Prancis dan Pahlawan Obor Olimpiade
Oleh Dahlan Iskan
Gangguan terhadap obor olimpiade oleh aktivis kemerdekaan Tibet telah
membuat rasa nasionalisme rakyat Tiongkok terbakar. Terutama sejak
“peristiwa Paris” pekan lalu. Di ibu kota Prancis itu, api yang lagi
dikelilingkan dunia tersebut diserang untuk direbut dari tangan gadis
cacat yang membawanya di atas kursi rodanya. Ditambah munculnya
pernyataan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang berencana memboikot pembukaan olimpiade.
Peristiwa itu kontan melahirkan gerakan memboikot Carrefour,
jaringan pasar swalayan Prancis di seluruh Tiongkok. Mula-mula
berbentuk SMS, lalu internet, dan minggu lalu mulai berwujud demo-demo
di depan Carrefour. “Memalukan kalau masih ada yang belanja di
Carrefour.” Begitu bunyi salah satu spanduk yang mereka bawa.
Dari pembicaraan saya secara informal dengan banyak orang biasa di
Tiongkok, mulai dari Beijing dan Tianjin di utara sampai Shanghai di
tengah dan Shenzhen di bagian selatan, terekam bahwa kemarahan mereka
kepada Prancis sangat menyala-nyala.
Carrefour yang di Tiongkok disebut Jia Le Fu memang berkembang pesat
belakangan ini sehingga menjadi simbol kehadiran Prancis yang mencolok
di seluruh Tiongkok. Di tiap kota besar selalu ada tiga atau empat Jia
Le Fu. Bahkan, kini sudah merambah ke kota-kota sedang dan kecil.
Pembantu saya di Tianjin yang dulu juga biasa belanja di Carrefour
ternyata juga sudah tidak mau ke sana. Karena itu, ketika saya tanya
apakah yang berbelanja di Carrefour kini menyusut, dia tidak bisa
menjawab. “Saya tidak tahu. Saya tidak belanja lagi di Jia Le Fu,”
katanya. “Saya belanja di Yi Mai De,” tambahnya. Nah, pembantu saya yang
asli Tianjin pun sudah terbakar emosinya. Yi Mai De adalah mal dan
supermarket lokal yang juga sangat besar. Meski tempatnya sedikit lebih
jauh daripada Jia Le Fu, toh dia memilih belanja ke sana.
Begitu meluasnya perasaan tidak suka akan sikap Prancis itu membuat
orang Prancis yang tinggal di Tiongkok sampai risi. Salah seorang tokoh
bisnisnya sampai-sampai menulis di China Daily Rabu lalu, mengimbau agar
Barat memahami dengan benar Tiongkok baru yang sudah berbeda dengan 30
tahun lalu.
Dia juga minta Barat untuk realistis karena tuntunan Dalai Lama tidak
lagi realistis. Menurut tulisan tokoh bisnis Prancis di Beijing itu,
meski Dalai Lama kelihatannya hanya minta otonomi, namun ketika
dijabarkan seperti apa otonomi yang dimaksudkan itu, ternyata sampai
pada tidak boleh ada tentara Tiongkok sama sekali di Tibet. Juga tidak
boleh ada orang suku Han di pemerintahan Tibet.
Suku Han adalah suku utama di Tiongkok, yang jumlahnya mencapai 90 persen penduduk Tiongkok. Lebih sulit lagi, yang dimaksud dengan wilayah Tibet adalah bukan hanya daerah otonomi (setingkat provinsi) Tibet sekarang ini, melainkan juga provinsi-provinsi lain di sekitarnya. Misalnya sebagian dari Provinsi Gansu, sebagian dari Provinsi Sichuan, dan keseluruhan Provinsi Qinghai yang sangat luas itu. Wilayah-wilayah yang disebutkan tadi kalau dijadikan satu sama dengan seperempat wilayah Tiongkok sekarang. “Mungkinkah Tiongkok akan memenuhi keinginan seperti itu?” tulisnya.
