Lantaran Reruntuhan Wall Street Menimpa Main Street
Catatan Dahlan Iskan
Seberapa besarkah krisis keuangan di Amerika itu sehingga negara
tersebut sampai harus ”musyrik” dari agama kapitalisme dengan cara
menyuntikkan dana negara USD 700 miliar? Bahkan sampai mau menelan ludah
sendiri dengan cara melakukan ”nasionalisasi”?
Memang sangat serius. Apalagi kalau kita menyaksikan siaran televisi
CNN, CNBC, atau Bloomberg. Kalutnya bukan main. Bahkan belum diketahui
pasti besarnya kerugian yang harus dihadapi. Ada pengamat yang sampai
mengistilahkan bahwa AS seperti sedang menghadapi perjudian sebesar USD
60 triliun. Tentu ada juga yang hanya menghitung semua kehebohan itu
menyangkut USD 5 triliun. Pokoknya sangat besar, untuk ukuran AS
sekalipun.
Tapi, jangan juga dibayangkan bahwa ekonomi negara itu segera ambruk.
Nilai USD 700 miliar yang akan disuntikkan tersebut memang hampir sama
dengan GNP seluruh penduduk dan negara Indonesia, tapi baru hampir sama
dengan anggaran pertahanan negara itu. Atau baru sama dengan tiga tahun
biaya perangnya di Iraq. Atau hanya kurang 5 persen dari GNP negara
tersebut.
Bahwa ketika pemerintah George Bush mengajukan permintaan anggaran
USD 700 miliar tersebut heboh, yang utama bukan karena besarnya. Meski
sama dengan GNP seluruh negara di Benua Afrika, nilai itu hanya sama
dengan kekayaan 12 orang seperti Bill Gates. Atau sama dengan kekayaan
lima perusahaan minyak di sana. Karena itu, ketika mengajukan permintaan
tersebut ke DPR, Menteri Keuangan Henry Paulson hanya menyerahkan
proposal tiga halaman.
Yang lebih dihebohkan adalah karena itu menyangkut rasa keadilan
masyarakat dan melanggar doktrin kapitalisme dengan pasar bebasnya.
”Sekali lagi, orang miskin harus membantu orang kaya,” kata umumnya
opini di sana.
Atau sindiran seperti ini: Definisi kapitalisme dan pasar bebas harus
diubah menjadi ”boleh mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan cara
apa pun dan kalau terperosok ke jurang, pemerintah harus menolong”.
Atau: Solusi yang terbaik adalah biarkan mereka bangkrut.
Kebetulan, pemilu sudah dekat. Pemilu presiden maupun pemilu anggota
DPR. Karena itu, sikap para anggota DPR menjadi sangat aneh. Secara
ilmiah, mereka harus menyetujui permintaan bailout USD 700 miliar itu.
Tapi, mereka takut pada kemarahan rakyat atas perilaku para pengusaha
keuangan yang mereka sebut begitu rakus (lihat tulisan saya Kalau Langit
Dianggap Kurang Tinggi di harian ini edisi 28 September 2008).
Karena itu, sikap umumnya anggota DPR adalah ini: Permintaan bailout
tersebut harus kita setujui, tapi jangan saya yang harus ikut
menyetujui.
Umumnya mereka tahu akibat buruk kalau DPR tidak menyetujui
permintaan presiden itu. Tapi, mereka lebih takut kalau tidak terpilih.
Sebab, pemungutan suara dilakukan secara terbuka. Rakyat bisa tahu siapa
setuju siapa menolak.
Karena itulah, dalam pemungutan suara pada Senin pekan lalu,
permintaan bailout tersebut tidak disetujui DPR dengan suara cukup telak
(228 lawan 205). Bahkan, yang terbanyak menolak justru dari partai
presiden sendiri.
Lalu, terjadilah sejarah itu: begitu DPR menolak, harga saham terjun
bebas. Nilai penurunan tersebut mencapai USD 3,4 triliun. Dunia heboh.
Lembaga keuangan panik. Wall Street (pasar modal yang terletak di Jalan
Wall Street New York) berjatuhan. Reruntuhannya menimpa main street.
