Dahlan Iskan: Tionghoa Dewasa dalam 10 Tahun
Ada perkembangan yang sangat menarik dari banyaknya rombongan
kesenian yang datang ke Indonesia setiap tahun (termasuk di sekitar Hari
Raya Imlek sampai Cap Go Meh tahun ini). Ada perubahan pandangan yang
sangat besar dari kalangan Tionghoa sendiri atas kedatangan mereka itu.
Pandangan apa yang berubah antara kedatangan mereka 10 tahun yang lalu dan sekarang ini?
Saya mencatat dengan teliti sudah terjadi perubahan persepsi yang
luar biasa. Termasuk di kalangan masyarakat Tionghoa sendiri. Juga di
mata yin ni pen di ren. Sampai 9-8-7 tahun yang lalu, kedatangan
rombongan kesenian dari Tiongkok itu masih selalu dianggap hebat, bahkan
setengah ajaib. Tariannya selalu dipuja sebagai liao bu qi. Kostum dan
penarinya selalu dinilai hen piao liang! Dan akrobatnya hen lihai!
Pujian di tahun-tahun pertama reformasi itu tidak salah, terutama
barangkali karena sudah puluhan tahun tidak melihat kesenian yang
demikian -lantaran dilarang selama lebih dari 30 tahun.
Begitu seringnya kedatangan rombongan kesenian itu dan begitu
dipujanya di sini, sampai-sampai ada sebagian golongan Tionghoa sendiri
mengkhawatirkan: apakah ini baik? Terutama untuk pengembangan jati diri
Tionghoa Indonesia?
Untunglah ada demokrasi. Pertanyaan seperti itu hanya berkembang
sebatas sebagai renungan yang ternyata kelak membuahkan hasil yang lebih
fundamental. Di zaman demokrasi ini tidak ada lagi orang yang bisa
memaksakan kehendak. Kalau saja kekhawatiran seperti itu muncul di zaman
prademokrasi, buntutnya pasti represif: larang! Jangan diberi izin!
Kecam! Dampak dari represi itu bisa panjang, terutama secara psikologis.
Termasuk dalam upaya membangun rasa kebangsaan Indonesia.
Ternyata tanpa dilarang, tanpa dihambat, tanpa dikecam, terjadi
proses pendewasaan yang luar biasa cepatnya di kalangan masyarakat
Tionghoa sendiri. Kini, sepuluh tahun kemudian, setiap ada rombongan
kesenian dari Tiongkok, masyarakat Tionghoa sendiri sudah amat kritis:
penampilan mereka bukan lagi dipandang dari segi emosional, tapi sudah
dinilai dengan penilaian sangat rasional. Bahkan, kian lama kian banyak
yang menilai ”grup tari kita sendiri sebenarnya lebih baik dari yang
datang itu”. Komentar kritis seperti ini tidak pernah saya dengar 10
tahun yang lalu, atau bahkan lima tahun yang lalu. Semuanya, ketika itu,
serba memuji: jelek dipuji, baik dikagumi.
Memang di kalangan masyarakat Tionghoa Indonesia juga banyak muncul
grup tari yang hebat-hebat. Kursus-kursus tari, mulai balet sampai
tradisional, mulai Barat sampai tari Timur, bermunculan. Memang motifnya
banyak yang komersial, tapi pengaruh kebudayaannya tetap besar.
Lama-lama kelompok tari dari Indonesia itu (dari Jakarta, Surabaya,
Bandung, dan seterusnya) juga mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Dorongan orang tua di keluarga Tionghoa, agar anak-anaknya les tari,
sama besarnya dengan dorongan orang tua agar anak mereka les piano atau
matematika. Grup tari seperti Marlupi Dance Group, Senapati,
Wijayakusuma, yang semuanya dimiliki tokoh Tionghoa, benar-benar liao bu
qi. Bahkan, prestasinya sampai ke tingkat internasional. Demikian juga
kelompok tari di Jakarta, seperti Marlupi Dance Academy, Na Marina,
Pelangi, Luzy, semua hebat-hebat.
Marlupi yang di Surabaya memiliki 14 cabang, lima tahun lalu ekspansi
ke Jakarta dan selama lima tahun ini saja sudah membuka 15 cabang di
Jakarta. Wanita yang kini berumur 70 tahun dan selalu mengajak saya
bicara dalam bahasa Mandarin ini, melahirkan anak-anak yang juga sangat
hebat di bidang tari sehingga regenerasi di kelompok Marlupi
kelihatannya tidak akan ada masalah -bahkan lebih seru lagi.
Kini persaingan mutu tari antara delegasi dari Tiongkok yang sering
datang ke Indonesia dengan mutu tari yang dari Indonesia sendiri sudah
tidak bisa dibedakan. Penari Indonesia bisa tampil sebaik atau lebih
baik daripada penari Tiongkok -termasuk dalam tari tradisional Tiongkok
sekalipun. Dulu, ada kesan bahwa kostum penari dari Tiongkok masih lebih
wah: lebih gemerlap, lebih mahal, lebih bervariasi, dan lebih jreng.
Tapi, kini grup-grup tari dari Indonesia juga sudah berani ”belanja”
kostum. Benar-benar tidak ada bedanya lagi.