Suku Han adalah suku utama di Tiongkok, yang jumlahnya mencapai 90 persen penduduk Tiongkok. Lebih sulit lagi, yang dimaksud dengan wilayah Tibet adalah bukan hanya daerah otonomi (setingkat provinsi) Tibet sekarang ini, melainkan juga provinsi-provinsi lain di sekitarnya. Misalnya sebagian dari Provinsi Gansu, sebagian dari Provinsi Sichuan, dan keseluruhan Provinsi Qinghai yang sangat luas itu. Wilayah-wilayah yang disebutkan tadi kalau dijadikan satu sama dengan seperempat wilayah Tiongkok sekarang. “Mungkinkah Tiongkok akan memenuhi keinginan seperti itu?” tulisnya.
Tokoh bisnis Prancis lainnya juga menulis bahwa apakah yang jadi
aktivis sampai menyerang obor olimpiade itu juga pernah melihat Tibet
belakangan ini? Dia menyebutkan, dalam sejarah Tibet, termasuk saat
dikuasai beberapa negara asing lainnya, baru sekarang inilah dilakukan
pembangunan besar-besaran. Jalan-jalan tol, jalan-jalan kereta api,
jalan-jalan pedesaan, dan pertanian dikembangkan dengan sangat mencolok.
Termasuk membangun jalan kereta api yang termahal di dunia karena jalan
itu harus dibangun di atas lahan yang tingginya lebih dari 4.000 meter.
Gangguan terhadap obor olimpiade itu sampai ajakan boikot olimpiade,
menurut dia, hanya akan membuat dunia yang sudah keruh akan semakin
keruh saja.
Saya jadi ingat bahwa Presiden Hu Jintao
adalah orang yang secara emosional juga tidak mungkin mengalah dalam
soal Tibet. Presiden Hu ketika muda dulu adalah panglima militer untuk
wilayah Tibet sehingga tahu benar kondisi Tibet dan cara mengatasinya.
Di awal karirnya sebagai tentara, Presiden Hu adalah orang yang dianggap
berhasil memadamkan gejolak terbesar dalam sejarah tuntutan kemerdekaan
Tibet. Tidak mungkin ketika Hu justru menjadi penguasa tertinggi di
Tiongkok sikapnya akan melunak.
Maka, kalau gangguan terhadap obor itu masih akan terus berlangsung
sepanjang perjalanan obor sampai ke pelaksanaan olimpiade, kita bisa
membayangkan reaksi rakyat Tiongkok nanti. Keresahan dunia akibat perang
Iraq, disusul krisis harga minyak, disusul ancaman krisis pangan (yang
oleh ahli diramalkan bisa berkembang sampai mengakibatkan perang
antarnegara), dan ditambah dengan krisis keuangan dunia sekarang ini
belum dapat jalan keluar. Masih akan ditambah lagi ketegangan akibat
politisasi olimpiade tahun ini.
Padahal, obor olimpiade masih akan melintasi beberapa wilayah rawan
seperti Jepang dan lalu ketika mampir ke Tibet sendiri. Kita masih terus
waswas apa yang akan terjadi, termasuk sampai seberapa jauh
nasionalisme rakyat Tiongkok akan tersulut. Teman saya yang sangat sabar
seperti Robert Lai saja ikut emosional dalam soal Tibet ini,
sampai-sampai kehilangan rasa humornya yang tinggi. Karena itu, ketika
dia bertanya kepada saya apakah saya setuju ajakan boikot pada
Carrefour, saya jawab dengan humor yang bisa menurunkan tensinya.
“Saya lebih setuju kalau yang diboikot adalah Louis Vuitton. Ini
karena harganya yang mahal. Masak satu tas wanita harganya Rp 30 juta,”
kata saya. Ternyata, dia masih bisa tertawa. Saya lega. “Ya, saya juga
setuju. Agar istri saya tidak minta LV,” ujarnya. Saya masih terus
bercanda padanya. “Mestinya, Anda tidak setuju boikot produk Prancis.
