Haru di Shanghai, Biasa di Jakarta
Catatan Dahlan Iskan
Adegan ini mestinya mengharukan. Ketua Senat Prancis Christian
Poncelet sampai terbang jauh-jauh ke Shanghai untuk meredakan kemarahan
rakyat Tiongkok seminggu terakhir ini. Cara yang dilakukan Prancis juga
sangat elegan: menemui Jin Jing, gadis cacat berumur 26 tahun yang kini
menjadi pahlawan Olimpiade Beijing. Waktu itu Jin Jing mengemban tugas
membawa obor Olimpiade yang lagi diarak di Kota Paris. Saat itulah Jin
Jing diserang pendemo yang minta kemerdekaan Tibet. Jin Jing, dari atas
kursi rodanya, memberikan perlawanan untuk melindungi obor yang
dibawanya.
Pertemuan Poncelet-Jin Jing ini sangat menarik. Poncelet yang sudah
berumur 80 tahun itu mendatangi Jin Jing yang duduk di kursi roda.
Poncelet merangkul sayang gadis yang ketika kecil harus diamputasi
kakinya itu. Lalu mencium pipinya. Setelah itu Poncelet masih meraih
tangan si gadis pelan-pelan dan mencium tangan itu. Jin Jing pun
menyambut rangkulan itu dengan perasaan penuh persahabatan. Ini terlihat
dari ekspresi wajahnya yang tidak menunjukkan sisa kejengkelan sedikit
pun.
Karena adegan ini diliput secara luas oleh media setempat, rasanya
semua gerakan anti-Prancis yang marak seminggu terakhir ini akan
selesai. Apalagi, ketua senat Prancis itu masih menyerahkan sepucuk
surat dari orang yang bukan sembarangan: Presiden Prancis Nicolas
Sarkozy. Isinya, sang presiden sangat bisa merasakan terusiknya perasaan
rakyat Tiongkok. Juga minta maaf atas kejadian itu. Juga mengutuk
peristiwa penyerangan terhadap obor Olimpiade yang sedang dibawa Jin
Jing itu. Bahkan, Presiden Sarkozy memberikan tawaran kepada Jin Jing
untuk kembali ke Paris sebagai teman presiden dan menjadi tamunya.
Cara penyelesaian persoalan ketegangan itu sangat unik. Prancis
sebagai negara tidak perlu minta maaf kepada Tiongkok sebagai negara.
Itu memang suatu hal yang tidak mungkin dilakukan. Tapi, meminta maaf
kepada Jin Jing yang dilakukan Presiden Sarkozy sebagai teman, sangatlah
sudah mewakili perasaan rakyat Tiongkok secara keseluruhan.
Bagaimana reaksi Jin Jing? “Saya terserah saja pada pemerintah saya.
Tanyakan kepada Menteri Luar Negeri,” katanya seperti dikutip semua
media di sana.
Prancis kelihatannya memandang sangat serius gejolak yang terjadi di
Tiongkok. Maklum, Prancis lagi giat-giatnya ekspansi di Tiongkok.
Carrefour saja kini sudah membangun 112 hyparmarket di seluruh Tiongkok.
Dalam seminggu terakhir posisi Carrefour babak belur karena didemo di
hampir seluruh negeri. Padahal, Carrefour masih akan membangun
hypermarket lebih banyak, sebelum jaringan dari Amerika masuk ke sana.
Raksasa makanan-minuman Danone juga lagi sangat agresif. Meski
sengketa Danone dengan Wahaha (perusahaan raksasa minuman setempat)
belum selesai, sudah ada kemajuan. Masing-masing sudah mencabut gugatan
di pengadilan dan sepakat menempuh jalur arbitrase.
Belum lagi proyek raksasa dan prestisius yang baru dimulai tahun lalu
dan harus sudah jadi tahun depan: pabrik pesawat terbang Airbus di
Tianjin. Pabrik yang akan mampu memproduksi pesawat kelas A320 sebanyak
250 buah setahun itu tidak mungkin dikorbankan hanya gara-gara obor
Olimpiade.
Karena itu, selain mengirim ketua senat, Presiden Sarkozy masih
mengirim dua utusan tingkat tinggi lagi untuk menemui pejabat tinggi
Tiongkok. Bahkan, dalam waktu dekat Perdana Menteri Prancis Francois
Fillon juga akan datang ke Beijing.
Melihat intensifnya Prancis memperbaiki hubungan dengan Tiongkok ini,
bisa dibaca bahwa Prancis tidak mau “termakan” permainan internasional
yang ternyata hanya mengorbankan kepentingan nasionalnya. Prancis
kelihatan lebih mementingkan kepentingan nasional daripada memenuhi
solidaritas sesama negara Barat.
Di media Tiongkok pekan lalu gencar dipublikasikan analisis seorang
ahli geopolitik Amerika Serikat yang membeberkan skenario di balik
“permainan rolet Tibet”. Di situ diuraikan mengapa USA sangat
berkepentingan dengan Tibet yang ternyata, menurut dia, memiliki sumber
uranium (bahan untuk nuklir) terbesar di dunia.
Persoalan masih belum sepenuhnya lewat. Obor masih akan ke Australia
hari ini. Di sana tidak tertutup kemungkinan terjadi gejolak, mengingat
kebiasaan aktivis di Australia yang agresif. Setelah itu obor masih
mampir ke Jepang yang juga tergolong sangat rawan berkembang ke
persoalan yang peka. Hubungan Tiongkok-Jepang bisa naik turun secara
tajam dan mendadak.
Bahkan, obor itu juga masih akan dikelilingkan Tibet, rasanya tidak
akan menimbulkan persoalan. Kontrol pemerintah pusat atas keamanan Tibet
kini dilakukan secara ketat.
Lalu, bagaimana pemberitaan di Tiongkok mengenai mampirnya obor
Olimpade di Jakarta? Saya lihat biasa-biasa saja. Tidak hebat tapi juga
tidak jelek. Pemberitaan TV dibuat dalam dua segmen. Pertama mengenai
dikelilingkannya obor itu di Senayan. Segmen kedua mengenai Kota
Jakarta.
Memang disorot juga sambutan hangat masyarakat di sepanjang pinggir
jalan yang dilewati obor, tapi tidak mencolok. Teriakan “jia you!”
berkali-kali memang terdengar dari para penyambut itu, tapi tidak
terlalu meriah. Tarian tradisional Jakarta juga ditampakkan. Juga wajah
ibu-ibu cantik yang ikut mengibarkan bendera RI dan Tiongkok.
Tapi, dibanding liputan ketika obor itu berada di Malaysia, kalah
jauh. Di Malaysia sambutan lebih meriah. Bahkan, dapat kesan khusus yang
sangat sukses dari media Tiongkok.
Sayang memang, kita tidak bisa memanfaatkan kedatangan obor ini untuk
kepentingan nasional kita secara luas. Saya kira pemerintah terlalu
takut terhadap demo-demo yang akan mengganggu obor itu. (*)
No comments:
Post a Comment