki-laki. Dan yang mempertahankan obor adalah seorang gadis cacat di atas kursi roda. Tapi, Jin Jing, atlet nasional penyandang cacat itu, berhasil menyelamatkan obor tersebut. Adegan itu tiap hari, tiap jam, diputar di TV Olimpiade Tiongkok yang selama 24 jam menyiarkan aktivitas di sekitar olimpiade dan olahraga. Momen tersebut juga disiarkan setiap hari oleh TV-TV lain dalam berita dan ilustrasi-ilustrasi yang disisipkan di antara acara-acara TV. Jadilah Jin Jing pahlawan penyelamat obor olimpiade. (*)

No comments:

Post a Comment