Thursday, November 19, 2009

Listrik Mati di Lumbung

Kamis, 19 November 2009
Listrik Mati di Lumbung

Ayam mati di lumbung bukan lagi kiasan untuk menggambarkan kelistrikan di Indonesia. Di Pulau Kalimantan yang kaya-raya akan batubara, hampir seluruh kotanya krisis listrik dengan sangat gawat. Bukan sejak sebulan yang lalu, tapi sudah 10 tahun atau 20 tahun lamanya.  Kota seperti (deretan nama-nama kota ini anggap saja pelajaran baru ilmu bumi): Pontianak, Singkawang, Sanggau, Ketapang, Pangkalanbun, Sampit, Palangkaraya, Samarida, Balikpapan, Penajam, Tanahgrogot, Bontang, Sengata, Tanjungredep, Tanjungselor, Tarakan, sampai ke kota penting di dekat negara tetangga seperti Nunukan dan Tanatidung bukan main menderitanya.

Tidak terhitung lagi orang yang kehilangan rumah karena lampu mati. Mereka menyalakan lilin, ketiduran,  lantas rumah yang umumnya terbuat dari kayu terbakar. Kisah pilu seperti  itu menjadi berita koran lokal yang tidak habis-habisnya. Kebetulan, saya memiliki koran di semua kota yang disebut terdahulu itu dan yang akan disebut kemudian.

Lalu, generasi masa depan macam apa yang akan tercipta dengan kondisi listrik seperti itu?  Belum lagi penderitaan para investor. Mencari investor yang mau masuk ke  daerah-darah itu bukan main sulitnya. Investor rasional pasti langsung mengabaikan daerah-daerah itu. Tapi, begitu ada investor yang ?emosional? (biasanya ada hubungan darah dengan salah satu daerah tersebut seperti saya),  kekecewaanlah yang diberikan oleh PLN. Banyak investor hotel-hotel bagus menderita karena listriknya mati-mati terus. Banyak investor perumahan yang rumahnya sudah siap tapi listriknya tidak ada.

Itu bukan cerita satu bulan yang lalu. Cerita duka tersebut sudah terjadi sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Atau sejak 20 tahun silam. Sampai hari ini. Tetangga dekat Kaltim di Sulawesi seperti Mamuju, Palu, Poso, Luwuk, Gorontalo, Tolitoli, Kendari, dan bahkan Makasar pun kurang lebih juga sama. Padahal, membawa batubara yang murah dari Kaltim ke Palu hanya perlu menyeberang satu malam.

Saya tidak perlu lagi menyebut kota seperti Tanjungpinang di Riau, Pangkal Pinang di Bangka, Tanjungpandan di Belitung. Belum juga menyebut Ambon, Lombok, Kupang, Flores, Ternate, Sorong, Jayapura, Merauke?. Pokoknya, sebutlah nama kota di mana saja di luar Jawa. Lebih mudah menyebut yang krisis listrik daripada yang tidak.

Kesabaran para gubernur seperti gubernur Kaltim, gubernur Kalteng, dan gubernur Kalbar sudah habis karena terus-menerus didemo rakyatnya. Juga gubernur di wilayah lain tadi. Tapi, para gubernur itu hanya bisa meneruskan suara pendemo itu ke PLN. Sebab, hanya PLN yang diberi hak untuk memiliki dan mengelola listrik di seluruh Indonesia nan luas ini. Tapi, suara pendemo itu datang dari tempat yang terlalu jauh dilihat dari kantor pusat PLN nun di Jakarta sana.

Begitu kaya Kalimantan akan batubara. Tapi, mayoritas pembangkit listrik di kawasan tadi menggunakan disel. Maka, PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) menjadi raja di sana. Raja yang haus uang, tapi lembek tenaga. Haus uang karena menghabiskan uang negara. Lembek karena lemah sekali tenaga listrik yang dihasilkannya. Padahal, wilayah itu begitu kaya akan batubara. Kaya-raya. Superkaya.  Tapi, kekayaan itu tidak membawa berkah ke diri sendiri. Batubara itu mengalir ke India, Thailand, Tiongkok, Jepang, bahkan sampai ke Eropa dan Amerika. Ibarat lagu Gesang, “batubara Kaltim itu mengalir sampai jaaaaauuuuuh”. Sampai membuat wilayah Kalimantan dan Sulawesi sendiri terlupakan.

Kalau saja ada pikiran sehat untuk mengubah wilayah itu, betapa gembiranya rakyat di seluruh kawasan tersebut. Mengapa kita yang begitu kaya batubara tidak mampu memanfaatkannya untuk membuat rakyatnya sendiri tersenyum. Memang pernah dicoba untuk mengatasinya. PLN mengadakan tender pembangunan PLTU di beberapa wilayah yang disebut tadi. PLN juga sudah menyatakan berpuluh-puluh investor sebagai pemenang tendernya.  Kalau saja semua berjalan baik, hari ini wilayah-wilayah tersebut sudah mulai sedikit terang. Tapi, sampai hari ini, sudah tiga tahun kemudian, tidak satu pun para pemenang tender itu menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan,  sebagian besar belum memulainya sama sekali. Sebagian lagi menghentikannya.

Ada persoalan kecerdasan mendasar dan kejujuran yang kurang ditegakkan di sini. Sistem tender itu harus diubah total. Direformasi habis-habisan. Padahal, kalau PLTD-PLTD itu diubah semua menjadi PLTU kecil dan menengah, bukan saja rakyat di wilayah itu bisa tersenyum, menteri keuangan yang cantik itu pun akan ikut tersenyum. Negara bisa berhemat  paling sedikit Rp 20 triliun setahun.  Baca: Rp 20.000.000.000.000/setahun. Dan lagi, kalau wilayah-wilayah itu punya listrik, investor berdatangan ke sana. Penghasilan pajak juga naik.  Tenaga kerja akan mengalir ke sana:  tidak perlu lagi ada dana transmigrasi!

Pandai benar orang yang menciptakan peribahasa ?ayam mati di lumbung? itu. Dia berhak berbangga karena ada contoh yang pas untuk membuktikannya: listrik kita!

No comments:

Post a Comment