Monday, September 29, 2008

Saya Harus Mudik Ke Mana Ya?

Senin, 29 September 2008
Saya Harus Mudik Ke Mana Ya?
Catatan: Dahlan Iskan

Dulu Tapi karena semua orang harus mudik, saya merasa jadi aneh kalau tidak pergi dari Surabaya. Maka kami memutuskan setiap Lebaran berada di Makkah. Begitulah sampai beberapa tahun. Kebiasaan itu berhenti karena saya sakit dulu itu. Tinggal isteri saya yang masih meneruskan kebiasaan tersebut tiga tahun terakhir ini. Dua tahun berturut-turut saya lantas berlebaran di Tiongkok. Tahun pertama di Kota Harbin, nun di pojok utara Tiongkok, dekat Rusia.

Saya jadi tahu bagaimana berlebaran di kalangan umat Islam penganut madzhab Hambali. Tahun lalu berlebaran di Tianjin, tepat sebulan setelah operasi ganti hati. Ini menarik, karena selama 50 tahun saya selalu berlebaran secara Syafi’i dan selama 6 tahun setelah itu secara Wahabi.

Tahun ini, setahun setelah ganti hati, saya harus ke Tianjin lagi untuk kontrol. Karena bertepatan dengan menjelang Lebaran, maka saya sekalian berlebaran di Tiongkok untuk yang ketiga kalinya. Kali ini juga dengan seluruh anak, menantu dan cucu. Isteri saya sudah membawa serta baju baru khusus untuk Lebaran. Maunya, saat sembahyang Idul Fitri nanti semua pakai baju baru itu. Mudah-mudahan tahun ini tidak salah paham lagi.

Tahun lalu, pagi-pagi kami sudah kumpul di kamar saya di rumah sakit Yi Zhong Xin Tianjin. Semua sudah pakai baju baru, termasuk cucu yang masih berumur dua tahun dan menantu saya yang sedang hamil (cucu saya yang kemudian lahir, lantas disebut ‘made in China’).

Kami siap berangkat ke masjid. Banyak sekali masjid di sekitar Tianjin. Lalu kami mengatakan kepada sopir untuk mengantar ke masjid paling hebat. Sopir, yang komunis, tidak tahu apau ukuran masjid paling hebat. “Pokoknya tempat yang didatangi banyak sekali orang Hui,” kata saya. Kata ‘Islam’ lebih sering disebut ‘Hui’ di Tiongkok, karena yang beragama Islam praktis hanyalah suku Hui.

“Oh, saya tahu!,” katanya penuh keyakinan. “Ramai sekali,” tambahnya.
Kami pun dengan penuh keyakinan mengikuti saja apa kata sopir. Ketika tempatnya ternyata jauh sekali, kami mulai khawatir. Jangan-jangan ketika tiba nanti, sembahyangnya sudah selesai. Kian mendekati tempat yang dimaksud, memang terasa kian banyak orang bertopi putih menuju ke sana. Oh, berarti belum terlambat. Siapa tahu madzhad Hambali memang sembahyangnya agak siang.

Begitu tiba di lokasi, kami kaget. Ini bukan masjid. Ini kuburan! Oh, orang Hambali ternyata mementingkan ke kuburan. Begitu sembahyang Idul Fitri selesai, semua mereka ke kuburan. Masjidnya banyak, tapi kuburannya satu. Jadi ramainya bukan main. Bazar makanan juga digelar di kuburan itu. Bahkan ada panggung promosi produk makanan baru dengan pengeras suara yang meriah. Inilah kuburan paling meriah yang pernah saya kunjungi.

Hanya orang Islam yang boleh dikubur di Tiongkok. Yang bukan Islam harus dibakar. Abunya lantas ditempatkan di satu kuburan yang lebih simple: satu gedung besar, dengan laci-laci tempat abu. Kalau lagi Cing Bing, gedung ini juga ramai sekali didatangi para peziarah. Lokasi ‘kuburan’ abu ini, dengan kuburan orang Islam berdekatan.

Hari itu kami tidak sembahyang. Makan sate, roti pratta, melihat orang nangis-nangis di batu nisan dan lalu kembali ke rumah sakit. Upacara sungkem dari anak dan cucu dilakukan di kamar saya di rumah sakit.Tahun ini, saya dapat hadiah Lebaran yang istimewa: pemeriksaan kesehatan saya (test darah, USG, CT Scan dan seterusnya) menunjukkan hasil yang sangat baik. Karena itu obat yang harus saya minum dikurangi lagi, tinggal dua macam: tacrolimus dan lamivudin. Tacrolimus untuk mensinkronkan hati baru dengan organ lain. Lamivudin untuk menstabilkan hati.Hadiah istimewa yang lain: saya diundang menghadiri HUT rumah sakit ini. Bukan HUT-nya yang menarik. Tapi acaranya: sekitar 700 ‘alumni’ ganti hati bereuni. Ramai sekali. Hanya saya yang dari luar negeri. Semuanya memiliki hati baru.(*)

No comments:

Post a Comment