Dari kenyataan itu saya menyimpulkan telah terjadi pendewasaan yang
luar biasa dalam dua hal: rasionalitas dan kualitas. Kini yang rasional
sudah mulai mengalahkan yang emosional. Belum sepenuhnya tapi sudah
besar perubahannya itu. Kini kualitas mulai mengalahkan rasa rendah
diri. Perkembangan ini mungkin jarang yang mencatatnya, tapi saya
memperhatikannya sungguh-sungguh, bahkan dari amat dekat.
Kalau saja, 10 tahun lalu yang dilakukan adalah main larang, main
kecam, dan main represif, barangkali sampai sekarang pun tingkat
kedewasaan setinggi itu belum akan tumbuh. Bahkan, mungkin, malah jadi
api di dalam sekam.
Kini setiap ada rombongan kesenian yang datang dari Tiongkok, kita
menyambutnya dengan lebih wajar sebagai kunjungan persahabatan dan
pertukaran kebudayaan dari dua bangsa yang punya hubungan kebudayaan dan
hubungan emosional yang sangat erat. Tidak ada lagi kesan yang tidak
sejajar.
Saya pribadi punya pengalaman traumatis. Ketika secara resmi
pertunjukan kesenian yang berbau Tiongkok masih dilarang pada 1980-an,
saya sudah berani menyelenggarakan pertunjukan akrobat dari Wuhan.
Lengkap dengan grup musik tradisionalnya yang amat besar. Banyak yang
meragukan apakah pentas itu bisa terlaksana. Nyatanya bisa, meski harus
dengan urusan amat panjang.
Yang juga belum banyak diketahui adalah di bidang pertunjukan
barongsai. Kini Indonesia sudah memiliki 18 juri tingkat internasional.
Ketika saya menjadi ketua umum barongsai Indonesia pertama kalinya 8
tahun lalu, tidak satu pun kita memiliki juri. Akibatnya, setiap
pertandingan selalu ricuh. Hubungan antarklub tegang. Akhirnya kita
harus selalu mendatangkan juri dari luar negeri. Kini, kita sudah bisa
”ekspor” juri barongsai. Setiap pertandingan besar di luar negeri, juri
kita diminta ke sana.
Demikian juga kini kita sudah bisa membuat barongsasi sendiri. Padahal, dulu kita selalu impor. Kalau tidak dari Tiongkok, juga dari Malaysia. Kini, di Jawa Tengah sudah ada dua orang yang mengkhususkan diri membuat barongsasi. Sebulan rata-rata bisa membuat 25 set: mulai kepala sampai sepatunya. Bahkan, perajin barongsai kita, sudah mampu membuat kepala barongsasi yang beratnya hanya 1,2 kg!
Demikian juga kini kita sudah bisa membuat barongsasi sendiri. Padahal, dulu kita selalu impor. Kalau tidak dari Tiongkok, juga dari Malaysia. Kini, di Jawa Tengah sudah ada dua orang yang mengkhususkan diri membuat barongsasi. Sebulan rata-rata bisa membuat 25 set: mulai kepala sampai sepatunya. Bahkan, perajin barongsai kita, sudah mampu membuat kepala barongsasi yang beratnya hanya 1,2 kg!
Saya masih ingat, delapan tahun lalu, kepala barongsai di Pontianak
masih sangat berat: 6 kg. Lama-lama beratnya turun menjadi 5 kg, lalu 4
kg, dan kini sudah seringan 1,2 kg. Perajin sudah bisa menggunakan kulit
bambu khusus yang ada di Jawa yang meski disayat amat tipis tetap amat
kuat. Tidak lama lagi, pastilah kita bisa mengekspor barongsai.
Dalam jangka panjang sebaiknya Indonesia juga menciptakan sistem
pertandingan internasional yang lebih menarik. Saya sudah melontarkan
ini di kalangan intern masyarakat barongsai Indonesia. Terutama setelah
saya tahu bahwa sistem pertandingan yang sekarang ini ternyata ciptaan
Malaysia, salah satu guru barongsai kita.
Menurut penilaian kita, sistem yang sekarang sudah sangat atraktif,
tapi jalannya pertandingan sangat lambat. Penggunaan tonggak yang
tinggi-tinggi dan berat itu (berat tonggak tersebut sampai 2 ton),
menyulitkan praktik pengaturannya. Memang menegangkan, tapi setiap
peserta memerlukan waktu persiapan yang lama. Setiap grup harus membawa
sendiri tonggak mereka. Juga harus menggunakan tonggak sendiri (karena
tonggak itulah yang biasa digunakan saat berlatih sehingga bisa
mengurangi tingkat bahayanya). Akibatnya, jarak penampilan satu peserta
dengan peserta pertandingan berikutnya perlu waktu sampai hampir 20
menit. Penonton pun bosan menunggu persiapan yang begitu lama. Saya
sendiri belum punya ide seharusnya yang bagaimana. Tapi, saya sudah bisa
menyimpulkan bahwa sistem ini tidak bisa membuat pertandingan barongsai
banyak ditonton orang.
Namun, dengan semua dinamika itu, sungguh tidak terkirakan bahwa
masyarakat Tionghoa Indonesia bisa mencapai tahap kedewasaan sehebat ini
hanya dalam waktu 10 tahun! (*)
No comments:
Post a Comment