Anakmu saja namanya Michelle,” kata saya mengenai anaknya yang masih 22
tahun, cantik, cerdas, dan kini sudah bekerja di bagian yang penting
bank asing yang berkantor di Singapura. “Dan istrimu sendiri tiap hari
bicara dalam bahasa Prancis,” tambah saya.
Rakyat Tiongkok begitu bangga menunggu berlangsungnya olimpiade.
Bertahun-tahun sudah dibangun sikap untuk menyukseskan olimpiade itu.
Tiba-tiba, ketika waktunya hampir tiba, terjadi gerakan pemboikotan.
Maka, perasaan nasionalisme mereka seperti dihinakan.
Seorang warga Kota Nanjing Jumat lalu menempuh cara yang unik untuk
menggalang nasionalisme Tiongkok itu. Dia pasang iklan berwarna satu
halaman penuh, di halaman depan pula. Dia nyatakan perasaan kecewanya
dengan membayar iklan yang begitu mahal di Xian Dai Ri Bao.
Seorang sastrawan membuat sajak panjang yang nadanya juga amat kecewa
terhadap Barat. Judul puisi itu kira-kira mirip dengan Pertanyaan untuk
Rumput yang Bergoyang:
Ketika kami tertutup,
Kau selundupkan narkoba.
Ketika kami buka pasar bebas,
Kau anggap mencuri lapangan kerja.
Ketika kami miskin,
Kau hinakan kami seperti anjing.
Ketika kami maju,
Kau anggap kami ancaman.
Ketika negeri kami terbelah-belah,
Kau ambil satu irisan melonnya.
OK, Lalu kami jadi negara komunis,
Tapi lantas kau benci kami.
Ketika kami menerima kapitalisme,
Kau tetap juga membenci kami.
Ketika penduduk kami 1 miliar,
Kau tuduh kami mau kuasai planet.
Ketika kami galakkan KB,
Kau tuduh kami tidak manusiawi.
Ketika kami miskin,
Kau anggap kami pengemis.
Ketika kami mulai pinjami kau uang,
Kau tuduh kami penambah utang kalian.
Dan masih panjang lagi. Berkali-kali saya membaca puisi itu karena
membayangkan juga kurang lebih itulah yang dialami Palestina dan
Indonesia dengan demokrasi barunya.
Tapi, di samping menimbulkan kejengkelan yang meluas, gangguan
terhadap obor olimpiade di Paris itu juga melahirkan pahlawan. Rakyat
Tiongkok kini sangat bangga dan memuja seorang gadis berumur 26 tahun
asal Anhui bernama Jin Jing. Gadis cantik ini adalah seorang altet
penyandang cacat. Kedua kakinya tinggal separo. Penyakit malignen yang
dia derita ketika kecil membuat kakinya harus diamputasi. Meski cacat,
semangat gadis ini luar biasa. Dialah yang saat itu membawa obor di atas
kursi rodanya.
Ketika obor itu diserang aktivis pro kemerdekaan Tibet, Jin Jing
melawan dengan hebat dari atas kursi rodanya. Terjadilah
serang-menyerang. Seluruh penyerangnya laki-laki. Dan yang
mempertahankan obor adalah seorang gadis cacat di atas kursi roda. Tapi,
Jin Jing,
atlet nasional penyandang cacat itu, berhasil menyelamatkan obor
tersebut. Adegan itu tiap hari, tiap jam, diputar di TV Olimpiade
Tiongkok yang selama 24 jam menyiarkan aktivitas di sekitar olimpiade
dan olahraga. Momen tersebut juga disiarkan setiap hari oleh TV-TV lain
dalam berita dan ilustrasi-ilustrasi yang disisipkan di antara
acara-acara TV. Jadilah Jin Jing pahlawan penyelamat obor olimpiade. (*)
No comments:
Post a Comment