Catatan Hari Pers Nasional
Wartawan Perjuangan yang Murni dalam Lima Tahun
Oleh : Dahlan Iskan
Pembaca koran naik drastis di Amerika Serikat, tapi pembeli koran
turun drastis. Demikian juga ”pemirsa laptop” naik drastis dan pemirsa
tv turun drastis. Untuk kali pertama dalam sejarah media, pelantikan
Barack Obama sebagai presiden ke-44 AS pada 21 Januari lalu lebih banyak
ditonton lewat laptop daripada lewat pesawat televisi.
Naiknya pembaca koran lewat internet dan meningkatnya pemirsa laptop
untuk peristiwa besar telah menyusutkan pendapatan iklan kedua jenis
media itu. Belum ada usul bagaimana mengatasi ancaman terhadap televisi
itu, tapi mulai ada wacana agar perusahaan koran yang mengalami
kesulitan keuangan akibat krisis global ini juga di-bailout oleh
pemerintah AS. Apalagi, di AS amat terkenal kredo ”lebih baik tidak ada
pemerintah daripada tidak ada koran”. Kalau perusahaan mobil saja
di-bailout, mengapa pilar demokrasi ini tidak.
Perkembangan lain, TV lokal di AS kini mulai bisa mengalahkan
jaringan nasional -khususnya untuk tv berita. Ini karena berita yang
nasional-nasional akan menjadi garapan empuk jaringan internet yang
dengan lebih mudah ditonton di laptop. Sedangkan naiknya pembaca koran
secara elektronik menimbulkan kesulitan besar: pembaca membayar bukan
kepada perusahaan koran, melainkan ke provider internet.
Perusahaan koran belum menemukan cara yang memadai untuk mendapatkan
penghasilan dari hasil perubahan cara baca itu. Memang berita koran
-terutama dari koran yang reputasinya baik- lebih dipercaya daripada
sumber yang bukan dari koran, tapi tetap saja pengguna internet telanjur
terbiasa sejak awal dulu bahwa sesuatu yang di internet itu gratis.
Padahal, untuk mendapatkan kepercayaan bahwa ”berita koran itu lebih
bisa dipercaya” memerlukan biaya. Kelak, kalau semua pembaca koran tidak
mau membayar ongkos untuk melahirkan ”berita koran lebih dipercaya”
itu? Dari sinilah awalnya mengapa ada wacana bailout untuk surat kabar.
Bahkan, sudah ada yang mewacanakan bahwa surat kabar itu kelak dianggap
saja sama dengan rumah sakit atau universitas: universitasnya demokrasi
dan rumah sakitnya demokrasi. Atau, mungkin mirip rumah sakit yang
sekaligus teaching university. Koran bisa seperti RS Tjiptomangunkusumo
atau RS dr Sutomo.
Belum ditemukannya bagaimana cara ”membayar” itu antara lain karena
selama ini memang tidak pernah dipikirkan. Kalau toh terpikirkan,
barulah yang caranya juga tradisional: siapa yang mengakses koran harus
berlangganan. Ini tidak efektif karena psikologi isi internet itu
gratis. Baru sekarang ini, sekarang ini, bingung. Yakni, setelah terjadi
krisis finansial global yang ternyata juga melanda perusahaan surat
kabar AS.
Grup surat kabar terkemuka di dunia Chicago Tribune sudah menyatakan
bangkrut. Bisa dibayangkan nasib koran yang lebih lemah. The New York
Times yang begitu hebat, sedang di ambang jurang yang sama. Utangnya
yang hampir jatuh tempo mendekati Rp 40 triliun, sedangkan dana yang
siap baru Rp 4 triliun. The New York Times mengalami krisis dana cash
yang luar biasa besar.
Mengapa selama ini tidak dipikirkan cara yang ampuh untuk
menghubungkan agar pemanfaatan isi koran lewat internet itu bisa
menghasilkan pendapatan bagi perusahaan koran? Jawabnya jelas:
perusahaan koran sudah seperti perusahaan pada umumnya: “mabuk” pasar
modal.
Perusahaan koran berlomba mengumumkan semakin tingginya angka hit
terhadap koran mereka. Kian banyak orang mengklik kian bangga -meski itu
mencerminkan semakin dijauhinya koran edisi cetak mereka. Dengan
menggalakkan edisi on line, perusahaan koran itu sebenarnya sudah
mendorong agar pembaca meninggalkan edisi cetak. Bertahun-tahun dorongan
itu dilakukan dan hasilnya sangat ”baik”: kian banyak orang yang pindah
ke on line. Baik menurut ukuran ekonomi saat itu.