Penolakan DPR untuk menolong orang-orang di Wall Street ternyata
berimbas langsung kepada masyarakat umum. Para pengusaha kecil yang
semula merasa tidak adil kalau pemerintah menolong perusahaan raksasa
kemudian ikut kelimpungan: bank tidak bisa memberi mereka kredit. Banyak
perusahaan mengurangi tenaga kerja atau tutup. Kelas pegawai ternyata
juga ikut susah.
Maka, opini langsung berubah. Yang menolak bailout dituding sebagai
penyebab keruntuhan ekonomi secara lebih luas. Mereka menjadi sasaran
kemarahan baru. Para anggota DPR pun setuju untuk bertemu lagi lima hari
kemudian. Bahkan bisa lebih cepat kalau saja tidak terhalang tahun baru
Yahudi yang merupakan hari libur di AS.
Suasananya mendadak berbalik. Banyak yang menyesal telah menolak
bailout itu. Rencana menghemat USD 700 miliar ternyata justru
menimbulkan kerugian USD 3,4 triliun dalam satu hari itu saja. Itu baru
kerugian langsung. Kerugian akibat dampak berikutnya pasti lebih besar.
Inilah contoh konkret negara yang demokrasinya telah dewasa.
Kesalahan bisa segera diperbaiki hanya dalam waktu lima hari.
Kepentingan politik memang ada, tapi akal sehat tetap lebih utama.
Dari kejadian itu, saya semakin menghargai keputusan yang pernah
diambil Presiden B.J. Habibie dan Presiden Megawati yang dengan cepat
menyelesaikan utang-utang para konglomerat dulu itu. Tapi, karena
suasana politik waktu itu lagi ”kalut”, keduanya jadi bulan-bulanan.
Saya juga paham dan menghargai jalan pikiran seperti yang dianut Kwik
Kian Gie atau umumnya ekonom kerakyatan. Memang sangat tidak adil
negara mengeluarkan uang yang begitu besar untuk menolong para
konglomerat. Bukankah itu kesalahan mereka sendiri? Mengapa uang rakyat
yang dipakai menolong mereka? Apalagi nilainya bukan sekadar 5 persen
dari GNP seperti di AS sekarang, melainkan praktis 100 persen dari GNP
Indonesia (saat itu).
Bahkan, transparansinya memang patut dipersoalkan karena di
masing-masing perusahaan Indonesia yang di-bailout itu umumnya mayoritas
sahamnya masih dipegang satu keluarga. Kenyataannya kemudian, dengan
berbagai cara, para pemilik itu sendiri yang membeli kembali dengan
harga banting-bantingan.
Tapi, kejadian di AS tersebut tetap benar-benar menjadi bukti bahwa
kalau utang-utang mereka tidak diselesaikan, ekonomi tidak bisa bergerak
(bahkan merosot). Akibatnya, kerugian seluruh bangsa akan jauh lebih
besar dari nilai uang yang dipakai menolong mereka. Nasib orang kaya,
rupanya, memang lebih mujur. Jatuh pun diselamatkan kasur dan permadani.
Sangat pantas kalau rakyat umumnya sangat marah.
Dalam kasus AS, akal sehat segera mencuat. Sambil marah, tetap saja
bailout USD 700 miliar harus disetujui. Akhirnya, lima hari kemudian,
DPR menyetujui permintaan bailout itu. Memang masih ada 171 orang yang
menolak, tapi yang setuju menjadi 263 orang.
Meski DPR sudah menyetujui jalan keluar tersebut, tidak berarti
ekonomi AS segera pulih. Banyak analis memperkirakan krisis itu masih
akan berlangsung selama enam atau tujuh bulan lagi. Masih harus lama
mencari titik keseimbangan baru.
Apalagi kalau benar bahwa bisa saja krisis keuangan tersebut
menyangkut uang sampai USD 60 triliun, sebagaimana ditulis majalah
Fortune terbaru. Berarti jauh lebih besar dari perkiraan semula yang
hanya menyangkut USD 5 triliun. Apalagi, pemerintah AS sedang dalam masa
transisi. Pemerintah Bush sudah tidak punya waktu lagi, sementara
pemerintah baru belum akan efektif sampai empat bulan lagi.
