Hati Kecil Saya untuk Sri Mulyani
Hati kecil saya masih berharap mudah-mudahan hasil pemeriksaan
investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kasus Bank Century itu
tidak seluruhnya benar. Sebab, kalau memang tidak ada yang salah,
akibatnya akan sangat dramatis: kita bisa kehilangan menteri keuangan
yang sangat kita banggakan. Seorang menteri, Sri Mulyani, yang
reputasinya begitu hebat. Baik di dunia internasional maupun dalam
mengendalikan keuangan negara. Secara internasional dia terpilih sebagai
menteri keuangan terbaik di dunia dua tahun berturut-turut. Di dalam
negeri dia dikenal sebagai menteri pertama yang berani mereformasi
birokrasi di departemennya. Juga menteri yang sangat ketat mengendalikan
anggaran negara. Bahkan, dialah satu-satunya menteri yang berani minta
berhenti ketika ada gelagat pemerintah akan membela seorang konglomerat
yang dia anggap tidak seharusnya dibela.
Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada yang tiba-tiba
mengatakan: kesimpulan BPK itu diperoleh dengan cara kerja yang kurang
benar. Maka kita tidak akan kehilangan menteri keuangan yang pandainya
bukan main itu. Pandai dalam ilmunya, pandai dalam menjelaskan
pikirannya, dan pintar bersilat kata. Saya melihat kecepatan berpikirnya
sama dengan kecepatan bicaranya. Kalau lagi melihat cara dia
mengemukakan pikiran, seolah-olah otak dan bibirnya berada di tempat
yang sama.
Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang
tiba-tiba menemukan data bahwa BPK telah salah ketik. Maka, kita tidak
akan kehilangan menteri yang mampu rapat dua hari dua malam nonstop
untuk menyelamatkan keuangan negara. Rapat itu tidak boleh berhenti
karena lengah sedikit berakibat pada kebangkrutan ekonomi nasional.
Rapat itu tentu melelahkan karena angka-angkalah yang akan terus
berseliweran. Angka-angka yang rumit: kurs, suku bunga, devisa,
likuiditas, rush, neraca perdagangan, stimulus, dan seterusnya.
Angak-angka itu saling bertentangan, tapi menteri tidak boleh memilih
salah satunya. Dia harus membuat keputusan yang harus memenangkan semua
angka yang saling merugikan itu. Padahal, dia baru saja tiba dari
Washington, AS, untuk berbicara di forum KTT G-20 yang amat penting itu.
Di Washington dia tahu bahayanya ekonomi dunia. Tapi, dia mampu
memikirkan keuangan internasional sekaligus keuangan nasional dalam
waktu yang sama di belahan dunia yang berbeda. Dia harus menghadiri KTT
G-20 di Washington saat itu (kebetulan saya ikut di rombongan situ) saat
rupiah tiba-tiba melonjak menjadi Rp 12.000 per dolar AS. Dia harus
tampil cool di forum dunia yang Singapura pun tidak boleh ikut di
dalamnya itu sambil tegang bagaimana harus mengendalikan rupiah yang
sudah membuat warga negara Indonesia panik semuanya.
Dialah menteri yang datang ke Washington hanya untuk mengemukakan
pikiran briliannya dan harus langsung kembali ke tanah air pada hari
yang sama untuk mencurahkan perhatian pada ekonomi yang hampir bangkrut
itu.
Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang
mengatakan bukan dia yang harus bertanggung jawab. Tapi, ada pihak
lainlah yang harus mendapat hukuman. Kalau tidak, kita akan kehilangan
seorang menteri yang di saat ibu kandungnya, Prof Dr Retno Sriningsih
Satmoko, sedang sakit keras menjelang ajalnya, dia tidak bisa menengok
sekejap pun. Dia memilih mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan
emosinya untuk menyelamatkan ekonomi bangsa ini. Dia tidak bisa
menjenguk ibu kandungnya yang jaraknya hanya 45 menit penerbangan di
Semarang sana. Dia harus mencucurkan air mata untuk dua kesedihan
sekaligus: kesedihan karena ibundanya berada di detik-detik akhir
hidupnya dan kesedihan melihat negara dalam bibir kehancuran ekonomi.
Dua-duanya tidak bisa ditinggal sedetik pun. Rupiah lagi terus bergerak
hancur dan detak jatung ibunya juga lagi terus melemah. Dan, Sri Mulyani
memilih menunggui rupiah demi nyawa jutaan orang Indonesia.
Maka hati kecil saya masih berharap ada data di kemudian hari bahwa
kebijaksanaan itu sendiri tidak salah. Sebab, sebuah kebijaksanaan bisa
diperdebatkan salah benarnya. Saya masih berharap yang salah itu dalam
pelaksanaan kebijaksanaannya. Yakni, saat mendistribusikan uangnya yang
Rp 6,7 triliun itu. Dan saya sangat-sangat yakin dia tidak mendapatkan
bagian serupiah pun.
Maka saya sangat bersedih karena sampai hari ini belum ada satu pihak
pun yang berhasil mengatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK itu salah.
Belum ada yang membantah bahwa hasil pemeriksaan BPK itu keliru. Semua
masih mengatakan, hasil pemeriksaan BPK itu menunjukkan bahwa dia
bersalah dalam mengambil keputusan. Dan hukum harus ditegakkan. (*)
No comments:
Post a Comment