Dengan tingginya angka hit sebuah koran, performance mereka di pasar
modal semakin baik. Harga sahamnya pun naik drastis. Kenaikan harga
saham setiap tahun inilah yang dikejar. Mengejar kenaikan harga saham
melalui peningkatan hit di on line lebih mudah daripada memperbesar
sirkulasi surat kabar. Usaha memperbesar sirkulasi koran secara
tradisional sangatlah sulit: pelaksananya bukan hanya harus pintar, tapi
juga harus bekerja keras. Termasuk bekerja keras mengeluarkan keringat
di pasar sejak pukul 03.00. Dari segi pemasaran, perusahaan koran tidak
ada bedanya dengan tukang sayur: sudah harus ada di pasar sejak sebelum
subuh. Sedangkan meningkatkan ”sirkulasi” koran lewat on line meski juga
harus pintar, tapi lebih mudah: bisa dikerjakan di ruang AC dengan
tidak harus bercucuran keringat. Kalau bisa meningkatkan harga saham
dengan cara mudah, mengapa harus melakukannya dengan cara susah payah?
Toh, sistem ekonomi pasar di AS saat itu memungkinkan berkembangnya
ekonomi yang tidak perlu riil seperti itu dengan penuh gairah.
Itulah gairah yang ”memabukkan”. Maka, ketika tiba-tiba terjadi
krisis keuangan dan hal-hal yang tidak riil tidak bisa lagi dijual,
bangunan megah itu ternyata seperti rumah-rumahan dari styrofoam:
terbang terbawa angin ribut. Ketahuanlah bahwa jumlah pembaca koran yang
naik terus itu sebenarnya diikuti dengan turunnya oplah. Iklan pun
merosot drastis. Pengguna on line sudah telanjur dibiasakan tidak
membayar. Harga saham koran seperti New York Time terjun bebas: kini
sudah mendekati kategori junk bond.
Di Indonesia belum ada koran raksasa yang mengalami kesulitan -karena
selama ini mereka itu sebenarnya memang belum pernah benar-benar jadi
raksasa. Belum ada koran raksasa yang terjun ke pasar modal. Baru ada
tiga koran yang masuk bursa: TEMPO, Republika dan -melalui induk
perusahaannya- Seputar Indonesia. Performa harga saham dua koran pertama
tidak pernah tinggi -dan karena itu tidak bisa anjlok.
Sedangkan performa koran ketiga sulit dinilai karena yang masuk bursa bukan koran itu sendiri, melainkan induknya.
Boleh dikata, belum ada perusahaan koran di Indonesia yang “mabuk”
pasar modal. Sudah ada memang yang baru ingin mau ”mabuk”, tapi sudah
keburu ada krisis: Jawa Pos. Jawa Pos sudah lama mempersiapkan diri
masuk pasar modal, tapi selalu ditunda karena ragu-ragu akibat
baik-buruknya.
Koran di Indonesia juga masih punya waktu kira-kira lima tahun untuk
menghadapi ancaman on line itu. Mengapa lima tahun? Jawabnya ini: akhir
tahun depan pembangunan Palapa Ring tahap pertama selesai. Yakni,
penanaman jaringan fiber optic sejauh 3.000 km di banyak kota di
Indonesia. Dengan jaringan fiber optic yang demikian luas, koridor untuk
on line sangat leluasa. Akses internet akan mengalami percepatan yang
menggila. Apalagi, kalau Palapa Ring sudah terbangun sempurna lima tahun
lagi. “Jalan tol” di bawah tanah itu akan jauh meninggalkan kelancaran
jalan tol yang di atas tanah.
Lima tahun ke depan ini adalah tahap yang amat menentukan bagi koran
di Indonesia. Maju atau mati. Karena itu, Hari Pers Nasional yang
diperingati hari ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana wartawan
bisa tetap hidup bersama korannya. Wartawan akan terus hidup, tapi
akankah dia kerja gratisan untuk pembacanya di on line? Jangan-jangan
itulah saatnya yang disebut era wartawan perjuangan, yakni wartawan yang
berjuang menegakkan keadilan, kebenaran dan demokrasi, membela yang
tertindas, membongkar kejahatan termasuk korupsi, dan melakukan kontrol
sosial yang kuat -tanpa jelas siapa yang harus memberi gaji setiap
bulan. Kalau itu terjadi, itulah baru yang disebut “wartawan perjuangan”
yang murni.
*) Selain sebagai Chairman Jawa Pos Group, Dahlan Iskan adalah ketua
umum SPS Pusat (Serikat Penerbit Surat Kabar). Catatan ini menyambut
Hari Pers Nasional 2009 yang diperingati hari ini.
No comments:
Post a Comment