Belum lagi bailout yang USD 700 miliar itu tidak bisa cair begitu
saja. DPR menambahkan banyak persyaratan. Termasuk prosesnya yang harus
transparan. Bahkan, mulai dipertanyakan berapa banyak konsultan yang
akan dipekerjakan dan berapa gaji mereka. Itu mengingatkan kita bahwa
untuk BPPN saja, kita menggunakan ratusan konsultan asing dengan total
gaji ratusan miliar rupiah.
Bisa selesai dalam enam atau tujuh bulan? Kok begitu cepat?
Enam atau tujuh bulan itu adalah masa untuk mencapai titik
keseimbangan baru. Tentu posisi keseimbangan baru tersebut jauh lebih
rendah daripada posisi saat ini. Untuk bisa benar-benar pulih seperti
sekarang, para analis sepakat diperlukan waktu lima sampai enam tahun.
Berarti, siapa pun presiden baru yang terpilih bulan depan berada dalam
posisi yang berat.
Tapi, tetap saja masa enam-tujuh bulan tersebut sangat cepat. Itulah
kalau sebuah negara demokrasinya sudah dewasa. Persoalan tersebut bisa
cepat diselesaikan justru sebelum merembet ke bidang lain. Kita pun,
kalau bisa konsisten menjaga demokrasi ini, kelak akan sampai ke sana
juga. Mungkin 16 tahun lagi.
Benarkah krisis yang begitu hebat akan selesai dalam tujuh bulan?
Cepat atau lambat, itu relatif. Kita bisa bilang ”kok cepat” karena
kita punya pengalaman buruk. Untuk pulih dari krisis 1997, kita perlu
waktu tujuh tahun menormalkannya. Krisis moneter kita sempat ditunggangi
oleh kerusuhan rasial dan krisis politik yang mbulet.
Kerumitan itulah yang tidak sampai menyertai krisis moneter di AS
sekarang ini. Paling-paling mereka hanya akan memperbarui banyak
peraturan di bidang keuangan agar lebih ketat. Misalnya, subprime
mortgage akan dilarang. Demikian pula short selling di pasar modal.
Tapi, dalam waktu kurang dari 10 tahun ke depan, lubang-lubang
peraturan baru itu pun sudah bisa ditemukan. Kapitalisme akan mendorong
pelaku bisnis untuk terus berkelit. Kalau kena jalan buntu, jalan
lingkar harus ditemukan. Tidak bisa menemukan jalan lingkar, bikin jalan
baru. Tidak bisa bikin, beli! Tidak bisa beli, lakukan hostile! Kalau
hostile pun tidak bisa, bikin saja jalan di angan-angan. Laksanakan di
kertas atau di layar komputer. Malah tidak perlu aspal, batu, dan
kontraktor.
Lalu, jual!
Kalau pembeli bertanya seberapa lebar dan di mana jalan itu, buka
saja laptop! Bikin animasi yang bisa menggambarkan jalan itu lengkap
dengan mobil yang lalu-lalang, tiang-tiang listrik dan gedung-gedung
pencakar langit di kanan kirinya. Karena jalan jenis ini tidak perlu
tanah, bikinlah banyak-banyak! Sebanyak yang ada di pikiran. Peraturan
yang kian hebat membuat pebisnis kian lihai. Sampai kelak, 20 tahun yang
akan datang terjadi lagi krisis yang baru.
Berapa banyakkah uang Indonesia yang terancam lenyap dari krisis di
Amerika? Sejauh ini baru Bank BNI yang mengumumkan kemungkinan hilangnya
uang yang ditempatkan di Lehman Brothers sebesar USD 7,8 juta (sekitar
Rp 72 miliar).
Perkiraan saya total sekitar Rp 10 triliun. Di antara jumlah itu,
Surabaya saya kira menyumbang sekitar Rp 1 triliun, melibatkan 100-an
orang kaya. Dari Jakarta sekitar Rp 8 triliun melibatkan 1.000-an orang
atau lembaga. Yang Rp 1 triliun lagi dari berbagai kota. Mudah-mudahan
perkiraan saya terlalu besar. (*)
No comments:
Post a Comment