Wednesday, April 23, 2008

Haru di Shanghai, Biasa di Jakarta

23 April 2008,
Haru di Shanghai, Biasa di Jakarta
Catatan Dahlan Iskan

Adegan ini mestinya mengharukan. Ketua Senat Prancis Christian Poncelet sampai terbang jauh-jauh ke Shanghai untuk meredakan kemarahan rakyat Tiongkok seminggu terakhir ini. Cara yang dilakukan Prancis juga sangat elegan: menemui Jin Jing, gadis cacat berumur 26 tahun yang kini menjadi pahlawan Olimpiade Beijing. Waktu itu Jin Jing mengemban tugas membawa obor Olimpiade yang lagi diarak di Kota Paris. Saat itulah Jin Jing diserang pendemo yang minta kemerdekaan Tibet. Jin Jing, dari atas kursi rodanya, memberikan perlawanan untuk melindungi obor yang dibawanya.

Pertemuan Poncelet-Jin Jing ini sangat menarik. Poncelet yang sudah berumur 80 tahun itu mendatangi Jin Jing yang duduk di kursi roda. Poncelet merangkul sayang gadis yang ketika kecil harus diamputasi kakinya itu. Lalu mencium pipinya. Setelah itu Poncelet masih meraih tangan si gadis pelan-pelan dan mencium tangan itu. Jin Jing pun menyambut rangkulan itu dengan perasaan penuh persahabatan. Ini terlihat dari ekspresi wajahnya yang tidak menunjukkan sisa kejengkelan sedikit pun.

Karena adegan ini diliput secara luas oleh media setempat, rasanya semua gerakan anti-Prancis yang marak seminggu terakhir ini akan selesai. Apalagi, ketua senat Prancis itu masih menyerahkan sepucuk surat dari orang yang bukan sembarangan: Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. Isinya, sang presiden sangat bisa merasakan terusiknya perasaan rakyat Tiongkok. Juga minta maaf atas kejadian itu. Juga mengutuk peristiwa penyerangan terhadap obor Olimpiade yang sedang dibawa Jin Jing itu. Bahkan, Presiden Sarkozy memberikan tawaran kepada Jin Jing untuk kembali ke Paris sebagai teman presiden dan menjadi tamunya.

Cara penyelesaian persoalan ketegangan itu sangat unik. Prancis sebagai negara tidak perlu minta maaf kepada Tiongkok sebagai negara. Itu memang suatu hal yang tidak mungkin dilakukan. Tapi, meminta maaf kepada Jin Jing yang dilakukan Presiden Sarkozy sebagai teman, sangatlah sudah mewakili perasaan rakyat Tiongkok secara keseluruhan.

Bagaimana reaksi Jin Jing? “Saya terserah saja pada pemerintah saya. Tanyakan kepada Menteri Luar Negeri,” katanya seperti dikutip semua media di sana.

Prancis kelihatannya memandang sangat serius gejolak yang terjadi di Tiongkok. Maklum, Prancis lagi giat-giatnya ekspansi di Tiongkok. Carrefour saja kini sudah membangun 112 hyparmarket di seluruh Tiongkok. Dalam seminggu terakhir posisi Carrefour babak belur karena didemo di hampir seluruh negeri. Padahal, Carrefour masih akan membangun hypermarket lebih banyak, sebelum jaringan dari Amerika masuk ke sana.

Raksasa makanan-minuman Danone juga lagi sangat agresif. Meski sengketa Danone dengan Wahaha (perusahaan raksasa minuman setempat) belum selesai, sudah ada kemajuan. Masing-masing sudah mencabut gugatan di pengadilan dan sepakat menempuh jalur arbitrase.

Belum lagi proyek raksasa dan prestisius yang baru dimulai tahun lalu dan harus sudah jadi tahun depan: pabrik pesawat terbang Airbus di Tianjin. Pabrik yang akan mampu memproduksi pesawat kelas A320 sebanyak 250 buah setahun itu tidak mungkin dikorbankan hanya gara-gara obor Olimpiade.

Karena itu, selain mengirim ketua senat, Presiden Sarkozy masih mengirim dua utusan tingkat tinggi lagi untuk menemui pejabat tinggi Tiongkok. Bahkan, dalam waktu dekat Perdana Menteri Prancis Francois Fillon juga akan datang ke Beijing.

Melihat intensifnya Prancis memperbaiki hubungan dengan Tiongkok ini, bisa dibaca bahwa Prancis tidak mau “termakan” permainan internasional yang ternyata hanya mengorbankan kepentingan nasionalnya. Prancis kelihatan lebih mementingkan kepentingan nasional daripada memenuhi solidaritas sesama negara Barat.

Di media Tiongkok pekan lalu gencar dipublikasikan analisis seorang ahli geopolitik Amerika Serikat yang membeberkan skenario di balik “permainan rolet Tibet”. Di situ diuraikan mengapa USA sangat berkepentingan dengan Tibet yang ternyata, menurut dia, memiliki sumber uranium (bahan untuk nuklir) terbesar di dunia.

Persoalan masih belum sepenuhnya lewat. Obor masih akan ke Australia hari ini. Di sana tidak tertutup kemungkinan terjadi gejolak, mengingat kebiasaan aktivis di Australia yang agresif. Setelah itu obor masih mampir ke Jepang yang juga tergolong sangat rawan berkembang ke persoalan yang peka. Hubungan Tiongkok-Jepang bisa naik turun secara tajam dan mendadak.

Bahkan, obor itu juga masih akan dikelilingkan Tibet, rasanya tidak akan menimbulkan persoalan. Kontrol pemerintah pusat atas keamanan Tibet kini dilakukan secara ketat.

Lalu, bagaimana pemberitaan di Tiongkok mengenai mampirnya obor Olimpade di Jakarta? Saya lihat biasa-biasa saja. Tidak hebat tapi juga tidak jelek. Pemberitaan TV dibuat dalam dua segmen. Pertama mengenai dikelilingkannya obor itu di Senayan. Segmen kedua mengenai Kota Jakarta.

Memang disorot juga sambutan hangat masyarakat di sepanjang pinggir jalan yang dilewati obor, tapi tidak mencolok. Teriakan “jia you!” berkali-kali memang terdengar dari para penyambut itu, tapi tidak terlalu meriah. Tarian tradisional Jakarta juga ditampakkan. Juga wajah ibu-ibu cantik yang ikut mengibarkan bendera RI dan Tiongkok.

Tapi, dibanding liputan ketika obor itu berada di Malaysia, kalah jauh. Di Malaysia sambutan lebih meriah. Bahkan, dapat kesan khusus yang sangat sukses dari media Tiongkok.

Sayang memang, kita tidak bisa memanfaatkan kedatangan obor ini untuk kepentingan nasional kita secara luas. Saya kira pemerintah terlalu takut terhadap demo-demo yang akan mengganggu obor itu. (*)

No comments:

Post a Comment